Semar Boyong
Semar
Boyong menceritakan bahwa Ki Lurah Semar
sedang berduka karena ditinggal pergi istrinya-Dewi Kanestren- tanpa diketahui
kemana perginya. Maka ia dan anak-anaknya tidak sowan ke Amarta menjalankan
tugas sebagai abdi para ksatria Pandawa. Bersamaan dengan itu Ki Lurah Semar
kedatangan tamu Begawan Drona yang tidak lain adalah utusan Raja Duryudana dari
Hastina. Maksud kedatangannya untuk memboyong Semar ke Hastina sebagai syarat
ketentraman negara Hastina yang sedang dilanda malapetaka. Selain itu juga ada
utusan dari Amarta yang membujuk Semar untuk segera menghadap ke Amarta dan
menjalankan tugasnya kembali sebagai pamomong seperti sediakala. Ada lagi
utusan dari Negara Poncowati yang menginginkan Semar untuk menjadi pengayom
agar Negara Poncowati menjadi tentram.
Karena
ada lebih dari satu yang menginginkannya, Semar mengadakan sayembara, siapa
yang bisa mempersembahkan Sekar Pudhak Tunjung Biru dialah yang akan dijadikan
tuannya. Ketiga utusanpun segera bergegas mencari dimana keberadaan Sekar
Pudhak Tanjung Biru. Singkat cerita, dari ketiga utusan tersebut hanya satu
yang berhasil mempersembahkan Sekar Pudhak Tanjung Biru yaitu Raden Arjuna
utusan Pandawa. Setelah Sekar Pudhak Tanjung Biru dipegang oleh Semar
berubahlah bunga itu menjadi wanita yang sangat cantik yang ternyata seorang
bidadari dari kahyangan bernama Dewi Kanestren yang ternyata adalah istri
Semar. Karena Raden Arjuna telah berhasil mengembalikan istri Semar, iapun
berjanji akan kembali ke Amarta sebagai pamomong para ksatria Pandawa seperti
semula.
Kerajaan Pancawati terserang wabah penyakit karena
ditinggalkan Semar. Demikian juga Astina dan Indraprasta dapat selamat dari
merabahnya jika diikuti oleh Semar. Karena itu Sri Rama raja Pancawati mengutus
Lesmana, Puntadewa raja Indraprasta mengutus Arjuna, dan Duryudana raja Astina
mengutus Karna, untuk memboyong Semar.
Semar bersedia diboyong ke mana pun, asalkan mereka
dapat mewujudkan berupa bunga pandan Tunjungbiru. Leskaman dan Arjuna segera
menuju kahyangan untuk mencari permintaan Semar. Karena yang datang lebih awal
adalah Lesmana, maka bunga pandan diberikan kepada Lersmana, sehingga menjadi
perebutan antara Arjuna dan Lesmana. Lesmana mendapatkan bunganya, sedangkan
Arjuna hanya mendapatkan kulitnya, kemudian diberikan kepada Semar.
Sepintas
memang tokoh Semar sebatas melucu dan pereda ketegangan penonton di tengah
malam. Namun, menurut kisah pewayangan Jawa, Sang Hyang Wenang menciptakan
Sebuah telur, cangkangnya itu Togog, putihnya menjadi Semar. Sedangkan
kuningnya menjadi Batara Guru. Semar yang memiliki badan gemuk tak jelas
laki-laki atau perempuan. Hal tersebut menunjukan bahwa manusia pada dasarnya
tidak ada yang sempurna dan masing-masing memiliki ciri khas. Kesempurnaan
hanya milik Tuhan. Umumnya, masyarakat mengenal bahwa Semar adalah putra Sang
Hyang Wisesa yang mana memiliki anugerah Mustika Manik Astagina dan delapan
daya. Delapan daya itu adalah tidak pernah mengantuk, tidak pernah lapar, tak
pernah jatuh cinta, tak pernah sedih, tak pernah capek, tak pernah sakit, tak pernah
kepanasan, dan tak tak pernah kedinginan.
Menurut
pendapat seorang sejarawan, Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar ini pertama
kali ditemukan di dalam karya sastra pada zaman kerajaan Majapahit yang
berjudul Sudamala. Karya sastra tersebut dalam bentuk kakawin juga dipahat
dalam bentuk relief di Candi Sukuh yang dibuat tahun 1439. Tokoh Semar ini
merupakan hamba atau abdi tokoh utama dalam kisah Sahadewa yang merupakan sosok
dari keluarga Pandawa. Tentunya, Semar bukan hanya sebagai pengikut semata, melainkan
juga sebagai penghibur lara dalam mencairkan suasana yang tegang. Di zaman
berikutnya, saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berkembang di Pulau Jawa,
pewayangan pun mulai digunakan sebagai media dakwah. Salah satunya adalah kisah
Mahabarata yang mana kisah tersebut sudah melekat di benak masyarakat Jawa.
Salah satu Ulama yang menggunakan wayang sebagai media dakwah adalah Sunan
Kalijaga. Di dalam dakwahnya, Semar masih tetap ada, bahkan lebih dominan
dibandingkan dengan kisah Sudamala.
Kemudian,
di era selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat, di mana para Pujangga Jawa
mulai mengkisahkan Semar bukan sebagai rakyat jelata saja, melainkan juga
sebagai jelmaan Batara Ismaya yang merupakan kakanya Batara Guru alias rajanya
para dewa. Banyak sekali versi yang mengisahkan asal usul Semar. Namun sebagian
besar mengatakan bahwa Semar adalah jelmaan Dewa. Di setiap pementasan wayang,
Semar selalu menyampaikan kata-kata bijaknya yang sifatnya lebih ke umum. Sehingga
kata-kata bijak Semar masih relevan dengan siapapun dan kapanpun. Semar
merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya
sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah
Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat
pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan Jawa, jumlahnya
ditambah menjadi dua, salah satunya adalah Semar.
Semar
dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumasa,
terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabarata. Namun dalam
pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan
Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa Seolah-olah Semar
selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul sing
sedang dikisahkan.
Dalam
pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan ksatria, sedangkan Togog
sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat
mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi,
apabila para pemangku pemerintahan, sebagai kaum kesatria asuhan Semar, yang
senantiasa mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka
negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Lakon
Semar Boyong yang dibawakan merupakan bentuk lakon carangan pada cerita
pewayangan Jawa. Lakon carangan atau cerita carangan adalah lakon wayang yang
keluar dari jalur pakem (standar) kisah Mahabarata atau Ramayana. Namun, para
pemeran dan tempat-tempat dalam cerita carangan itu tetap menggunakan
tokoh-tokoh Wayang Purwa yang berdasarkan Mahabarata atau Ramayana seperti
biasanya. Dalam cerita Semar Boyong dikisahkan bertemunya tiga raja penguasa
untuk memperebutkan tokoh Semar dalam satu zaman. Raja Rama Wijaya dari
kerajaan Pancawati, Raja Duryudana dari kerajaan Astina dan Raja Puntadewa dari
kerajaan Indraprasta. Raja Rama Wijaya yang hidup pada masa kisah cerita
Ramayana jelas berselisih waktu sangat jauh dengan dua raja lainnya yang hidup
pada masa kisah Mahabharata. Secara kronologis cerita ini tidak
berkesinambungan, tapi itulah uniknya wayang Jawa, lebih berkembang dalam hal
bentuk cerita dibanding wayang asli dari India. Nilai filosofis dan ajaran
moral dalam lakon Semar Boyong itulah sebenarnya yang ditonjolkan.
TUAH
SEMAR
Sosok
Semar sebagaimana uraian diatas adalah sosok bijak yang sangat dibutuhkan
karomah (tuah) serta nasehatnya oleh siapapun raja yang berkuasa. Sosok Semar
digambarkan dalam cerita itu mampu meredam pageblug (bencana) berupa wabah
penyakit yang melanda kerajaan manapun. Sehingga dimana Semar mengabdi, disitu
kerajaan akan menjadi aman tentram jauh dari bencana.
Kerajaan
Pancawati terserang wabah penyakit karena ditinggalkan Semar. Demikian juga
Astina dan Indraprasta dapat selamat dari merabahnya jika diikuti oleh Semar.
Karena itu Sri Rama raja Pancawati mengutus Lesmana, Puntadewa raja Indraprasta
mengutus Arjuna, dan Duryudana raja Astina mengutus Karna, untuk memboyong
Semar.
