WEJANGAN PANCAWISAYA
(SASTRA KUNO FILSAFAT PANCAWISAYA / AJARAN PANCAWISAYA)
Wejangan Luhur Semar adalah penjelmaan Bathara Ismaya yang turun ke madyapada untuk menjadi pamong satria agung. Para satria yang berbudi luhur tentu akan mendapat bimbingan langsung dari Kyai Semar, yang sudah tidak samar terhadap segala mobah mosiking jagad raya. Begitu populernya tokoh Semar dalam pewayangan, banyak tokoh pemuka negeri ini yang mengidentifikasikan dirinya sebagai Semar yang dianggap mempunyai kebijakan dan kebajikan. Betapa pun hebatnya sang satria utama, wejangan dari Kyai Semar tetap diharap. Bagi para satria, Semar adalah figur yang waskitha ngerti sadurunge winarah.
Kyai Semar tahu betul peta sosio kultural di Triloka atau tiga dunia yaitu :
1. Dewata.
2. Raksasa.
3. Manusia.
Di benak para satria utama itu, kehadiran Semar diyakini akan mendatangkan kebenaran dan keberuntungan. Jagad gumelar makrokosmos dan jagad gumulung mikrokosmos, keduanya mendapat pengawalan dari Kyai Semar, sang panakawan minulya. Para dewa di Kahyangan takluk total kepada pribadi agung Semar. Bathara Kala beserta bala tentara jin pun terlalu kecil keperkasaannya bila berhadapan dengan Sang Pamomong Agung, Kyai Semar. Dalam buku pakem pewayangan dijelaskan mengenai ajaran Pancawisaya yang berisi tentang refleksi kebijaksanaan hidup. Ketika Arjuna sedang melakukan pengembaraan, dia banyak mengalami kesedihan. Sepeninggal ayahnya almarhum Prabu Pandhu Dewanata, para Pandawa senantiasa mendapat 5 cobaan hidup. Pengembaraan yang dilakukan saudara-saudaranya mendapat anugerah dari dewata. Semar yang telah mengetahui isi hati Arjuna juga ikut prihatin. Sebagai panakawan dia merasa wajib membantu secara fisik dan moral supaya Arjuna lebih ringan beban pikirannya. Semar memberi wejangan dengan ajaran Pancawi- saya.
Dialog antara Semar dengan Arjuna yang membahas ajaran Pancawisaya seperti kutipan di bawah ini :
Premadi : Kakang Badranaya, kapriye mungguh wijange Pancawisaya, kakang, mara pratelakake kang trewaca.
Semar : Ee, terangipun makaten. Panca punika gangsal, wisaya punika bebaya, dados dhasaripun tarak brata punika kedah mangertos dhateng rubedaning bebaya utawi baya pakewed gangsal prakawis.
Wijangipun makaten :
1. Rogarda, tegesipun sakit ingkang sinandhang tumraping badan. Manawi ketaman sakiting badan, angestia temen, trima lan legawa.
2. Sangsaranda tegesipun rekaos ingkang sinandhang tumraping badan. Manawi ketaman rekaosing badan, angestia betah ngampah sarta lembah manah.
3. Wirangharda, tegesipun sakit ingkang sinandhang tumraping manah. Manawi ketaman sakiting penggalih, angestia tata, titi, tatag tuwin ngatos-atos.
4. Cuwarda, tegesipun rekaos ingkang sinandhang tumraping manah. Manawi kataman rekaosing penggalih angestia eneng-ening waspada tuwin enget.
5. Durgarda, tegesipun pakewed ingkang sinandhang tumraping manah. Manawi kataman pakeweding penggalih, angestia ngandel, netel tuwin kumandel dhateng panguwaosipun Sang Hyang Sukma Kawekas. Terjemahan :
Permadi : Kakang Badranaya, bagaimana sesungguhnya Pancawisaya itu, kakang, coba uraikanlah yang jelas.
Semar : Ee, keterangannya demikian. Panca itu lima, wisaya itu penghalang. Jadi, dasar untuk berlaku brata itu harus mengerti terhadap lilitan penghalang atau penghalang yang menjerat lima perkara.
Keterangannya demikian :
1. Rogarda, artinya sakit yang menimpa tubuh. Kalau ditimpa sakit tubuh, berusahalah sungguh-sungguh, menerima dan rela hati.
2. Sangsararda, artinya sengsara yang menimpa tubuh. Kalau ditimpa sengsara badan, berusahalah menahan dan berbesar hati.
3. Wirangharda, artinya sakit yang menimpa hati. Kalau ditimpa sakit hati, berusahalah tata, titi, kokoh pendirian serta berhati-hati.
4. Cuwarda, artinya sengsara yang menimpa hati. Jika ditimpa kesengsaraan hati, berusahalah tenang, waspada serta ingat.
5. Durgarda, artinya hambatan yang menimpa hati. Kalau ditimpa hambatan hati, berusahalah percaya diri dan yakin terhadap kekuasaan Tuhan (Sumasaputra 1953: 34).
Wejangan yang sangat mulia itu mendapat tanggapan positif dari Arjuna. Semua wejangan Samar tadi membuat pikiran dan hati Arjuna menjadi tenang dan tabah dalam melakukan perjuangan hidup. Dalam adegan cerita di atas, tampak sekali peranan Semar yang dilukiskan sebagai tokoh yang bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan dan sangat berwibawa di hadapan Arjuna. Padahal Semar hanyalah seorang panakawan, batur abdi yang derajatnya jauh di bawah Arjuna. Hal ini menunjukan bahwa Semar adalah tokoh yang luwes, bisa berempan papan dan mampu bertindak secara tepat pada situasi apa saja.
Ketika berada di alam kahyangan Semar sangat dihormati, disegani dan diperhitungkan pendapatnya oleh para dewa. Bahkan Bathara Guru sebagai raja dewa sekalipun, terhadap Semar tidaklah berani sembarangan. Setiap kali Bathara Guru melakukan kesalahan yang menyimpang dari prosedur wewenangnya, yang mampu mengingatkan dan meluruskan jalan hidupnya hanyalah Semar. Tokoh wayang lain jarang yang berani mengingatkan apalagi melawan.
Juga permaisuri Bathara Guru yakni Bathari Durga, hanya Semarlah yang mampu mengendalikannnya.
Meskipun di kahyangan Semar tidak memiliki posisi dan jabatan apapun, tetapi berkat pengalaman, kedalaman ilmu, dan kepatuhannya dengan hukum, dan keteguhannya terhadap nilai kebijaksanaan, Semar berwibawa dan di hadapan para dewa yang terkenal mempunyai kekuasaan dan kesaktian yang sangat luar biasa.
Di dunia Marcapada pun Semar selalu menjadi pamong, pendamping dan penasehat para raja serta satria luhur. Prabu Kresna, raja Dwarawati yang dianggap kondang akan kecerdikan dan kebijaksanaan itu terhadap Semar juga berlaku sangat santun. Saran-saran Semar mesti menjadi bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan penting. Juga para Pandawa, Semar dianggapnya sebagai kamus hidup dan pelita yang mampu menerangi sewaktu dirundung kegelapan. Maka dari itu, sudah amat wajar bila ada yang menyebut Semar sebagai kawula pinandhita kawula yang dianggap sebagai pendheta.
Ajaran Pancawisaya yang diajarkan oleh Semar kepada Arjuna yang terdiri dari lima butir tersebut sebenarnya dalam filsafat Jawa bisa dikaitkan dengan simbol bilangan lima dan ungkapan lain yang juga mengandung nilai filosofis dan mistis. Orang Jawa sejak dahulu kala gemar olah jiwa, tidak cuma olah raga saja. Maka tidak mengherankan kalau olah jiwa itu mendapat perhatian lebih tinggi daripada sekedar olah raga. Terbukti ada ungkapan dalam syair lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Di situ jelas jiwa mendapat posisi yang utama. Pengertian tasawuf atau mistik atau suluk adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara bagaimana orang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang khusus dipergunakan untuk mistikisme Islam. Sedangkan suluk adalah suatu istilah yang khusus dipergunakan dalam mistikisme nusantara. Tujuan pokok dan intisari mistik ialah berada di hadirat illahi dan memperoleh hubungan langsung yang disadari dengan Tuhan. Pendek kata sadar akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan. Adapun jalannya dengan cara mengasingkan diri menjadi pertapa dan berkontemplasi semadi. Pada suatu saat orang yang melakukan kesatuan mistik, maka pada waktu itu ia akan mengalami ekstase pingsan atau tak sadarkan diri.
Namun ekstase atau pingsan ini sudah disadari dan diniati dalam suatu proses laku Sri Mulyono, 1989: 27. Dalam dunia pewayangan atau dunia priyayi Jawa, tipe- tipe yang halus biasanya secara moral pun baik. Bagi golongan priyayi khususnya dan orang Jawa umumnya lahiriah yang halus dan batin yang halus setidak- tidaknya merupakan cita-cita mereka. Dalam Lakon Wahyu Makutha Rama, Semar memberi nasehat kepada Arjuna demikian : Para raksasa menika dumadi saking hawa nafsunipun Begawan Kunta Wibisana, ingkang kepingin sanget paduka sampurnakaken supados wangsul dhateng asal kamulanira. Terjemahan : Para raksasa itu tercipta dari hawa nafsu Begawan Kunta Wibisana, yang sangat ingin paduka sempurnakan kembali menjadi ke asal-usulnya Probo Harjono, 1993: 101. Dalam mistik Jawa pada tokoh Semar dapat kita temukan adanya kesadaran orang Jawa, bahwa mereka mempunyai ketergantungan pada yang memberi pengayoman. Semar adalah penjamin adanya keselarasan harmonis alam 9 semesta. Laku tapa dan semadi bilamana dikaitkan dengan Semar akan terjadi suatu pengurangan tekanan, demikian pula kekuatan-kekuatan gaib yang bagaimana pun hebatnya. Dengan demikian dalam dunia mistik Jawa kita menemukan dua jalan untuk melindungi diri dari ancaman kekuatan-kekuatan magis dan adikodrati. Pertama adalah pencarian yang dilakukan sendiri untuk mendapatkan kesaktian, sedang yang kedua adalah di bawah pengayoman Sang Panakawan Agung Kyai Semar. Secara implisit tokoh Semar yang memberi pengayoman itu mempunyai arti ilahi. Bagi orang yang sedang dalam usaha untuk kemajuan mistiknya tentu akan membutuhkan seorang guru dan guru itu ada pada diri Semar. Dan bagi golongan kebatinan mistik, agar tidak tersesat haruslah di bawah pengayoman ilahi atau guru.
Tingkat-tingkat atau jalan panjang yang harus ditempuh oleh manusia yang sedang berusaha menuju ke hadirat ilahi ada 5 lima jalan yaitu :
1. Pertama: syariat atau sembah raga.
2. Kedua: tarekat atau sembah kalbu.
3. Ketiga : hakekat atau sembah jiwa, keempat : makrifat atau sembah rasa.
4. Keempat tingkat itu sudah dilaksanakan dengan sempurna maka sampailah ke tingkat kelima.
5. Tingkat mahabbah atau cinta suci asmarasanta. Ini semua sudah merupakan laku batin. Dalam kehidupan kita sehari-hari yang dilambangkan oleh Semar adalah kesadaran kita paling dalam sejati, yang orang Jawa mengatakan rasa eling.
Rasa eling inilah yang memimpin kita, yang melindungi kita dari godaan dan bencana. Rasa eling atau kesadaran yang paling dalam adalah Semar, pemimpin yang ada pada diri kita masing-masing.
Laku tarekat dan hakekat itu secara teoritis dijelaskan sebagai berikut :
1. Sahid atau asetik atau pertapa, yaitu meninggalkan keduniawian, drajat, pangkat, menyepikan diri dengan tujuan hanya menghendaki ketentraman dan kejernihan jiwa.
2. Tobat, yang dimaksud sufi ialah tobat yang sebenar-benarnya, tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Terkadang tobat itu tak dapat dicapai dengan sekali saja. Diceritakan ada seorang sufi telah melakukan tujuh puluh kali tobat, baru ia mencapai tingkat tobat yang sebenarnya.
3. Wara sentosa yaitu meninggalkan segala hal yang di dalamnya terdapat subhat keragu-raguan tentang halalnya sesuatu. Misalnya seorang sufi akan membatalkan makan, bila ia meragukan makanan itu didapat secara halal atau tidak.
4. Faqr tidak nista yaitu tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban.
5. Sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakan-Nya pada diri kita dan hanya menunggu datangnya pertolongan dari Tuhan, serta sabar dalam menderita.
6. Menyerah kepada qada dan putusan dari Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram. Jika mendapat pemberian berterima kasih, jika tidak mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan kadar dari Tuhan. Tidak memikirkan hari besok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan daripadanya.
7. Percaya kepada janji Allah, menyerah kepada Allah, dengan Allah dan karena Allah. Rida ikhlas tidak berusaha dan tidak menentang qada dan kadar dari Tuhan. Menerima qada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka. Tidak berusaha sebelum turunnya qada dan kadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya qada dan kadar, malahan perasaan cinta bergelora di waktu turunnya percobaan-percobaan Harun Nasution, 1974: 25.
