JAYA JAYA WIJAYANTI
Pasti pernah mendengar slogan Jawa Jaya-jaya Wijayanti.
Artinya adalah kemenangan yang mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Semboyan ini pertama kali dikenalkan oleh Panembahan Senopati.
Panembahan Senopati memakai slogan ini untuk membakar semangat pasukan tempur Mataram.
Dalam buku Semiotika Jawa karangan dari M.Hariwijaya menjelaskan bahwa Panembahan Senopati adalah :
1. Prajurit yang sakti mandraguna.
2. Pemberani.
3. Bijaksana.
4. Kuat.
Slogan Jaya-jaya Wijayanti digunakan Panembahan Senopati memiliki maksud agar peperangan nantinya memperoleh kemenangan dalam kebersamaan.
Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami puncak kejayaan.
Hal tersebut ditandai dengan harumnya nama Panembahan Senopati dimata orang Jawa hingga saat ini.
SEKILAS TENTANG PANEMBAHAN SENAPATI
Panembahan Senapati dari Mataram adalah bapak dari wangsa Mataram dan merupakan panembahan pertama dari Mataram, yang di masanya masih berupa kadipaten. Ia mewarisi jabatan ayahnya sebagai adipati Mataram di bawah Kesultanan Pajang.
Kotagede merupakan salah satu kawasan bersejarah di kota Yogyakarta. Di kecamatan ini terdapat jejak peninggalan kerajaan Mataram Islam yang merupakan cikal bakal Kasultanan Ngayogyakarta. Jika kita bebicara tentang Mataram Islam, salah satu nama yang tak bisa dilewatkan untuk dibahas adalah Panembahan Senopati. Panembahan Senopati memiliki nama asli Danang Sutowijoyo yang juga dikenal sebagai Sutawijaya. Ia merupakan putra Ki Gede Pemanahan, pendiri cikal bakal kerajaan Mataram Islam.
Awal mula berdirinya kerajaan Mataram Islam ketika Sutawijaya dan Ki Ageng Pamanahan membantu Jaka Tingkir membunuh Aryo Penangsang. Jaka Tingkir kemudian mendirikan Kerajaan Pajang, dan menghadiahkan tanah Mentaok (di Kotagede, Yogyakarta sekarang) kepada Ki Ageng Pamanahan dan Sutawijaya. Pada masa kepemimpinan Ki Ageng Pamanahan status Mataram Islam hanyalah sebuah kadipaten di Kerajaan Pajang. Namun, setelah Ki Ageng Pamanahan wafat pada 1575 M, Sutawijaya melepaskan diri dari kerajaan Pajang dan mendirikan kerajaan Mataram Islam pada 1582 M.
Pasca berhasil memerdekan kerajaan Mataram Islam, Sutawijaya mengangkat dirinya jadi sultan dengan gelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati bergelar Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama, yang menunjukan raja berkuasa atas pemerintahhan dan keagamaan. Sedangkan gelar Senopati untuk sebutan panglima perang.
Kerajaan Mataram Islam pada masa pemerintahan Panembahan Senopati merupakan sebuah kerajaan agraris yang beribukota di Kotagede. Dibawah kepemimpinanya, Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan berhasil menguasai daerah Kerajaan Pajang yang sedang dilanda perang saudara. Panembahan Senopati juga berhasil menyatukan wilayah-wilayah yang melepaskan diri dari Kerajaan Pajang. Di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati, desa tumbuh menjadi kota yang makmur dan ramai, banyak sekali kerajaan-kerajaan yang menjadi daerah taklukannya, antara lain Kedu, Bagelen, Pajang, dan Mangiran, kemudian sebagian wilayah bang Wetan yaitu Blora, Madiun, Pasuruan, Ponorogo serta sebagian wilayah Utara Jawa yaitu Jepara, Demak, dan Pati yang menjadikan wilayah Mataram semakin luas.
Pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, agama Islam sudah dianut oleh beberapa orang Jawa di zaman Mataram. Kebijakan Panembahan Senopati tentang agama di Kerajaan Mataram Islam misalnya mengangkat para wali Kadilangu (dekat Demak) sebagai penasihat dan pembimbingnya. Selain itu dalam pengembangan agama Islam, ia juga tradisi Islam Kejawen dan Islam Pesantren di Kerajaan Mataram Islam. Panembahan Senopati juga menjadikan agama Islam sebagai dasar tata pemerintahan di dalam Kerajaan Mataram Islam.
Panembahan Senopati wafat tahun 1601 M dan dimakamkan di Kotagede, dan diganti putranya Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyokrowati.
JAYA JAYA WIJAYANTI (Kemenangan-Kemenangan & Menang untuk selamanya).
Raja Jayabaya yang Legendaris
Pemerintahan Jayabhaya
Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri.
Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kedirimenang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia padaKediri selama perang melawan Jenggala.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.
Kemenangan Jayabhaya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh empu Sedah dan empu Panuluh tahun 1157.
Jayabhaya dalam Tradisi Jawa.
Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya.
Contoh naskah yang menyinggung tentang Jayabaya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa.
Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang.
Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Jayabaya turun takhta pada usia tua.
Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.
Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang.
Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara.
Terdapat beberapa naskah yang berisi Ramalan Joyoboyo, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya.
Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen.
Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi olehAji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di pulau Jawa.
Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya.
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar.
Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri.
Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Jayabaya.
Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada umumnya bersifat anonim.
RAMALAN PRABU JAYABAYA.
Ramalan Jayabaya, adalah ramalan tentang keadaan Nusantara di suatu masa pada masa datang.