Semar
bersedia diboyong ke mana pun, asalkan mereka dapat mewujudkan berupa bunga
pandan Tunjungbiru. Leskaman dan Arjuna segera menuju kahyangan untuk mencari permintaan
Semar. Karena yang datang lebih awal adalah Lesmana, maka bunga pandan
diberikan kepada Lersmana, sehingga menjadi perebutan antara Arjuna dan
Lesmana. Lesmana mendapatkan bunganya, sedangkan Arjuna hanya mendapatkan
kulitnya, kemudian diberikan kepada Semar.
Sampai
makalah ini selesai disusun pembicaraan tentang Semar, tokoh wayang kulit
purwa, belum usai. Arinya, setiap orang ingin mengetahui apa dan siapa Semar
yang sebenarnya tidak dapat tuntas, apalagi memuaskan. Senar, tokoh fiktif,
rekaan, atau sebenarnya nyata-nyata ada? Belum ada jawaban yang pasti;
tergantung dari sudut pandang dan pemahaman setiap orang. Dengan demikian
mungkin benar-benar ada atau pernah ada, tetapi juga barangkali memang tidak
pernah ada.
Keunikan
Semar, atas dasar narasi dan garapan cerita yang disajikan para dalang, adalah
seperti di bawah ini :
1.
Asli
wayang Jawa, tidak terdapatkan dalam kitab wiracarita Mahabarata dan Ramayana.
2.
Semar
lahir dari putih telor, hasil ciptaan Sang Hyang Tunggal, ayahnya.
3.
Jenis
kelamin Semar tidak jelas, bukan laki-laki, bukan perempuan, juga bukan banci;
tetapi beristri (Kanastrèn) dan juga memiliki keturunan yang semua dewa (di
antaranya: Yamadipati, Bongkokan, Kuwera, Candra, Surya, Kamajaya, Wrahaspati,
Patuk, dan Temboro).
4.
Meskipun
lebih banyak berperan sebagai abdi, tetapi bukan manusia biasa, déwa
ngéjawantah, sebab sebenarnya Semar adalah penjelmaan Sang Hyang Ismaya.
5.
Asal
yakin atas kebenarannya, Semar tidak pernah takut kepada siapa saja, meskipun
Guru, pembesar para dewa sekalipun.
6.
Semar
sangat murka apabila kebenaran, kearifan, dan keadilan mulai dilecehkan serta
para ksatria dikalahkan para tirani atau pendzalim.
7.
Semar
memiliki senjata yang berkekuatan sangat dahsyat, meskipun hanya berupa kentut.
Pada
tiga dasawarsa lalu, apalagi sebelumnya, oleh sebagian besar para dalang, Semar
didudukkan sebagai tokoh sangat istimewa: ‘déwa ngéjawantah,’ pamomonging para
satriya, penasehat, pamomong para satriya pinilih, seperti terungkap pada Sekar
Pocung di bawah ini :
Semar iku dadya darsaning rahayu,
yuwananing sedya,
supadya padha basuki,
yèn pinesu ambabar dadya warastra.
Semar iku pamongé satriya tuhu,
Trahing Witaradya,
Tut wuri pan handayani,
Yèn ngandika dadiya tepa tuladha.
Tembang
di atas menunjukkan bahwa Semar bukan sekedar pelawak, dagelan, atau humoris
saja. Sebenarnya, dalam cerita wayang di Jawa, Semar beserta anak-anaknya
Garèng, Pétruk, dan Bagong bukan sekedar jongos yang mengikuti Pandawa dan
keluarganya, tetapi seluruh tokoh ksatria yang suka memayu hayuning bangsa,
memayu hayuning buwana, penegak kebenaran dan keadilan. Saya belum pernah
menjumpai ada cerita wayang yang melukiskan tokoh Semar telah mengikuti
pengembaraan Rahwana, Cakil, Sengkuni, Burisrawa, dan Suyudana; meskipun semua
pihak ingin memboyongnya.
Dalam
cerita Semar Boyong, dan beberapa repertoar lakon wayang yang lain, dikisahkan
sejumlah raja sangat mengharap agar Semar bersedia tinggal di negara mereka,
meskipun hanya beberapa saat. Para raja itu percaya apabila negara mereka
ketempatan Semar akan memperoleh kedamaian, keamanan, dan rakyatnya menjadi
makmur sejahtera.
Pada
kondisi yang normal serta keseharian, Semar memang lebih bersikap pasif bahkan
mengantuk seakan-akan pekerjaan utama sebab berkedudukan sebagai panakawan,
abdi pendhèrèk, pamomong, atau kawan bercengkerama para ksatria. Pada kondisi
yang demikian wajah Semar tergolong jelek, tua, berkeriput, mata sipit dan
rembes; postur badan tambun dan pendek.
Dalam
keseharian seperti ini, Semar, dalam pertunjukan wayang, memang sering
dijadikan bahan ejekan untuk mencari efek ketawa, tetapi senantiasa tenang,
tetap sabar, justru larut dalam suasana humor.
Judul-judul
lakon yang menggunakan nama Semar adalah seperti yang tertulis pada tabel di
bawah ini.
1. Semar
mBarang Jantur
2. Semar
Boyong
3. Semar
Tambal
4. Semar
Kuning
5. Semar
Tumbal
6. Semar
Mantu
7. Semar
mBangun Gedhong Kencana
8. Semar
mBangun Kayangan
9. Semar
mBangun Klampis Ireng
10. Semar
mBabar Jatidhiri
11. Semar
Raga atau Semar Kembar Papat
12. Semar
Gugat
13. Semar
Tambak
14. Gègèr
Semar
Di
luar 14 judul cerita itu, masih ada sejumlah ceritera yang peran Semar cukup
penting, misalnya :
1.
Wisnu
Krama.
2.
Manumayasa
Rabi.
3.
Pandhu
Lahir.
4.
Pandhu
Krama.
5.
Mintaraga.
6.
Makutharama.
7.
Kilatbuwana.
8.
Gathutkaca
Sungging.
Hampir
seluruh alur cerita di atas menunjukkan ekspresi protes, kemarahan dan/atau
kekuatan Semar yang sebenarnya dalam menghadapi krisis dunia yang sangat
memuncak, kecuali cerita Semar Boyong dan Semar mBarang Jantur yang kadar
protesnya kecil.
Apabila
Semar sudah menunjukkan kekuatan yang sebenarnya, tidak ada satu pun tokoh
wayang yang berani melawannya, meskipun para dewa di kayangan. Khususnya, para
ksatria yang dibelanya akan sangat menghormat dan santun (dengan menggunakan
bahasa Jawa krama) kepada Semar saat-saat sedang menunjukkan kemarahannya.
Sebab, dalam kondisi yang demikian itu Semar bukan lagi panakawan, bukan batur,
bukan wong cilik, bukan abdi, tetapi tokoh berkekuatan supranatural yang
ngédab-edabi, nggegirisi, ditakuti dan tak terkalahkan oleh siapa saja.
Ekspresi
kemarahan bergantung tingkat permasalahan yang dihadapinya; dapat tetap
berwujud Semar, juga dapat berubah total, lazimnya menjadi ksatria yang sangat
tampan.
Apabila
Pandawa menghadapi masalah berat, para dalang masa lalu, Semar selalu tampil
sebagai pemegang kunci pemecahan masalah, selain Kresna dan Abiyasa. Pada saat
perang Baratayuda dimulai, Semar menduduki tempat istimewa setara dengan
Kresna, penasehat utama; sudah tidak lagi berkelana dengan ksatria ke
hutan-hutan.
Dari
uraian serba singkat tentang Semar dalam jagat pewayangan di atas, dapat
dikatakan bahwa Semar merupakan tokoh khusus, penting, dan sentral. Apabila
dibenarkan bahwa wayang merupakan salah satu ekspresi budaya yang terdiri atas
pandangan, cita-cita, kehendak, simbo-simbol, keyakinan, dan harapan-harapan
maka Semar adalah simbol dari budaya Jawa secara lebih luas. Semar didudukkan
sebagai simbol: kawula (rakyat atau wong cilik) yang sabar, narima, tawakal,
dan penuh pengabdian. Sepanjang kebenaran dan keadilan tetap tegak Semar
berperan sebagai rakyat. Apabila terjadi sebaliknya, keadilan dan kebenaran
tidak tegak, tirani (kezaliman) merajalela serta pemimpin bertindak
semena-mena, maka Semar akan melakukan protes keras dengan caranya.
Terlepas
kapan Semar muncul, yang terpenting adalah melalui tokoh Semar kita dapat
melacak serta mengacu sumber kearifan dan/atau kebijakan Jawa secara lengkap,
berupa :
1.