Setelah orang dapat melaksanakan tingkat-tingkat tarekat dan hakekat tersebut di atas secara sempurna, maka barulah manusia sampai ke tingkat.
Marifat yaitu arif-wicaksana, sudah dapat menerima dan mengetahui pengetahuan Illahi Jnanabhadra sinar pengetahuan, dan kemudian sampai ke tingkat. Mahabbah, yaitu cinta kasih suci asmarasanta sebagai sarana menerima Asmarasanta-Nya dan bersatu dengan-Nya. Al-fana dan Al-baqa, atau mati raga, yaitu menghilangkan sifat manusia al fana dan al nafs (the passing away of his phenomenal existence atau mati jroning urip). Karena kemauan yang keras dan suci, maka hijab dibuka olehNya dan dengan mata hati sanubari bertemu dengan Tuhan dan melihat Ia pada wajah-Nya sebagai cahaya buana yang gelap matahari dan yang terakhir. Ittihadmystical union manunggal dan berdialog. Tingkat- tingkat dalam tasawuf tersebut di atas kiranya tidaklah jauh berbeda dengan dengan yang dipaparkan secara simbolis dalam Lakon Dewaruci.
Sarana Menyampaikan Kebijaksanaan Tokoh Panakawan diciptakan oleh para pujangga Jawa sebagai sarana untuk menyampaikan kebijaksanaan hidup. Pertunjukan bayang-bayang di Jawa yang kemudian disebut wayang adalah ciptaan asli orang Indonesia di Jawa.
Demikian pula dengan tokoh Semar bukan merupakan imitasi dari India, adalah berdasarkan kata-kata yang terdapat pada prasasti-prasasati ataupun karya-karya sastra kuna seperti : abanyol, haringgit, hanabanwal atau pukana ringgit. Juga dalam kitab Pararaton terdapat kalimat …lamun hawayang banyol sira gasak ketawang. Jadi nyata bahwa kata-kata wayang dan banyol sudah ada sebelum zaman Majapahit Hazeu, 1897: 16. Para tokoh panakawan tersebut sangat kuna dan tak dapat diterangkan artinya, bahkan penggambaran boneka-boneka wayangnya pun mempunyai tipe yang sangat berlainan dengan penggambaran di India. Semar beserta anak- anaknya selain sebagai pamong juga sebagai penasehat dan pelindung bagi keturunan satria Pandawa, bahkan sanggup terbang ke kahyangan tempat para dewa bertahta. Setelah Hazeu dapat mempertahankan tesisnya, maka sarjana- sarjana Barat lainnya antara lain : Van Stein Callenfels, W.H. Rassers, Pigeaud dan Kats bersepakat serta bersependapat bahwa Semar benar-benar ciptaan asli orang India Jawa dan bukan berasal atau imitasi dari India, meskipun kemudian timbul polemik dan pendapat-pendapat yang berlainan atau simpang siur, bahkan membingungkan, namun akhirnya menjadi suatu tokoh kesayangan mitologis religius Nusantara dan merupakan suatu konsepsi yang mempunyai nilai filsafat keagamaan cukup menarik untuk diperhatikan dan dipelajari secara seksama.
Di antara peninggalan benda-benda purbakala yang disimpan di desa Kaliwedi, Arjawinangun, Cirebon, terdapat dua buah boneka wayang yang dibungkus dengan beberapa helai kain putih. Salah satu di antara boneka-boneka wayang tersebut dikenal sebagai Semar, sedang yang lainnya merupakan seorang panakawan. Kedua boneka wayang tersebut dipergunakan untuk tradisi adat di desa Kaliwedi dl upacara dimulainya penanaman padi disawah. Dalam upacara tersebut, sang juru kunci memegang kedua wayang pada cempuritnya, kemudian dicelupkannya ke dalam air yang ditasbihkan. Dengan air yang telah ditasbihkan itulah para petani dari seluruh pelosok desa Kaliwedi membawanya ke sawah untuk penyuburan penanaman padinya. Apabila sang juru kunci melihat ada tangan wayang yang lepas dari badan wayang, hal itu merupakan pertanda bahwa panennya akan mengalami kegagalan atau desa tempat tinggal mereka akan terserang wabah. Di sini Semar telah menjalankan fungsinya sebagai Dewa Kesuburan di daerah Kaliwedi, Jawa Barat.
Konon menurut kepercayaan mereka, tangan wayang yang lepas itu akan melekat kembali pada badannya seperti semula. Tasawuf dan mistik Jawa akan mengantarkan seseorang untuk dapat membaca tanda-tanda jaman. Orang akan dapat mengetahui sangkan paraning dumadi untuk menuju pada kasampurnaning urip. Kata berjenjang yang menunjukkan adanya sebuah harapan sering digunakan dalam kalimat puja puji berikut : sedaya kawibawan, kamulyan, kabagyan lan karaharjan mugi kasarira ing ngarsa panjenengan sami. Kalimat tersebut mengandung unsur kanugrahan dari Tuhan. Makin banyak marifat gnosis dan mahabbah ilmu batin yang diterimanya dari Tuhan, makin banyak pula diketahuinya mengenai rahasia-rahasia Tuhan dan ia pun makin dekat dengan Tuhan. Tetapi karena manusia itu serba terbatas, maka pengetahuan batinnya pun terbatas pula. Menurut Al Gazali 1982: 27 marifat sama dengan mengetahui rahasia Tuhan tentang segala yang ada. Dan orang yang telah mencapai tingkat marifat ini menjadi arif-wicaksana dapat mengetahui sebelumnya segala yang akan terjadi, dan apa yang baik untuk diperbuatnya. Pendek kata tidak akan pernah khilaf lagi. Ilmu marifat dan mahabbah adalah ujung akhir dari perjalanan dan setinggi-tingginya yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Ilmu tersebut adalah tinggi dari pengetahuan yang dapat diperoleh oleh akal. Menurut Imam Gazali 1982: 56, ilmu sejati atau makrifat ini memang bukan semata didapat dengan akal, tetapi dengan batinnya batin. Sedang orang awam menyebutnya, ilmu kebatinan.
Dalam Lakon Semar Boyong, terdapat butir-butir kearifan lokal yang diwejangkan oleh Kyai Semar : Sayektosipun kenging kinarya cihna manunggaling kawula lawan gusti, pamong kaliyan ingkang kedah dipun mong kanthi manunggal kasebut badhe ageng dayanipun, wewangunan pambanguning nagari saya badhe lancar. Lan badhe langkung raket supeket manunggaling kawula gusti, kanthi sesanti hayu rahayu ingkang tinemu, ayem tentrem adil lan makmur. Terjemahan: Sesungguhnya dapat dijadikan contoh sebagai bentuk manunggaling kawula lawan gusti, antara pemimpin dengan rakyat. Dengan manunggal tersebut akan besar daya kekuatannya, pembangunan negeri akan semakin lancar. Semakin kuat persatuan manunggaling kawula gusti, dengan semboyan selamat, tentram adil dan makmur Dwijo Carito, 2000: 13. Sedangkan menurut Abdul Munir Mulkhan 2003: 76 legenda dan mitos yang hidup di dalam masyarakat sering merupakan sistem pengaturan yang bersifat laten yang terus mengontrol perilaku empiris anggota masyarakat bersangkutan. Dalam tradisi Jawa, Semar bukan saja okoh dalam dunia wayang tetapi juga merupakan legenda dan mitos politik. Dalam legenda pewayangan tersebut, Semar dikenal sebagai tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan harismatik sekaligus rasional. Selain itu ia juga menyimpan sumber daya kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayan atau kasekten dan kekuatan spiritual yang luar biasa. Walaupun demikian, tampilan empiris Semar sama sekali tidak menggambarkan citra kekuasaan yang luar biasa hebat, tetapi dalam wajah santun yang terkesan rural. Walaupun demikian, semua orang-orang besar pewayangan mengetahui dan paham terhadap kekuatan sang Semar, sehingga para dewa harusberpikir beberapa kali ketika sang Semar menempatkan diri dalam posisi oposan. Kadigdayan dan kekuatan fisik sang Semar baru dapat dipergunakan untuk membela mereka yang sengsara dan diperlakukan tidak adil. Karena itu tokoh yang satu ini biasanya baru tampil ke panggung politik ketika dunia sosial-politik sedang mengalami kekacauan dan jalan buntu.
Unsur-Unsur Kebatinan Jawa Kebatinan mengandung 4 unsur penting, yaitu :
1. Budipekerti luhur.
2. Amal saleh.
3. Moral.
4. Akhlak atau atau filsafat tingkah laku.
Sangkan paraning dumadi atau filsafat tentang Ada kawruh Hono, The Philosophy of Being, the Science of Being atau Ontology. Ilmu gaib atau Jaya kawijayan atau kanuragan atau Okultisme. Manunggaling kawula Gusti atau mistikisme atau tasawuf. 16 Definisi secara sosiologis tersebut ternyata diterima oleh para sarjana dan para ahli. Namun dalam prakteknya tentu pemisahan unsur tersebut di atas tidak tajam dan belum tentu semua unsur dimiliki oleb seorang. Ada golongan yang lebih mementingkan metafisika berdasarkan pemikiran filosofis, ada pula orang yang khusus mementingkan jaya kawijayan atau okultisme agar supaya menjadi sakti, kebal dan sebagainya.
Namun sebaliknya ada sebagian golongan yang menolak ilmu gaib tersebut. Di samping itu ada juga yang terlalu memusatkan pada masalah mistik dan berusaha sedapat mungkin untuk bertemu dan bersatu dengan Tuhan. Menurut Mukti Ali 1976 : 16 dalam pandangannya mengenai kebatinan menyatakan, bahwa ada lima sifat kebatinan yaitu: Pertama: bersifat batin, yaitu suatu sifat yang dipergunakan sebagai keunggulan terhadap kekuatan lahir, peraturan dan hukum yang diharuskan dari luar oleh pendapat umum. Orang kebatinan meremehkan segala penilaian duniawi yang seringkali mementingkan kedudukan dan peranan manusia yang sebenarnya tidak berarti. Orang kebatinan berusaha menembus dinding alam pancaindra untuk bersemayam pada azas terakhir daripada kepribadiannya yaitu roh. Dengan pengertian kebatinan itu pada umumnya ditunjukkan segala usaha dan gerakan untuk merealisir daya batin manusia. Kedua: bersifat subyektif yaitu mementingkan rasa atau pengalaman rohani. Mungkin timbulnya sifat ini disebabkan oleh suatu reaksi terhadap tradisi kehidupan agama di negeri kita, karena orang-orang kebatinan tidak dapat memahami ajaran-ajaran agama yang mereka dengar. Mereka tidak melihat kegunaan mentaati peraturan yang ditentukan agama, maupun kegunaan iman kepada wahyu yang disampaikan lewat orang dan sebagainya. Terhadap reaksi semua itu mereka melatih diri untuk menyiapkan manusia menerima wahyu sendiri, mendengar suara di dalam hati, melukiskan rasa tentram dan puas. Tuntutan zaman modern yang kini semakin mengasingkan fungsi rasa perasaan, merupakan daya tarik gerakan kebatinan. Sifat ketiga adalah sifat keaslian, yang merupakan ciri khas dari aliran kebatinan. Menghadapi pengasingan gejala pengasingan di atas, bangkitlah hasrat orang untuk memperkembangkan keasliannya. Tetapi ancaman pengasingan menempuh berbagai bidang dan kawasan hidup, termasuk bidang mental, pemikiran, kelakuan, bahasa, daerah, bahkan juga kesukuan. Itulah sebabnya di dalam melawan Indonesianisasi, kebatinan mengutamakan bahasa dan tradisi suku. Sejumlah aliran yang ada, kini berpredikat Jawa asli, Sunda asli dan sebagainya. Untuk melawan Internasionalisasi, mereka mengutamakan gaya hidup dan kesopanan Timur. Sedangkan untuk melawan ibadah agama dalam bahasa, simbol dan sikap badan yang asing, mereka mengutamakan ungkapan gaya asli. Sebab ungkapan ini dirasakan lebih mesra dan mengena bagi mereka. Sifat keempat ialah hubungan erat antara para warganya. Mereka bersatu karena merupakan suatu paguyuban. Hal-hal semacam ini terutama didapati di tengah-tengah masyarakat asli di desa, di mana setiap perorangan dilindungi atau diayomi oleh kelompok. Dengan pesatnya urbanisasi ke kota-kota, timbul gejala terbongkar akar yang mendorong mereka mencari kompensasi dalam suasana buatan yang mirip dengan suasana di desa. Maka tidaklah mengherankan, apabila geografi kebatinan menunjukkan kota sebagai tempat bersemayamnya aliran-aliran baru yang paling laku. Dan selama belum diketemukan suatu paguyuban sosial otentik, arus kebatinan agaknya tidak akan terhenti. Sifat kelima dari kebatinan ini adalah faktor akhlak sosial atau budi luhur. Dengan seringnya, terdengar berita demoralisasi, kemerosotan akhlak, korupsi dan sebagainya, seolah-olah nilai moral dan kaidah etik tidak lagi diindahkan oleh manusia. Hal ini menimbulkan protes dalam kalangan kebatinan. Oleh sebab itu mereka serukan, agar manusia kembali melangkah pada kesusilaan yang asli, pada kesederhanaan nenek moyang dengan semboyan budi luhur dan sepi ing pamrih. Selain itu disebarkan suatu ajaran, bahwa tujuan hidup tidak dicapai melalui jalan rasionil, melainkan melalui jalan supra rasionil dengan cara gaib daripada usaha mistik.