Dalam Ramalan Jayabaya itu dikatakan, akan datang satu masa penuh bencana.
Gunung-gunung akan meletus, bumi berguncang-guncang, laut dan sungai, akan meluap. Ini akan menjadi masa penuh penderitaan. Masa kesewenang-wenangan dan ketidakpedulian.
Masa orang-orang licik berkuasa, dan orang-orang baik akan tertindas.
Tapi, setelah masa yang paling berat itu, akan datang zaman baru, zaman yang penuh kemegahan dan kemuliaan.
Zaman Keemasan Nusantara.
Dan zaman baru itu akan datang setelah datangnya sang Ratu Adil, atau Satria Piningit.
Ramalan Jayabaya ditulis ratusan tahun yang lalu, oleh seorang raja yang adil dan bijaksana di Mataram.
Raja itu bernama Prabu Jayabaya (1135-1159).
Ramalannya kelihatannya begitu mengena dan bahkan masih diperhatikan banyak orang ratusan tahun setelah kematiannya. Bung Karno pun juga merasa perlu berkomentar tentang ramalan ini.
Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya Ratu Adil, apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat ?.
Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan.
Sebagaimana orang yang dalam kegelapan, tak berhenti-berhentinya menunggu-nunggu dan mengharap-harap Kapan, kapankah Matahari terbit ?. Soekarno, 1930, Indonesia Menggugat
Ramalan Jayabaya ini memang lumayan fenomenal, banyak ramalannya yang bisa ditafsirkan mendekati keadaan sekarang. Di antaranya :
1. Datangnya bangsa berkulit pucat yang membawa tongkat yang bisa membunuh dari jauh dan bangsa berkulit kuning dari Utara (zaman penjajahan ).
Kreto mlaku tampo jaran
2. Prau mlaku ing nduwur awang-awang, Kereta berjalan tanpa kuda dan perahu yang berlayar di atas awan (mobil dan pesawat terbang).
3. Datangnya zaman penuh bencana di Nusantara (Lindu ping pitu sedino Lemah bengkah
Pagebluk rupo-rupo ).
4. Gempa tujuh kali sehari, tanah pecah merekah, bencana macam-macam.
5. Dan ia bahkan (mungkin) juga meramalkan perubahan cuaca akeh udan salah mongso, datangnya masa di mana hujan salah musim.
Naik turunnya peradaban sebenarnya sudah banyak dianalisis, bahkan sejak ratusan tahun lalu. Di antaranya olehIbnu Khaldun (Muqaddimah, 1337, Wikipedia: Ibn Khaldun), Gibbon (Decline and Fall, 1776), Toynbee (A Study of History), atau Jared Diamond.
Intinya sederhana, manusia atau bangsa, bisa berubah.
Manusia bisa lupa, dan sebaliknya juga bisa belajar.
Bangsa bisa bangkit, hancur, dan bisa juga bangkit lagi.
Bagaimana dengan Satria Piningit ?
Banyak juga teori tentang manusia-manusia istimewa yang datang membawa perubahan. Di dunia, orang-orang itu sering disebut Promethean, diambil dari nama dewa Yunani Prometheus yang memberikan api (pencerahan) pada manusia. Toynbee menamakannya Creative Minorities.
Tapi mereka bukan sekadar manusia-manusia ajaib, melainkan orang-orang yang memiliki kekuatan dahsyat, yaitu kekuatan ilmu, dan kecintaan pada bangsanya, sesama manusia, dan pada Tuhannya.
Lihat misalnya berapa banyak hadis Nabi Muhammad tentang pentingnya ilmu.
Dan perhatikan lanjutan pidato Bung Karno ini :
Selama kaum intelek Bumiputra belum bisa mengemukakan keberatan-keberatan bangsanya, maka perbuatan-perbuatan yang mendahsyatkan itu (pemberontakan) adalah pelaksanaan yang sewajarnya dari kemarahan-kemarahan yang disimpan …...
.......terhadap usaha bodoh memerintah rakyat dengan tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan mereka…
Satria piningit, adalah orang-orang yang peduli pada bangsanya, berilmu tinggi, dan telah memutuskan untuk berbuat sesuatu. Mereka lah, dan hanya merekalah yang bisa melawan kehancuran, dan akhirnya membangkitkan peradaban.
Di zaman kegelapan, selalu ada saja orang yang belajar.
Di antarabanyak orang lupa, selalu ada saja orang baik.
Bahkan walau cuma satu orang. Kadang, kerusakan itu justru membakar jiwanya untuk berbuat sesuatu.
Belajar, berjuang, berkorban. Seperti Nabi Muhammad yang melihat bangsanya hancur, atau Soekarno yang melihat bangsanya diinjak-injak.
Mereka lalu berjuang menyelamatkan bangsanya. Promethean, Ratu Adil yang mendatangkan zaman kebaikan.
Ramalan Jayabaya mungkin bisa dipahami secara ilmiah, bahwa manusia dan peradaban memang selalu bisa bangkit, hancur, dan bangkit lagi.
Dan mungkin karena Jayabaya menyadari manusia bisa lupa, dia sengaja menulis ini sebagai peringatan agar manusia tidak lupa. Dan itulah satu tanda kearifan sang Prabu Jayabaya. Mungkin, ini juga dorongan pada manusia agar selalu berbesar hati, optimis.
Bahwa di saat yang paling berat sekalipun, suatu hari akhirnya akan datang juga Masa Kesadaran, Masa Kebangkitan Besar, Masa Keemasan Nusantara.