Kesahajaan.
2.
Toleransi.
3.
Kearifan.
4.
Kesabaran.
5.
kesetiakawanan
atau kerukunan, dan sejenisnya selaras dengan sifat moral yang terpuji.
Kearifan
bersama sekarang ini sangat penting, agar eksistensi bangsa tetap tegak.
Apabila kearifan bersama sudah dilupakan semua pihak, jangan harap krisis
bangsa ini dapat teratasi. Semoga setiap diskusi tentang wayang mampu
membuahkan hasil yang berfaedah bagi orang Jawa, Indonesia yang tercinta,
bahkan seluruh umat dunia.
Kehidupan Semar dalam masyarakat Jawa
Semar
merupakan tokoh yang dikenal dalam dunia pewayangan melalui media wayang purwa.
Semar
ini menjadikan bagian dari kebudayaan di bumi Nusantara ditunjukannya
keterlibatan Semar dalam aspek kehidupan lapisan kemasyarakatan.
Dalam
ilmu kebatinanpun Semar sebagai simbol dewa asli Jawa.
Semar
konon menurut orang jawa sebagai danyang abadi di Pulau Jawa yang bertugas
menyelamatkan orang Jawa.
Dalam lingkungan istanapun, Semar dianggap sebagai
titisan dewa yang bertugas momong
keturunan para raja.
Semar
sendiri dalam dunia pewayangan sebagai Paman dari Betara Guru, jadi raja dewa
yang dianggap menurunkan raja- raja Mataram.
Dalam
dunia kepraktisan Semar menjadi sumber inspirasi munculnya berbagai jenis
barang dan penamaan suatu barang.
Sekarang
ini dikenal dengan nama- nama barang seperti :
1.
Semar
mendem (nama sebuah makanan).
2.
Semar
mesem (nama aji pengasihan).
3.
Plinteng
semar (nama batu di Wonogiri).
4.
Candi
semar (nama candi di dieng).
5.
Semar
tinandhu(nama arsitektur) dan masih banyak lagi nama semar yang digunakan dalam
merk berdagangan dengan nama Semar.
Sementara
di dalam kolektif islam semar dipercaya simbol Wali songo yang menyampaikan
ajaran-ajaran kebijaksanaan. Dalam dunia perpolotikan, semar di simbolkan
sebagai tokoh yang ngayomi masyarakat karena kerinduannya terhadap tokoh Semar.
Dalam
zamar orde baru Semar disimbolkan sebagai tokoh kebijakan dalam menerapkan
ajaran- ajaran pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila. Sementara Dalam
dunia penciptaan seni pewayangan tokoh semar ini sering bermunculan tentang
lakon tentang Semar di dalam dinamika kehidupan masyarakat seperti karya sastra
Semar Gugat Karya sastra (Riantiarno 1995), Semar mencari raga dan masih banyak
tokoh -tokoh novel yang menokohkan dunia persemaran ini ditunjukan bahwa
dinamika ditengah masyarakat tokoh ini menjadikan idola penciptaan jenis karya
seni.
Di
dalam tokoh pewayangan Semar merupakan tokoh yang hidup di sepanjang jaman,
Semar dalam pewayangan jawa ada beberapa kemungkinan mirip diangkat dari karya
sastra jawa.
Tokoh
Semar dalam pertunjukan wayang kulit hadir mengikuti tokoh pemegang peran
Sumantri yang karena ketulusannya pengabdiannya kepada negara.
Dalam
tokoh Semar ini selalu mengabdikan kepada satria yang selalu mengabdikan
keadilan, menjaga keharmonisan penuh pengabdian dunia.
Asal
mula bersama dengan cikal bakal dari keluarga Wirata yitu pada Manumayasa,
dalam lakon perkawinan semar, Semar Badranaya pada suatu ketika bertemu dengan
dua ekor macan putih kemudian minta bantuan seorang pertama sakti yaitu
Manumayasa kedua ekor macan putih itu dipanah berubah wujud seorang bidadari
yaitu Kaniraras dan Kanestren kemudian kanestren diperistri Semar sedangkan
Kaniraras diperistri Pertama Manumayasa.Sejak itu Semar Badranaya menjadi
punokawan keluarga Manumayasa beserta seluruh keturunannya.
Menurut
pendapat Poedjosubroto dalam wayang lambang ajaran islam mengemukakan.
Semar
juga disebut Badranaya (Badra = (Kebahagiaan / kebahagiaan / kesejahteraan Naya
/ kebijaksanaan / Politik).
Jadi
Badranaya adalah Politik Kebijaksanaan yaitu kebijaksanaan yang menuju
kebahagiaan dan Kesejahteraan.
Pemerintah
yang memimpin rakyatnya untuk menjalankan Ibadah, agar mendapatkan kebahagiaan
dan kesejahteraan dunia dan akhirat.Badranaya yang memberi makna Ulate kaya rembulan (wajahnya seperti bulan)
Badra dapat berarti bulan tetapi naya bukan berati ulat, karena ulat dalam
bahasa kawinya nayana dan bukan naya.
Kalau
naya diterima sebagai bagian dari nayana maka benarlah pemberian makna itu.
Penggunaan kamus sangat diutamakan agar mengutarakan segala sesuatu dengan
tepat. Badra berati juga bulan yang membawakan kebahagiaan. Badra dapat pula
berarti usaha (bebadra) yang dapat pula
membawakan kebahagiaan apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh
kesadaran maknanya usaha yang besar.
Semar
adalah punakawan yang berarti abdi (Pana / tahu, kawan / teman).
(Tahu
akan pengertian umum / mengabdi kepada masyarakat / jiwa sosial yang penuh
pengabdian dan kebaktian. Semar salah satu tokoh punokawan yang paling
disenangi oleh banyak orang dalam bidang seni pedalangan).
Dalam
seni pedalangan khususnya pecinta wayang semar, berpendapat, bahwa semar
berasal dari kata Samar yang berarti
samar-samar, tidak jela, meragukan penuh rahasia, penuh teka-teki.
Kata
samar bersal dari kata sar yang berarti
cahaya yang kemudian mendapat sisipan am menjadikan samar.
Jadi
samar berarti sesuatu yang mengeluarkan cahaya.
Memang
sebetulnya samar merupakan tokoh yang penuh dengan rahasia. Wajahnya mirip
perempuan, dan bentuknya badanya laki- laki.
Ia
sangat mempesonakan hati, padahal rupa dan wajahnya jelek, namun ia bukan
manusia biasa, tetapi dari penjelmaan Dewa dari Suralaya, Ia adalah sama dengan
penjelmaan dari dewa Suralaya, sama dengan ismaya, dewa yang mengatur di
Suralaya.(Sumber dari R Poedjosoebroto buku wayang lambang Ajaran Islam 1978).
Semar DALAM IMAJINER Al-Quran
Dalam cerita pewayangan, Ki Lurah Semar jumeneng
merupakan seorang begawan, namun ia sekaligus menjadi simbol rakyat jelata.
Maka, Ki Lurah Semar juga dijuluki sebagai manusia setengah dewa.
Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar mewakili
watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak pernah
terlalu sedih, dan tidak pernah terlalu riang gembira. Dengan kata lain,
keadaan mentalnya sangat matang. Dia tidak kagetan, tidak juga gumunan.
Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan.
Di balik ketenangan sikapnya, tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kekayaan
pengalaman hidup, dan ilmu pengetahuan.
Semar digambarkan sebagai sosok yang berwatak
rembulan, wajahnya yang pucat diekspresikan sebagai seseorang yang tidak
mengumbar hawa nafsu. Dia disebut juga sebagai semareka den prayitna semare,
yang artinya menidurkan diri.
Maksudnya, dia menidurkan diri agar batinnya selalu
awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api dan nafsu
negatif. Dan yang paling penting, segala tindak-tanduk Semar selalu memohon
restu dari Hyang Widhi (Allah SWT). Artinya, sosok semar adalah sosok yang berpasrah
kepada Illahi, yang mana hal itu dikenal sebagai keimanan dan ketakwaan.
Dalam kepemimpinan dan politik, filsafat Semar tentang
pemimpin sejati adalah paradoks. Bagi Semar, pemimpin itu adalah majikan
sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat dengan kekayaannya. Tegas dalam
keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah.
Sehingga Semar, yang merupakan manusia setengah dewa,
itu selalu menjadi pelayan atau pembantu para ksatria. Terutama pembantu Arjuna
yang tampan namun kerap kali membuat onar. Semar dalam psikologi disebut
sebagai sebuah filsafat, baik etik maupun politik.