Abdul Munir Mulkhan 2003: 68 mengatakan begitu populernya tokoh Semar dalam dunia orang Jawa, sehingga tokoh ini berada dalam mitologi kekuasaan dan kesadaran politik Jawa. Tokoh yang satu ini memiliki posisi khusus dalam struktur kepribadian Jawa sebagai simbol yang melukiskan bukan saja sebuah kebijakan tetapi juga simbol orang bijak. Ia memiliki akses terhadap sebuah pusat pemerintahan, namun juga dekat dan dihormati oleh rakyat kebanyakan. Semar berteman akrab dengan seluruh imperium di dalam kekuasaan duniawi dan juga dengan pusat kekuasaan teologis para dewata di kahyangan jongring saloka. Hubungan etik kekuasaan duniawi sosiologis dan kekuasaan teologis para dewata menempatkan Semar pada paradigma kemanusiaan dalam struktur budaya Jawa. la tidak sekadar personifikasi dewata dan mediator jagat manusia dan jagat dewata, tetapi juga penjaga keseimbangan hubungan kekuasaan di antara manusia dengan para dewata. Dunia Semar memang dunia mitos, namun ia menjadi penting ketika dunia sosial dan dunia politis sedang mengalami situasi krisis. Masih dalam mitos di atas, ketika situasi sosial, ekonomi dan politik jagat kehidupan manusia mulai ditimpa kekacauan, tokoh Semar akan muncul secara tiba-tiba. Pemunculan Semar yang wujud fisiknya bisa dalam berbagai ragam, mencerminkan sedang terjadinya kemelut politik dan ekonomi yang gagal diatasi oleh manusia. Hadirnya sang Semar akan berarti kekacauan itu segera akan berakhir pada saat sang Semar mengoperasikan kadigdayan yang dimilikinya, sehingga mempengaruhi pengambilan keputusan di pusat kekuasaan para dewata mitos semacam Semar dimiliki hampir semua etnik, sub-etnik dan juga semua bangsa. Karena itu, Semar bukanlah simbol kekuasaan yang hanya ada dalam kesadaran budaya dan sosial-politik sistem kehidupan jawa, tapi juga bersifat universal. Persoalannya adalah bagaimana mitos itu menjadi sebuah kesadaran budaya dan politik sebagai referensi seluruh dinamika kekuasaan dalam kehidupan sebuah bangsa. Semar adalah panakawan yang misterius, selain sebagai pamong juga sebagai pengayom.
Semar atau Juru Dyah Prasanta pertama kali dikenal dari Kitab Gathutkaca Sraya, karangan Empu Panuluh sebagai seorang abdi yang bertugas menghibur bendara. Kemudian tokoh Semar dikembangkan oleh seniman pendukungnya menjadi begitu beragam hingga menjadi sebuah mitos. Misalnya ada saja masyarakat Banyumas dan sekitarnya yang menganggap Semar masih hidup dan bertahta di Gunung Srandil. Mereka percaya dan ngalap berkah dari Kyai Semar.
Berbagai versi tentang Semar termuat dalam Serat Manikmaya tulisan Karta Musadah, seorang carik di Kraton Kartasura, dan Serat Paramayoga, karya R. Ng. Ranggawarsita, serta Kitab Pustaka Raja Purwa. Ketiganya menguraikan bahwa Semar sebenarnya adalah Sang Hyang Ismaya, anak Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang Tunggal adalah putra Sang Hyang Wenang, raja dewa di Gunung Mahameru. Dari pernikahannya dengan Batari Dremani, Sang Hyang Tunggal memiliki tiga putra, masing-masing bernama Sang Hyang Antaga, Sang Hyang Ismaya, dan si bungsu Sang Hyang Manikmaya. Sesuai dzat-nya sebagai dewa, Sang Antaga bersinar putih, Sang Hyang Ismaya bersinar hitam, dan Sang Hyang Manikmaya bersinar kuning. Ketiga putra ini ditugasi ramandanya, Sang Hyang Tunggal, untuk membangun peradaban di dunia dengan tugas yang berlainan. Sang Hyang Antaga bertugas mengasuh kaum asura yaitu para danawa, yaksa, dan raksasa. Sang Ismaya ditugasi mengasuh manusia, terutama kaum satria utama, dan Sang Manikmaya menjadi raja dari dewa-dewi. Dari penugasan tersebut Batara Manikmaya dianggap paling beruntung sehingga menimbulkan iri Sang Antaga dan Ismaya. Iri hati kedua kakak beradik itu lantas menjadi perkelahian yang dahsyat. Hyang Tunggal melerai dengan membuat sayembara: barang siapa di antara ketiga bersaudara itu mampu menelan gunung Mahameru dan mampu memuntahkannya kembali, dialah yang patut menjadi raja para dewa.
Akhirnya, Manikmaya memenangkan sayembara itu, sedang Sang Antaga dan Ismaya mampu menelan namun tidak mampu memuntahkan kembali sehingga menyebabkan parasnya rusak, tubuhnya menjadi tambun, dan buruk rupa. Dari peristiwa itu, Antaga dan Ismaya dapat memetik hikmah bahwa keberuntungan hidup tidak diukur dari enak dan tingginya status kehidupan duniawi, namun terletak dari keberhasilan dalam melaksanakan tugas. Menyadari hal tersebut, Ismaya dengan tulus ikhlas menjadi pamomong satria utama keturunan Saptaharga, sejak Begawan Manumayasa hingga anak keturunannya Solichin, 2010: 258.
Unsur-unsur kebatinan di atas merupakan sarana agar manusia mencapai rasa jati jati rasa. Rasa jati dalam bahasa tasawuf adalah pencapaian pada maqam makrifat, yaitu pribadi yang benar-benar tahu kesejatian hidup.
MENELADANI JIWA PENGABDIAN PUNOKAWAN
Semar yang telah mengetahui isi hati Arjuna juga ikut prihatin. Sebagai panakawan dia merasa wajib membantu secara fisik dan moral supaya Arjuna lebih ringan beban pikirannya. Semar memberi wejangan dengan ajaran Pancawisaya.
Dialog antara Semar dengan Arjuna yang membahas
ajaran Pancawisaya seperti kutipan di bawah ini :
Permadi : Kakang Badranaya, kapriye mungguh wijange Pancawisaya, kakang, mara pratelakake kang trewaca.
Semar : Ee, terangipun makaten. Panca punika gangsal, wisaya punika bebaya, dados dhasaripun tarak brata punika kedah mangertos dhateng rubedaning bebaya utawi baya pakewed gangsal prakawis. Wijangipun makaten. Rogarda, tegesipun sakit ingkang sinandhang tumraping badan. Manawi ketaman sakiting badan, angestia temen, trima lan legawa. Sangsaranda tegesipun rekaos ingkang sinandhang tumraping badan. Manawi ketaman rekaosing badan, angestia betah ngampah sarta lembah manah. Wirangharda, tegesipun sakit ingkang sinandhang tumraping manah. Manawi ketaman sakiting penggalih, angestia tata, titi, tatag tuwin ngatos-atos. Cuwarda, tegesipun rekaos ingkang sinandhang tumraping manah. Manawi kataman rekaosing penggalih angestia eneng-ening waspada tuwin enget. Durgarda, tegesipun pakewed ingkang sinandhang tumraping manah. Manawi kataman pakeweding penggalih, angestia ngandel, netel tuwin kumandel dhateng panguwaosipun Sang Hyang Sukma Kawekas.
Terjemahan :
Permadi : Kakang Badranaya, bagaimana sesungguhnya Pancawisaya itu, kakang, coba uraikanlah yang jelas.
Semar : Ee, keterangannya demikian. Panca itu lima, wisaya itu penghalang. Jadi, dasar untuk berlaku brata itu harus mengerti terhadap lilitan penghalang atau penghalang yang menjerat lima perkara. Keterangannya demikian: Rogarda, artinya sakit yang menimpa tubuh. Kalau ditimpa sakit tubuh, berusahalah sungguh-sungguh, menerima dan rela hati. Sangsararda, artinya sengsara yang menimpa tubuh. Kalau ditimpa sengsara badan, berusahalah menahan dan berbesar hati. Wirangharda, artinya sakit yang menimpa hati. Kalau ditimpa sakit hati, berusahalah tata, titi, kokoh pendirian serta berhati-hati. Cuwarda, artinya sengsara yang menimpa hati. Jika ditimpa kesengsaraan hati, berusahalah tenang, waspada serta ingat. Durgarda, artinya hambatan yang menimpa hati. Kalau ditimpa hambatan hati, berusahalah percaya diri dan yakin terhadap kekuasaan Tuhan.
Wejangan yang sangat mulia itu mendapat tanggapan positif dari Arjuna. Semua wejangan Semar tadi membuat pikiran dan hati Arjuna menjadi tenang dan tabah dalam melakukan perjuangan hidup. Dalam adegan cerita di atas, tampak sekali peranan Semar yang dilukiskan sebagai tokoh yang bijaksana, menguasai ilmu pengetahuan dan sangat berwibawa di hadapan Arjuna. Padahal Semar hanyalah seorang panakawan, batur (abdi) yang derajatnya jauh di bawah Arjuna.
Hal ini menunjukan bahwa Semar adalah tokoh yang luwes, bisa berempan papan dan mampu bertindak secara tepat pada situasi apa saja. Ketika berada di alam kahyangan Semar sangat dihormati, disegani dan diperhitungkan pendapatnya oleh para dewa. Bahkan Bathara Guru sebagai raja dewa sekalipun, terhadap Semar tidaklah berani sembarangan. Setiap kali Bathara Guru melakukan kesalahan yang menyimpang dari prosedur wewenangnya, yang mampu mengingatkan dan meluruskan jalan hidupnya hanyalah Semar. Tokoh wayang lain jarang yang berani mengingatkan apalagi melawan. Juga permaisuri Bathara Guru yakni Bathari Durga, hanya Semarlah yang mampu mengendalikannya.
Meskipun di kahyangan Semar tidak memiliki posisi dan jabatan apapun, tetapi berkat pengalaman, kedalaman ilmu, dan kepatuhannya dengan hukum, dan keteguhannya terhadap nilai kebijaksanaan, Semar berwibawa dan di hadapan para dewa yang terkenal mempunyai kekuasaan dan kesaktian yang sangat luar biasa. Di dunia Marcapada pun Semar selalu menjadi pamong, pendamping dan penasehat para raja serta satria luhur. Prabu Kresna, raja Dwarawati yang dianggap kondang akan kecerdikan dan kebijaksanaan itu terhadap Semar juga berlaku sangat santun. Saran-saran Semar mesti menjadi bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan penting. Juga para Pandawa, Semar dianggapnya sebagai kamus hidup dan pelita yang mampu menerangi sewaktu dirundung kegelapan.
Maka dari itu, sudah amat wajar bila ada yang menyebut Semar sebagai kawula pinandhita (kawula yang dianggap sebagai pendheta). Ajaran Pancawisaya yang diajarkan oleh Semar kepada Arjuna yang terdiri dari lima butir tersebut sebenarnya dalam filsafat Jawa bisa dikaitkan dengan simbol bilangan lima dan ungkapan lain yang juga mengandung nilai filosofis dan mistis.
Orang Jawa sejak dahulu kala gemar olah jiwa, tidak cuma olah raga saja. Maka tidak mengherankan kalau olah jiwa itu mendapat perhatian lebih tinggi daripada sekedar olah raga. Terbukti ada ungkapan dalam syair lagu kebangsaan Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya. Di situ jelas jiwa mendapat posisi yang utama. Pada suatu saat orang yang melakukan kesatuan mistik, maka pada waktu itu ia akan mengalami ekstase (pingsan atau tak sadarkan diri). Namun ekstase atau pingsan ini sudah disadari dan diniati dalam suatu proses laku (Sri Mulyono, 1989: 27).
Menurut Haryanto (1992: 18) dalam dunia pewayangan atau dunia priyayi Jawa, tipe-tipe yang halus biasanya secara moral pun baik. Bagi golongan priyayi khususnya dan orang Jawa umumnya lahiriah yang halus dan batin yang halus setidak-tidaknya merupakan cita-cita mereka. Dalam Lakon Wahyu Makutha Rama, Semar memberi nasehat kepada Arjuna demikian:
Para raksasa menika dumadi saking hawa nafsunipun Begawan Kunta Wibisana, ingkang kepingin sanget paduka sampurna-kaken supados wangsul dhateng asal kamulanira.
