KEJAWEN
DI dalam kehidupan sosial masyarakat, tersedia sebuah pemahaman kultural yang sampai hari ini tetap menarik untuk diperbincangkan. Yakni apa yang disebut bersama Islam Kejawen.
Secara syariat, Islam Kejawen sesungguhnya tidak dikenal dalam Al-Quran maupun Hadits. Namun beberapa versi mengatakan, Islam Kejawen baru muncul sejalan bersama datangnya Wali Songo ke Tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Dalam dakwahnya, para wali jalankan pendekatan yang halus, yakni memasukkan unsur budaya dan tradisi Jawa agar gampang diterima dan dimengerti penduduk sementara itu.
Seperti yang muncul terhadap pagelaran wayang kulit bersama cerita Serat Kalimasada. Kesamaan bunyi pada Kalimasada bersama kalimah syahadat dapat disimak terhadap lakon tersebut.
Dikisahkan, Serat Kalimasada adalah lembaran yang memuat suatu hal yang teramat sakral dan ampuh melawan segala kejahatan di muka bumi. Konon siapapun si pembawa serat ini, maka dia dapat jadi sakti mandraguna.
Sampai menjelang akhir cerita, tidak tersedia tokoh yang mengetahui isi serat tersebut. Barulah ki dalang membeberkan jika isi Serat Kalimasada adalah dua kata-kata syahadat.
Tak hanya kisah pewayangan, para wali juga menciptakan tembang Macapat yang sarat dapat filsafat.
Ke-11 tembang ini jika dibedah miliki ruhnya sendiri-sendiri.
1. Mijil.
2. Kinanthi.
3. Sinom.
4. Asmarandana.
5. Dhandhanggula.
6. Gambuh.
7. Maskumambang.
8. Durma.
9. Pangkur.
10. Megatruh.
11. Pocung.
Selain bersifat lakon pewayangan dan gending, aliran Islam Kejawen juga dikenal miliki enam ilmu supranatural seperti berikut :
1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal. Ilmu kanuragana berfaedah untuk bela diri secara supranatural dan kebal terhadap serangan. Contohnya Asma’ Malaikat, Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas, dan lain-lain.
2. Ilmu Kewibawaan dan Ilmu Pengasihan. Ilmu Kewibawaan dimanfaatkan untuk tingkatkan energi kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan agar disegani. Sementara Ilmu Pengasihan membuat orang yang dicintai terpikat dan biasa dimanfaatkan para pemuda.
3. Ilmu Terawangan dan Ngrogosukmo.
Ilmu Terawangan dapat digunakan untuk lihat bangsa gaib, jaman depan, sampai berinteraksi bersama makhluk tak kasat mata. Jika dalam ilmu terawangan hanya mata batin yang berkeliaran, namun terhadap tingkat Ngrogosukmo, seseorang dapat melepas sukma untuk bepergian ke manapun ia mau.
4. Ilmu Khodam.
Seseorang yang menguasai ilmu khodam berarti dia dapat berkomunikasi bersama makhluk pendamping yang selalu ikuti tuannya.
5. Ilmu Permainan.
Ilmu ini biasa digunakan seseorang yang beratraksi untuk sebuah pertunjukan. Sekilas serupa bersama ilmu kebal.
6. Ilmu Kesehatan.
Termasuk dalam ilmu ini adalah ilmu gurah, ilmu kuat seks, dan ilmu-ilmu supranatural lain yang berhubungan bersama manfaat biologis tubuh manusia.
Belajar Ilmu Kejawen Dari Buku Primbon lama aku tidak aktif di kompasiana , maklum kerap pakai hp jadi tidak cukup begitu leluasa menulisnya , jadi malas malasan untuk membuat postingan , ulang pula aku yakin kompasiana tanpa aku juga selalu jalur lancar heheheh. Berbagi ilmu , sesudah aku jalur jalur di penjual buku murah , aku menemukan buku primbon jawa lengkap, merasa berasal dari ramalan jodoh, ramalan rizki, mantra dan lain sebagainya , apalagi sampai mau pergi ke suatu tempat juga tersedia ramalanya, bangun rumah, atau ganti tempat tinggal juga tersedia, manggil gendruwo ngusi gendruwo juga tersedia. Dari sekian banyak ilmu kejawen yang tersedia di buku selanjutnya ternyata bahasanya tidak semata-mata ilmu kejadugan dan kesaktian saja. namun juga berkenaan falsafah hidup manusia, merasa berasal dari kelahiran sampai kematian apalagi arah dan target berasal dari hidup itu sendiri.
Kejawen mengalami minimal dua kali ekslusi berasal dari rahim Islam.
1. Pertama, eksklusi berasal dari pihak muslim puritan.
2. Kedua, ekslusi berasal dari kaum yang mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai santri.
Kejawen bukan bagian berasal dari Islam dan/atau tidak cukup bernuansa santri.
Tulisan ini memberi jawaban negatif untuk pertanyaan itu, dan menghadirkan tesis : Kejawen adalah Islam Tasawuf Jawa.
Dasar argumen postingan ini adalah buku Damar Shashangka berjudul Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati (Jakarta: Dolphin, 2014). Di buku tersebut, Shashangka mendefisikan Kejawen bersama khususnya dahulu membedakannya berasal dari Jawa Dipa dan Jawa Buda.
Yang dimaksud bersama Jawa Dipa adalah ajaran asli Jawa yang jejaknya dapat diamati dalam berbagai upacara Jawa (seperti tumpengan dll.) dan kepercayaan Jawa (seperti kepercayaan berkenaan roh leluhur, tempat-tempat keramat dan perhitungan primbon). (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 21-22).
Sebagian orang, seperti Agus Sunyoto dan B. Wiwoho, menyebut ajaran asli Jawa itu sebagai Kapitayan.
Sebutan Kapitayan terkait bersama kepercayaan terhadap kebolehan gaib yang disebut bersama Taya.
Manifestasi Taya disebut TU.
Ketika TU datang dalam kebaikan yang terang, Ia disebut TU-han. Ketika TU muncul dalam keburukan yang gelap, Ia disebut sebagai han-TU.
Daya gaib TU dipercaya tersimpan di wa-Tu (batu), TU-k (mata air), TU-ban (air terjun) dan lain-lain. Maka, untuk-Nya, persembahan diberikan pada lain dalam bentuk TU-mpeng. TU positif yang diserap manusia disebut bersama TU-ah, sedang TU tidak baik yang diserap manusia disebut TU-lah. Manusia yang terima TU secara paripurna pun disebut ra-Tu. (Wiwoho, Islam Mencintai Nusantara, h. 62-63).
Menurut Shashangka, ‘Kapitayan’, yang memuat kepercayaan tersebut, merupakan terjemahan berasal dari kata ‘Kepercayaan’, yang tenar di dekade 1980-an, sejalan bersama keberadaan Penghayat Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia. Tapi apakah kepercayaan Jawa asli itu bernama Kapitayan atau Jawa Dipa (artinya pelita Jawa), tidak dapat dipastikan. Yang jelas, Kejawen bukan seratus prosen Kapitayan atau Jawa Dipa. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 22).
Kejawen juga bukan Jawa Buda. Sebab, Jawa Buda adalah campuran berasal dari Jawa Dipa bersama agama Siwa dan agama Buddha Mahayana/Tantrayana/Wajrayana, yang berkembang pesat di jaman Kerajaan Majapahit, selanjutnya berubah ke Bali. Di tangan Danghyang Dwijendra (rohaniawan Bali), Siwa-Jawa dan Buddha-Jawa dipisahkan berasal dari rahim agama Jawa Buda, di mana unsur Siwa-Jawa yang lebih ditonjolkan, dan jadi agama Tirtha, yang sesudah itu lebih dikenal sebagai agama Hindu Bali. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 22-23).