Semar bagaikan watchdog para ksatria dan pemimpin.
Kehadirannya disegani, dibutuhkan, dan didengar. Konsep amar makruf nahi munkar
dalam diri Semar tak lepas dari modifikasi dakwah yang digelorakan Sunan
Kalijaga dalam dunia seni wayang.
Semar
dalam tokoh wayang itu artinya samar, samaran atau sebuah analogi atau bisa
juga kita artikan simbol. Simbol yang memiliki makna dan maksud. Semar adalah
tokoh yang bijak, dalam banyak sumber disebutkan beberapa ciri- ciri tubuhnya :
1.
Tubuhnya
bulat sempurna seperti bumi yang dapat kita artikan memiliki sifat memelihara,
rendah hati dsb.
2.
Tangan
kanannya mengacung keatas yang dapat kita artikan berketuhanan yang Esa (Surat
Al- Ikhlas dalam Al-quran).
3.
Tangan
kirinya disembunyikan dibelakang yang artinya memelihara amanah, menjaga alam
dari fitnah (bagian dari misi seorang mukmin).
4.
Wajahnya
seperti orang Tua , yang artinya seorang yang sempurna atau insan kamil
haruslah berilmu/ memiliki banyak pengalaman/ matang secara keilmuan / seperti
orang Tua.
5.
Rambut
bagian depan di kuncung/ jambul seperti anak kecil , yang artinya berhati
fitrah seperti anak kecil/ memiliki hati yang suci . (QS : Assyamsi , Al- A'la).
Nabi
Muhammad bersabda : Barang siapa membaca surat al- Ikhlas satu kali maka ia
laksana membaca sepertiga Al- Quran . Dalam hadizt lain Nabi bahkan pernah
berpesan pada aisyah bahwa hendaknya ia menghatamkan Al- Quran sebelum tidur ,
yang dimaksud membaca surat al-ikhlas .
Tangan
semar yang mengacungkan jari telunjuknya satu keatas sudah cukup mewakili
maksud Surat Al- Ikhlas tentang prinsip ke Esaan Tuhan.
Tokoh
semar konon digagas oleh para Wali , dalam menyampaikan dakwah Islam. Faktor
bahasa yang sangat minim kosa kata saat itu mungkin menjadi alasan mengapa
wayang menjadi media dakwah saat itu.
Semar dalam Pewayangan
(Sosok Lakon dan Nilai Kehidupan)
Penting berkaca pada sejarah guna memahami awal proses
Islamisasi Nusantara; latar belakang Indonesia sebelum Islam menjadi mayoritas.
Bagaimana cara para Wali membawa Islam hingga dapat diterima masyarakat
Indonesia yang kental dengan latar belakang budaya animisme-Hindu-Buddha. Sunan
Kaijaga, salah satunya membawa dakwah dengan cara yang begitu unik dan ramah
dengan mengedepankan kelemahlembutan tanpa pemaksaan dalam ajarannya. Metode
ini dijalankan dengan model pengadopsian terhadap budaya sebelum datangnya Islam, sehingga kemudian lahirlah wayang dalam penyampaian
dakwah Sunan Kalijaga. Pementasan wayang adalah gambaran kehidupan manusia
dengan seluruh dimensinya mencakup keberadaan prinsip-prinsip metafisik dan
khayal, seperti adanya tokoh Dewa yang diadopsi dari agama Hindu-Buddha
disertai konflik dan permasalahan dalam cerita wayang tersebut beserta
lakon-lakon yang memiliki karakter yang berbeda-beda sebagai perwakilan diri
manusia dalam berkehidupan.
Makna filosofis itu juga hadir dari bentuk kedua
tangannya. Tangan kanan Semar yang sering menghadap ke atas, bersamaan dengan
tangan kiri menghadap ke bawah di belakang punggung. Di sini dapat diartikan
Kiyai Semar ini dalam berpesan sangatlah bijaksana dengan tetap berkaca pada
dirinya sendiri, atau sangat mengindari terjadinya pesan yang ia sampaikan
tanpa banyak pertimbangan yang dilihat secara pribadi ataupun orang lain. Di
sini menjadi daya tarik bagi banyak orang yang mengikuti perjalanan lakonnya
untuk dapat mengambil hikmah-hikmah kehidupan yang ada di dalamnya, Tangan kiri
yang kebawah itu, juga menunjukkan sifat rendah hati, ketika menyampaikan pesan
tidak pernah Kiyai Semar bermaksud untuk menyombongkan diri.
Nilai-NILAI Kehidupan Semar
(4 falsafah kehidupan yang dipegang teguh oleh lakon
wayang Semar ini)
adalah :
1.
Manunggaling kawula Gusti, yaitu menyatunya seorang
hamba dengan Tuhannya. Maksud dari pernyataan ini adalah usaha seorang hamba
dalam menerapkan sifat-sifat ketuhanan yang telah ditransformasikan oleh Sang
Pencipta yang menjadikan manusia tersebut seakan-akan menyatu dengan Tuhan,
karena mempunyai sifat-sifat seperti Tuhan. Termasuk dalam berkehidupan ini,
seorang hamba akan senantiasai menyertakan Allah di berbagai segi kehidupanya.
Di sinilah akan sangat terasa peran dan keberaaan Tuhan di dalam kehidupan,
terutama berimplikasi pada lahirnya rasa cinta dalam kehidupanyang didasari
atas keberadaan Tuhan sebagai sosok Penguasa di dalam kehidupan manusia
tersebut.
Manunggaling kawula Gusti dapat pula diartikan
sebagaimana seorang hamba bersikap terhadap tuannya. Yaitu, terutama ketika
seorang hamba akan terlebih dahulu mengedepankan kehendak tuannya, dibandingkan
dengan kehendaknya sendiri atau lebih mengutamakan kemauan Allah dibandingkan
kemauanya sendiri. Di sini akan terjadi hukum timbal-balik, sebanyak apa
pengorbanan seorang hamba terhadap tuanya, sebegitu pula seorang tuan akan
mengutamakan hambanya. Begitu pula Tuhan akan memperhatikan hamba, sebesar
seorang hamba mengutamakan diri-Nya; mengingat dan memperhatikan-Nya.
Kesesuaian tersebut dapat dilihat dari bacaan sholat yang selalu
diucapkan
:
إِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ
Kesimpulanya, sebagai seorang hamba
sudah sepantasnya mengabdikan seluruh kehidupanya kapada Allah, hingga seluruh
pekerjaan yang dilakukanya beraliran ibadah kepada Allah.
2.
Sangkan
Paraning Dumadi. Filsafat ini mengajarkan hakikat hidup manusia itu ‘dari mana
dan mau ke mana;. Menurut orang Jawa, kehidupan ini dapat dibagi menjadi 3
tingkatan kehidupan yaitu alam Purwa (alam sebelum manusia dilahirkan), Madya
(dunia), dan Wusana (alam kehidupan yang akan datang). Maka dari itu sering
penganut kebatinan Jawa mengibaratkan
bahwa Urip iku kaya wong mampir ngombe.
Maksudnya kehidupan di dunia hanyalah sementara, dunia bukan asal kehidupan
seseorang, juga bukan tujuan hidup seseorang. Maka dalam Islam manusia itu
sesungguhnya adalah milik dan akan selalu kembali kepada Tuhan. Inilah yang
sesungguhnya diajarkan dari kalimat Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Dalam
tradisi kebatinan Jawa, banyak juga disimpulkan, “biarkan dunia berjalan apa
adanya, ambil secukupnya untuk bekalmu”. Hal ini didasari pemahaman bahwa hidup
ini masih akan beranjut setelah habis masa hidup di dunia. Sangat dikhawatirkan
ketika hati seseorang begitu tertambat dalam kehidupan duniawi, akan
membuat jiwa manusia tersebut (nafs)
tidak bisa merasakan ketenangan (mutmainnah) dan akan terus selalu mengejar
kepuasan duniawi, padahal dalam surat al-Fajr dituliskan :
يَا أَيَّتُهَا
النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ () ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
Jiwa atau nafs yang terbiasa kembali kepada
Allah dengan jalan yang sesuai harapan penciptanya digambarkan sebagai jiwa
yang tenang atau mutma’innah. Jiwa ini adalah jiwa yang mengerti asal dari
kehidupanya sebagai hasil penciptaan Allah dan mengetahui kemana tujuan
manusaia yaitu akhirat
3.
Sosok
Semar adalah Kasedan jati, kafa bilmauti wa’idzun; cukuplah kematian sebagai
nasehat. filosofi ini berisi tentang tuntunan hidup dan mati yang sempurna.
