CAKRA MANGGILINGAN
Kata Cakra (Chakra-bahasa Sanskerta) diartikan sebagai cakram atau roda, sementara kata Manggilingan berasal dari bahasa Jawa yaitu Giling yang berarti berputar atau menggerus.
Maka istilah Cakra Manggilingan diartikan sebagai kehidupan ibarat roda berputar.
Arti peribahasa cakra manggilingan adalah bahwa hidup itu bagaikan roda yang terus berputar.
Cakra manggilingan merupakan kehidupan dinamis seperti roda yang berputar, tidak merasa tinggi ketika mendapat pujian dan tidak merasa jatuh ketika mendapatkan caci makian.
Apapun yang diterimanya tetap berbuat baik, berbuat benar serta senantiasa selalu mengingat kepada Tuhan.
Cakra manggilingan kalau diartikan secara lebih luas menyimpan filosofi atau keyakinan tentang berputarnya roda kehidupan baik mikro maupun makro.
Bentuk yang melingkar cakra manggilingan atau dengan bentuk lain yang tertutup itu membuat keseimbangan.
Keseimbangan yang dimaksud adalah apabila salah satu bagian tidak berfungsi sesuai dengan perannya atau kecepatan berputarnya maka keseimbangan itu akan terganggu dan bahkan bisa hancur.
Apabila masih bisa memungkinkan, maka akan dilakukan perbaikan pada titik kerusakan sampai bisa pulih kembali menjadi baik atau terjadi keseimbangan yang baru.
Kata cakra sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya sebagai cakram atau roda. Sedangkan manggilingan berasal dari bahasa Jawa dari kata dasar giling yang artinya berputar atau menggerus.
Istilah cakra manggilingan diartikan sebagai kehidupan ibarat roda berputar. Intisari atau esensi dari cakra manggilingan adalah waktu.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan ini sudah menjadi kodrat manusia hidup di dunia, baik dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun.
Pemegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia ini adalah konsepsi waktu.
Bukti dari pada pentingnya konsepsi waktu adalah bahwa orang Jawa mempunyai sistem penanggalan tersendiri.
Kalender Jawa yang terdiri dari Sapta wara / 7 hari yaitu :
1. Minggu (Radite).
2. Senin (Soma).
3. Selasa (Hanggara).
4. Rabu (Budha).
5. Kamis (Respati).
6. Jumat (Sukra).
7. Sabtu (Tumpak).
Selain itu juga ada Panca Wara atau 5 hari yang biasa dikenal dengan pasaran yaitu :
1. Legi.
2. Pahing.
3. Pon.
4. Wage.
5. Kliwon.
Dengan memiliki pemahaman spiritual tentang cakra manggilingan, manusia bisa selalu siap dengan keadaan yang akan dihadapi, baik atau buruknya. Dengan memahami esensi cakra manggilingan maka seseorang bisa mempersiapkan diri untuk tidak larut dalam kebahagiaan atau kesedihan yang dihadapi. Mendapatkan kebahagiaan menjadikan manusia untuk selalu bersyukur kepada Tuhan sebaliknya kalau sedang mendapatkan kesedihan haruslah bisa bersabar untuk menghadapinya.
Tidak perlulah bersedih dengan terus- menerus se olah-olah hanya dirinya sendiri yang mendapatkan kesedihan.
Semakin bersedih maka akan semakin tersiksa hati dan pikirannya, sehingga tidak mempunyai semangat untuk hidup.
Padahal kenyataan walaupun diberi kesedihan atau kebahagiaan, kehidupan akan tetap berlangsung.
Manusia harus bisa menerima apapun yang diberikan oleh Allah, tentu saja dengan ikhlas lahir maupun batin.
Dengan menghayati cakra manggilingan maka seseorang harus mampu merasakan kekuatan dalam dirinya antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Kehidupan yang harus terus berputar dan berjalan tanpa ada seorangpun yang bisa memperlambat ataupun mempercepat.
Artinya manusia harus siap menerima yang ditakdirkan oleh Allah.
Tidak bisa menghindar dari kenyataan yang ada. Walaupun bersembunyi di manapun juga, tetap harus dijalani.
Oleh sebab itu manusia hendaknya selalu mempunyai rasa syukur apabila sedang mendapatkan kebahagiaan dan tetap sabar kalau diberi kesedihan/kesusahan.
Hati akan tenteram dan nyaman apabila mempunyai keduanya yaitu sabar dan syukur.
Namun kenyataan kalau diberi kebahagiaan kadang lupa dengan Allah yang memberinya.
Akan ingat kalau seseorang itu diberi kesusahan/kesedihan.
Tidak ada salahnya kalau manusia hidup menjalani ujian apapun merasa selalu bersyukur dan sabar dengan hati yang ikhlas. Manusia lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya.