Mengapa Kejawen bukan Jawa Dipa murni dan bukan Jawa Buda? Sebab, inti berasal dari Kejawen adalah Wirid Hidayat Jati . Rujukan utama Kejawen itu memuat anjuran Sunan Kalijaga (separuhnya), delapan wali yang lain dan Ranggawarsita. Ajaran itu tidak tersedia di zaman Majapahit, apalagi sebelumnya. Kemunculannya sesudah Majapahit tumbang.
Penyusunnya yang pertama Sunan Kalijaga, yang ke dua Sultan Agung, yang ketiga Raggawarsita, yang seterusnya Raden Tanaya. Isinya Islam Tasawuf berbalut budaya Jawa. Oleh dikarenakan itu, Kejawen Bukan Jawa Dipa murni, bukan pula Jawa Buda, pelepasan Islam Tasawuf Jawa yang menghubungkan mistisisme Islam bersama Jawa Dipa dan Jawa Buda. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h.23-28)
Hipotesis selanjutnya berjangkar terhadap isi Wirid Hidayat Jati. Permulaan buku itu adalah pemaparan berkenaan guru dan murid. (Bab 1-2) yang notabene ajaran tasawuf Islam ( mrid ) yang selaras bersama ajaran Jawa Budha (santri).
Selanjutnya, Wirid Hidayat Jati isi hal ihwal berkenaan wirid, yang tidak melulu terkait bersama doa, pelepasan anjuran yang dapat memancangkan anggapan tambah diri kepada Tuhan.
Wirid Hidayat Jati memaparkan bahasan berkenaan Tuhan, manusia, alam semesta, relasi manusia bersama Tuhan dan semesta, dan beberapa doa dan ritual. Di situ, ajaran Islam tasawuf tingkat tinggi diintegrasikan bersama budaya Jawa, yang bernuansa Jawa Dipa dan Jawa Buda.
Misalnya, Jawa Dipa dan Jawa Buda semedi: menghimpun diri bersama kebolehan semesta. Di pihak lain, tingkat tertinggi relasi manusia bersama Tuhan versi Islam adalah i sn, yakni merasa ‘dilihat’ dan ‘melihat’ Tuhan. Di Kejawen, yang tercatat di Wirid Hidayat Jati, tirakat tertinggi dalam hubungan bersama Tuhan disebut sebagai Salat Daim.
Secara Sejenis, Salat Daim (salat abadi) selaras bersama ayat Al-Quran (QS Al-Ma’arij: 23). Tapi pengertian Salat Daim versi Kejawen tidak dapat menggerakkan shalat lima sementara dan shalat-shalat sunnah, pelan selalu mengingat Tuhan tanpa putus bangun tidur nyenyak lagi, yang diawali bersama tekad berkata di sini.
Apakah Salat Daim ala Kejawen itu ibadah kepada Tuhan tingkat tinggi? Jika orang Kejawen jalankan ibadah tingkat tinggi yang selaras bersama Islam dan salam terhadap anjuran yang penuh ajaran tasawuf Islam, layakkah orang kejawen dieklusikan berasal dari Islam.
Kejawen mengalami minimal dua kali ekslusi berasal dari rahim Islam. Pertama, eksklusi berasal dari pihak muslim puritan. Kedua, ekslusi berasal dari kaum yang mengidentifikasi dan diidentifikasi sebagai santri. Apakah Kejawen bukan bagian berasal dari Islam dan/atau tidak cukup bernuansa santri.
Tulisan ini memberi jawaban negatif untuk pertanyaan itu, dan menghadirkan tesis: “Kejawen adalah Islam Tasawuf Jawa”.
Dasar argumen postingan ini adalah buku Damar Shashangka berjudul Induk Ilmu Kejawen: Wirid Hidayat Jati (Jakarta: Dolphin, 2014). Di buku tersebut, Shashangka mendefisikan Kejawen bersama khususnya dahulu membedakannya berasal dari Jawa Dipa dan Jawa Buda.
Yang dimaksud bersama Jawa Dipa adalah ajaran asli Jawa yang jejaknya dapat diamati dalam berbagai upacara Jawa (seperti tumpengan dll.) dan kepercayaan Jawa (seperti kepercayaan berkenaan roh leluhur, tempat-tempat keramat dan perhitungan primbon). (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 21-22).
Sebagian orang, seperti Agus Sunyoto dan B. Wiwoho, menyebut ajaran asli Jawa itu sebagai ‘Kapitayan’. Sebutan Kapitayan terkait bersama kepercayaan terhadap kebolehan gaib yang disebut bersama Taya. Manifestasi Taya disebut TU. Ketika TU datang dalam kebaikan yang terang, Ia disebut TU-han. Ketika TU muncul dalam keburukan yang gelap, Ia disebut sebagai han-TU.
Daya gaib TU dipercaya tersimpan di wa-Tu (batu), TU-k (mata air), TU-ban (air terjun) dan lain-lain. Maka, untuk-Nya, persembahan diberikan pada lain dalam bentuk TU-mpeng. TU positif yang diserap manusia disebut bersama TU-ah, sedang TU tidak baik yang diserap manusia disebut TU-lah. Manusia yang terima TU secara paripurna pun disebut ra-Tu. (Wiwoho, Islam Mencintai Nusantara, h. 62-63).
Menurut Shashangka, ‘Kapitayan’, yang memuat kepercayaan tersebut, merupakan terjemahan berasal dari kata ‘Kepercayaan’, yang tenar di dekade 1980-an, sejalan bersama keberadaan Penghayat Aliran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia. Tapi apakah kepercayaan Jawa asli itu bernama Kapitayan atau Jawa Dipa (artinya pelita Jawa), tidak dapat dipastikan. Yang jelas, Kejawen bukan seratus prosen Kapitayan atau Jawa Dipa. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 22).
Kejawen juga bukan Jawa Buda. Sebab, Jawa Buda adalah campuran berasal dari Jawa Dipa bersama agama Siwa dan agama Buddha Mahayana/Tantrayana/Wajrayana, yang berkembang pesat di jaman Kerajaan Majapahit, selanjutnya berubah ke Bali. Di tangan Danghyang Dwijendra (rohaniawan Bali), Siwa-Jawa dan Buddha-Jawa dipisahkan berasal dari rahim agama Jawa Buda, di mana unsur Siwa-Jawa yang lebih ditonjolkan, dan jadi agama Tirtha, yang sesudah itu lebih dikenal sebagai agama Hindu Bali. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h. 22-23).
Mengapa Kejawen bukan Jawa Dipa murni dan bukan Jawa Buda? Sebab, inti berasal dari Kejawen adalah Wirid Hidayat Jati . Rujukan utama Kejawen itu memuat anjuran Sunan Kalijaga (separuhnya), delapan wali yang lain dan Ranggawarsita. Ajaran itu tidak tersedia di zaman Majapahit, apalagi sebelumnya. Kemunculannya sesudah Majapahit tumbang.
Penyusunnya yang pertama Sunan Kalijaga, yang ke dua Sultan Agung, yang ketiga Raggawarsita, yang seterusnya Raden Tanaya. Isinya Islam Tasawuf berbalut budaya Jawa. Oleh dikarenakan itu, Kejawen Bukan Jawa Dipa murni, bukan pula Jawa Buda, pelepasan Islam Tasawuf Jawa yang menghubungkan mistisisme Islam bersama Jawa Dipa dan Jawa Buda. (Shashangka, Induk Ilmu Kejawen, h.23-28)
Hipotesis selanjutnya berjangkar terhadap isi Wirid Hidayat Jati. Permulaan buku itu adalah pemaparan berkenaan guru dan murid. (Bab 1-2) yang notabene ajaran tasawuf Islam ( mrid ) yang selaras bersama ajaran Jawa Buda ( santri ). Selanjutnya, Wirid Hidayat Jati isi hal ihwal berkenaan wirid, yang tidak melulu terkait bersama doa, pelepasan anjuran yang dapat memancangkan anggapan tambah diri kepada Tuhan.