Salah satu cara yang dapat dipenuhi dalam menjalani kehidupan yang sesuai
dengan tuntunan tersebut adalah dengan cara melenyapkan ego dan mengikuti
kehendak Allah semata. Dalam versi orang Jawa, untuk mengikuti kehendak dari
Allah tersebut, manusia mesti menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan yang
berpengaruh buruk. Salah satu contohnya adalah bagaimana cara dalam berbicara
kepada orang tua.yang harus lembut dan sopan, walaupun mungkin ada sedikit
pertentangan yang anak sampaikan pada orang tua. Dalam hal ini orang Jawa sangat
meyakini adanya penerapan terminologi ‘kualat’, atau budaya hukum karma, yaitu
adanya balasan sebagaimana perbuatan seseorang akan terjadi sebagaimana sesuai
dengan apa yang dilakukanya sebelumnya.
4.
Memayu
Hayuninng Bawana, atau memperindah keindahan dunia. Yang dimaksud dengan
memperindah keindahan dunia adalah memaknai nilai kehidupan dan mempercantiknya
dengan menanamkan kebaikan yang akan menghasilkan kebaikan pula di bumi.
Sebagaimana dunia yang cantik ini, maka penduduknya juga harus cantik. Namun
apabila dihuni oleh penduduk yang tidak cantik perilakunya atau kepribadianya,
maka lambat laun dunia yang cantikpun akan menajdi rusak. Sebaliknya, dalam
rangka mempertahankan kecantikan dunia itu, setiap orang wajib mengekang egoisme
pribadi dan hawa nafsunya, sehingga tidak merusak dunia yang telah diciptakan
sebegitu indah dari berbagai seginya.
Dalam menjaga keindahan dunia tersebut dapat dilakukan dengan cara melatih
diri, atau niteni, membaca realita yang ada di sekitar dengan mengandalkan
kepekaan atas sunatullah. Secara singkat, memayu hayuning bawana ini dapat
diartikan sebagai upaya menanamkan kebaikan dan mengontrol kemaksiatan
guna menjaga keindahan dunia.
Prinsip Hidup Islami Semar Badranaya.
(Semar adalah Tajali Nur Muhammad)
Di
antara sekian banyak tuntunan yang diajarkan Kiai Semar, berikut ini 12 prinsip
hidup yang setidaknya dapat kita kaji dan ambil manfaatnya bagi kehidupan kita
sebagai manusia Jawa, sekaligus umat Islam di Indonesia.
1.
Eling
lan bekti marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Prinsip ini mengandung maksud bahwa
manusia yang sadar akan dirinya hendaknya selalu mengingat dan memuja Tuhan
Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesempatan bagi dirinya untuk hidup dan
berkarya di alam yang indah ini.
2.
Percoyo
lan bekti marang Utusane Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Prinsip ini mengandung makna bahwa
manusia sudah seharusnya menghormati dan mengikuti ajaran para Utusan Allah
sesuai dengan ajarannya masing-masing, karena sudah pasti bahwa semua konsep
para Utusan Allah tersebut adalah anjuran pada kebaikan.
3.
Setyo
marang Khalifatullah lan Penggede Negoro.
Prinsip ini berarti bahwa setiap manusia
yang tinggal di suatu wilayah, maka sudah selayaknya bahkan berkewajiban untuk
menghormati dan mengikuti semua peraturan yang dikeluarkan oleh para
pemimpinnya yang baik, benar dan bijaksana.
4.
Bekti
marang Bhumi Nusantoro.
Prinsip ini menekankan agar setiap
manusia yang tinggal dan hidup di bumi Nusantara ini wajib dan wajar unuk
merawat dan memperlakukan bumi Nusantara ini dengan baik, sebab bumi inilah
yang telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya.
5.
Bekti
marang Wong Tuwo.
Prinsip ini mengingatkan setiap manusia
bahwa dirinya tidak serta-merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantaraan
Ibu dan Bapaknya. Maka hendaknya hormatilah, muliakanlah keduanya yang telah
memelihara dan membesarkan kita dengan kasih sayang dan pengorbanan tulusnya.
6.
Bekti
marang Sedulur Tuwo.
Prinsip ini mengajak kita agar
senantiasa sadar diri untuk menghormati saudara yang lebih tua dari sisi umur
dan lebih mengerti daripada kita dari sisi ilmu, pengetahuan dan kemampuannya.
7.
Tresno
marang kabeh Kawulo Mudo.
Prinsip ini mengajari kita agar selalu
menyayangi mereka yang lebih muda, memberikan bimbingan dan menularkan
pengalaman dan pengetahuan kita kepada mereka, dengan harapan yang muda ini
akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.
8.
Tresno
marang Sepepadaning Manungso.
Prinsip ini mengajarkan satu pemahaman
substansial bahwa sejatinya semua manusia itu sama, meski berbeda warna kulit,
bahasa, budaya dan agamanya. Maka sudah selayaknya kita hormati sesama manusia
dengan kesadaran bahwa mereka semua memiliki harkat dan martabat yang sama
sebagaimana halnya kita juga.
9.
Tresno
marang Sepepadaning Urip.
Prinsip ini menuntun kita agar tak hanya
menghormati sesama manusia, melainkan juga semua makhluk ciptaan-Nya. Sebab
semua makhluk yang diciptakan Allah adalah makhluk yang keberadaannya maujud
karena kehendak Allah yang Kuasa. Maka dengan menghormati semua ciptaan Allah,
sama artinya kita telah menghargai dan menghormati Allah sebagai penciptanya.
10. Hormat marang Kabeh Agomo.
Prinsip ini menekankan sikap toleransi,
dalam artian hendaknya kita hormati semua agama atau aliran kepercayaan yang
ada, dan otomatis termasuk juga para penganutnya.
11. Percoyo marang Hukum Alam.
Prinsip ini menggugah kesadaran kita
bahwa selain menurunkan kehidupan, Allah juga telah menurunkan Hukum Alam
sebagai hukum sebab-akibat. Maka disini berlaku kaidah alamiah bahwa barang
siapa yang menanam maka dia pula yang akan menuai hasilnya. Siapa yang berbuat
kebaikan, pasti akan berbuah kebaikan, sebaliknya bagi mereka yang berbuat
jahat, sudah pasti akan tertimpa laknat. Inilah yang dalam kepercayaan manusia
Jawa kadang disebut sebagai Hukum Karma.
12. Percoyo marang Kepribaden Dhewe tan Owah
Gingsir.
Prinsip ini menanamkan keinsyafan bahwa
setiap manusia ini pada dasarnya rapuh dan hatinya berubah-ubah, maka hendaklah
setiap diri kita menyadarinya agar dapat menempatkan diri di hadapan Allah dan
selalu mendapat perlindungan dan rahmat-Nya dalam menjalani hidup dan kehidupan
ini.
SEMAR
VERSI SUNAN KALIJAGA
Pendekatan
ajaran Islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama tokoh punakawan.
Ada yang menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang artinya siap sedia.
Namun ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa Arab Simar
yang berarti paku. Maksudnya adalah seseorang harus memiliki iman yang kuat dan
kokoh laksana paku yang menancap.
Lalu,
ada yang berpendapat, Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan
atau kebagusan. Versi lain meyakini, Nala Gareng diadaptasi dari kata Nala
Qariin. Orang Jawa melafalkanya menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti
memperoleh banyak teman. Seorang Muslim harus pandai mencari banyak teman untuk
diajak menuju jalan kebaikan.
Tokoh
Petruk, yang berasal dari kata fat-ruuk yang berarti tinggalkan, maksudnya
seseorang harus meninggalkan segala sesuatu yang tidak layak disembah kecuali
Allah semata. Tokoh Bagong, yang berasal dari kata Baghaa yang berarti
berontak. Maksudnya seseorang harus memberontak ketika melihat kedzaliman di
hadapannya.
Sedangkan
Dalang, yang berperan sebagai sutradara dibalik semua pertunjukan wayang itu
berasa dari kata dalla yang artinya menunjukkan. Dalam hal ini, seorang Dalang
adalah orang yang menunjukkan kebenaran kepada para penonton wayang.
Dari
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa seni dan kebudayaan bukan musuh dari
agama. Sunan Kalijaga telah membuktikan itu, dengan keberhasilanya dalam
memasukkan unsur ajaran Islam ke dalam tradisi seni dan kebudayaan, sehingga
menjadikan sebuah perpaduan yang apik dan harmonis.