Terjemahan :
Para raksasa itu tercipta dari hawa nafsu Begawan Kunta Wibisana, yang sangat ingin paduka sempurnakan kembali menjadi ke asal-usulnya (Probo Harjono, 1993: 101).
MEMBENTUK KESADARAN
Dalam mistik Jawa pada tokoh Semar dapat kita temukan adanya kesadaran orang Jawa, bahwa mereka mempunyai ketergantungan pada yang memberi pengayoman. Semar adalah penjamin adanya keselarasan harmonis alam semesta. Laku tapa dan semadi bilamana dikaitkan dengan
Semar akan terjadi suatu pengurangan tekanan, demikian pula kekuatan-kekuatan gaib yang bagaimana pun hebatnya.
Dengan demikian dalam dunia mistik Jawa kita menemukan dua jalan untuk melindungi diri dari ancaman kekuatan-kekuatan magis dan adikodrati. Pertama adalah pencarian yang dilakukan sendiri untuk mendapatkan kesaktian, sedang yang kedua adalah di bawah pengayoman Sang Panakawan Agung Kyai Semar.
LAKU BIJAKSANA
Tokoh Panakawan diciptakan oleh para pujangga Jawa sebagai sarana untuk menyampaikan kebijaksanaan hidup. Pertunjukan bayang-bayang di Jawa yang kemudian disebut wayang adalah ciptaan asli orang Indonesia di Jawa. Demikian pula dengan tokoh Semar bukan merupakan imitasi dari India, adalah berdasarkan kata-kata yang terdapat pada prasasti-prasasti ataupun karya-karya sastra kuna seperti: abanyol, haringgit, hanabanwal atau pukana ringgit. Juga dalam kitab Pararaton (± 1222 zaman Kediri-Singasari) terdapat kalimat … lamun hawayang banyol sira gasak ketawang. Jadi nyata bahwa kata-kata wayang dan banyol sudah ada sebelum zaman Majapahit.
Para tokoh panakawan tersebut sangat kuna dan tak dapat diterangkan artinya, bahkan penggambaran boneka-boneka wayangnya pun mempunyai tipe yang sangat berlainan dengan penggambaran di India. Semar beserta anak-anaknya selain sebagai pamong juga sebagai penasehat dan pelindung bagi keturunan satria Pandawa, bahkan sanggup terbang ke kahyangan tempat para dewa bertahta. Sarjana-sarjana Barat antara lain: Van Stein Callenfels, W.H. Rassers, Pigeaud dan Kats bersepakat serta sependapat bahwa Semar benar-benar ciptaan asli orang Indonesia (Jawa) dan bukan berasal atau imitasi dari India, meskipun kemudian timbul polemik dan pendapat-pendapat yang berlainan atau simpang siur, bahkan membingungkan, namun akhirnya menjadi suatu tokoh kesayangan mitologis religius Nusantara dan merupakan suatu konsepsi yang mempunyai nilai filsafat keagamaan cukup menarik untuk diperhatikan dan dipelajari secara seksama.
Kata berjenjang yang menunjukkan adanya sebuah harapan sering digunakan dalam kalimat puja puji berikut: sedaya kawibawan, kamulyan, kabagyan lan karaharjan mugi kasarira ing ngarsa panjenengan sami. Dalam Lakon Semar Boyong, terdapat butir-butir kearifan lokal yang diwejangkan oleh Kyai Semar:
Sayektosipun kenging kinarya cihna manunggaling kawula lawan gusti, pamong kaliyan ingkang kedah dipun mong kanthi manunggal kasebut badhe ageng dayanipun, wewangunan pambanguning nagari saya badhe lancar. Lan badhe langkung raket supeket manunggaling kawula gusti, kanthi sesanti hayu rahayu ingkang tinemu, ayem tentrem adil lan makmur.
Terjemahan :
Sesungguhnya dapat dijadikan contoh sebagai bentuk manunggaling kawula lawan gusti, antara pemimpin dengan rakyat. Dengan manunggal tersebut akan besar daya kekuatannya, pembangunan negeri akan semakin lancar. Semakin kuat persatuan manunggaling kawula gusti, dengan semboyan selamat, tentram adil dan makmur (Dwijo Carito, 2000: 13).
Sedangkan menurut Abdul Munir Mulkhan (2003: 76) legenda dan mitos yang hidup di dalam masyarakat sering merupakan sistem pengaturan yang bersifat laten yang terus mengontrol perilaku empiris anggota masyarakat bersangkutan. Dalam tradisi Jawa, Semar bukan saja tokoh dalam dunia wayang tetapi juga merupakan legenda dan mitos politik. Dalam legenda pewayangan tersebut, Semar dikenal sebagai tokoh yang menyimpan sumber kepemimpinan kharismatik sekaligus rasional. Selain itu ia juga menyimpan sumber daya kekuatan fisik yang dikenal dalam idiom Jawa sebagai kadigdayan atau kasekten dan kekuatan spiritual yang luar biasa. Walaupun demikian, tampilan empiris Semar sama sekali tidak menggambarkan citra kekuasaan yang luar biasa hebat, tetapi dalam wajah santun yang terkesan rural.
MEMPERHATIKAN KESUSILAAN
Menurut Jayadiguna (1958: 43) kebatinan itu mengandung 4 unsur penting, yaitu :
1. Budipekerti luhur.
2. Amal saleh.
3. Moral.
4. Akhlak atau filsafat tingkah laku.
Sangkan paraning dumadi atau filsafat tentang Ada (kawruh Hono, he Philosophy of Being, the Science of Being atau Ontology). Ilmu gaib atau Jaya kawijayan atau kanuragan atau Okultisme. Manunggaling kawula Gusti atau mistikisme atau tasawuf.
Menurut Mukti Ali (1978: 16) dalam pandangannya mengenai kebatinan menyatakan, bahwa ada lima sifat kebatinan yaitu :
1. Pertama, bersifat batin, yaitu suatu sifat yang dipergunakan sebagai keunggulan terhadap kekuatan ahir, peraturan dan hukum yang diharuskan dari luar oleh pendapat umum. Orang kebatinan meremehkan segala penilaian duniawi yang seringkali mementingkan kedudukan dan peranan manusia yang sebenarnya tidak berarti.
2. Kedua: bersifat subyektif yaitu mementingkan rasa atau pengalaman rohani. Mungkin timbulnya sifat ini disebabkan oleh suatu reaksi terhadap tradisi kehidupan agama di negeri kita, karena orang-orang kebatinan tidak dapat memahami ajaran-ajaran agama yang mereka dengar.
3. Sifat ketiga adalah sifat keaslian, yang merupakan ciri khas dari aliran kebatinan. Menghadapi pengasingan (gejala pengasingan) di atas, bangkitlah hasrat orang untuk memperkembangkan keasliannya.
4. Sifat keempat ialah hubungan erat antara para warganya. Mereka bersatu karena merupakan suatu paguyuban. Kesatuan ini diwujudkan pada beberapa tingkat.
5. Sifat kelima dari kebatinan ini menurut Mukti Ali adalah faktor akhlak sosial atau budi luhur. Dengan seringnya terdengar berita demoralisasi, kemerosotan akhlak, korupsi dan sebagainya, seolah-olah nilai moral dan kaidah etik tidak lagi diindahkan oleh manusia.
Abdul Munir Mulkhan (2003: 68) mengatakan begitu populernya tokoh Semar dalam dunia orang Jawa, sehingga tokoh ini berada dalam mitologi kekuasaan dan kesadaran politik Jawa. Tokoh yang satu ini memiliki posisi khusus dalam struktur kepribadian Jawa sebagai simbol yang melukiskan bukan saja sebuah kebijakan tetapi juga simbol orang bijak. Ia memiliki akses terhadap sebuah pusat pemerintahan, namun juga dekat dan dihormati oleh rakyat kebanyakan.
Dari penugasan tersebut Batara Manikmaya dianggap paling beruntung sehingga menimbulkan iri Sang Antaga dan Ismaya. Iri hati kedua kakak beradik itu lantas menjadi perkelahian yang dahsyat. Hyang Tunggal melerai dengan membuat sayembara: barang siapa di antara ketiga bersaudara itu mampu menelan gunung Mahameru dan mampu memuntahkannya kembali, dialah yang patut menjadi raja para dewa. Akhirnya, Manikmaya memenangkan sayembara itu, sedang Sang Antaga dan Ismaya mampu menelan namun tidak mampu memuntahkan kembali sehingga menyebabkan parasnya rusak, tubuhnya menjadi tambun dan buruk rupa.
Dari peristiwa itu, Antaga dan Ismaya dapat memetik hikmah bahwa keberuntungan hidup tidak diukur dari enak dan tingginya status kehidupan duniawi, namun terletak dari keberhasilan dalam melaksanakan tugas. Menyadari hal tersebut, Ismaya dengan tulus ikhlas menjadi pamomong satria utama keturunan Saptaharga, sejak Begawan Manumayasa hingga anak keturunannya (Solichin, 2010: 258). Unsur-unsur kebatinan di atas merupakan sarana agar manusia mencapai rasa jati jati rasa. Rasa jati dalam bahasa tasawuf adalah pencapaian pada maqam makrifat, yaitu pribadi yang benar-benar tahu kesejatian hidup.
Dalam lakon Kangsa Adu Jago peran panakawan diceritakan seperti berikut ini. Sudah beberapa lama Raden Permadi meninggalkan pertapan Saptaarga, mengembara di tengah hutan belantara yang sepi. Laku prihatin ini dilaksanakan agar segera mendapat anugerah dari Yang Maha Kuasa. Pengembaraan Raden Permadi ini diikuti oleh abdi kesayangan; Semar, Gareng dan Petruk. Ketiganya tiada pernah jemu menghibur dan menenangkan hati bendaranya. Bahkan Semar tidak bosan-bosannya memberi wejangan luhur kepada Raden Permadi.
Tidak disangka-sangka sebelumnya, dari kejauhan terdengar rintihan tiga orang wanita. Kemudian Petruk menjenguk jurang tempat ketiga wanita itu minta tolong. Setelah selesai menolong, Petruk mengajak ketiga wanita itu; Nyai Sagopi, Larasati dan Rara Ireng, menghadap Raden Permadi. Nyai Sagopi kemudian menjelaskan nasib yang baru saja menimpanya. Dengan harapan yang sangat besar, Nyai Sagopi memohon kepada Raden Permadi agar bersedia menolongnya, yaitu menghadapi kejaran raksasa dari Sengkapura tersebut. Jika berhasil, Rara Ireng dijanjikan sebagai hadiahnya. Raden Permadi bersedia melawan para raksasa itu dengan diikuti Gareng dan Petruk. Sedangkan Semar diserahi tugas menjaga Nyai Sagopi, Larasati dan Rara Ireng.
Setelah berhasil menawan Buyut Antagopa, para prajurit Sengkapura itu lalu mengejar larinya Nyai Sagopi, Larasati dan Rara Ireng. Usahanya gagal karena kehilangan jejak. Ketika sedang melakukan perundingan, para pemimpin raksasa itu mendapat laporan dari Togog dan Bilung, bahwa barisan raksasa tersebut mendapat rintangan dari seorang satria. Panglima raksasa, Kalapraceka, segera menghadapi satria itu.
