SEMAR
Batara Ismaya (Semar) yang melakukannya, Gunung Jamurdipa dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi karena Semar tidak bisa mengunyah akibat giginya taring semua, dan jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung didalamnya seperti dapat kita lihat pada karakter Semar dalam wayang kulit. Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, anak bungsu dari Sang Hyang Wenang.
Semar dikenal sebagai ayah dari punakawan, dimana dikenal sebagai penasihat sejak leluhur Pandawa hingga generasi-generasi berikutnya. Lantas apa peran dari para punakawan yang biasanya muncul di adegan goro-goro dan membuat lelucon sindiran.
Semar adalah nama tokoh utama dalam punakawan di pewayangan Jawa. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana dari India. Meski demikian, nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut (berbahasa Sanskerta), karena tokoh ini merupakan ciptaan tulen pujangga Jawa.
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum, tetapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tetapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1437.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
TOGOG
Togog adalah nama tokoh pewayangan Jawa. Ia dikisahkan sebagai putra dewa yang lahir sebelum Semar, tetapi karena tidak mampu mengayomi Bumi, maka Togog kembali ke asalnya; pada waktu bersamaan, lahirlah Semar.
Pada zaman kadewatan diceritakan Sanghyang Wenang mengadakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari ketiga anaknya yang lahir dari sebutir telur. Lapisan-lapisan telur yakni kulit paling luar diberi nama Batara Antaga (Togog), putih telur diberi nama Batara Ismaya (Semar) dan kuning telur diberi nama Batara Manikmaya (Batara Guru). Untuk itu sayembara diadakan dengan cara barang siapa dari keempat anaknya tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Jamurdipa maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa Kahyangan.
Pada giliran pertama Batara Antaga (Togog) mencoba untuk melakukannya, tetapi yang terjadi malah mulutnya robek dan jadi dower karena Togog memaksakan dirinya untuk menelan, padahal mulutnya tidak muat.
ASAL MULA SEMAR, TOGOG DAN BATHARA GURU
Setelah mengalami kegagalan yang mengakibatkan wajah dan bentuk tubuhnya menjadi buruk, keduanya sadar dan menyesali perbuatannya. Mereka berdua kemudian menghadap Sang Hyang Tunggal dan memohon ampun atas sikap mereka dan memohon agar wajah dan bentuk tubuhnya bisa dikembalikan seperti wujud semula. Namun permintaan mereka ditolak oleh Sang Hyang Tunggal dan bahkan keduanya dihukum dengan diturunkan ke dunia. Sementara itu Hyang Manikmaya yang sejak semula tidak turut memperebutkan tahta Jonggring Salaka kemudian diangkat menjadi penguasa di Jonggring Salaka dengan gelar Bathara Guru.
Sedangkan Hyang Antaga yang dihukum dengan diturunkan kedunia kemudian diberi nama Togog dan ditugaskan untuk mengabdi dan membimbing kaum raksasa dan Kurawa. Dalam menjalankan tugasnya ini Togog nantinya akan dikawani oleh temannya yang bernama Mbilung.
Demikian pula dengan Hyang Ismaya yang dihukum dengan diturunkan ke dunia dengan diberi nama baru yaitu Semar. Tugasnya di dunia adalah menjadi pemomong dan pembimbing bagi para ksatria dan Pandawa. Dalam menjalankan tugasnya di dunia, Semar ini nantinya akan ditemani oleh anak-anak angkatnya yaitu : 1. Gareng.
2. Petruk.
3. Bagong.
Adapun Batara Antaga (Togog), dan Batara Ismaya (Semar) akhirnya diutus turun ke marcapada (dunia manusia) untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, sedangkan Semar dipilih sebagai pamong untuk para satria berwatak baik (Pandawa) dan Togog dan Bilung diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk. Dalam perannya menjadi pamong untuk menasihati kesatria angkara murka ,Togog didampingi Bilung (Sarawita) yang tercipta dari Hawa Nafsu Togog melalui sabda sakti dari Sanghyang Podo Wenang.
CERITA VERSI
Konon, di puncak Gunung Mahameru yang berdekatan dengan Kawah Candradimuka, adalah tempat tinggal Sang Hyang Tunggal beserta isterinya yang bernama Dewi Rekatawati. Tempat tinggal dimana Sang Hyang Tunggal tinggal dan bertahta ini dikenal dengan nama Kahyangan Jonggring Salaka.