Sunan
Kalijaga memberi pelajaran kepada kita, bahwa untuk membujuk seseorang tidak
harus dengan cara serta merta. Karena jika menyerang pendirian mereka, maka
mereka akan menjauh. Maka ikutilah mereka sambil mempengaruhinya.
Semar
ternyata ciptaan Sunan Kalijaga untuk media dakwah empat karakter jenaka dalam
pewayangan ini merupakan ciptaan Sunan Kalijaga yang awalnya digunakan sebagai
sebuah metode dakwah dalam menyebarkan Islam.
Penggubahan
wayang yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga itu terjadi kira-kira tahun 1443 M.
Para Walisongo bahkan menciptakan gamelannya.
Untuk
memainkan wayang dan gamelannya itu para Wali Songo mengarang cerita yang
bernapaskan nila-nilai keislaman.
Adapun
pelaku cerita dalam pewayangan yang terkenal hingga saat ini adalah cerita
tentang Punakawan Pandawa (empat tokoh jenaka pengiring Ksatria Pandawa Lima)
terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.
Keempat
pelaku yang dimunculkan para Wali Songo ini mengandung falsafah yang amat
dalam, di antaranya sebagai berikut :
1.
Semar,
dari bahasa Arab Simaar yang artinya Paku. Perlambang bahwa kebenaran agama
Islam adalah kokoh, sejahtera bagaikan kokohnya paku yang tertancap yakni
Simaaruddunya. Ada yang menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang
artinya siap sedia. Namun, ada pula yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari
bahasa arab Ismar.
Contohnya seperti :
Ø Istambul dibaca
Setambul.
Ø Ismar berarti
paku. Tak heran, jika tokoh Semar selalu tampil sebagai pengokoh (paku)
terhadap semua kebenaran yang ada.
Ø Ia selalu tampil sebagai penasihat.
2.
Lalu,
ada yang berpendapat, Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan
atau kebagusan. Versi lain meyakini, Nala Gareng diadaptasi dari kata Naala
Qariin. Orang Jawa melafalkannya menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti
memperoleh banyak teman. Hal itu sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru
dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya umat agar kembali ke jalan Allah SWT
dengan sikap arif dan harapan yang baik.
1.
Bagaimana
dengan Petruk.
Ada yang berpendapat, Petruk berasal
dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan. Selain itu, ada juga yang
berpendapat kata Petruk diadaptasi dari kata Fatruk kata pangkal dari sebuah
wejangan (petuah) tasawuf, Fat-ruk kulla maa siwalLaahi (tinggalkan semua apa
pun yang selain Allah).Wejangan itu menjadi watak para aulia dan mubalig pada
waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong, artinya kantong yang
berlubang. Maknanya bahwa setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan
menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya
kantong yang tanpa penghalang, papar tulisan itu.
2. Sedangkan Bagong, diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya lalim atau kejelekan. Pendapat lainnya menyebutkan, Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yakni, berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan.
Seperti
yang sudah kita ketahui jika misi Sunan Kalijaga tidak hanya menyampaikan
ajaran Islam, tetapi juga mendidik manusia agar lebih beradab. Oleh karenanya,
melalui tokoh Semar, Sunan Kalijaga menyampaikan tiga nasihat, yaitu.
1.
Ojo
ngaku pinter yen durung biso nggoleki lupute awake dewe. Arti dari kalimat di
atas adalah Jangan mengaku pintar jika belum bisa mencari kesalahan diri
sendiri. Kebanyakan manusia memang suka menghakimi, merendahkan, menghina
manusia lain tanpa berkaca terlebih dahulu, apakah dirinya sudah sempurna atau
belum? Karena sesungguhnya, jika kita berkaca, introspeksi diri, pasti ada
banyak kesalahan dan kekeliruan yang kita temukan dalam diri kita sendiri.
2.
Ojo
ngaku unggul yen ijeh seneng ngasorake wong liyo.
Nasihat kedua adalah ‘Jangan mengaku
unggul jika masih senang merendahkan orang lain’. Kita bisa lihat sendiri,
berapa banyak orang yang menghina sesama. Enggak usah jauh-jauh deh, dalam
berbagai media sosial kerap kali didapati orang yang menghujat dengan
mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas seolah menganggap bahwa dirinya yang
paling unggul dan hebat. Nah, melalui lakon Semar, Sunan Kalijaga ingin
menyampaikan bahwa setiap manusia itu punya kedudukan sama, tak ada yang lebih
unggul dari yang lain. Di mata Tuhan pun, semua sama, kecuali amal perbuatan
mereka.
3.
Ojo
ngaku suci yen durung biso manunggal ing Gusti.
Nasihat ketiga, masih berkaitan dengan
poin satu dan dua, ‘Jangan mengaku suci jika masih belum bisa menyatu dalam
Gusti’. Sejatinya tak ada memang yang namanya manusia suci. Semua pasti punya
kesalahan dan dosa, bahkan para Nabi sekalipun juga pernah melalukan kesalahan.
Hanya saja, saat khilaf kita bisa kembali kepada sang pencipta dan meminta
ampun atas kesalahan yang sudah kita perbuat.
MANUMAYASYA DALAM KONTEK SEMAR
Manumayasa
dilihat sari sudut pandang penjabaran sifat dan karakter nama Manumayasa.
1.
Orang
yang namanya Manumayasa adalah orang yang berani, cerdas, dan pekerja keras.
2.
Orang
ini juga seorang teman yang setia.
3.
Ia
memberikan banyak nasehat yang baik dan menjadi pasangan yang sangat dapat
diandalkan.
4.
Ketika
terlibat dalam suatu hubungan, ia cenderung memberikan segalanya.
5.
Jika
ada ketidaksesuaian antara nama dan perilaku dalam kepribadian di atas, tentu
itu adalah hal yang wajar.
6.
Sifat
dan karakter di atas kemungkinan adalah menurut studi ahli kepribadian, bisa
jadi benar atau salah.
7.
Nama
Manumayasa memang tidak mencerminkan kualitas pribadinya, namun memiliki nama
yang bagus akan membantu seseorang menjadi lebih percaya diri, dan lebih
bersemangat untuk menjadi pribadi yang positif, serta selalu berusaha agar
hidupnya dapat bermanfaat untuk banyak orang.
8.
Kepribadian
nama Manumayasa dalam numerologi.
Nama Manumayasa mempunyai jumlah angka :
1)
M
= 13
2)
A
= 1
3)
N
= 14
4)
U
= 21
5)
M
= 13
6)
A
= 1
7)
Y
= 25
8)
A
= 1
9)
S
= 19
10)
A
= 1
Jumlah angka untuk nama Manumayasa
adalah 109
Menurut
studi numerologi, nama Manumayasa mempunyai :
1.
Kepribadian
Pemrakarsa.
2.
Pelopor.
3.
Pemimpin.
4.
Bebas.
5.
pekerja
keras.
6.
Individualis
(mandiri).
Nama yang terkait dengan Manumayasa
1.
Abdul
Munim (Pria). Dalam bahasa Islami artinya Dari Asmaul husna, Hamba Allah yang
memberi nikmat.
2.
Amenemhat (Pria). Dalam bahasa Mesir artinya Amun adalah yang
paling utama.
3.
Amenemhet (Pria). Dalam bahasa Mesir artinya (bentuk lain
dari amenemhat) amun adalah yang paling utama.
4.
Eminem
(Pria). Dalam bahasa karakteristik artinya penuh gairah. senang di rumah,
pekerja keras, artistik, memiliki selera yang bagus, tidak dibuat-buat dan
penuh ide, penuh semangat, mudah
beradaptasi, mendambakan keamanan keuangan.
5.
Arti
bahasa lain :
a.
Manami. (Wanita). Dalam bahasa Jepang artinya Cinta dan
kecantikan.
b.
Manami (Wanita). Dalam bahasa Jepang artinya Mencintai
indah.
c.
Manampiring
(Wanita). Dalam bahasa Manado artinya Membuat jalan.
d.
Minami
(Wanita). Dalam bahasa Jepang artinya Cinta dan kecantikan.
e.
Mingmei (Wanita). Dalam bahasa Tionghoa artinya Pintar
lagi cantik.
f.
Mingmei
(Wanita). Dalam bahasa Tionghoa artinya Pintar, cantik.
g.
Manimporok
(Pria). Dalam bahasa Manado artinya Ke puncak.
h.
Manumakalii
(Pria). Dalam bahasa Hawai artinya Burung kecil.
i.