Wirid Hidayat Jati memaparkan bahasan berkenaan Tuhan, manusia, alam semesta, relasi manusia bersama Tuhan dan semesta, dan beberapa doa dan ritual. Di situ, ajaran Islam tasawuf tingkat tinggi diintegrasikan bersama budaya Jawa, yang bernuansa Jawa Dipa dan Jawa Buda.
Misalnya, Jawa Dipa dan Jawa Buda semedi: menghimpun diri bersama kebolehan semesta. Di pihak lain, tingkat tertinggi relasi manusia bersama Tuhan versi Islam adalah i sn, yakni merasa ‘dilihat’ dan ‘melihat’ Tuhan. Di Kejawen, yang tercatat di Wirid Hidayat Jati, tirakat tertinggi dalam hubungan bersama Tuhan disebut sebagai Salat Daim.
Secara Sejenis, Salat Daim (salat abadi) selaras bersama ayat Al-Quran (QS Al-Ma’arij: 23). Tapi pengertian Salat Daim versi Kejawen tidak dapat menggerakkan shalat lima sementara dan shalat-shalat sunnah, pelan selalu mengingat Tuhan tanpa putus bangun tidur nyenyak lagi, yang diawali bersama tekad berkata di sini.
Apakah Salat Daim ala Kejawen itu ibadah kepada Tuhan tingkat tinggi? Jika orang Kejawen jalankan ibadah tingkat tinggi yang selaras bersama Islam dan salam terhadap anjuran yang penuh ajaran tasawuf Islam, layakkah orang kejawen dieklusikan berasal dari Islam.
Kejawen merupakan kepercayaan berasal dari suku yang tersedia di Pulau Jawa. Filsafat Kejawen didasari terhadap ajaran agama yang dianut oleh filsuf berasal dari Jawa. Meskipun Kejawen merupakan kepercayaan, sesungguhnya Kejawen meminta agama.
Dari naskah-naskah kuno Kejawen, kelihatan rumit Kejawen lebih menyerupai seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang Jawa. Yang mana, itu tidak lepas berasal dari spiritualitas suku Jawa.
Budaya Kejawen muncul sebagai bentuk sistem perpaduan berasal dari beberapa mengetahui atau aliran agama pendatang dan kepercayaan penduduk asli Jawa. Sebelum Budha, Kristen, Hindu, dan Islam masuk ke Pulau Jawa, kepercayaan asli penduduk Jawa adalah animisme dan dinamisme, atau perdukunan.
Orang-orang Jawa yang yakin bersama Kejawen relatif taat bersama agamanya. Di mana, mereka selalu jalankan perintah agama dan jauhi larangan berasal dari agamanya. Caranya, bersama berpikiran diri sebagai orang pribumi. Pada dasarnya, diskusi filsafat Kejawen sesungguhnya mendorong manusia untuk selalu taat bersama Tuhannya.
Sejak dahulu kala, orang Jawa sesungguhnya dikenal diterima ke desa Tuhan. Itulah inti berasal dari ajaran Kejawen sendiri, yakni yang dikenal bersama ‘ Sangkan Paraning Dumadhi’ , atau miliki arti ‘dari mana mampir dan kembalinya hamba Tuhan’.
Aliran filsafat kejawen umumnya berkembang sejalan bersama agama yang dianut pengikutnya. Dikenal sesudah itu dikenal terminologi Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Budha Kejawen, dan Kristen Kejawen. Di mana pengikut masing-masing aliran itu dapat selalu jalankan adat dan budaya Kejawen yang tidak bertentangan bersama agama yang dipeluknya.
Secara umum, Kejawen sendiri merupakan bangunan yang miliki aturan utama yakni bangunan tata krama atau tata ruang berkehidupan yang baik. Kini Kejawen telah banyak ditolak, dan beberapa besar apalagi diakui representasi berasal dari kekunoan.
Namun, tetap banyak juga penduduk Jawa yang menggerakkan tradisi-tradisi sampai sementara ini. Sebut saja ritual nyadran , mitoni , tedhak siten , dan wetonan . Nyadran merupakan upacara yang ditunaikan orang Jawa sebelum saat Puasa tiba. Wujudnya, jalankan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga.
Kemudian mitoni . Tradisi ini diperuntukkan bagi wanita yang memiliki kandungan bayi untuk pertama kalinya. Tepatnya di usia kehamilan tujuh bulan, ritual bersifat siraman itu digelar. Lalu tersedia tedhak siten , yakni ritual yang ditunaikan di dalam kerangka yang disiapkan anak-anak agar dapat memungkinkan kehidupan yang benar dan sukses di jaman depan.
Sementara tradisi lainnya adalah wetonan yang serupa bersama tradisi ulang tahun. Hanya saja, wetonan dapat ditunaikan sampai 10 kali dalam transisi. W etonan ditunaikan cocok bersama penunjukan sementara dalam penanggalan kalender Jawa.
Sekarang tetap banyak tradisi Kejawen yang tetap ditunaikan oleh orang Jawa. Namun, mereka kehilangan filosofis berasal dari Kejawen itu sendiri. Bagaimana mereka jalankan tradisi Kejawen namun hanya pertimbangkan tradisi-tradisi itu sebagai tradisi penduduk Jawa. Oleh dikarenakan itu, sebagai generasi penerus bangsa, telah sepantasnya kami terus melestarikan dan bangga bersama adat istiadat khas Indonesia.
Kejawen sesungguhnya terlalu lekat bersama adat istiadat orang Jawa. Itulah sebabnya, biarpun Kejawen telah banyak ditinggalkan, beberapa tradisi yang dalam Kejawen tetap menempel di penduduk sampai kini.
Sadar atau pun tidak sesungguhnya kamu yang berada di Jawa telah menerapkan apa yang namanya Kejawen. Sejak kecil, apa yang diajarkan orang tua mau pun guru, sedikit banyak juga mengadopsi ajaran berasal dari Kejawen. Lantas Kejawen itu sendiri apa? Apakah semacam agama atau kepercayaan yang tersedia hubungannya bersama klenik dan perdukunan?
Mari kita coba kulik satu per satu apa itu Kejawen, dan seperti apa sistemnya. Semoga sesudah membaca ini kami seluruh dapat mengetahui berkenaan falsafah-falsafah hidup yang jadi basic kehidupan di Jawa. Mari kami bahas bersama-sama!
Apa Itu Kejawen ?
Kejawen bukanlah sebuah agama. Hal ini perlu kami pahami khususnya dahulu sebelum saat membahasnya lebih jauh. Kejawen semata-mata sebuah ajaran yang tersedia jauh sebelum saat agama monotheis masuk ke Indonesia. Ajaran ini utamakan terhadap tata krama yang jadi basic hubungan antar manusia.
Mengenal Kejawen
Selain itu, Kejawen juga hidup dan berdampingan bersama agama yang dianut oleh pengikutnya. Artinya ajaran ini dapat selaras bersama agama apa saja yang sementara ini dianut pengikutnya. Akhirnya muncul apa yang dinamakan Islam Kejawen, Kristen Kejawen, sampai Hindu Kejawen.
Misi-Misi yang Harus Dilakukan Pengikut Kejawen
Pengikut Kejawen miliki misi dalam hidupnya. Misi ini bukanlah suatu hal yang diwajibkan sampai terkesan memberatkan. Misi ini sejatinya dapat ditunaikan selaras bersama kehidupan sehari-harinya. Misi itu bergantung terhadap menyatukannya manusia terhadap Tuhan dalam dirinya. Setelah penyatuan ini manusia dapat jalankan misi yang keliru satunya adalah jadi rahmat bagi dirinya sendiri. Manusia tidak dapat membuat dirinya jadi hancur dikarenakan kelakuannya yang buruk.
Misi-Misi yang Harus Dilakukan Pengikut Kejawen
Misi setelah itu adalah jadi rahmat bagi keluarga. Kita tidak boleh membuat keluarga menjamin aib yang kami buat. Selanjutnya adalah jadi rahmat kepada sesama manusia dan alam semesta. Artinya kami perlu berbuat baik kepada orang lain dan seluruh makhluk hidup di muka bumi ini. Misi ini berjalan sejalan bersama tumbuhnya manusia berasal dari anak-anak sampai dewasa.