Hendaknya manusia dapat mengambil pelajaran baik dengan melihat masa yang telah lalu, sekarang dan menghadapai masa yang akan datang.
Ketahuilah bahwa setiap orang berada pada lingkaran cakra manggilingan masing-masing. Kadang-kadang manusia sering meragukan keberadaannya (termasuk saya sendiri).
Seolah-olah saya tidak berada di satu titik tetapi di dua titik yang bersamaaan sehingga membuat hati dan pikiran menjadi kacau dan kurang bisa maksimal dalam melakukan pekerjaan untuk tugas-tugas rutin.
Sebagai orang Jawa akan selalu ingat istilah Jawa yang sudah popular di mana-mana.
Buktinya tetap bersyukur, sabar bisa merasakan suka duka perputaran yang sedang diberikan, masih sesuai dengan perilaku saya, dan yang paling membahagiakan hati adalah masih diberi kekuatan oleh Allah mengimbanginya.
Barangkali masih ada manusia yang belum atau bahkan tidak bisa menghadapi kenyataan yang ada hingga lupa dengan cakra manggilingan.
Antara lain, emosi, melakukan perbuatan yang tidak baik, sengaja menyimpang dari jalur lingkaran cakra manggilingan.
Kalau seperti itu artinya mereka walaupun sama-sama dalam kondisi di bawah tetapi tingkat kesedihan/kesusahan, kehormatan diri dan bahagia yang dirasakan akan jauh berbeda. Mereka meninggalkan atau bahkan menghilangkan nilai-nilai budaya Jawa sebagai tradisinya.
Padahal mereka mengaku lahir dan besar di dalam kultur kejawaan, justru semakin membawanya terasing untuk dirinya sendiri.
Bagi orang yang tidak memahaminya, falsafah cakra manggilingan dianggap tidak berguna. Bagi orang yang memaknainya secara harafiah, akan dianggap bahwa tergantung amal dan perbuatan.
Padahal makna yang sebenarnya adalah mengajarkan seseorang untuk berperilaku sabar dan selalu bersyukur dalam menghadapi kehidupan di dunia ini.
CAKRA MANGGILINGAN.
Cakra Manggilingan merupakan frasa yang digunakan untuk mengingatkan manusia, bagaimana pola dari suatu kehidupan.
Kata Cakra dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai roda.
Kata ini merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta yaitu Cakra yang merujuk kepada benda yang berbentuk lingkaran.
Kata Cakhra berdekatan dengan cakram atau cakra yang juga berarti suatu lempengan bundar atau pusaran (biasanya dikaitkan dengan energi).
Oleh karena itu kata Cakra dalam Cakra Manggilingan dapat diterjemahkan sebagai roda.
Roda dalam hal ini bukan berarti secara harafiah seperti roda mobil dan roda kereta.
Cakra disini lebih merujuk kepada pola kehidupan.
Orang Jawa percaya, bahwa kehidupan dirangkum oleh waktu dan memiliki pola tertentu. Kata manggilingan berasal dari kata gilingan yang berarti berputar. Kata gilingan atau giling dalam bahasa Indonesia dapat diartikan pula sebagai suatu proses berputar.
Oleh karena itu untuk menunjukkan bahwa suatu roda yang bergerak, maka kata cakra digandeng dengan kata manggilingan sehingga menunjukkan bahwa roda tersebut sedang berputar.
Bukan hanya roda yang sedang diam, tidak bergerak.
Kata Cakra manggilingan secara tegas diartikan sebagai roda yang berputar.
Musman (2015) mengartikan Cakra manggilingan sebagai hidup yang bagaikan roda yang berputar.
Kata hidup yang dirujuk dalam tulisan Musman mengandaikan bahwa kehidupan memiliki pola seperti roda yang tengah berputar. Ibarat roda yang sedang berputar, satu titik akan melewati poros yang sama secara berulang. Misalkan saja kehidupan diibaratkan dengan jari-jari roda, satu jari-jari roda akan berada di posisi atas, samping, bawah, samping dan kembali ke atas. Manusia diibaratkan sebagai jari-jari roda dan roda sebagai kehidupan dalam satuan waktu.
Pada saat ini seseorang dapat berada di posisi atas, memiliki segala sesuatu secara utuh.
Pada saatnya apa yang ia miliki akan berkurang, lalu habis tak bersisa. Namun kehidupan memberinya kesempatan untuk berusaha lagi agar dapat sampai di posisi atas.
Jadi satu siklus bukan akhir dari hidup manusia.
Hidup manusia hanya berakhir bila waktunya telah habis, dengan kata lain bila rodanya sudah tidak berputar lagi.