Pada saat itu, Sang Hyang Tunggal dan isterinya sedang berbahagia karena sebentar lagi mereka berdua akan segera memperoleh keturunan. Kebahagiaan ini membuat seluruh wilayah Kahyangan Jongring Salaka menjadi sejuk dan cerah. Kawah Candradimuka pun tidak bergolak, seakan-akan ikut merasakan kebahagiaan mereka.
Namun, rupanya kebahagiaaan mereka harus tertunda karena Dewi Rekatawati ternyata tidak melahirkan sesosok bayi dewa, melainkan sebutir telur yang besarnya seukuran kelapa. Betapa sedih hati mereka berdua mengalami peristiwa itu.
Dengan membawa butir telur yang semakin membesar, Sang Hyang Tunggal bersama Dewi Rekatawati kemudian pergi menghadap Sang Hyang Wenang, ayahanda Sang Hyang Tunggal. Dihadapan sang ayahandanya, Sang Hyang tunggal menceritakan semua kejadian yang dialaminya bersama sang isteri, dan juga menunjukkan telur yang dilahirkan dari isterinya.
Dengan bantuan Sang Hyang Wenang, akhirnya telur itu dapat berubah menjadi tiga bayi dewa. Dari kulit telur itu berubah menjadi seorang bayi yang kemudian diberi nama Hyang Antaga. Sementara itu dari putih telur juga berubah menjadi seorang bayi yang kemudian diberi nama Hyang Ismaya. Yang terakhir dari kuning telur berubah menjadi bayi dan diberi nama Hyang Manikmaya.
Setelah mengucapkan terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh ayahandanya, Sang Hyang Tunggal bersama Dewi Rekatawati kembali ke Kahyangan Jonggring Salaka bersama ketiga putranya. Selanjutnya ketiga putranya itu diasuh dan dididik dengan berbagai ilmu serta kesaktian hingga sampai dewasa dan menjadi sosok dewa yang tampan dan berkesaktian tinggi.
Saat Sang Hyang Tunggal hendak mewariskan tahta Jonggrong Salaka terjadilah pertentangan antara Hyang Antaga dengan Hyang Ismaya. Keduanya merasa berhak atas tahta Jonggring Salaka karena mereka masing-masing menganggap dirinya yang paling tua, sedangkan Hyang Manikmaya lebih memilih diam dan menyingkir serta tidak membela salah satu saudaranya.
Tanpa diketahui Sang Hyang Tunggal, Hyang Antaga dan Hyang Ismaya kemudian sepakat mencari tempat untuk mengadu ilmu kesaktian untuk membuktikan siapa yang sebenarnya pantas duduk di singgasana Jonggring Salaka. Sekian lama keduanya mengadu ilmu kesaktian, ternyata tidak menunjukkan siapa diantara mereka berdua yang bakal keluar memperoleh kemenangan.
Keduanya kemudian menyetujui untuk berhenti bertarung dan menggantinya dengan sebuah pertaruhan, yaitu barang siapa yang berhasil memakan sebuah gunung yang ada di depan mereka, maka dialah yang dianggap sebagai saudara yang tertua dan dianggap sebagai pemenang serta berhak atas tahta Jonggring Salaka. Disepakati Hyang Antaga yang mendapat giliran pertama dan Hyang Ismaya yang berikutnya.
Dengan mengerahkan semua kesaktiannya, Hyang Antaga berusaha memakan gunung itu dengan sekali makan. Namun sayang hanya sebagian dari gunung itu yang berhasil dimakannya karena gunung itu kemudian meletus sehingga membuat mulut Hyang antaga menjadi melebar bentuknya. Beruntunglah Hyang Antaga yang berhasil memuntahkan sisa gunung yang sudah terlanjur masuk ke dalam perutnya. Namun demikian, akibat dari gagalnya memakan gunung itu membuat wajah dan tubuh Hyang Antaga yang semula tampan menjadi buruk rupa karena mulutnya berubah menjadi besar dan melebar.
Melihat kegagalan Hyang Antaga, Hyang Ismaya kemudian maju dan berusaha memakan gunung itu dengan cara perlahan, sedikit demi sedikit.namun akhirnya berhasil memakan seluruh gunung itu. Akan tetapi pada saat akan memuntahkan kembali gunung itu dari dalam perutnya, Hyang Ismaya tidak mampu. Akibatnya perut hyang Ismaya menjadi membesar sementara gigi depannya hanya tinggal satu yang ada didepan, itupun gigi di bagian bawah. Sama seperti Hyang Antaga, wajah tampan Hyang Ismaya pun berubah menjadi buruk dan tidak karuan bentuk badannya.