Mengakui Keesaan Tuhan dan Menghormati Semua Ajaran Agama.
Meski menganut Kejawen, seluruh pengikut berasal dari ajaran ini tetap sangat percaya Tuhan Yang Esa. Artinya tidak tersedia pergantian bersama kepercayaan seseorang. Jika ia seorang Muslim maka ia selalu jalankan ibadahnya cocok bersama tuntunan yang diajarkan.
Mengakui Keesaan Tuhan dan Menghormati Semua Ajaran Agama
Kejawen menghormati seluruh ajaran agama. Tidak tersedia intervensi ke dalam agama untuk melarang atau menyuruh sesuatu. Karena Kejawen dan juga agama yang dianut berjalan berdampingan. Melengkapi satu serupa lain sampai membentuk sebuah keharmonisan.
Kejawen dan Seni Budaya, Ritual, dan Tradisi Jawa
Kejawen selalu diidentikkan bersama seni budaya, ritual, dan juga tradisi yang telah mengakar di Indonesia. Seperti seni budaya wayang yang terlalu kental bersama unsur Jawa. Selain itu juga tersedia beberapa ritual seperti ruwatan, dan suran. Tradisi-tradisi seperti slametan, dan bersih desa juga tersedia sampai sekarang.
Kejawen dan Seni Budaya, Ritual, dan Tradisi Jawa
Hal-hal semacam itu tersedia bukan bertujuan untuk menyesatkan manusia. Namun bertujuan agar manusia dapat selaras bersama alam. Selaras bersama penduduk dan bersyukur berasal dari apa yang telah Tuhan berikan. Beberapa hal seperti seni yang tersedia di Jawa apalagi digunakan sebagai metode dakwah oleh Wali Songo di jaman lalu.
Hari Penting dan Kitab Ajaran Kejawen juga miliki beberapa hari yang diakui sakral dan juga penting. Hal ini serupa halnya hari besar dalam agama monotheis yang dianut hampir beberapa besar orang Jawa. Hari-hari itu meliputi Suran, Sepasaran, Mantenan, Mangkat, Unggahan (Puasa dan Syawal), dan Hari Raya Kupat. Karena di Jawa telah tersedia asimilasi bersama Islam maka hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Mauludan juga dimasukkan ke daftar hari penting.
KEJAWEN
Kejawen adalah sebuah pandangan hidup yang terutama dianut di Pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen merupakan kumpulan pandangan hidup dan filsafat sepanjang peradaban orang Jawa yang menjadi pengetahuan kolektif bersama, hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskan pada ajaran agama yang dianut oleh Filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan :
Sangkan Paraning Dumadhi (Dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan) dan membentuk insan se-iya se-kata dengan Tuhannya :
Manunggaling Kawula lan Gusthi (Bersatunya Hamba dan Tuhan). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut :
1. Mamayu Hayuning. Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi).
2. Mamayu Hayuning Kulawarga (sebagai rahmat bagi keluarga).
3. Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia).
4. Mamayu Hayuning Bhawana (sebagai rahmat bagi alam semesta).
Berbeda dengan kaum abangan, kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jati dirinya sebagai orang pribumi. Jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti: Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
Kata Kejawen berasal dari kata Jawa, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan kejawen bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama di mana semua agama yang dianut oleh orang Jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah spiritualis kejawen yang utama adalah :
1. Pasa (Berpuasa).
2. Tapa (Bertapa).
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan ibadah). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep keseimbangan. Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol laku berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.
Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.
HARI-HARI PENTING
Sultan Agung Mataram dianggap sebagai filsuf peletak fondasi Kejawen Muslim yang kemudian sangat mempengaruhi upacara-upacara penting terutama yang paling tampak adalah penanggalan dalam menentukan hari-hari penting.
Hari-hari penting kejawen tidak lepas dari :
1. Kelahiran.
2. Pernikahan.
3. Mangkat (kematian), yang ketiganya adalah kehidupan dalam tradisi Jawa.
Orang Jawa akan mendapatkan nama pada ketiga peristiwa tersebut, yaitu nama saat kelahiran, nama saat pernikahan, nama saat mangkat (nama kematian dengan menambahkan bin / binti nama orang tua di belakang nama kelahiran). Semua hari-hari penting itu ditetapkan sesuai kalender Jawa yang memiliki Primbon sebagai aturan-aturan dalam menentukan hari penting dan tata caranya. Berikut adalah hari-hari penting dalam Kejawen :
1. Suran (Tahun Baru 1 Sura).
2. Sepasaran (upacara kelahiran) dan akikah bagi muslim.
3. Mantenan (pernikahan dengan segala upacaranya).
4. Mangkat (upacara kematian).
5. Mengirim doa (kenduri, wirid, ngaji) :
- 7 hari.
- 40 hari.
- 100 hari.
- 1000 hari.
- 3000 hari.
6. Megeng Pasa, tanggal 28 dan 29 bulan Ruwah (bulan Arwah), digunakan untuk mengirim doa kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi.
7. Megeng Sawal, tanggal 29 dan 30 bulan Pasa, digunakan untuk mengirim doa kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu.
8. Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi bagi yang tidak ada kesempatan pada Megeng Pasa.
9. Riadi Kupat (Hari Raya Kupat), tanggal 3, 4 dan 5 bulan Sawal (bagi orang tua yang ditinggalkan anaknya sebelum menikah).
Karena filsafat kejawen juga beragama, hari besar agama juga merupakan hari penting kejawen. Berikut ini adalah beberapa hari penting tambahan untuk kejawen muslim :
1. Hari Raya Idul Fitri / Riyaya.
2. Hari Raya Idul Adha.
3. Hari Raya Jumat.
4. Muludan (Maulid Kanjeng Nabi Muhammad, S.A.W.).
5. Sekaten (Syahadatain).
Para penganut kejawen sangat menyukai berpuasa dalam ajaran Islam karena dianggap sama dengan ajaran leluhurnya selain juga tafakur yang dianggap sama dengan bertapa.
1. Pasa Weton.
Puasa pada hari kelahiranya sesuai penanggalan Jawa.
2. Pasa Sekeman.
Puasa pada hari Senin dan Kamis.
3. Pasa Wulan.
Puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan kalender Jawa.
4. Pasa Dawud.
Puasa selang-seling, sehari puasa sehari tidak.
5. Pasa Ruwah.
Puasa pada hari-hari bulan Ruwah (bulan Arwah).
6. Pasa Sawal.
Puasa enam hari pada bulan Sawal kecuali tanggal 1 Sawal.
7. Pasa Apit Kayu.
Puasa 10 hari pertama pada bulan ke-12 kalender Jawa.
Pasa Sura.
Puasa pada tanggal 9 dan 10 bulan Sura.
Selain puasa di atas kejawen juga memiliki puasa biasanya untuk menggambarkan kezuhudan (kesungguhan) dalam mencapai keinginan, jenis puasa tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pasa Mutih.
Puasa ini dilakukan dengan jalan hanya boleh makan nasi putih, tanpa garam dan lauk pauk atau makanan kecil dan lain-lain, serta minumnya juga air putih.
2. Pasa Patigeni.
Puasa tidak boleh makan, minum, dan tidur serta hanya boleh di kamar saja tanpa disinari cahaya lampu.
3. Pasa Ngebleng.
Puasa tidak boleh makan dan minum, tidak boleh keluar kamar, boleh sekadar keluar tetapi sekadar buang hajat dan boleh tidur tetapi sebentar saja.
4. Pasa Ngalong.
Puasa tidak makan dan minum tetapi boleh tidur sebentar saja dan boleh pergi.
5. Pasa Ngrowot.
Puasa yang tidak boleh makan nasi dan hanya boleh makan buah-buahan atau sayur-sayuran saja.
