MPU BHARADA
Mpu Bharada atau Arya Bharada adalah pendeta sakti agama Buddha yang menjadi guru Airlangga.
Kesaktian Mpu Bharada
Nama Mpu Bharada muncul dalam Serat Calon Arang sebagai tokoh yang berhasil mengalahkan musuh Airlangga, yaitu Calon Arang, seorang janda sakti dari desa Girah.
Dikisahkan pula, Airlangga berniat turun takhta menjadi pendeta.
Ia kemudian berguru pada Mpu Bharada.
Kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Berhubung Airlangga juga putra sulung raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu.
Mpu Bharada dikirim ke Bali menyampaikan maksud tersebut.
Dalam perjalanan menyeberang laut, Mpu Bharada cukup dengan menumpang sehelai daun. Sesampainya di Bali permintaan Airlangga yang disampaikan Mpu Bharada ditolak oleh Mpu Kuturan, yang berniat mengangkat cucunya sebagai raja Bali.
Berdasarkan fakta sejarah, raja Bali saat itu (1042) adalah Anak Wungsu adik Airlangga sendiri.
Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya demi perdamaian kedua putranya. Menurut Nagarakretagama, Mpu Bharada bertugas menetapkan batas antara kedua belahan negara.
Dikisahkan, Mpu Bharada terbang sambil mengucurkan air kendi. Ketika sampai dekat desa Palungan, jubah Mpu Bharada tersangkut ranting pohon asam.
Ia marah dan mengutuk pohon asam itu menjadi kerdil. Oleh sebab itu, penduduk sekitar menamakan daerah itu Kamal Pandak, yang artinya "asem pendek".
Desa Kamal Pandak pada zaman Majapahit menjadi lokasi pendirian Prajnaparamitapuri, yaitu candi pendharmaan arwah Gayatri, istri Raden Wijaya.
Selesai menetapkan batas Kerajaan Kadiri dan Janggala berdasarkan cucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan, barang siapa berani melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan. Menurut prasasti Mahaksobhya yang diterbitkan Kertanagara raja Singhasari tahun 1289, kutukan Mpu Bharada sudah tawar berkat usaha Wisnuwardhana menyatukan kedua wilayah tersebut.
Nagarakretagama juga menyebutkan, Mpu Bharada adalah pendeta Buddha yang mendapat anugerah tanah desa Lemah Citra atau Lemah Tulis. Berita ini cukup unik karena ia bisa menjadi guru spiritual Airlangga yang menganut agama Hindu Wisnu.
Menggali Historis Mpu Bharadah Yang Segaris Dengan Mpu Tantular
Pura Palenggahan Ida Bhatara Mpu Bharadah, sangat menarik, lantaran sosok Mpu Bharadah inilah, lahir sosok Mpu Tantular yang menulis Kakawin Sutasoma, dan Kakawin Sutasoma ini, termuat kalimat Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.
Tempat ini, berstatus Tetenger dan terletak di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.
Menurut silsilah, Danghyang Bairasatwa menurunkan Danghyang Tahunun atau Mpu Lampita, dan Mpu Lampita menurunkan Mpu Gnjiaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Dari Mpu Bharadah, menurunkan Mpu Bahula, dan Mpu Bahula menurunkan Mpu Tantular atau dengan nama lain Danghyang Angsokanata.
Berdasarkan penggalian seputar kehidupan Mpu Bharada, diyakini tinggal di Padepokan Lemah Tulis, dan hidup pada masa pemerintahan Kerajaan Kahuripan dibawah kekuasaan Raja Airlangga.
Padepokan Lemah Tulis atau Lemah Citra, bisa dikatakan masih belum dapat dipastikan, lantaran ada beberapa rujukan yang mengarah pada perbedaan lokasi yang sebenarnya.
Merujuk pada prasasti Kamalagyan yang berada di Desa Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo. Di prasasti tersebut tertulis, pada masa pemerintahan Raja Airlangga dibangun bendungan Waringin Sapta, dan disinyalir, Lemah Tulis ada disekitarnya, merujuk pada Wurare.
Versi lainnya, padepokan tersebut berada di Kabupaten Blora, berdasarkan rujukan penafsiran serat Calon Arang, yang menulis kata Wurare atau Wurara. Dari kedua kata tersebut, berevolusi alias berubah penuturannya, dari Wrura, Wlura, Blura dan terakhir Blora.
Berbeda lagi, bila merujuk pada temuan arca perwujudan Raja Kertanegara atau lebih dikenal dengan nama Joko Dolog dan nama lainnya Budha Mahasobhya. Pada batur alas sandaran, ada tulisan Wurare.
Bila diamati, raut muka arca Joko Dolog ini, tangannya membentuk sikap Bhumispar Samudra atau telapak tangan kiri tertutup, seolah ingin menyentuh bumi. Patung ini diketemukan pada era pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1817, tepatnya di areal kandang gajah yang terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Kata Wurare, berasal dari kata Bhu yang artinya tanah dan Rare berarti anak.
Dari kata tersebut, akhurnya mengerucut pada sebutan Lemah Putra atau Lemah Patra, yang juga searti dengan Lemah Citra.
Dalam serat Calon Arang, Raja Airlangga disebut sebagai Raja Kediri, dalam artian belum ada pemisahan kekuasaan Kerajaan Kahuripan menjadi dua bagian, yaitu Kerajaan Janggala dan Kerajaan Dhaha.
Dari sisi historis, Mpu Bharadah inilah yang sukses menaklukan Calon Arang atau dengan nama lain Dayu Datu atau Ratu Nating Girah, dan Calon Arang ini tinggal di Desa Girah atau menurut penafsiran adalah Gurah Kediri.
Ada yang menarik untuk diklarifikasikan, yaitu terkait ajaran Tantrayana, yang disinyalir juga dianut oleh Calon Arang.
Ajaran Tantrayana ini sebenarnya mengajarkan kebaikan, dan bertolak belakang dengan segala sesuatu yang bergenre kejahatan. Ajaran ini menekankan kedekatan antara jiwa manusia dengan para dewa, dengan mengedepankan sifat-sifat kebajikan dan kebijakan.
Diceritakan, Calon Arang melakukan ritual dan menjalin kontak dengan Batari Durga, untuk memohon kesaktian.
Batari Durga sendiri adalah perwujudan dari Dewi Uma yang berstatus istri dari Batara kala, dan Batari Durga menyandang gelar Ratu Setra Ganda Mayit.
Dari Calon Arang inilah, muncul 4 kitab yang masuk kategori Aji Wegig, dalam artian Aji itu ilmu, dan Wegig itu sifat suka mengganggu orang lain.
4 kitab tersebut adalah Lontar Cambra Berag, Lontar Sampian Emas, Lontar Tanting Emas dan Lontar Jung Biru.
Berdasarkan pengamatan langsung, di Pura Palenggahan Ida Bhatara Mpu Bharadah, ketika kita akan masuk, terlihat Gapura Paduraksa yang berada tepat bagian di depan Tetenger.
Usai masuk, kita bisa melihat bunga kamboja berwarna merah. Gapura Paduraksa biasanya dibuat untuk memisahkan bagian tengah dengan bagian dalam dari sebuah bangunan suci, sedangkan bagian dalam adalah tempat paling sakral.