Kalapraceka yang didampingi oleh Togog berhasil menemui Raden Permadi yang disertai oleh Gareng dan Petruk. Terjadilah percakapan yang agak panas antara Kalapraceka dengan Permadi. Kalapraceka meminta Dewi Rara Ireng yang ada pada lindungan Permadi. Permadi tidak mau mengabulkan sehingga terjadilah pertarungan sengit antara kedua belah pihak. Akhirnya Kalapraceka terbunuh oleh kerisnya sendiri. Perang kemudian dilanjutkan oleh kawan Kalapraceka, yaitu Kalalodra. Pertempuran sengit semakin gempar. Kalalodra pun akhirnya terbunuh oleh keris Permadi. Kematian Kalapraceka dan Kalalodra tadi dibela oleh Kalagalento. Sebelum berhasil melawan Permadi, tiba-tiba dia dihabisi oleh Petruk. Melihat bala tentara Sengkapura habis, Togog dan Bilung melarikan diri untuk melaporkan kepada Kangsadewa. Semar yang ditugasi menjaga Nyai Sagopi dan kedua putrinya malah menonton jalannya peperangan. Dalam keadaan yang tidak dijaga ini, Nyai Sagopi, Larasati dan Rara Ireng melarikan diri. Mereka menghindari janjinya kepada Raden Permadi. Hal ini sengaja mereka lakukan semata-mata untuk menjaga perasaan Kakrasana dan Narayana yang lebih berhak atas diri Rara Ireng. Sepeninggal ketiga wanita itu, Raden Permadi bersama ketiga panakawannya mengalami kebingungan. Dengan hati yang tabah lalu dicarilah jejak kepergian ketiga wanita itu. Tokoh Semar hampir selalu muncul dalam setiap pentas wayang purwa, tidak saja pada lakon carangan yang dikutip dari babon epik Mahabarata dan Ramayana. Penampilan dan perannya yang ambiguous mengundang penafsiran yang beraneka ragam. Misteri posisi Semar menarik untuk ditelaah dalam kancah modernisasi dan globalisasi yang melanda segala pelosok penjuru dunia. Ini penting agar bangsa Indonesia tidak terlalu jauh terperangkap ke dalam peradaban global dan melupakan akar budayanya. Lantaran tokoh Semar ini tidak tercantum di dalam cerita Mahabarata asli, maka tokoh ini tentunya merupakan sisipan dalam pakeliran wayang, yang direka oleh orang Jawa sendiri. Banyak telaah tentang tokoh Semar ini yang telah dilakukan, baik oleh sarjana asing maupun sarjana Indonesia. Kesan pertama peran Semar adalah sebagai punakawan, yaitu pamong para ksatria, yang dikategorikan sebagai wayang tengen yang merupakan representasi dari sifat-sifat baik dan bijak pada diri manusia. Selain itu, Semar juga berperan sebagai tokoh banyolanpenghibur para ksatria dan secara praktis bagi penonton. Telaah yang agak mendalam adalah yang telah dilakukan oleh Sri Mulyono dan Franz Magnis-Suseno. Tulisan ini berupaya mengorganisasi kembali pendapat Sri Mulyono yang saya anggap agak simpang-siur, namun telah menyajikan fakta yang amat mengesankan. Sekaligus di sini saya akan menganalisis interpretasi Magnis-Suseno tentang peran Semar sebagai pamong dalam perjalanan hidup manusia, yang disejajarkan dengan konsepsi pamong dalam teologi monotheisme.
Memang, benar tokoh Semar ini adalah ambiguous dan misterius.
1. Namun bukannya tidak dapat dipahami. Dalam upaya memahami keberadaan Semar, Sri Mulyono mencoba menginventarisasikan pendapat-pendapat para ahli dan menelusuri kitab-kitab kuno yang menyebut nama Semar beserta peranannya. Berdasarkan indikasi itu ia menarik kesimpulan hakekatnya untuk menjawab pertanyaan apa dan siapa Semar itu. Akan tetapi, interpretasi dan kesimpulan Sri Mulyono sering menyajikan pernyataan-pernyataan yang mengejutkan dan tidak relevan dengan fakta yang ada. Lagi pula interpretasinya kurang terorganisasi dan terkesan menyesatkan. Misalnya, ketika ia menelaah peran Semar dalam cerita Sudamala, yang pada intinya berisi cerita Sadewa meruwat Bethari Durga menjadi Dewi Umo kembali.
2. Diinterpretasikan sebagai dewa yang ditolong oleh manusia. Semar hadir dalam cerita ini sebagai pengantar Sadewa dan menungguinya ketika Sadewa diikat di bawah pohon randu. Interpretasi Sri Mulyono menyatakan bahwa “cerita ini mudah dimengerti maksudnya bahwa dewa tidaklah lebih daripada manusia. Pemunculan Kyai Lurah Semar itu jelas dan mudah dimengerti kalau berselubung dan bermaksud mengingkari dan tidak mengakui lagi kekuasaan Siwa sebagai Mahadewa dan Mahakuasa”
3. Padahal Sadewa baru mampu meruwat Bethari Durga setelah Bethara Guru memasuki badan Sadewa. Dengan kata lain, sebetulnya yang mensucikan Bethari Durga adalah Bethara Guru sendiri, dengan sarana Sadewa. Interpretasi itu dilanjutkan: “Munculnya Semar dalam cerita Sudamala merupakan penegasan dan penampilan kembali konsepsi ke-Tuhanan. Mulai saat itu jagat wayang Bethara Guru sudah tidak lagi mempunyai kedudukan sebagai Mahadewa dan Mahakuasa yang kemudian kesaktiannya telah digeser oleh Semar”.
4. Pernyataan ini kelihatan berat sebelah yang berpandangan Semar sentris, dan mengabaikan peran Bethara Guru dalam pakeliran wayang maupun dalam kosmologi Jawa. Sesungguhnya, menurut cerita Manik Maya dan juga pada pentas wayang, Bethara Guru, Semar dan Togog itu satu kesatuan, tetapi masing-masing memiliki aspek dan peran yang berbeda. Kerangka pandangan inilah yang memerlukan penjelasan, dan analisis ini akan berupaya ke arah penjelasan itu. Pernyataan Sri Mulyono sering pula bersifat kontradiktif. Kadang-kadang ia berbicara bahwa Semar adalah benar-benar manusia yang pernah hidup di jaman kuno di Jawa, dan ini ditarik dari indikasi-indikasi yang tidak ada relevansinya. Ketika ia menarik kesimpulan dari kutipan tulisan Hazeu, yang kurang-lebih berisi tentang nama-nama punakawan itu kuno, tidak dapat diterangkan artinya. Semar itu tidak lebih dari pelawak atau pelayan biasa. Ia pelindung tuannya, disegani dan dihormati, dan tahu rencana dewa, tempat tuannya minta nasehat. Atas dasar informasi ini, dan mungkin juga tambah pengetahuannya, ia menarik kesimpulan bahwa: “Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam banyolan atau lawak yang khusus itu sudah dapat diketahui bahwa itu merupakan peninggalan dari sebuah pertunjukan bayang-bayang yang primitif yang berkembang dan berasal dari jaman purba. Dan jelaslah bahwa Semar merupakan nama dari salah seorang leluhur (nenek moyang) Jawa asli yang bayangannya sudah dipertunjukan dalam permainan bayangan atau wayang dari jaman purba itu”.
5. Di bagian lain Sri Mulyono mengatakan bahwa Semar itu adalah samar dan misteri,
6. dan ia menginterpretasikan konsep samar ini dengan cara yang sangat menyesatkan. Ia mengatakan bahwa “Semar berasal dari kata samar yang berarti samar-samar, tidak jelas, meragukan, penuh rahasia, penuh teka-teki, pendek kata misterius”. Ia juga menjelaskan bahwa kata “samar” dapat menjadi kata kerja yaitu nyamar, yakni melakukan sesuatu yang rahasia. Tetapi, ia menarik kesimpulan yang amat berbeda konteksnya sehingga dalang mengartikan Semar adalah manusia yang sudah tidak ‘samar’ lagi atau tidak ragu-ragu lagi terhadap segala sesuatu. Penambahan kata ‘tidak’ di depan kata samar, maknanya menjadi kontradiktif. Dari seluruh telaah tentang apa dan siapa Semar, ternyata Sri Mulyono belum memahami hakekat Semar dalam mitos dan dalam pakeliran wayang. Lain lagi interpretasi Franz Magnis-Suseno yang menganggap tugas punakawan itu tidak sekadar membanyol, melainkan yang sebenarnya bertugas mengantar ksatria utama dalam lakon pentas wayang.
7. Tugas ini ditafsirkannya sebagai pamong ksatria. Siapa yang diantar Semar, tidak pernah gagal dalam tugasnya dan tidak kalah dalam perang. Para pandawa tidak bisa dikalahkan itu sebenarnya bukan karena kekuatan mereka sendiri, melainkan karena mereka diantar oleh Semar. Andaikata Semar meninggalkan Pandawa, mereka pasti hancur.
8. Kesimpulan yang ditarik dari fakta-fakta keseluruhan yang kurang dipahami akan menyebabkan kesesatan. Kekhawatiran akan kalah adalah tidak sama dengan kekalahannya itu sendiri. Dalam serat Mahabarata asli, Pandawa tidak pernah kalah perang melawan Kurawa, tanpa kehadiran Semar sekalipun dengan pengorbanan yang sangat besar. Selanjutnya pada alinea-alinea kesimpulan agaknya Magnis-Suseno bersiasat meruntuhkan upaya mistik yang mendasarkan kekuatan diri manusia sendiri yang dicontohkan oleh upaya Bima. Upaya ini disangsikan keberhasilannya, bahkan memastikannya akan membawa manusia ke arah bahaya kesombongan dan penilaian diri yang kurang wajar. Melalui tesis Semar sebagai pamong perjalanan hidup manusia, keruntuhan upaya mistik mengkondisikan pembenaran peran pamong sebagai alternatif utama perjalanan hidup manusia menuju ke kerajaan Tuhan. Semar memberi tekanan yang sangat berbeda. Karena para satria yang paling sakti pun, seperti Arjuna, akhirnya menang, bukan karena kesaktian mereka itu, melainkan karena diantar oleh sang pamong Kyai Lurah Semar, karena itu penonton menyadari bahwa sebetulnya kita memerlukan seorang pamong di perjalanan hidup kita. Bukan kekuatan kitalah yang menyelamatkan dan mendekatkan kita kepada Tuhan, melainkan bimbingan yang akhirnya berasal dari Tuhan sendiri.
9. Paradigma teologi dan filosofi yang sangat berbeda, tentu menjadi naif jika untuk melihat fakta-fakta religius di luar konteksnya. Di sini kuasa mutlak telah dipersonifikasi, yang pada dasarnya tidak dikenal dalam paham kejawen. Seperti telah disebutkan bahwa dalam Mahabarata asli Pandawa tetap menang perang melawan Kurawa sekalipun tanpa kehadiran Semar sehingga tesis di atas itu tidak dapat berlaku pada posisi dan peran Semar dalam konstelasi kosmologi Jawa maupun dalam pentas wayang. Agaknya tokoh Semar diciptakan oleh orang Jawa sendiri yang dibebani peran sebagai pamong para ksatria yang diskenario sebagai pemenang dalam perang, dan Togog mengikuti yang kalah. Itulah sebabnya, Bethara Guru, Semar dan Togog, sebagaimana tokoh wayang lainnya, seharusnya dipahami sebagai wujud simbol yang bisa jadi mempresentasikan muatan multivokal. Maka pemahamannya seharusnyamenempatkan tokoh-tokoh simbolis itu dalam konteksnya. Sebenarnya, menang atau kalah dalam pentas wayang itu adalah idealisme simbolis berisi ajaran yang berguna sebagai orientasi perbuatan manusia dalam hidup sehari-hari.
Semar Dalam Mitos
Serat Sudamala -karya sastra Jawa tertua- menyebutkan bahwa, Semar berperan sebagaipengantar Sadewa, ketika ia dikorbankan oleh Dewi Kunthi yang dipersembahkan untuk Bethari Durga dan diikat di bawah pohon randu. Dalam serat ini, peran Semar adalah sekadar pengantar Sadewa, dan Sadewa baru mampu mensucikan (meruwat) Bethari Durga, setelah Bethara Guru memasuki badan Sadewa. Oleh karena itu, anggapan Sri Mulyono.
10. Tentang peran Semar dalam konteks ini adalah berlebihan. Selain itu, nama Semar juga disebut-sebut sebagai pengantar Bima dalam serat Nawaruci, yang ditulis pada abad XV.
11. Agaknya tokoh Semar dan perannya sudah berkembang dalam cerita lisan sebelum dan selama abad XV itu. Kemunculan nama Semar dalam mitos memakai beberapa nama dan sebutan, maka hal itu memerlukan penyelidikan tersendiri. Karya sastra Jawa lain yang memaparkan mitos kejadian, yang menyebut-nyebut nama Semar, adalah Serat Manik Maya, Serat Kanda, dan Serat Pustaka Raja. Serat Manik Maya, menurut R. Tanoyo dalam Wirid Hidayat Jati.
12. disusun pada jaman Mataram Kartasura. Proses kejadian Bethara Guru dan Semar dalam Serat Manik Maya adalah sebagai berikut: Tatkala masih awang-uwung belum ada bumi dan langit, yang ada terlebih dahulu adalah Sang Hyang Wisesa. Dia diam di tengah semesta, tidak bergerak, di dalam batinnya memusatkan pujiannya, menyatakan kehendak Mahapati memulai adanya lakon kehidupan. Kemudian mendengar ada suara, bunyi seperti genta. Seketika Sang Hyang Wisesa terperanjat, lalu melihat sesuatu tergantung di angkasa, berupa seperti telur. Segera telur itu dipegang dan disangga di atas telapak tangan, dicipta menjadi tiga unsur. Unsur pertama dijelmakan menjadi bumi, unsur ke dua menjadi teja dan cahaya, dan unsur ke tiga menjadi Manik dan Maya. Sang Hyang Wisesa berkata kepada Manik: “Kau ketahuilah, bahwa kau itu keadaanku, Aku adalah keadaanmu. Aku percaya padamu, segala sesuatu yang hidup di dunia ini, kau kuasa menjadikan”. Maya segera berkata kepada Sang Hyang Wisesa, “Bagaimana kehendak paduka itu, paduka menjadikan saya berlainan bentuknya dengan Manik. Manik adalah sangat bagus, cahayanya berkeliauan, sebaliknya rupa saya amat jelek, serta cahaya saya sangat hitam”. Sang Hyang Wisesa menjawab: “Maya kau ketahuilah, itu adalah kehendak Hyang Mahapati, jangan terlalu bersedih, kau kuberi permata murni disebut Retnodumilah, tak ada yang dapat menyamai, segala sesuatu yang dikehendaki akan tercapai atau terlaksana, aku tempatkan di kuncungmu. Dan lagi mengenai cahaya hitam itu kenyataan yang tidak berubah-ubah, berkurang dan bertambah setiap hari, matahari juga tidak berubah selamanya. Hitam itu sesungguhnya untuk menyamar, yang nampak ada ini sesungguhnya tidak ada, yang sesunguhnya ada dianggap bukan, yang bukan dianggap benar, yang tajam hatinya dihilangkan ketajamannya sebab takut jika bertindak keliru. Si Manik aku sebut sebagai Bathara Guru, kau Maya Aku sebut sebagai Bethara Semar, raja di dunia”. Bethara Semar bersembah dan mohon diri turun ke bumi ke tujuh. Dikatakan Sang Hyang Wisesa memerintahkan Bethara Guru mendekat untuk diajar segala rahasia, kepandaian mengelola segala macam tanaman.