6. Pasa Wungon.
Puasa yang tidak boleh makan dan minum, duduk bersila, kedua tangan diletakkan di atas lutut sambil berkonsentrasi apa yang diinginkan.
7. Pasa Tapa Jejeg.
Puasa yang tidak boleh makan dan minum, serta harus berdiri minimal 12 jam lamanya.
8. Pasa Ngelowong.
Puasa yang tidak boleh makan dan minum dalam waktu yang ditentukan sendiri, misalnya 3 jam atau 6 jam.
KITAB
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang Jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam jenis karya tulis sebagai berikut :
1. Kakawin (Sastra Kawi).
Kitab sastra metrum kuno (lama) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang berjumlah 5 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan bahasa Jawa Kuno.
2. Macapat (Sastra Carakan).
Kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang terdiri lebih dari 82 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan huruf Pegon.
3. Babad (Sejarah).
Kitab yang menceritakan sejarah nusantara berjumlah lebih dari 15 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan bahasa Jawa Kuno serta aksara Jawa dan bahasa Jawa.
4. Suluk (Jalan Spiritual).
Kitab tata cara menempuh jalan supranatural untuk membentuk pribadi hanjawani yang luhur dan dipercaya siapa saja yang mengalami kesempurnaan akan memperoleh kekuatan supranatural yang berjumlah lebih dari 35 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan huruf Pegon. Suluk juga merupakan jenis sastra yang ditembangkan.
5. Kidung (Doa-doa).
Sekumpulan doa-doa atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada khas, sama seperti halnya doa lain ditujukan kepada tuhan bagi pemeluknya masing-masing yang berjumlah 7 kitab, ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa.
6. Piwulang (Pengajaran).
Secara bahasa berarti yang diulang-ulang berupa kitab yang mengajarkan tatanan terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani, ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa.
8. Primbon (Himpunan).
Secara bahasa berarti induk, kumpulan, atau rangkuman berupa kitab praktik praktis dalam pelaksanaan tatanan adat sepanjang waktu, juga biasanya dilengkapi cara untuk membaca gelagat alam semesta untuk memprediksi kejadian. ditulis menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa.
Naskah-naskah di atas mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), dan ada ribuan naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama di atas dalam bentuk karya tulis, biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan), dan sebagainya.
ALIRAN KEJAWEN
Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktikkan ajaran agama (lain) tertentu.
Beberapa aliran dengan anggota besar :
1. Budi Dharma.
2. Kawruh Begia.
3. Maneges.
4. Padepokan Cakrakembang.
5. Pangestu.
6. Sumarah.
Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon yang ingin mengembalikan agama orang Jawa kembali ke Agama Budi yang dianggap sebagai agama asli menurut Sabdapalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar yang merupakan ajaran/aliran Islam yang telah ditetapkan sesat oleh Wali Sanga.
KEJAWEN PEDOMAN BERKEHIDUPAN MASYARAKAT JAWA
Kejawen dipandang sebagai Ilmu yang mempunyai ajaran-ajaran yang utama, yaitu membangun tata krama atau aturan dalam berkehidupan yang baik.
Kejawen merupakan kepercayaan dari sebuah etnis yang berada di Pulau Jawa. Filsafat Kejawen didasari pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf dari Jawa. Walaupun Kejawen merupakan kepercayaan, sebenarnya Kejawen bukanlah sebuah agama.
Dari naskah-naskah kuno Kejawen, tampak betapa Kejawen lebih berupa seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi orang-orang Jawa. Yang mana, itu tidak terlepas dari spiritualitas suku Jawa.
Budaya Kejawen muncul sebagai bentuk proses perpaduan dari beberapa paham atau aliran agama pendatang dan kepercayaan asli masyarakat Jawa. Sebelum Budha, Kristen, Hindu, dan Islam masuk ke Pulau Jawa, kepercayaan asli yang dianut masyarakat Jawa adalah animisme dan dinamisme, atau perdukunan.
Orang-orang Jawa yang percaya dengan Kejawen relatif taat dengan agamanya. Di mana, mereka tetap melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangan dari agamanya. Caranya, dengan menjaga diri sebagai orang pribumi. Pada dasarnya, ajaran filsafat Kejawen memang mendorong manusia untuk tetap taat dengan Tuhannya.
Sejak dahulu kala, orang Jawa memang dikenal mengakui keesaan Tuhan. Itulah menjadi inti dari ajaran Kejawen sendiri, yakni yang dikenal dengan ‘Sangkan Paraning Dumadhi’, atau memiliki arti ‘dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan’.
Aliran filsafat kejawen biasanya berkembang seiring dengan agama yang dianut pengikutnya. Sehingga kemudian dikenal terminologi Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Budha Kejawen, dan Kristen Kejawen. Di mana pengikut masing-masing aliran itu akan tetap melaksanakan adat dan budaya Kejawen yang tidak bertentangan dengan agama yang dipeluknya.
Secara umum, Kejawen sendiri merupakan sebuah kebudayaan yang mempunyai ajaran utama yakni membangun tata krama atau aturan dalam berkehidupan yang baik. Kini Kejawen telah banyak ditinggalkan, dan untuk sebagian orang bahkan dianggap representasi dari kekunoan.
Tetapi kenyataannya, masih banyak juga masyarakat Jawa yang menjalankan tradisi-tradisi hingga saat ini.
Sebut saja ritual :
1. Nyadran.
Nyadran merupakan upacara yang dilakukan orang Jawa sebelum Puasa tiba. Wujudnya, melakukan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga.
2. Mitoni.
Kemudian mitoni. Tradisi ini diperuntukkan bagi wanita yang mengandung bayi untuk pertama kalinya.
3. Tedhak siten.
Tepatnya di usia kehamilan tujuh bulan, ritual berupa siraman itu digelar. Lalu ada tedhak siten, yakni ritual yang dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan seorang anak agar dapat menjalani kehidupan yang benar dan sukses di masa depan.
4. Wetonan.
Sedangkan tradisi lainnya adalah wetonan yang mirip dengan tradisi ulang tahun. Hanya saja, wetonan bisa dilaksanakan hingga 10 kali dalam setahun. Wetonan dilaksanakan sesuai dengan penunjukan waktu dalam penanggalan kalender Jawa.
Sekarang masih banyak tradisi Kejawen yang masih dilakukan oleh orang Jawa, selain tentunya dilestarikan secara turun-temurun. Namun terkadang mereka seperti kehilangan makna filosofis dari Kejawen itu sendiri. Sehingga mereka melakukan tradisi Kejawen tapi hanya menganggap tradisi-tradisi itu sebagai kebiasaan masyarakat Jawa. Oleh karena itu, sebagai generasi penerus bangsa, sudah sepantasnya kita terus melestarikan dan bangga dengan adat istiadat khas Indonesia.
Kejawen memang amat lekat dengan adat istiadat orang Jawa. Itulah sebabnya, walau Kejawen telah banyak ditinggalkan, beberapa tradisi yang dalam Kejawen masih melekat di masyarakat hingga kini.
ISLAM KEJAWEN
Islam Kejawen (Agama dalam Kesejarahan Kultur Lokal)
Islam Kejawen secara sosio-kultural adalah merupakan sub kultur dan bagian dari budaya Jawa. Kebudayaan Jawa sendiri dalam pengertian yang lebih luas meliputi sub kultur-sub kultur yang ada di tanah Jawa, seperti budaya Pesisiran (Pantura), Banyumasan, dan budaya Nagari Agung. Istilah tanah Jawa dipakai untuk tidak menyebut pulau Jawa karena di pulau Jawa ada budaya-budaya yang bukan termasuk dalam sub budaya Jawa seperti budaya Sunda (Jawa Barat) dan Betawi (Jakarta). Istilah Kejawen dipakai oleh masyarakat untuk menyebut budaya dan tradisi di eks kerajaan Mataram Islam baik yang berada di Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) maupun Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran).