SANG HYANG TUNGGAL
Sang Hyang Tunggal adalah suami dari Dewi Wiranti (putri Sang Hyang Rekatatama) dan menjadi ayah dari Batara Ismaya (Semar), Batara Antaga (Togog), dan Batara Manikmaya (Bathara Guru). Ia merupakan anak dari Sang Hyang Wenang yang berkedudukan di Kahyangan Alang-Alang Kumitir atau Ondar-Andir Bawana di Istana Tampaksiring.
Pada episode Dewa Ruci, dia muncul sebagai Dewa Ruci dan bertemu Bima di dasar Laut Selatan. Bentuk wayangnya (dalam wayang kulit) termasuk kecil, seukuran wayang kulit bayi. Tokoh ini jarang dimainkan dalam pertunjukkan wayang kulit, karena episode yang memunculkannya memang sangat sedikit.
Kisah mistis perjalanan batin yang dialami oleh Bima sehingga bertemu dengan Sang Hyang Tunggal dalam Dewa Ruci sangat baik untuk diambil pelajarannya.
SANG HYANG WIDHI
Sang Hyang Widhi (disebut juga sebagai Acintya atau Sang Hyang Tunggal) adalah sebutan bagi Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu Dharma masyarakat Bali. Dalam konsep Hinduisme, Sang Hyang Widhi dikaitkan dengan konsep Brahman. Dalam bahasa Sanskerta, Acintya memiliki arti Dia yang tak terpikirkan, Dia yang tak dapat dipahami, atau Dia yang tak dapat dibayangkan.
FILOSOFI HYANG
Hyang merupakan sebutan untuk keberadaan spiritual memiliki kekuatan supranatural, bagaikan matahari di dalam mimpi. Kedatangannya dalam hidup seseorang memberikan kesenangan tanpa jeda dalam waktu lama yang tak dapat dibedakan antara mimpi dan realita. Orang-orang Indonesia umumnya mengenal kata ini sebagai penyebutan untuk penyebab keindahan, penyebab semua ini ada (pencipta), penyebab dari semua yang dapat disaksikan, atau secara sederhana disebut Tuhan.
Sang Hyang Widhi, berasal dari akar kata Sang, Hyang, dan Widhi.
SANG
Sang, memiliki makna personalisasi atau identifikasi. Contoh penggunaan kata lainnya: sang bayu, sang Nyoman, sang Raja, dan lain-lain.Hyang, terkait dengan keberadaan spiritual yang dimuliakan atau mendapatkan penghormatan yang khusus. Biasanya, ini dikaitkan dengan wujud personal yang bercahaya dan suci.:Widhi sama dengan widya artinya pengetahuan, memiliki makna penghapus ketidaktahuan. Penghapus ketidaktahuan memiliki wujud yang beragam menurut jalan ketidaktahuan diselesaikan. Wujud-wujud ini menjadi media bagaimana manusia dan ciptaan di jagat raya ini mengerti dan memahami diri dan lingkungannya. Widhi dapat berupa: cahaya, suara, wujud tersentuh, sensasi tersensori, memori pikiran, rasa emosional, radiasi bintang, pengartian tanda, rasa kecapan, dan lain-lain. Widhi ini sangat terkait dengan dharma, atau lingkungan yang merupakan pustaka abadi dimana manusia dapat membaca keseluruhan pengetahuan tentang widhi. Dharma secara keseluruhan adalah widhi itu sendiri. Terkait dengan proses belajar, dharma tampaknya terpartisi menjadi arus berlanjut yang hadir kepada manusia tanpa henti hingga masa manusia itu berakhir.
DHARMA
Dharma adalah pustaka atau sarana belajar manusia untuk mengerti dan memahami semua pengetahuan untuk menyelesaikan ketidaktahuan. Dharma ini pun menjadi jalan untuk dapat memahami kemahakuasaan, termasuk memahami Sang Hyang Widhi. Dharma ini secara nyata adalah lingkungan manusia, dari yang menyusun manusia itu sendiri hingga hal-hal di luar manusia.
SANG HYANG WIDHI
Secara deskriptif, makna Sang Hyang Widhi tidak cukup untuk diungkapkan dengan beberapa kalimat. Namun, dengan adanya dharma, semua orang dapat memahami makna sang hyang widhi ini secara utuh. Bahwa sang hyang widhi dipahami pertama melalui terlihatnya matahari di dalam mimpi seseorang, yang memberikan kesenangan luar biasa atau kesenangan tertinggi dari yang pernah dia rasakan. Kesenangan atau kebahagiaan ini berlanjut beberapa hari tanpa jeda. Namun, seseorang tidak dapat melihat matahari di dalam mimpi jika di dalam kenyataan ini dia tidak perhatian dengan matahari dan perkembangan hari siang dan malam.