13. Kutipan di atas secara implisit menyatakan bahwa kejadian Bethara Guru dan Bethara Semar berawal dari Sang Hyang Wisesa secara emanasi melalui tujuh tataran. Proses emanasi tujuh tataran itu juga dapat dijumpai dalam Serat Pustaka Raja, Serat Kalimasada dan Serat Babad Tanah Jawa. Kitab yang terakir ini adalah saduran dari Serat Kanda. Serat Kanda ini dinilai oleh Tanoyo
14 sebagai campur-aduk antara cerita-cerita Jawa dengan cerita Arab. Dalam kitab ini posisi Sang Hyang Wisesa digantikan dengan Nabi Adam. Hal yang lebih penting bahwa mitos itu menggambarkan terjadi-nya proses emanasi dari pusat transendental menuju alam mondial melalui tujuh tataran.
15. Jika kita amati, mulai dari Nabi Adam sampai Bethara Guru dapat dihitung ada tujuh tataran. Dalam cerita itu Manik Maya atau Bethara Guru dan Semar menjadi imanen di alam mondial; dan disebutkan secara jelas bahwa Manik Maya adalah perwujudan dua sifat, yaitu Manik yang diasosiasikan dengan Bethara Guru, dan Maya diasosiasikan sebagai Semar. Sekalipun nama Semar tidak secara eksplisit disebutkan dalam cerita Babad Tanah Jawa, tetapi sebetulnya secara implisit, Semar atau Bethara Ismaya adalah satu kesatuan dengan Bethara Guru. Dengan kata lain, Semar adalah aspek fisik dari Bethara Guru. Atas dasar paparan Serat Manik Maya, Semar memiliki cahaya hitam dan permata murni, yang bernama Retnodumilah dan ditempatkan di kuncungnya. Cahaya hitam dari Semar itu sebetulnya berfungsi sebagai penyamar. Disebutkan dalam Serat Manik Maya itu bahwa: “Hitam itu sesungguhnya untuk menyamar, yang tampak ada itu sesungguhnya tidak ada, yang sesungguhnya ada dianggap bukan, yang bukan dianggap benar,…”. Dari hal itu, muncul pertanyaan, apa yang sebenarnya disamarkan itu, tidak lain adalahkenyataan hakekat hidup yang transendental. Menurut konsepsi orang Jawa disebut sebagai sunya atau sunya ruri, menjadi alam mondial yang semu, atau hakekat hidup yang bersifat mutlak menjadi dunia yang semu, termasuk diri manusia ini. Diri manusia direpresentasikan dengan Manikmaya atau Bethara Guru dan Semar yang imanen dalam diri manusia sendiri, di mana manik menjadi sifat hidup yang kondisinya sama dengan Sang Hyang Wisesa. “Kau ketahuilah bahwa kau adalah keadaanku, Aku adalah keadaanmu. Aku percaya padamu, segala sesuatu yang hidup di dunia ini kau kuasa menjadikannya”.
16. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, manik itu berkedudukan di dalam kepala manusia, atau dapat diasosiasikan menjadi daya cipta atau daya pikir manusia. Juga dalam ajaran Triloka, yaitu Guru Loka, Indra Loka, dan Jana loka.
17. Bethara Guru berkedudukan di kepala manusia. Dengan demikian, alam mondial ini, termasuk juga diri manusia, sesungguhnya adalah maya atau samar. Oleh sebab itu, sering diungkapkan sebagaimayapada. Menurut konsepsi Kejawen, alam mayapada ini sebetulnya tidak ada atau semu, tetapi hanya merupakan bayangan dari hakekat kenyataan hidup yang transcendental. Yang sebenarnya ada adalah hakekat hidup yang transenden itu atau Hyang Ilahi. Kuasa mutlak Hyang Ilahi memancar dari titik sentralnya secara sentrifugal, menuju alam mondial melalui proses penyamaran atau pembalikan (jagad walikan) karena berfungsinya Semar. Semua itu direpresentasikan dalam pentas wayang.
Semar Dalam Seni Pakeliran
Semar selalu muncul di setiap pentas wayang dalam babak gara-gara, di mana dunia sedang tergoncang.
18. Gara-gara mulai tengah malam sebagai babak kedua dalam rangkaian episode perang kembang. Permainan gara-gara dapat saja beraneka ragam bentuk, tergantung sanggit-nya dalang. Tetapi, selalu berisi banyolan-banyolan Semar bersama-sama anak-anaknya, Gareng, Petruk dan Bagong. Mereka juga melagukan tembang-tembang Jawa dan masa kini diselingi dengan tembang keroncong, dangdut dan pesan-pesan sponsor. Babak gara-gara ini menandai dunia sedang mengalami kegoncangan, disebabkan ada seorang ksatria yang sedang sedih dan berkelana di hutan untuk mencari ketenteraman batin, atau untuk bertapa, atau dalam perjalanan menuju ke pertapaan seorang pendeta untuk berguru. Pada suasana seperti ini, para punakawan itu saling berulah atau dengan gaya masing-masing berupaya menghibur atau memberi nasehat agar tuannya, sang Ksatria, menjadi tenang kembali. Sang Ksatria itu aslinya adalah seorang ksatria muda, seperti Permadi dengan wajah bercat putih. Namun, dalam perkembangan kini dapat diperankan oleh ksatria-ksatria lainnya. Upaya penghiburan atau nasehat itu kadang berhasil, kadang tidak, dan kadang tidak jelas hasilnya sebab hiburan atau nasehat sebenarnya dikonsumsikan kepada penonton. Setelah selesai hiburan itu, mereka melanjutkan perjalanan, dan secara tiba-tiba mereka diserang oleh bala tentara raksasa yang dipimpin oleh tiga orang raksasa yaitu: Cakil, seorang raksasa ceking yang berwajah kuning, dan bertindak sebagai komandan yang diikuti dua raksasa lainnya yang berwajah merah dan hitam. Bala-tentara raksasa ini selalu diiringi oleh dua orang punakawan yang bernama Togog dan Sarawita.
19. Dialog antara kedua pihak merebutkan jalan yang akan dilewati, di mana bala-tentara raksasa sebagai penunggu jalan tapal batas, melarang sang Ksatria untuk menerobos masuk wilayah kekuasaan raksasa. Bala-tentara raksasa sedang menunaikan tugas atas perintah raja agar mengembalikan siapa saja yang akan memasuki wilayah itu. Namun, sang Ksatria tetap pada pendiriannya, akan melanjutkan perjalanannya, akibatnya pertengkaran secara terbuka timbul dan pertempuran pun pecah. Dalam pakeliran, perang ini disebut dengan perang kembang, di mana semua raksasa mati terbunuh, dan Togog bersama Sarawita melarikan diri kembali ke kerajaan raksasa, dan nanti muncul kembali untuk mengikuti raksasa berikutnya dalam lakon yang lain.
Di medan pertempuran, sang Komandan, Cakil bertempur terlebih dahulu melawan sang Ksatria. Permainan raksasa bertubuh ceking ini bergerak amat lincah dan gesit, diiringi lengkingan suara yang kecil, memberi kesan suasana pertempuran amat indah dan enak untuk ditonton. Gerak lincah dan gesit itu dihadapkan pada perlawanan sang Ksatria yang halus dan lemah-lembut, tetapi juga tidak meninggalkan kesan kegesitan, yang terbukti pukulan sang Raksasa sekalipun cepat dan gesit, jarang sekali mengenai sasaran. Walaupun pukulan itu mengena sasaran, tetapi sang Ksatria tetap tidak tergoyahkan, dan sang Komandan, Cakil, akhirnya terbunuh dengan kerisnya sendiri. Akibat kematian sang Komandan, maka salah satu dari raksasa itu muncul untuk membela kematian pimpinannya. Perkelahian berlangsung amat sengit, namun pada akhirnya kedua raksasa itu pun mati terbunuh, terkena sasaran anak panah sang Ksatria. Dalam adegan perang ini, kadang-kadang Semar muncul dan bertindak mengambilkan busur dan anak panah sang Ksatria. Dengan berakhirnya pertempuran ini, berarti sang Ksatria mampu menyingkirkan rintangan pertama untuk mencapai tujuan berikutnya yaitu untukberguru atau untuk memperoleh petunjuk dewa atau mencapai ketenangan batin.Semua itu amat berguna sebagai kunci untuk membuka dan memecahkan persoalan yang dibicarakan dalam babak awal yaitu jejer pertama, dan yang menjadi inti dari lakon tersebut.
20
Analisis Struktural (Semar dalam Kosmologi Jawa)
Jika kita cermati deskripsi episode di atas, kita dapat meng-identifikasi dua pihak yang saling berlawanan. Pertama, pihak raksasa yang terdiri dari tiga orang yakni Cakil berwajah kuning, Rambut Geni berwajah merah, dan Pragalba berwajah hitam. Mereka itu disertai punakawan yaitu Togog dan adiknya Sarawita. Pihak kedua, adalah pihak ksatria yang terdiri dari seorang ksatria yang disertai punakawan Semar beserta anak-anaknya.
21. Rassers mengkategorikan kedua faksi itu ke dalam wayang kiwo bagi golongan raksasa melawan wayang tengen bagi golongan ksatria. Peperangan di antara keduanyamerepresentasikan pertentangan dalam batin manusia berupa perebutan antara perbuatan baik, bijak, kasih-sayang melawan dorongan perbuatan-perbuatan jahat, tiran, kedengkian dan nafsu-nafsu badaniah lainnya. Dalam pentas pakeliran, angkara murka selalu dikalahkan oleh kebajikan, raksasa dibunuh oleh sang Ksatria, secara implisit mengidealkan kuasa-kuasa kebajikan mengatasi keangkaramurkaan. Atas dasar ini, maka Rassers menginterpretasikannya bahwa wayang sebagai pentas seni yang berfungsi sebagai sarana penyampaian ajaran etika dalam masyarakat Jawa. Sebetulnya lebih dari itu bahwa pentas wayang juga sarat dengan doktrin-doktrin agama yang amat dalam.
Dalam doktrin kejawen keangkaramurkaan meliputi tiga nafsu dasar manusia yaitu nafsu Sukarda, Angkara, dan Lodra.
22. Secara berturut-turut sama dengan terminologiIslam yaitu Sufiah, Amarah dan Aluamah, dan ketiganya masing-masing berasosiasi dengan unsur-unsur kosmis, angin, yang beridentifikasi warna kuning, api yang beridentifikasi dengan warna merah, dan tanah yang beridentifikasi dengan warna hitam. Semua itu disandikan dalam bentuk raksasa dalam seni pakeliran yaitu Cakil, Rambut Geni, dan Pragalba, yang diiringi Togog. Sebaliknya, kebajikan hanya terdiri dari satu dasar manusia, yaitu nafsu Nuraga atau Mutmainnah, yang disandikan sebagai ksatria yang berwajah putih, dan yang diiringi oleh punakawan Semar. Maka kita akan lebih mudah memahami posisi struktural dalam babak perang kembang ini jika diasosiasikan dengan struktur kosmologi manusia menurut konsepsi orang Jawa, yaitu sedulur papat lima pancer.