Dari kedua wilayah inilah maka kemudian tradisi Kejawen berkembang. Istilah Islam dipakai dalam tradisi Kejawen sebagai identitas tersendiri yang berbeda dengan identitas Islam puritan maupun identitas Jawa. Islam Kejawen adalah agama Islam yang telah beradaptasi dengan kultur dan tradisi Nagari Agung yang kemudian dapat menciptakan sebuah identitas penggabungan antara budaya Jawa dan Islam menjadi religiusitas Islam dengan warna Jawa. Budaya Islam Kejawen merupakan bentuk sinkretisme firman suci dengan kultur lokal sehingga Islam Kejawen merupakan salah satu bentuk fenomena keberagamaan yang sarat dengan muatan muatan tradisi religius yang bercorak mistis. Warna mistik Islam dalam kultur Islam Kejawen begitu kental dalam fenomena keberagamaan masyarakat Jawa. Ini tidak bisa dilepaskan dari peranan para Wali era Demak dan sesudahnya dalam menyebarkan dakwah islam secara kultural.
Berdirinya Demak sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa merupkan realitas politik di mana politik Jawa Islam telah dapat menggeser kekuatan politik Jawa-Hindu Majapahit. Kerajaan Islam Demak merupakan simbol berdirinya kekuatan sosial-politik Islam pertama di Jawa yng menjadi titik peralihan sekaligus masa transisi dari masa Hindu ke masa Kewalen (Kewalian). Demak diakui mampu menyebarkan Islam secara kultural yang ditandai dengan kemampuan para wali dalam mengadaptasikan agama dengan budaya lokal (Jawa).
Kendati umur kerajaan Demak tidak berumur panjang yang kemudian pusat kekuasaan berpindah ke Pajang (Kartasura), namun pondasi dakwah kultural yang telah ditanamkan oleh para Wali dan da’i era Demak tidak pernah berhenti. Pasca kekuasaan Demak, dakwah kultural dilanjutkan oleh para pimpinan dan ulama di kerajaan Pajang. Begitu juga pada era Mataram Islam perpaduan dan adaptasi kultural Islam dengan budaya lokal semakin kental sehingga corak kultur keberagamaaan ini lebih dikenal dengan sebutan Islam Kejawen.
Dari perspektif teologis, Islam sebagai agama samawi dimaksudkan sebagai petunjuk manusia dan sebagai rahmat bagi seru sekalian alam. Berangkat dari sistem keyakinan ini maka umat Islam meyakini kewajiban menyebarluaskan misi di masyaraikat untuk mencapai kebaikan universal dan terciptanya tatanan hidup masyarakat yang berbudaya dan berperadaban. Artinya bagaimana nilai-nilai luhur agama itu termanifestasi dalam realitas kehidupan tanpa harus dibarengi dengan gaya puritan.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana ajaran agama dapat bergumul dengan budaya lokal. Dalam penyebaran Islam, mesti banyak tantangan-tantangan yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lainnya disebabkan perbedaan kultur masyarakat yang berbeda. Di Jawa, tantangan-tantangan muncul dari tradisi mistik Jawa dan budaya Jawa-Hindu. Namun demikian, atas kepekaan intelektual dan kultural para Wali, Islam dihadirkan di Jawa dengan wajah yang santun, adaptif dan tidak konfrontatif dengan budaya Kejawen asli maupun Jawa-Hindu. Islam dimunculkan dengan metode adaptasi kultural sehingga secara sosiologis akan lebih mudah diterima masyarakat Jawa. Dengan menunjuk fakta historis demikian, maka dakwah Wali dalam pribumisasi Islam dianggap berhasil karena Islam berkembang pesat di Jawa secara alamiah dan melalui proses kultural yang kompromis.
Pada masa Kasultanan Mataram Islam, telah muncul buku-buku keagamaan bernaskah Jawa, baik yang merupakan gubahan dari tulisan-tulisan para Sufi dari tanah Sumatra seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf Sinkel maupun buku-buku (kitab) dan tulisan-tulisan karya para Wali di Jawa. Prestasi yang cukup gemilang dalam proses pribumisasi Islam Jawa adalah kemampuan para da’i dan spiritualis Islam dalam mengkombinasikan bukan saja agama dengan budaya lokal tetapi juga antara corak tasawuf falsafi dari Sumatra dengan corak tasawuf ‘amali dari para Wali. Dari kombinasi dan akulturasi beberapa kultur inilah maka kemudian penyebaran Islam di Jawa lebih diwarnai dengan nuansa akhlaq-tasawuf dengan simbol-simbol Jawa.
Warna budaya Jawa makin mengental ketika Kasultanan Mataram terpecah menjadi 2 yaitu :
1. Kerajaan Yogjakarta.
2. Kerajaan Surakarta.
Pasca desentralisasi kekuasaan politik Jawa-Islam inilah maka para pimpinan dan penasehat kerajaan dapat lebih menfokuskan perhatian pada aspek budaya. Era antusiasme politik yang dimulai pada masa Kerajaan Islam Demak sebagai proses identifikasi diri dalam membedakannya dengan Budaya Jawa-Hindu (Majapahit) telah mengalami pergeseran yang begitu berarti pada era desentralisasi politik Islam Mataram. Diakui bahwa kedua kerajaan eks-Mataram Islam yaitu kerajaan di Yogjakarta dan Surakarta yang dikenal dengan Nagari Agung memiliki andil yang cukup besar dalam mengembangkan Islam dalam kerangka budaya Jawa.
Setelah kerajaan eks-Mataram di Yogjakarta pecah menjadi dua yaitu Kasultanan dan Pakualaman dan kerajaan di Surakarta pecah menjadi Kasunanan dan Mangkunegaran pada era inilah antusiasme politik telah bergeser ke antusiame kultural. Kewiabawaan Nagari yang sebelumnya sarat dengan muatan simbol-simbol politik sudah bergeser ke persoalan pengembangan budaya. Proses identifikasi kultural sangat mencolok pada era ini. Bahkan perhatian utama sudah dipusatkan pada pengembangan kerohanian Islam Jawa (Mistisisme Islam Jawa) baik secara intelektual maupun secara kultural.
Sejak saat inilah budaya Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan mistisisme Islam Jawa yang sarat dengan muatan sufistik mulai berkembang pesat. Buku-buku (Serat) Jawa Kuno dengan bahasa Kawi dan Sansekerta, kitab-kitab berbahasa Melayu dengan tulisan Arab (Arab Melayu) serta kitab-kitab tasawuf dalam bahasa Arab dari Timur tengah mulai digubah dalam bahasa Jawa dengan diadakan adaptasi seperlunya terhadap alam pikiran Jawa tanpa kehilangan substansinya. Perpaduan dari berbagai sentral budaya ini telah menimbulkan karya-karya kreatif baru yang memperkaya khazanah sekaligus pengembang budaya Islam Kejawen. Serat Centini ayang ditulis oleh Yosodipuro II, Ronggo Sutrasno dan R. Ng. Ronggowarsito sangat mewarnai kesusastraan Islam Kejawen, tentunya juga kitab-kitab dan sastra-sastra karya para Wali. Begitu juga Serat Wirid Hidayat Jati karya R. Ng. Ronggowarsito, Serat Wulangreh karya Pakubuwono IV dan Serta Wedhatama karya KGPAA Mangkoenegoro IV menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam khazanah pemikiran dan kultur Islam Kejawen.
KHAS ISLAM KEJAWEN
Budaya Jawa yang pada mulanya bercorak animistik dan hinduistik mulai berubah warna sejak zaman kewalen (ke-wali-an, zaman wali). Kendati terjadi perubahan corak dan muatan namun substansi mistisisme dan etika Jawa tetap eksis pada zaman kewalen, bahkan para Wali tidak bersikap konfrontatif terhadap budaya lokal yang ada. Sikap adaptif dan kompromis para wali dan da’i di era Kasultanan Demak ini merupakan cikal bakal yang sekaligus menjadi corak khas Islam Jawa. Fondasi paradigma dakwah kultural era kerajaan Demak ini dilanjutkan Kerajaan Pajang, kemudian Mataram, dan kemudian puncak eksistensi kulturalnya tampak pada zaman kekuasaan politik di Surakarta dan Yogjakarta. Corak utama yang dikembangkan dalam mistisisme Islam jawa adalah tasawuf-akhlaqiyah dan laku-laku mistisisme.