Sang Hyang Widhi secara sederhana berarti dia yang memancarkan widhi atau penghapus ketidaktahuan. Dengan batasan media yang berupa cahaya, maka sang hyang widhi adalah sumber cahaya. Sumber cahaya ini berupa matahari atau sumber cahaya lain. Dengan demikian, dengan membatasi bentuk widhi berupa cahaya, sang hyang widhi adalah sumber cahaya.
SANG HYANG WENANG
Sang Hyang Wenang adalah putra Sanghyang Nur Rahsa/Nurasa dengan permaisuri Dewi Sarwati/Rawati, putri Prabu Rawangin raja Jin di pulau Darma. Sanghyang Wenang lahir berwujud Sotan (suara yang samar-samar) bersama adik kembarnya yang bernama Sanghyang Hening/Wening. Dalam cerita pedalangan, Sanghyang Wenang dikenal pula dengan nama Sanghyang Jatiwisesa. Saudara kandungnya yang lain ialah Sanghyang Taya atau Sanghyang Pramanawisesa, yang berwujud akyan (badan halus/jin).
Setelah Sanghyang Wenang dewasa, Sanghyang Nurasa kemudian Manuksma (hidup dalam satu jiwa) ke dalam diri Sanghyang Wenang setelah menyerahkan benda-benda pusaka :
1. Kitab Pustaka Darya.
2. Kerajaan.
3. Pusaka dan jimat berupa : Kayu Rewan, Lata Maha Usadi, Cupu Manik Astagina dan Cupu Retnadumilah.
Sanghyang Wenang mula-mula berkahyangan di gunung Tunggal, wilayah Pulau Dewa. Di tempat tersebut ia menciptakan surga sebagai tempat bersemayam. Setelah itu menciptakan Kahyangan/Surga baru di pulau Maldewa sebagai tempat tinggalnya yang baru.
Sanghyang Wenang menikah dengan Dewi Sahoti/Dewi Sati, putri Prabu Hari raja negara Keling. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh lima putra, semuanya berwujud Akyan (makluk halus atau jin) masing-masing bernama :
1. Sanghyang Tunggal.
2. Dewi Suyati.
3. Bathara Nioya.
4. Bathara Herumaya.
5. Bathara Senggana.
Setelah Sanghyang Tunggal dewasa, Sanghyang Wenang menyerahkan tahta, kerajaan dan segenap pasukannya kepada Sanghyang Tunggal. Sanghyang Wenang kemudian tinggal di Kahyangan Ondar-Andir Bawana, karena berwujud Akyan, maka Sanghyang Wenang hidup sepanjang masa, bersifat abadi.
Sang Hyang Wenang adalah nama seorang dewa senior dalam tradisi pewayangan Jawa. Ia dianggap sebagai leluhur Batara Guru, pemimpin Kahayangan Suralaya. Ia sendiri bertempat tinggal di Khayangan Alang-alang Kumitir. Kisah kehidupan Sang Hyang Wenang yang diangkat dalam pentas pewayangan antara lain bersumber dari naskah Serat Paramayoga yang disusun oleh pujangga Ranggawarsita.
SERAT PARAMAYOGA
Serat Paramayoga merupakan karya sastra berbahasa Jawa yang isinya merupakan perpaduan unsur Hindu, tradisi kebudayaan india dan Jawa asli. Tokoh Sang Hyang Wenang misalnya, disebut sebagai leluhur dewa-dewa di Mahabharata.
KHAYANGAN TENGURU
Sang Hyang Wenang pun muncul dan membangun kahyangan baru di Gunung Tengguru. Setelah memimpin sekian tahun lamanya, Sang Hyang Wenang mewariskan takhta kahyangan kepada putranya yang bernama Sang Hyang Tunggal. Setelah itu, ia sendiri juga manunggal, bersatu ke dalam diri putranya itu.
Meskipun Sang Hyang Wenang telah bersatu ke dalam diri Sang Hyang Tunggal, tetapi para dalang dalam pementasan wayang masih tetap memunculkan tokoh Sang Hyang Wenang dalam lakon-lakon tertentu. Hal ini dimungkinkan karena setelah bersatu dengan ayahnya, Sang Hyang Tunggal tetap memakai nama ayahnya, yaitu Sang Hyang Wenang sebagai salah satu nama julukannya.
SERAT KANDA
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama :
1. Sanghyang Tunggal.
2. Sanghyang Wenang.
Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
SERAT PURWAKANDA
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
SERAT PURWACARITA
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putri Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian yaitu : 1. Cangkang.