Montmorency
(Pria). Dalam bahasa Sejarah artinya Nama dari periode kebangsawanan normandia,
dari nama sebuah tempat di seine-et-oise. berasal dari bahasa perancis kuno
mont 'bukit' + maurentius (nama gallo-romawi).
Resi
Manumayasa dikenal pula dengan nama Kanumayasa atau Kariyasa. Manumayasa lahir
di Kahyangan Daksinageni (Kahyangannya Bathara Brahma). Ia putra kedua dari
empat bersaudara putra Bathara Parikenan dengan Dewi Bramaneki, yang berarti
cucu buyut Bathara Wisnu dan Bathara Brahma. Adapun ketiga saudaranya yang lain
adalah : Dewi Kanika, Resi Manobawa dan Resi Paridarma.
Manumayasa
turun ke Marcapada dengan tugas memelihara ketentraman dan kesejahteraan umat
manusia. Atas seijin Prabu Basukesti, Raja negara Wirata, Manumayasa mendirikan
padepokan Retawu di gunung Saptaarga. Ia menikah dengan Dewi Kaniraras/Dewi
Retnowati, dan memperoleh tiga orang putra, yaitu :
1.
Bambang
Manudewa.
2.
Bambang
Sakutrem.
3.
Dewi
Sriyati.
Bersama
Sakutrem, Resi Manumayasa menjadi jago Kadewatan membinasakan Prabu
Kalimantara, Arya Dadali dan Arya Sarotama, tiga raksasa dari negara
Nusahantara yang mengamuk di Suralaya karena keinginannya memperistri Dewi
Irimirin ditolak Bathara Guru.
Jasad
ketiga raksasa tersebut berubah wujud menjadi Kitab/Jamus Kalimasada, Panah
Hrudadali dan Panah Sarotama. Sementara Paksi Banarasa yang karena kesalahan
paham menyerang Resi Manumayasa, ikut pula menemui ajalnya dan berubah wujud
menjadi Payung Tunggulnaga. Resi Manumayasa juga mendapat anugrah Dewa berujud
panah sakti bernama Pasopati.
Setelah
usia lanjut, Resi Manumayasa menyerahkan Padepokan Retawu kepada Sakutrem. Ia
kemudian tinggal di pertapaan Paremana (Gunung yang subur), salah satu dari
tujuh puncak gunung Saptaarga. Resi Manumayasa meninggal dalam usia sangat
lanjut. Jenasahnya dimakamkan di Pertapaan Paremana.
Resi
Manumanasa adalah nama seorang tokoh pewayangan yang dikenal sebagai leluhur
para Pandawa. Tokoh ini tidak terdapat dalam naskah Mahabharata karena
merupakan asli ciptaan pujangga Jawa. Ia dianggap sebagai pendiri pertapaan
Saptaarga yang di kemudian hari diwarisi oleh keturunannya yang bernama Resi
Wyasa.
Manumanasa
adalah putra Prabu Parikenan raja Kerajaan Gilingwesi dan Dewi Brahmaneki putri
Kerajaan Wirata. Ia memiliki seorang kakak perempuan bernama Kaniraras, dan dua
orang adik laki-laki bernama Manonbawa dan Paridarma.
Nama
asli Manumanasa sewaktu lahir adalah Raden Kanwa. I
a
kemudian diadopsi oleh Prabu Basupati, kakak ibunya yang menjadi raja Wirata.
Ia dipersaudarakan dengan Basumurti dan Basukesti, putra-putra Basupati.
Kanwa
pernah dijadikan jago para dewa untuk menumpas musuh kahyangan. Sejak itu
namanya diganti manjadi Kaniyasa. Setelah ayahnya terbunuh oleh serangan Prabu
Srikala raja Medangkamulan, ibu dan adik-adiknya pindah pula ke Negeri Wirata,
sementara kakaknya, yaitu Kaniraras telah menikah dengan seorang pembuat pusaka
bernama Empu Kanomayasa.
Rupanya
Kaniyasa tidak tertarik dengan kehidupan istana. Ia memilih membangun pertapaan
di daerah Saptaarga, yaitu sebuah pegunungan yang memiliki tujuh buah puncak.
Di
sana ia menjadi pertapa bernama Manumanasa.
Pada
suatu hari Manumanasa bertemu seseorang bertubuh bulat bernama Janggan
Smarasanta yang sedang dikejar-kejar oleh dua ekor harimau betina, berwarna
merah dan putih.
Manumansa
kemudian memanah kedua binatang tersebut sehingga musnah dan berubah wujud
menjadi dua orang bidadari.
Keduanya
mengaku sebagai putri Batara Hira, masing-masing bernama Kanistri dan
Kaniraras.
Mereka
berterima kasih telah dibebaskan dari kutukan.
Keduanya
pun siap melayani keperluan Manumanasa.
Manumanasa
mengambil Kaniraras sebagai istri.
Karena
kakaknya juga bernama Kaniraras, maka Manumanasa pun mengganti nama istrinya
menjadi Retnawati.
Sementara
itu Kanistri diserahkan kepada Smarasanta dan biasa dipanggil Kanastren.
Sejak
saat itu, Smarasanta mengabdi di Pertapaan Saptaarga.
Namanya
biasa disingkat Semar.
Di
dalam serat Darmo gandul, Manumanasa dikatakan sebagai seorang wiku (Bhikkhu).
Retnawati
akhirnya mengandung putra Manumanasa. Ia mengidam makan buah Sumarwana.
Manumansa berhasil menemukan pohon Sumarwana namun dijaga oleh seorang makhluk
Gandharwa bernama Satrutapa. Satrutapa bersedia menyerahkan buah Sumarwana
asalkan ia diizinkan menitis kepada putra yang dikandung Retnawati.
Manumanasa
setuju.
Satrutapa
pun melesat memasuki kandungan Retnawati.
Ketika
tiba saatnya, Retnawati akhirnya melahirkan seorang putra yang diberi nama
Satrukem.
Beberapa
tahun kemudian ia melahirkan lagi seorang putra bernama Sriati, dan disusul
dengan kelahiran Manumadewa.
Satrukem
kelak menjadi resi mewarisi pertapaan ayahnya, sedangkan Sriati menjadi raja
dan mendirikan Kerajaan Mandaraka.
Sebagaimana
disebutkan di atas, Resi Manumanasa menikah dengan Batari Kaniraras, yang
namanya diganti menjadi Retnawati.
Dari
perkawinan itu lahir tiga orang putra bernama Satrukem, Sriati, dan Manumadewa.
Manumanasa memiliki kakak ipar sekaligus pembantunya, bernama Semar.
Ia
juga memiliki cantrik atau murid berwujud kera putih bernama Supalawa. Supalawa
ini terkenal sakti dan sering menumpas para raksasa yang mencoba mengganggu
pertapaan.
Musuh
besar Manumanasa bernama Resi Dwapara.
Ia
seorang pendeta yang berhati licik, penuh iri dan dengki.
Antara
lain, Dwapara pernah mengadu domba Manumanasa dengan Partawijaya, mertua
cucunya, Sakri. Dalam sebuah adu kesaktian akhirnya Dwapara berhasil ditewaskan
oleh Supalawa.
Manumanasa
merupakan seorang resi suci yang berhasil mencapai moksa. Ia sempat terlebih
dahulu mewariskan Pertapaan Saptaarga kepada Satrukem, putra sulungnya.
Ketika
Manumanasa hendak naik ke kahyangan, ia dihalangi Semar yang mengaku kesepian
jika berpisah dengannya.
Padahal
saat itu Semar sudah didampingi dua orang anak angkat bernama Gareng dan
Petruk.
Manumanasa
pun menjawab bahwa Semar tidak akan kesepian karena bayangannya akan selalu
menyertainya. Seketika itu pula bayangan Semar tercipta menjadi seorang
laki-laki bertubuh bulat yang mirip dengannya.
Manumanasa
memberinya nama Bagong.
Versi
lain menyebut Bagong diciptakan dari bayangan Semar oleh Sang Hyang Tunggal.
Sang
Hyang Girinata, berkehendak akan menjodohkan bidadari Dewi Retnawati dan resi
Manumayasa, Dewi Kanastri dan Janggan Semarasanta. Menyadari bahwasanya Resi
Manumayasa belum berkeinginan akan kimpoi, kedua bidadari diganti perwujudanya
dengan bentuk dua ekor harimau, kepada sang Hyang Narada diserahkan agar segala
kehendak sang Hyang Girinata terlaksana.