Unsur tasawuf-falsafi dapat ditemukan dalam Serat Wirid Hidayat Jati terutama yang menyangkut Martabat Tujuh dalam proses emanasi (ta’ayun). Sedangkan laku-laku mistik dan jenjang perjalanan spiritualitas dapat diketemukan dalam serat Centini. Ini adalah sekedar contoh kecil dari adanya hibryd of cultute (pencangkokan budaya) dari berbagai tradisi yang kemudian memunculkan karya-karya intelektual dan sastra yang menakjubkan dalam khazanah pemikiran mistisisme Islam Jawa.
Dalam kitab Wedhatama, juga terdapat ajaran-ajaran sufisme yang telah dikombinasikan dengan ruang lingkup budaya Jawa. Di antara indikasi itu adalah inti ajaran yang ditekankan dalam Serat ini yaitu ajaran penyembahan (ritual) empat tingkat (sembah catur). Istilah sembah catur ini pada dasarnya berasal dari ajaran tasawuf Islam klasik era kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad di mana penekanan terhadap tingkatan ilmu yaitu :
1. syari’at, (ritual badani-lahiriah, fikih).
2. thariqat (ritual bathiniyah, perjalanan mistis).
3. hakikat (intisari kosmos, realitas hakiki, kenyataan tentang kebenaran) dan.
4. Ma’rifat (pengenalan langsung tanpa perantara) begitu penting bagi para penempuh laku spiritual.
Nampak bahwa Mangkoenagoro IV membungkus tasawuf dalam konteks kultur Jawa.
Sebelumnya, pada era Demak para Wali telah memulai melakukan penggubahan-penggubahan. Gubahan-gubahan dan penggantian simbol-simbol dan nama Hindu ke dalam simbol Islam khas Jawa sangat mewarnai corak fundamen Islam Kejawen yang sampai saat ini dapat dilihat dalam realitas kehidupan. Budaya pewayangan adalah salah satu indukasi sekaligus kehebatan para Wali dalam melakukan adaptasi kultural Islam dalam konteks Jawa.
Istilah Jimat Kalimasada yang menjadi Jimat Puntadewa, Sang Tetua Pandawa yang sekaligus Raja Amarta adalah merupakan karya kreatif Wali dalam adaptasi kultural. Kalimasada adalah logat Jawa yang berunsur Arab yaitu dari istilah kalimah syahadah. Nama Hindu Arjuna digubah dengan nama Arab-Jawa menjadi Janaka yang berasal dari sebutan jannatuka (surgamu). Nama Bima digubah menjadi Warkudara yang berasal dari istilah wara’a (kehati-hatian, salah satu maqam dalam tasawuf). Begitu juga Semar dari Asmar, Petruk dari Fatruk, Togok dari Thoghut dan sebagainya.
Begitu juga para Wali juga mampu menciptakan karya-karya kreatif dan estetik seperti lagu Ilir-Ilir (karya Sunan Kalijaga) sebagai lagu khas dalam berdakwah sekaligus menghibur. Sabda Pandhita Ratu yang sekarang banyak mengilhami cerita legendaris nasional adalah ajaran dalam kehidupan sosial-politik karya Sunan Bonang. Masih banyak lagi simbol-simbol yang diciptakan para Wali dalam penyebaran Islam deengan jalan menjadikan adat istiadat, tradisi dan kultur Jawa sebagai sesuatu yang tidak perlu dikonfrontir.
EPISTEMOLOGI ISLAM KEJAWEN
Sebagaimana mistisisme Islam pada umumnya, Islam Kejawen yang bercorak etis-mistis ini menjadikan metode intuisionisme yaitu mencapai kebenaran dan melihat realitas dengan intuisi (dzauq, wijdan, hati, perasaan terdalam). Dalam Islam Kejawen, laku-laku spiritual dan etika sosial diperoleh melalui perenungan dan uzlah (pertapaan) sehingga cahaya ke-Tuhan-an dapat menyinari hati sehingga dapat melihat dan menemukan persoalan secara jernih. Mistisisme Islam Kejawen merupakan budaya mistik yang mampu menciptakan konsepsi dan ajaran ontologi dan metafisika umum baik yang terkait dengan persoalan ke-Tuhan-an(teologi), kemanusiaan (antropologi metafisika) maupun alam (kosmologi). Begitu juga penciptaan metode thariqat (jalan mistik) diperoleh dari intuisi yang tentunya tidak lepas dari ruh Al-Qur’an dan nada-nada Nubuwwah.
Kultur mistisisme Islam Kejawen kendati mendapat tantangan dari adanya modernitas dan globalisasi ternyata memiliki sikap tangguh yang dibuktikan eksistensinya hingga dewasa ini. Ritual-ritual -meminjam istilah Clifford Greetz- slametan yang sudah dikombinasi dengan unsur Islam sampai sekarang masih tetap eksis dalam bventuk-bentuk yang beragam seperti upacara kelahiran anak yang diisi dengan bacaan al-Barzanji, upacara mitoni dengan pembacaan surat pitu (tujuh surat dari Al-Qur’an), istighotsah, mujahadah, ratib, manaqiban dan sebagainya adalah indikasi bahwa pribumisasi Islam dalam konteks kultur lokal masih eksis. Ini bukan hanya terjadi di masyarakat Kraton dan pedesaan saja tetapi juga di masyarakat perkotaan.
Dengan demikian, baik kalangan santri, priyayi dan abangan di Jawa masih memiliki pandangan kosmologi yang sama walaupun gelombang keberagamaan puritan juga menjadi fenomena tersendiri dalam keragaman kultural Islam di Jawa dewasa ini. Di dalam Islam, terdapat ajaran universal yang mutlak dan nilai-nilai religius yang adaptif yang dapat dikompromikan dengan budaya lokal dan kondisi sosio-historis masyarakat tanpa harus kehilangan substansi keislamannya. Proses Islamisasi masyarakat yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di Jawa tidak perlu meminggirkan pribumisasi Islam yang dilakukan sebagian muslim Jawa. Islam kejawen adalah salah satu bentuk dari proses panjang pribumisasi Islam. Keberadaan Islam Kejawen, dalam kerangka sosiologis, tidak perlu dipertentangkan karena merupakan budaya religius Jawa-Islam. Begitu juga dalam perspektif teologis, Islam Kejawen harus dihargai keberadaannya karena merupakan hasil olah rasa dan olah fikir (ijtihad) para ulama dan teolog Jawa dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai religi dalam kultur lokal.
Kejawen Jenis Dan Pengaruhnya Terhadap Aqidah Umat Islam
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Kejawen berasal dari bahasa daerah Jawa (dialek Jawa Tengah) yakni dari kata Jawi, kata ini kemudian mendapat imbuhan ke-an menjadi kejawen. Dalam proses pembentukan selanjutnya kata tersebut mengalami monoftongisasi sandi (proses perubahan dua bunyi menjadi satu, dari bunyi ia menjadi e dari kejawian menjadi kejawen (sama seperti dari sesajian ke sesajen, kabupatian ke kabupaten, dan sebagainya).
Sesuai dengan asal kelahirannya, kejawen mengandung pengertian luas tentang adat istiadat, yakni segala unsur naluri (tradisi kepercayaan) leluhur orang-orang Jawa Tengah di masa lampau. Kejawen dalam arti kepercayaan, bertujuan untuk melepaskan diri dari segala ajaran luar jawa seperti :
1. Islam.
2. Hindu.
3. Budha.
4. Dan ajaran-ajaran empiris (kepercayaan yang berdasarkan pengalaman).
Namun, ada juga yang mengambil sumber ajarannya dari Hindu-Budha yang disebut Yoga Trantisme Hindu-Budha.