2. Putih.
3. Kuning telur.
Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki :
1. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga.
2. Yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya.
3. Yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya.
Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, tetapi tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
SEMAR VERSI WAYANG GOLEK
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu :
1. Batara Wungkuham.
2. Batara Surya.
3. Batara Candra.
4. Batara Tamburu.
5. Batara Siwah.
6. Batara Kuwera.
7. Batara Yamadipati.
8. Batara Kamajaya.
9. Batara Mahyanti.
10. Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
PUNAKAWAN
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya yaitu :
1. Gareng.
2. Petruk.
3. Bagong.
Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah :
1. Cepot.
2. Dawala.
3. Gareng.
Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.
KERIS SEMAR
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, tetapi keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Kehadiran Semar, Togog, dan para punakawan di dunia pewayangan sesuatu yang menarik. Oleh karena mereka hanya muncul di kisah pewayangan ala Indonesia, sedangkan di versi India sendiri kisah mereka tidak ada. Yang sebagai penasihat di kisah India hanya Krisna dan Begawan Abiyasa, peran Semar dan lain-lainnya tidak terungkap.
WAYANG PURWA VERSI ARDI SOMA
Ini sebuah kisah yang saya sarikan dari buku komik berjudul Wayang Purwa karya Ardi Soma. Saya yakin ada banyak versi di luar sana tentang asal asal usul Semar dkk. Versi wayang Jawa dan versi Sunda mungkin juga berbeda.
Alkisah Menurut kisah wayang purwa, manusia pertama adalah Nabi Adam yang berputera Nabi Sis. Nabi Sis ini kemudian memiliki putera bernama Sanghyang Nurcahya yang kemudian berputera Sanghyang Nurrasa. Sanghyang Nurrasa kemudian berputera Wenang dan bercucu Sanghyang Tunggal.
Semar dan Togog awalnya adalah putera dari Sanghyang Tunggal dari Dewi Wiranti. Ada tiga puteranya yang lahir dimana berbentuk telur. Setelah bersemedi maka telur itu berubah menjadi bayi yang tampan. Bayi dari kulit telur bernama Antaga atau Puguh. Bayi berikutnya dari putih telur adalah Ismaya dan yang terakhir dari kuning telur bernama Manikmaya. Dewa tersebut tinggal di Jonggringsalaka di Swargaloka di atas Gunung Mahameru.
Suatu ketika Sanghyang Tunggal hendak mewariskan tahta di antara ketiga puteranya. Antaga dan Ismaya pun berselisih merasa salah satu dari mereka yang berhak. Mereka berkelahi dan sama kuatnya, hingga suatu saat saling menantang untuk menelan gunung. Yang terjadi fatal. Mulut Antaga menjadi lebar dan perut Ismaya menjadi besar. penampilan mereka menjadi buruk rupa dan tak bisa diperbaiki.
Tampuk kekuasaan berikutnya jatuh ke Manikmaya yang mendapat gelar Sanghyang Jagatnata atau Surapati. Manikmaya juga memiliki nama lain Guru (bersemayam di Tengguru) dan Samba juga Sanghyang Otipati (berkuasa menghukum). Ia juga menerima pusaka para dewa seperti kalaminta, tranggayeni, dan aji kemayan.
Antaga sendiri berperan sebagai penasihat dan pengritik jika Manikmaya berbuat salah. Setelah Manikmaya memiliki penerus ia bertugas mengawasi dan menghalangi orang-orang yang berniat jahat kepada setiap keturunan dewa. Ia mendapat julukan Togog.
Sedangkan Ismaya yang berperut besar mendapat julukan Semar. Ia bertugas sebagai penasihat raja juga mengasuh keturunannya kelak.
Setelah Manikmaya berkuasa, ada banyak serangan baik dari para jin maupun dari kerajaan manusia yang kuat. Mereka ingin menguasai Suralaya, namun berkali-kali berhasil dihalau dan beberapa di antaranya menjadi abdi Manikmaya. Di antara penyerang itu ada yang berubah menjadi Gareng dan Dawala. Keduanya diangkat menjadi anak Semar. Keduanya gemar bersenda gurau.
Itulah sebagian kisah dalam Wayang Purwa versi komik, bisa jadi kisahnya bakal berbeda di tempat lain karena ada yang menyebutkan anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Ada juga yang menyebutkan nama seperti Petruk dan Bagong. Ada yang menyebut Bagong itu sama dengan Cepot. Ya ya ya ada banyak versi.