23 Dalam konteks ini nafsu manusia itu merepresentasikan dorongan dalam diri manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan badaniah berhadapan dengan satu nafsu lainnya yang merepresentasikan dorongan manusia untuk berbuat kebaikan dan kebajikan serta kecintaan pendekatan diri kepada Tuhan. Posisi pancer dalam konstelasi struktur kosmologi itu diduduki oleh Bethara Guru sendiri, dan merupakan pancaran dari kuasa Ilahi yang imanen dalam diri manusia. Kemudian yang menjadi persoalan di sini adalah peran Semar dan Togog dalam konstelasi struktur itu. Agaknya Semar dan Togog ini, menurut mitos Manik Maya adalah imanen di alam mondial,merepresentasikan sebagai pengendali dorongan-dorongan nafsu manusia, di manaSemar merepresentasikan pengendali kebaikan dan kebajikan, maka berkolaborasi dengan pihak ksatria, sebaliknya Togog merepresentasikan pengendali nafsu keangkaramurkaan, maka berkolaborasi dengan raksasa. Atas dasar ini maka Semar dan Togog itu sebetulnya juga aspek dari Bethara Guru, yang berfungsi mengendalikan bekerjanya nafsu-nafsu manusia, di mana Semar pengendali pada pihak nafsu bersih, baik dan bijak, sebaliknya Togog pada pihak nafsu yang jahat, angkara murka, dan nafsu duniawi. Pada konteks ini, Semar adalah representasi kuasa Bethara Guru dalam peran memberi arah nafsu bersih dan suci terhadap dorongan nafsu Nuraga atau Mutmainnah. Sebaliknya, Togog berperan memberi arah pemenuhan nafsu-nafsu duniawi yang berujud dorongan nafsu Sukarda, Angkara, dan Lodra atau Sufiah, Amarah dan Aluamah.
Sesudah sang Ksatria utama berhasil mengatasi ketiga nafsu badaniah itu, maka dalam cerita selanjutnya, ia juga dapat menguasai rintangan-rintangan, dan biasanya menjadi kunci untuk membuka jalan penyelesaian persoalan yang menjadi tema lakon pentas wayang itu. Secara ideal sang Ksatria mencapai keselamatan atau menjadi penyelamat masalah persoalan hidup manusia. Dalam lakon Makutha Rama, pada adegan perang kembang menceritakan bahwa nafsu-nafsu Nuraga, Sukarda, Angkara dan Lodra menjumpai Arjuna agar menyempurnakan keberadaan mereka. Atas petunjuk Semar, nafsu-nafsu itu hanya akan dapat disempurnakan dengan cara pembakaran melalui api ciptaan dari keheningan hati sanubari. Nafsu-nafsu itu terserap ke dalam api ciptaan itu, dan api ini pun padam terserap kembali ke dalam hati sanubari Arjuna. Dengan demikian, adegan perang kembang dalam lakon Makutha Rama itu memberi pelajaran kepada kita bahwa sifat-sifat dan nafsu-nafsu manusia itu akan menjadi sempurna dan terkendali apabila berada di bawah kekuasan manusia seperti Arjuna yang telah mampu menguasai nafsu badaniahnya, dan mampu menerapkannya dengan cara mencurahkan sebagian besar hidupnya untuk meme-lihara ketertiban hidup bermasyarakat dan bernegara. Itulah sebabnya, maka banyak sekali orang Jawa memakai Arjuna sebagai model tingkah-laku dalam kehidupannya. Banyak orang Jawa yang nglakoni yaitu menjalani puasa dalam waktu tertentu dalam rangka untuk melatih diri menguasai nafsu-nafsu jahat. Dengan menjalani puasa ini dimaksudkan agar jiwa menjadi bersih, terhindar dari bisikan-bisikan setan sehingga akan lebih mudah mencapai pendekatan kepada yang Mahakuasa. Selain menjalankan puasa, juga mengurangi tidur dalam rangka untuk berusaha eling atau mengingat (dzikir) kepada Tuhan. Ada istilah dalam orang Jawa yaitu mangan longan turu longan, artinya mengurangi makan yakni dengan berpuasa, dan mengurangi tidur yakni lebih banyak berjaga di malam hari dalam rangka untuk berusaha mendekat kepada yang Mahakuasa. Biasanya puasa yang dilakukan sampai dengan empat puluh hari. Dengan nglakoni ini diharapkan nantinya akan memperoleh mukjizat yang berupa kasekten atau kesaktian yang bisa untuk memberantas keangkaramurkaan, dan selalu berusaha menegakan kebenaran dan keadilan.
24. Gambaran di atas jelas sekali memiliki prinsip yang sama dengan pola umum perang kembang dalam pakeliran wayang purwa. Itu menginspirasikan bahwa peran Semar dan Togog bertindak sebagai pengendali dan pengarah bekerjanya nafsu-nafsu manusia, yang dikenal dalam terminologi Islam sebagai Mutmainnah, Sufiah, Amarah dan Aluamah. Peraga Semar dan Togog yang merepresentasikan pengendali nafsu-nafsu manusia itu, memang amat tersamar dengan identifikasi yang ambiguous. Itulah sebabnya, makaSemar itu diidentifikasi sebagai duda manang-munung, suatu ungkapan yang menggambarkan keadaan yang misterius dan ambiguous. Postur tubuh Semar kelihatan seperti laki-laki tetapi berpayudara seperti wanita. Sebaliknya, bukan juga perempuan sebab Semar memiliki kuncung. Semar dalam pakeliran wayang sering diidentifikasi sebagi dewa yang mengejawantah berbadan manusia, tetapi juga manusia yang memiliki sifat dan kuasa dewa.
Dengan demikian, jika analisis di atas dikaitkan dengan mitos Manik Maya, maka dapat dipahami bahwa Semar dan Togog itu sebetulnya adalah aspek dari Bethara Guru yang berperan sebagai pengendali nafsu-nafsu badaniah manusia. Dalam pentas pakeliran, seringkali Bethara Guru ini dikalahkan oleh Semar, dan tidak pernah ada sebaliknya, Semar dikalahkan oleh Bethara Guru. Namun harus dipahami, manakala Bethara Guru kalah berkelahi melawan Semar itu selalu terjadi pada waktu Bethara Guru menyimpang dari peran yang seharusnya dimainkannya, yaitu hendak memenuhi keinginan-keinginan lain yang berbeda dengan ketentuan yang telah digariskan sehingga menempatkan diri Bethara Guru dalam posisi yang lemah. Dalam posisi yang normal, mereka memiliki kuasa yang sama, hanya berbeda wilayah kekuasaannya. Prinsip ini juga berlaku pada manusia secara umum.
AKHIR KACARITA
Peraga wayang, Bethara Guru, Semar, dan Togog seharusnya dicermati sebagai wujud simbol, dan harus dipahami dalam konteksnya, yaitu struktur kosmologi Kejawen. Pentas wayang itu merepresentasikan pertentangan batin manusia, antara dorongan-dorongan nafsu untuk berbuat jujur, baik, bijak, dan kasih-sayang melawan dorongan nafsu badaniah yang angkaramurka, jahat dan tidak jujur. Struktur ini tampak jelas dalam episode perang kembang, di mana tokoh Semar dan Togog hadir. Semar mengiringi pihak ksatria dan sebagai pengendali dan pemberi arah dorongan nafsu kebaikan dan kejujuran. Togog pada posisi lawannya, mengiringi pihak raksasa, yang merupakan representasi dari dorongan nafsu badaniah dan angkaramurka. Oleh karena itu dalam pakeliran, Semar adalah orang miskin, dan Togog adalah orang yang kaya raya.
Struktur episode perang kembang dalam pentas wayang itu agaknya merupakan transformasi dari struktur kosmologi Kejawen, di mana tokoh protagonisnya merupakan representasi dari nafsu-nafsu manusia :
1. Mutmainnah.
2. Sufiah.
3. Amarah.
4. Aluamah.
Nafsu ini dikelompokkan menjadi dua faksi, yakni nafsu badaniah berhadapan dengan nafsu rohaniah, nafsu badan kasar berlawanan dengan nafsu badan halus. Posisi Togog berhadapan dengan posisi Semar, pengen-dalian nafsu angkaramurka berlawanan dengan pengendalian kebajikan.
Protagonis Bethara Guru, Semar, dan Togog adalah imanen di alam mondial, di dalam diri manusia. Semar berfungsi sebagai penyamar dari hakekat hidup transendental menjadi alam semesta yang dipersepsikan sebagai maya atau semu.Konsepsi ini adalah pembalikan dari hakikat kenyataan hidup transendental, yang dipersepsikan sebagai kebenaran hakiki menjadi alam semesta yang semu. Ibaratnya seperti orang yang sedang bercermin, melihat bayangan sendiri yang semu, atau pemutaran film, juga pentas wayang adalah lambang dari prinsip ini.
Sumber referensi :
1. Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hal. 29-32.
2. Sri Mulyono, Wayang Asal Usul, Filsafat dan Masa Depannya (Jakarta: Gunung Agung, 1977), hal.
3. Sri Mulyono, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hal. 98.
4. Harun Hadiwijono, Kebatinan Jawa Dalam Abad XIX (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), hal. 26.
5. Sri Mulyono, Simbolisme, hal. 112.
6. Franz Magnis-Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 21.
7. Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi dan Masa Depannya (Jakarta: Gunung Agung, 1988), hal. 43.
10 Sri Mulyono, 1982, hal. 13.
8. Prijohutomo, Kesusastraan Jawa, Empat Serangkai (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1952), hal. 20.
9. R. Tanoyo, Wirid Hidayat Jati (Rangga Warsita, 1892), (Surabaya: Trimurti, 1966), hal. 132.
10. Niels Mulder, Kebatinan dan Hidup Sehari hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 78.
11. R. Tanoyo, 1966, hal. 147.
12. Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: The University of Chicago Press, 1976), hal. 110.
13. Seno Sastroamidjojo, Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit (Jakarta: PT. Kinta, 1964), hal. 96.
14. Niels Mulder, 1985, hal. 185.
15. Sri Mulyono, 1982, hal. 59-64.
16. Soediro, Wayang kulit Purwa, Makna dan Struktur Dramatikanya, Proyek Penelitian dan Pengkajian Javanologi (Jakarta: Depdikbud, 1984), hal. 86.
17. Kyai Demang Reditanoyo, Pakem Pangruwatan Murwa Kala, Keluarga R. Tanoyo (Solo: 1964), hal. 116.
18. W.H. Rassers, Panji The Culture Hero, A Structural Study of Religion in Java (The Hague, Martinus Nijhoff, 1959), hal. 45.
19. Soehardi, Tarikat, Tinjauan Laku Mistik dalam Masyarakat Jawa, Javanologi (Jakarta: Depdikbud: 1985), hal. 74.
20. Soehardi, Makna Pertunjukan Wayang Purwa, Suatu Kajian Antropologi Simbol (Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Sastra UGM, 1995), hal. 110.
21. Soehardi, Tarikat, Tinjauan Laku Mistik dalam Masyarakat Jawa, Javanologi (Jakarta: Depdikbud, 1985), hal. 107.
TAMBATAHAN CERITA VERSI WAYANG KULIT
YUDHISTIRA LAMBANG MANUSIA SABAR & ADIL
Orangnya pendiam tidak banyak bicara. Kalaupun berbicara tidak banyak direkayasa supaya menarik perhatian orang. Ia sabar, jujur dan adil serta pasrah dalam menghadapi cobaan hidup. Dialah yudhistira.
Karena jujur dan sabar harus disertai kesumerahan, maka ia mampu memenjarakan nafsu. kesabaran tanpa kesumerahan belum dapat dikatan sabar. Untuk melukiskan sejauh mana kesabaran dan kesumerahannya, dijelaskan dalam kisah sebagai berikut:
ketika itu Pandawa sedang berada di hutan Kamiaka. Merek sedang menjalani hukuman buang selama 13 tahun akibat tipudaya kaum Kurawa. Lapar dan dahaga serta bahaya yang setiap saat mengancam merupakan derita yang amat sangat. Tetapi berkat keteguhan dan ketabahan serta tak putus-putus berdoa kepada Hyang Maha Tunggal kesemua itu dapat diatasi.
"Hemm, sampai kapan derita ini akan berakhir, si Duryudana keparat itu semakin besar kepala," geram Bima, "Baru tujuh tahun Sena. Tinggal enam tahun lagi, sabarlah dik," Yudhistira menghibur. "Kalau saja aku diberi ijin kakang Yudhis, sekarang juga aku gedor si laknat itu," kata Bima penuh nafsu.
"Tulisan neraca Maha Agung tak dapat diubah lagi. Andaipun kita bertindak, tetapi tidak akan merubah nasib, dik. Malapetaka ini harus kita jadikan pelajaran untuk memperkuat jiwa dan pikiran agar siap menghadapi segala tantangan hidup," ujar Yudhistira. Sabar dan kesumerahan Yudhistira membuat adik-adiknya tunduk tak berani membantah.
Pada suatu hari terjadi musibah menimpa keluarga Pandawa. Arjuna, Nalu dan Sadeewa ditemukan ajal setelah minum air kolam di tengah hutan itu. Rupa-rupanya kolam itu ada penunggunya. Dengan perasaan sedih Yudhistira berkata: "Duh, dewta, siapa yang tega mencabut nyawa adik-adikku. habislah harapanku untuk merebut negeri Astina. Dinda Arjuna, kaulah andalan kami, tapi kini kau telah pergi untuk selama-lamanya. Apa dayaku," ratapnya.
Tak lama kemudian terdengar suara tanpa rupa: "Mereka mati karena minum air kolam. Peringatanku tak dihiraukan." "Oh, siapakah tuan?" tanya Yudhistira. "Aku penunggu kolam. Saudaramu tak menghiraukan peringatanku untuk tidak minum air itu," jawabnya.