Bahkan, ada pula yang mengambil ajarannya dari Islam, atau sebaliknya, umat Islam yang terpengaruh kejawen. Di satu segi, mereka melakukan syari'at islam, tapi di segi lain mereka melakukan ajaran Kejawen. Seperti membakar kemenyan pada saat melakukan acara keagamaan, selamatan, atau kenduri, memberi saji-sajian, selamatan untuk Nyi Roro Kidul (seorang Dewi yang dianggap sebagai penjaga Laut Selatan).
Dalam kepercayaan, kejawen termasuk dalam aliran kebatinan. Menurut Kamil Kartapraja, ada 16 aliran kebatinan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia :
1. Sapta Darma.
2. Paguyuban Sumerah.
3. Ngelmu Sejati Cirebon.
4. Ilmu Sejati.
5. Agama Yakin Pancasila.
6. Ngelmu Beja
7. Paguyuban pembuka dan Sanga.
8. Perkumpulan Kemanusiaan.
9. Madrais-isme.
10. Aliran Samin.
11. Kawula Waga Naluri.
12. Agama Suci (Jember).
13. Buda Wisnu.
14. ADAI.
15. Suci Rahayu.
16. Pangestu.
2. Pembagian Aliran Kebatinan Berdasarkan Kelompok :
Kelompok yang ajarannya mengambil intisari dari ajaran-ajaran yang telah ada seperti Pangestu. Kelompok yang ajarannya semacam doktrin (dogma) yang mengharuskan setiap pengikut untuk mengakui sesepuh mereka sebagai nabi, wali atau ratu adil seperti orang suci di akhir zaman Sapto Darmo kelompok yang ajarannya berdasar kepada adat seperti masyarakat Baduy. Kelompok yang bertendensi politik. Kelompok perorangan yang berlatar belakang kekecewaan, perasaan tidak puas, kesulitan ekonomi, bahkan ada yang sampai mendiskreditkan agama.
Adapun Djayadiguno dan H.H. Rasyidi mengelompokkan aliran kebatinan itu ke dalam 4 kelompok, yakni :
Akultis, aliran yang mengutamakan daya-daya ghaib untuk mengatasi berbagai kebutuhan manusia.Mistik, aliran yang berusaha mempersatukan jiwa dan ruh sewaktu manusia masih hidup. Teosofis, aliran yang berusaha untuk menembus sesuatu yang sifatnya rahasia. sangkan paraning dumadi (darimana dan akan kemana tujuan makhluk). Etis aliran yang berusaha menghubungkan budi luhur serta membangun manusia yang dijiwai nilai-nilai etika tinggi.
Dari sekian banyak aliran di atas, aliran Pangestu adalah yang paling banyak mempengaruhi kehidupan umat Islam (terutama Jawa). Penganut aliran ini melakukan ibadah-ibadah islam yang tidak sesuai dengan syari'at Islam. Seperti shalat, mereka hanya melakukannya dua kali sehari-semalam, yaitu di waktu senja dan waktu fajar, sedangkan rukunnya ada 10, yaitu :
Menghadap ke barat, Berdiri tegak, Mengangkat tangan, Bersedekap, Membungkukkan badan, Bersujud, Duduk bersimpuh, Berdzikir, Berpaling ke kanan Berpaling ke kiri.Aliran Pangestu mengajarkan tentang Tuhan Tripurusa tiga oknum (Sukma kawekas, Sukma Sejati, dan Roh Suci). Tuhan Tripurusa menurut mereka bersemayam dalam hati yang suci, atau dalam ilmu kejawen dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. Pandangan ini termasuk Panteisme, yakni faham yang menganggap bahwa Tuhan beremanasi (manunggal) dengan alam - termasuk manusia. Islam menolak faham ini sebab Allah bersifat Qiyam binafsih (berdiri sendiri) yang berarti Allah tidak memerlukan tempat (ruang) atau tidak punya ketergantungan kepada makhluk-Nya. Faham ini dalam Islam terdapat dalam aliran Tasawuf yang dianut oleh Abu Yazid al Bustami yang kemudian diikuti Al-Hallaj, atau jika di Indonesia Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar. Abu Yazid membuat rumusan bahwa tubuh kasar manusia dinyatakan hancur (fana). sedangkan yang ada hanyalah Allah. Dari Al-Fana wal Baqa (kehancuran perasaan dalam jiwa), manusia menjadi sakar (trans). dan dari sini akhirnya manusia dapat menyatu dengan Allah (ittihad). Di saat itulah Yazid mengeluarkan kata-kata ganjilnya: "Tidak ada apa-apa di dalam jubah ini, kecuali Allah.
3. Ajaran kejawen lain yang telah mempengaruhi umat Islam :
Ilmu Kesunyatan, ajaran yang menghkhususkan seseorang agar menjadi manusi paraning dumadi (manusia kuat). Ilmu Setia Budi, ajaran tentang asihan (upaya agar orang menjadi terpikat) atau guna-guna. Di antara syarat-syaratnya, si murid harus pantang dari beberapa jenis makanan. Sedangkan lama waktu pantangnya paling sedikit satu minggu.Ilmu Hakikat, ialah ilmu ajaran yang mementingkan isi (batin), sebab itu mereka meninggalkan syari'at (seperti melarang shalat) karena syari'at dianggap bagian luar (kulit), bukan isi. Menurut mereka, shalat cukup dengan niat, dan manusia sudah menjadi shaleh meskipun tidak mengamalkan ajaran syari'at. Yang penting manusia itu tidak sombong, tidak hasud, dll.Ilmu Mistik, ialah ajaran tentang kekuatan-kekuatan ghaib yang bisa dipraktekkan lewat gerak fisik manusia. dan sebagainya.
Ajaran-ajaran kejawen atau kebatinan tersebut pada dasarnya telah menyimpang dari ajaran Islam meskipun penganutnya mengatakan bahwa mereka adalah Islam. Lihatlah munculnya praktek-praktek perdukunan dan tukang ramal, menjadikan sebagian orang Islam mencari kepuasan di luar jalur Islam tersebut, naudzu billaahi min dzaalik.
Kehidupan manusia yang mengikuti ajaran nenek moyangnya dengan mengabaikan ajaran Islam, telah digambarkan dalam al-Qur'an, dengan Firman Allah Ta'ala :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَآ أَلۡفَيۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۗ أَوَلَوۡ كَانَ ءَابَآؤُهُمۡ لَا يَعۡقِلُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَلَا يَهۡتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka : Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Q.S. Al-Baqrah: 170).
Juga firman Allah Ta'ala:
وَجَعَلُواْ لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ ٱلۡحَرۡثِ وَٱلۡأَنۡعَـٰمِ نَصِيبً۬ا فَقَالُواْ هَـٰذَا لِلَّهِ بِزَعۡمِهِمۡ وَهَـٰذَا لِشُرَكَآٮِٕنَاۖ فَمَا ڪَانَ لِشُرَڪَآٮِٕهِمۡ فَلَا يَصِلُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَا ڪَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَڪَآٮِٕهِمۡۗ سَآءَ مَا يَحۡڪُمُونَ
Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu. (Q.S. Al-An'am: 136).
Juga firman-Nya:
سَيَقُولُ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْ لَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَآ أَشۡرَڪۡنَا وَلَآ ءَابَآؤُنَا وَلَا حَرَّمۡنَا مِن شَىۡءٍ۬ۚ ڪَذَٲلِكَ كَذَّبَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ حَتَّىٰ ذَاقُواْ بَأۡسَنَاۗ قُلۡ هَلۡ عِندَڪُم مِّنۡ عِلۡمٍ۬ فَتُخۡرِجُوهُ لَنَآۖ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا تَخۡرُصُونَ
Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak pula kami mengharamkan barang sesuatu apa pun". Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan /para rasul, sampai mereka merasakan siksaan Kami.
Katakanlah : Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami, Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. (Q.S. Al-An'am: 148).
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.