Di
tengah hutan belantara, Resi Manumayasa dan Janggan Semarasanta, yang tengah
berkelana, bertemu dengan kedua harimau jadian tersebut, akhirnya harimau dapat
dibunuh, sehilangnya kedua harimau, tampak kedua bidadari tersebut, resi
Manumayasa mengejarnya. Sang Hyang Narada yang merasa berhasil dalam
mempertemukan resi Manumayasa dan Dewi Retnawati, Janggan Semarasanta dan Dewi
Kanastri, segera mendekati sang resi, seraya berkata, , Resi Manumayasa, dan
kau Janggan Semarasanta, sudah takdir dewa, bahwasanya bidadari-bidadari, Dewi
Retnawati menjadi jodoh Manumayasa, dan Dewi Kanastri dengan Semarasanta,
terimalah.
Pada
suatu hari Dewi Retnawati mengajak suaminya Resi Manumayasa, untuk berkelana
mengelilingi wukir Retawu, ditengah-tengah hutan belantara, Sang Dewi melihat
buah Sumarwana, berkeinginan sekali memakannya, kepada sang Resi dimintanya
memetik.
Kocap
kacarito, buah Sumarwana itu milik gandarwa Satrutapa, sesuai dengan sabda dewa
yang diterimanya, hai Satrutapa, jika istrimu menginginkan mempunyai anak,
makanlah buah Sumarwana itu, maka ditungguilah buah Sumarwana itu sampai saat
dapat dipetik dan dimakan.
Mengetahui
bahwasanya buah Sumarwana telah hilang, berkatalah gandarwa Satrutapa kepada
Resi Manumayasa, hai sang resi, jika kelak istrimu melahirkan anak lelaki,
namailah Sakutrem hilanglah gandarwa Satrutapa, bersatu jiwa dengan Dewi
Retnawati
Datanglah
kemudian Prabu Karumba, raja raksasa dari Pringgadani dengan segenap
prajuritnya, untuk menggempur wukir Saptaarga, dan menawan resi Manumayasa,
sesuai perintah pamandanya raja Basumurti, dari Wirata, yang diperkirakan akan
memberontak terhadap kerajaan pamandanya. Prabu Karumba mati oleh resi
Manumayasa, demikian pula semua prajuritnya tewas.
MANUMAYASA RABI
3.
Jejer
Prabu Basu Murti nata ing Wiratha, anuju mios aning sitinggil binatha rata,
ingkang mungging ngarsa ingkang rayi, Raden Basu Kesthi, Patih Jati Kondho,
para punggawa Arya Panurta, Arya Walakas, ginem Sri Nata daat kaweken ing
driya, mireng pawartos bilih putra pulunan , nama Resi Manu Mayasa ing wukir
Sapta Arga araraton, kathah para nata
ing manca praja ingkang sami puruhita, kawarti badhe andaga karaton Wiratha
nedya madeg ratu piyambak.
4.
Raden
Basu Kesthi langkung anduparakaken wartos makaten wau. Anangeng Sri Nata adreng
angyektos aken, lajeng dawuh dateng Patih Jati Kondho, kadawuhan anduta
punggawa salah satunggal dateng Prabu Karomba, nata yaksa ing Pringgondani.Supados
animballana Resi Manu Mayasa, lajeng bibarran.
Manu mayasa
Manu
=manungsa , seseorang
Yasa
= usaha ( membawa ajaran yang dianggap baru )
Artinya : ada orang yang dianggap
mengajarkan islam yang dianggap ajaran baru,
dia kemudian terkenal karena ajaran agamanya tetap berkembang meski
mendapat tantangan yang sangat besar dan dia juga dituduh mendirikan negara
dalam negara.
Gunung Rahtawu Petilasan Para Tokoh Pewayangan
Salah
satu gunung di gugusan gunung di daerah Kota Kudus-Jawa Tengah, mungkin namanya
terdengar asing, khususnya bagi orang dari luar Jawa. Namun, di balik itu tersimpan keindahan budaya tanah Jawa yang teramat kental dan mistik.
Gunung
ini terkenal dengan sebutan Wukir Rahtawu (Puncak 29).
Rahtawu
sebenarnya adalah nama desa di lereng Gunung Muria masuk Kecamatan Gebog itu.
Bagi masyarakat Kudus dikenal banyak menyimpan misteri. Sekitar tiga dasa warsa
yang lalu (lebih 30 tahun-Red), Rahtawu merupakan sebuah desa yang sangat
terisolir. Sebab, belum ada jalan poros desa. Roda empat pun tak bisa menuju ke
desa itu, termasuk angkudes. Satu-satunya jalan adalah lewat jalan setapak.
Pendatang harus rela berjalan kaki sekitar lima kilometer mulai dari Desa Menawan,
dengan tekad gugur gunung, jalan menuju desa tersebut sudah dilebarkan,
sehingga Rahtawu menjadi seperti sekarang ini. Kini, meskipun lokasinya tidak
mudah dicapai, Rahtawu mempunyai daya tarik tersendiri bagi mereka yang suka
melakukan ritual ziarah.
Kawasan
Rahtawu banyak menyimpan petilasan dengan nama-nama tokoh pewayangan leluhur
Pandawa.
Sebut
saja petilasan :
1.
Eyang
Sakri.
2.
Lokajaya.
3.
Pandu.
4.
Palasara.
5.
Abiyoso.
6.
Selain
itu di sana juga ada kawasan yang diberi nama Jonggring Saloka dan Puncak
Songolikur. Petilasan ini banyak menarik minat orang untuk datang berziarah.
Rahtawu
mempunyai arti getih yang bercecer (darah yang bercecer). Menurut mitos, Wukir
Rahtawu merupakan tempat pertapaan Resi Manumayasa sampai kepada Begawan
Abiyoso yang merupakan leluhur Pandawa dan Korawa. Menurut cerita babad dan
parwa, konon leluhur raja-raja Jawa merupakan keturunan dinasti Bharata/para shangyang. Hingga
sekarang banyak sekali tokoh-tokoh pewayangan yang petilasannya masih dirawat oleh penduduk sekitar. Bahkan,
banyak orang–orang dari luar Kudus (Jateng ) yang berdatangan untuk
menikmati suasana pegunungan dan mistik yang ada di gunung tersebut. Tidak salah kalau orang -orang yang suka mistik terutama yang beraliran kejawen,
berdatangan ke gunung Rahtawu, karena memang dari lereng gunung sampai puncak
gunung itu berjajar banyak sekali petilasan–petilasan dari para tokoh pewayangan
yang disucikan dan disebut eyang oleh penduduk sekitar.
Nama–nama
petilasan para tokoh pewayangan yang ada di gunung Wukir Rahtawu, antara lain :
1.
Eyang
Sakri (Bathara Sakri), di Desa Rahtawu.
2.
Eyang
Pikulun Narada dan Bathara Guru, di Joggring Saloko, dukuh Semliro, desa
Rahtawu.
3.
Eyang
Abiyasa dan Eyang Palasara, di puncak gunung Abiyasa, ada juga yang menyebut Sapta
Argo.
4.
Eyang
Manik Manumayasa, Eyang Puntadewa, Eyang Nakula Sadewa di lereng gunung
Songolikur, di puncaknya tempat pertapaan Eyang Sang Hyang Wenang (Wening) dan
sedikit ke bawah pertapaan Eyang Ismaya. Eyang Sakutrem (Satrukem) di sendang
di kaki gunung Sangalikur sebelah timur.
5.
Eyang
Lokajaya (Guru Spiritual Kejawen Sunan Kalijaga, menurut dongeng Lokajaya nama samaran Sunan Kalijaga (sebelum
bertaubat), di Rahtawu.
6.
Eyang
Mada (Gajah Mada) dan Eyang (Romo) Suprapto, berupa makam di dusun Semliro.
Memang
didaerah rahtawu peradaban Hindu, budha
tidak tampak jelas karena tidak ditemukan candi/arca yang sebagai mana
ditemukan di daerah lain yang mempunyai peradaban hindu/budha Yang ada hanyalah
petilasan-petilasan batu datar yang merupakan bekas tempat bersemedinya
para suci. Ada satu lagi yang aneh
dari kebudayaan warga sekitar, meskipun
semua petilasan yang ada di Wukir Rahtawu identik dengan para tokoh Pewayangan (Mahabarata
Hindu), tapi di sana sangat ditabukan untuk mengadakan pagelaran wayang. Konon cerita para penduduk setempat, pernah
ada yang melanggar larangan tersebut, maka datang bencana angin ribut yang
menghancurkan rumah dan dukuh yang
mengadakan pagelaran wayang tersebut.