"Hamba mohon maaf atas kelancangan adik-adik hamba. Jika memang kematiannya sudah kehendak Hyang Pinasti, hama relakan. Tetapi jika kematiannya belum waktunya, sudi kiranya tuan menolong menghidupkannya kembali," pintanya. "Aku bersedia menghidupkan salah seorang diantara mereka, asal kau bersedia menjawab beberapa pertanyaanku," kata suara itu.
"Hamba akan menurut kehendak tuan, Silahkan tuan bertanya barangkali hamba dapat menjawabnya," "Baik, dengarkan. Pertanyaan pertama: Siapa musuh yang paling gagah suka membunuh tapi sukar dilawan?"
Menurut hamba musuh yang paling gagah adalah hawa nafsu yang bersemayam di dalam diri sendiri. Ia suka membunuh apabila diperturutkan keinginannya. Ia sukar dilawan jika iman ikta lemah," jawn kedua: Yang bagaimana orang yang baik itu dan bagaimana orang yang buruk itu?"
"Menurut hamba orang yang baik adalah orang yang berbudi luhur mau menolong yang susah dan kasih sayang terhadap sesama. Sedangkan orang yang buruk adalah orang yang tak menaruh belas kasih dan tak berperikemanusiaan."
"Benar, sekarang apakah yang tinggi ilmu itu orang yang pandai membaca kitab atau ngaji, atau orang alim atau karena keturunan?"
"Menurut hamba orang yang berilmu tinggi bukan karena ia pintar ngaji. Sebab meskipun pintar ngaji, ilmunya tinggi tetapi kalau pikirannya takabur suka ingkar janji, dia bukan orang alim dan bukan pula orang baik," jawabnya.
"Jawabanmu semua benar. Sekarang pilih salah seorang mana yang harus aku hidupkan kembali," kata suara itu. Yudhistira tampak bingung siapa yang harus ia pilih. Menurut kata hati Arjunalah pilihannya. Selain satu ibu. dia merupakan andalan jika ada kerusuhan. Tapi pilihan itu segera hilang dari ingatannya, manakala pertimbangan rasa tertuju kepada si kembar yang sudah tidak beribu. Jikawa memilih Arjuna. selain akan sedih arwahnya, juga sangat tak adil. Maka akhirnya pilihan jatuh kepada Nakula yang segera ia sampaikan kepada si penunggu kolam. "Hamba memilih Nakula, tuan." "Mengapa engkau memilih Nakula. Bukankah Arjuna lebih penting untuk tenaga andalanmu, lagi pula seibu?" tanya suara itu.
"Bagi hamba bukan soal penting atau tidaknya, tetapi keadilannya. Dengan memilih Nakula, maka kedua ibu hamba akan sama-sama merasa senang. Dari ibu Kunti kehilangan Arjuna, sedangkan dari ibu Madrim kehilangan Sadewa. Bukankah pilihan itu cukup adil," jawab Yudhistira.
"Benar-benar engkau kekasih Yang Manon. Kau manusia berbudi luhur, sabar dan cinta keadilan. Tapi mengapa engkau lebih berat kepada adil dari pada kasih sayang?" tanyanya lagi.
"Sebab adil harus jauh dari sifat serakah. Jika hanya kasih atau sayang saja, maka ia akan menyalahkan yang benar membenarkan yang salah. Yang buruk seperti bagus, yang kotor seperti bersih, yang dilihat hanya bagusnya saja. Wataknya masih suka menghilangkan kebenaran mengaburkan penglihatan," Yudhistira menegaskan pendiriannya. Suara itu tak menjawab lagi, sebagai gantinya Batara Darma, dewa keadilan, telah berdiri di hadapan Yudhistira seraya bersabda: "Anakku, engkau benar benar mustikaning manusia. Sebagai imbalannya ketiga saudaramu akan kuhidupkan kembali," tukasnya, yang tak lain adalah suara yang tanpa rupa tadi.
Betapa gembirannya Yudhistira dapat berkumpul kembali dengan adik-adiknya. Kemudian mereka melanjutkan pengembaraannya menyusuri hutan-hutan belantara dengan tabah dan tawakal.
WISANGGENI & ONTOSENO
Mungkin untuk saat ini, banyak orang pasti akan tertawa terutama para kawula muda sekarang, ketika ada temannya yang berusia sebaya berbicara masalah wayang. Bahkan mereka akan mengatakan kuno bagi para kawula muda penyuka wayang. Nggak gaul gitu lhoooh...hari gini masih suka wayang....capcay..dech.. Pasti ungkapan tersebut akan tercetus begitu saja tanpa tedeng aling-aling. Atas nama ke(modern)an, dan sebagai anak gaul para kawula muda telah banyak yang enggan menampilkan kebudayaan sendiri. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian banyak terjadi pengklaiman oleh negara lain terhadap kebudayaan negeri ini.
Wayang adalah peninggalan para leluhur bangsa ini, yang saat ini mungkin dianggap oleh sebagian masyarakat khususnya para kawula muda sudah tidak modern lagi, meskipun begitu wayang tetap merupakan salah satu dari ribuan kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa ini yang memuat nilai-nilai luhur. Dari segi alur cerita pewayangan sarat dengan tuntunan falsafah-falsafah kehidupan. Bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan adalah bahasa yang sangat indah dan halus tata bahasanya. Kalau diurutkan dari urutan terendah maka bahasa pewayangan yang dipakai adalah bahasa yang tertinggi tingkatannya baik dari segi tata bahasanya ataupun dari segi keindahannya, yaitu bahasa kraton. Bahasa kraton adalah bahasa yang dipergunakan didalam lingkungan kraton.
Dalam tata bahasa Jawa ada tingkatan-tingkatan bahasa yaitu bahasa Ngoko, Ngoko Alus, Krama Madya, Krama Inggil dan yang terakhir adalah bahasa kraton. Untuk memahami akan falsafah-falsafah kehidupan yang terdapat dalam cerita pewayangan minimal bisa memahami akan bahasa yang dipakai dalam pewayangan. Pemahaman disini adalah pemahaman dalam suatu kesatuan kalimat, bukan per kata. karena kalau per kata memang sangat susah sekali, kalaupun bisa kadang bisa berbeda artinya ataupun maknanya. Supaya bisa memahami bahasa yang dipergunakan dalam pewayangan maka harus mempunyai perasaan senang terlebih dahulu terhadap cerita wayang. Orang Jawa sendiri belum tentu juga bisa memahami akan cerita yang dimaksud. Namun demikian, hal tersebut jangan kemudian menjadi penghalang untuk bisa memahami akan wayang. Yang penting adalah tumbuhkan dulu akan rasa senang akan wayang. Mungkin diawali dari mendengarkan goro-goro. Goro-goro yaitu suatu adegan dimana para punakawan di tampilkan. Dan biasanya pada saat goro-goro ini bahasa yang dipakai adalah bahasa jawa yang mudah dipahami dan penuh dengan kelucuan.
Kemudian selain petuah-petuah yang bisa diambil dari segi alur cerita juga petuah-petuah tersebut bisa diambil dari bentuk fisik wayang. Dalam bentuk fisik wayang tersebut ternyata juga mempunyai makna yang sangat dalam. Misalnya, tokoh wayang yang bernama Gareng. Wujud Gareng dalam pewayangan diwujudkan dengan kondisi fisik yang tidak sempurna. Gareng diwujudkan dalam kondisi tangan yang thekle, kakinya juga dalam kondisi semper. Ternyata didalam kondisi fisik yang demikian mempunyai arti bahwa sesosok Gareng dengan tangan thekle digambarkan sebagai manusia yang tidak suka colong jupuk atau mencuri, serta kondisi kaki yang semper dimaksudkan bahwa Gareng tidak suka berjalan menuju tempat maksiat. Dalam mendalang, kadang-kadang sang dalang biasanya mengungkapkan juga mengenai asal mula kenapa bentuk wayang seperti itu, dan dijadikan perumpamaan akan falsafah tentang hidup.
Dalam pewayangan ada beberapa tokoh yang kontroversial. Pengertian kontroversial disini tidak diartikan dengan konotasi yang negatif, melainkan karena ada beberapa wayang dalam bertutur kata kepada siapapun tidak bisa bertutur kata menggunakan bahasa yang halus atau dalam istilah jawanya tidak bisa berbicara dengan bahasa krama inggil. Tokoh tersebut adalah Werkudara, Antasena, dan Wisanggeni. Ketiga tokoh tersebut senantiasa berbicara ngoko atau berbicara dalam bahasa keseharian. Berkaitan dengan tokoh-tokoh kontroversial tersebut, dalam tulisan ini akan mencoba mengangkat sedikit tentang profil Antasena dan Wisanggeni. Kalau Werkudara sudah banyak yang tahu apa dan siapa Werkudara itu, sedangkan Antasena dan Wisanggeni mungkin belum banyak yang tahu, khususnya kawula muda sekarang.
Antasena adalah putra dari Werkudara dengan istri Dewi Urang Ayu. Cucu dari Batara Mintuna Antasena, kalau dalam militer sekarang adalah sebagai angkatan lautnya pandawa, sedangkan angkatan darat dikuasa Antareja, untuk angkatan udara dikuasai oleh Gatotkaca. Ontorejo merupakan hasil dari perkawinan antara Werkudara dengan Dewi Nagagini, sedangkan Gatotkaca juga putra Werkudara dari istri Dewi Arimbi. Antasena merupakan tokoh yang tidak pernah bertutur kata dengan bahasa halus, baik kepada orangtuanya, paman-pamannya bahkan kepada Batara Guru, ataupun Dewa-dewa yang lain, walaupun tidak pernah bertutur kata dengan bahasa yang halus namun Antasena senantiasa memegang teguh yang namanya kejujuran dan tetap hormat kepada yang lebih tua. Dalam cerita pewayangan Antasena digambarkan sebagai tokoh yang ceplas ceplos, apapun yang menjadi ganjalan didalam hatinya langsung dia ungkapkan tanpa rasa sungkan, selain itu apabila ada yang salah ataupun berbuat sewenang-wenang maka Antasena tanpa mengenal rasa takut akan memerangi siapapun yang berbuat salah dan semena-mena, walaupun yang melakukan itu adalah seorang Batara Guru. Antasena dikaruniai kesaktian yang tinggi, bahkan sekelas dewapun tidak ada yang mampu mengalahkan kesaktian Antasena.
Wisanggeni sifat dan perilakunya sama juga dengan Antasena. Senantiasa memegang teguh akan sebuah kejujuran. Sakti Mandraguna, dalam berbicara juga tidak bisa menggunakan bahasa yang halus. Wisanggeni juga ceplas ceplos tanpa tedheng aling-aling dalam berbicara. Dalam pewayangan kesaktian Wisanggeni juga tidak ada yang bisa mengalahkan. Dalam sebuah lakon pewayangan yang mengangkat tema Wisanggeni Gugat digambarkan bagaimana kesaktian Wisanggeni yang dipergunakan untuk mengobrak-abrik kahyangan dikarenakan para Dewa khususnya Batara Guru telah berlaku semena-mena terhadap kakeknya, yaitu Batara Brama. Wisanggeni adalah cucu dari Batara Brama hasil perkawinan anak Batara Brama yang bernama Dewi Dersanala dengan Arjuna.
Antasena dan Wisanggeni adalah sosok yang tidak ada bisa mengalahkan baik oleh para dewa maupun manusia biasa bahkan hawa nafsupun tidak bisa mengalahkannya. Dengan kesaktian yang sempurna Antasena dan Wisanggeni tidak diperbolehkan ikut dalam perang Baratayuda. Hal ini dikarenakan tidak ada yang akan mampu menandingi kesaktian mereka berdua dalam perang tersebut. Selain itu juga musuh-musuh para pandawa juga telah ditetapkan oleh para Dewa. Misalnya Arjuna, ketika perang Baratayuda musuhnya adalah Karna, kemudian Werkudara musuhnya juga telah ditetapkan yaitu Dursasana, untuk memenuhi sumpah Werkudara/Dewi Drupadi terhadap Dursasana yang telah mengganggu Dewi Drupadi dalam perang Dadu.
Dari sedikit profil tentang Antasena dan Wisanggeni ada pelajaran yang bisa diambil yaitu tentang kejujuran, dimana untuk era modern ini ternyata kejujuran itu sangat mahal harganya. Selain itu juga meskipun kesaktiannya sangat tinggi, Antasena dan Wisanggeni tidak semena-mena kepada setiap orang, dan dengan kesaktiannya pula Antasena dan Wisanggeni senantiasa membela apa yang seharusnya itu benar. Berbeda halnya dengan sekarang ini yang mempergunakan aji mumpung. Mumpung mempunyai kekuasaan bisa nilep duit rakyat, mumpung mempunyai duit banyak bisa semena-mena terhadap orang lain. Bahkan dengan kekuasaan dan kesaktiannya menjadi yang benar menjadi salah dan salah menjadi benar.