Selama roda masih berputar, manusia masih memiliki kesempatan untuk berusaha memperoleh posisi di atas.
Frase Cakra manggilingan tidak secara langsung merujuk kepada nilai ajaran dan etika Jawa.
Frase ini lebih dulu berusaha untuk menarasikan bagaimana kehidupan berjalan.
Dengan gambaran ini (kehidupan bagai roda yang berputar), maka manusia dapat memperhitungkan sendiri apa yang harus ia lakukan. Cakra manggilingan menggambarkan bahwa manusia yang mau berusaha dapat berada pada posisi atas.
Sedangkanbila waktu menyeret manusia ke posisi bawah, maka ia harus menyadari, menerima dan kemudian berusaha untuk bangkit dari keadaan tersebut.
Cakra manggilingan berusaha mengingatkan manusia bahwa tidak ada hal yang abadi. Kehidupan merupakan suatu proses yang dinamis, tidak statis. Perubahan terus terjadi, bergantung kepada manusia yang menjalaninya.
Waktu hanyalah bagian dari kriteria pengukuran yang tidak dapat berjalan mundur.
Proses ini juga yang dapat menunjukkan manusia bahwa kehidupan tidak selalu berjalan sesuai harapan.
Kadang kehidupan menyeret manusia dalam kesesakan namun selalu ada kesempatan untuk kembali ke posisi atas.
Dengan gambaran sedemikian rupa, frase Cakra manggillingan secara tidak langsung telah membantu orang Jawa untuk memahami apa itu kehidupan, dan bagaimana harus menjalaninya. Gambaran sederhana dari roda dapat diaplikasikan oleh orang Jawa untuk menggambarkan pola kehidupan.
Salah satu contoh bagaimana orang Jawa berusaha menggali makna di balik segala sesuatu.
Setiap falsafah ajaran hidup Jawa, berulangkali sudah disampaikan bukanlah agama jadi jangan dicampur adukkan. Karena falsafah Jawa cakra manggilingan ini merupakan cara pandang hidup dalam arti yang luas yaitu meliputi pandangan terhadap Allah serta alam semesta ciptaanNya beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Cakra manggilingan adalah bentuk roda yang selalu berputar atau menggelinding. Secara umum hal itu bermakna kalau hidup ini seperti roda yang berputar kadang di atas dan terkadang di bawah.
Cakra manggilingan dalam kisah di dunia rumah tangga dalam kurun waktu yang cukup lama. Mereka hidup dalam lingkungan yang baik dengan kehidupan yang cukup, tidak ada kesedihan dan penderitaan dari balik rumah itu. Hingga suatu hari salah satu diantara orang tua (suami) terkena pengaruh beberapa orang dari luar. Semuanya tidak mengerti sopan santun dan tidak punya rasa empati. Sejak saat itu (istri) meski masih di dalam rumah, lebih memilih diam di dalam menghadapinya. Hal itu dilakukan dengan alasan untuk menghindari konflik, karena bagi si istri konflik sudah tidak berlaku lagi dalam kehidupannya.
Akhirnya sang suami berbuat licik kepada istri yang membuat mereka “jaga jarak” dan berpisah. Dengan kisah itu maka dapat dilihat bahwa sebuah kehidupan yang digambarkan dari kisah hidup berumah tangga ini, pada realitanya bisa saja terjadi pada siapapun juga.
Pada kesempatan lain kita bisa mengalami fase titik terendah pada kondisi yang tidak nyaman dan tidak bahagia.
Cerita seperti di atas apabila sang istri tidak mempunyai semangat hidup atau perjuangan hidup yang ekstra kuat maka mustahil akan berada di titik teratas. Itu artinya bisa dilihat, bahwa dengan perjuangan dan semangat sebagai orang yang dikhianati (lebay). Seiring berjalannya waktu, akan kembali roda berputar membawa/ menemukan momentum pada puncak kejayaan sebagai orang yang lulus dalam menghadapi ujian.
Sebuah makna kearifan tentang hidup yang terus berputar. Khususnya bagi kehidupan jaman sekarang, yang lebih berorientasi kepada hal-hal materi, yang menurut sebagian orang dapat menyelamatkan kehidupan di dunia ini. Tidak heran jika kemudian banyak manusia yang terjebak pada ketidakwaspadaannya di dalam menjalani kehidupan.
Padahal jika mengacu pada falsafah hidup cakra manggilingan, belum tentu materi dengan nominal yang besar akan mampu menjamin hidupnya terus berada di atas. Sebaliknya orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, tetapi karena semangat dan kerja kerasnya, mampu mengalahkan orang-orang berpendidikan. Sejatinya falsafah cakra manggilingan ini merupakan sebuah pakem yang bisa memberikan seseorang kebijaksanaan untuk selalu waspada dan tetap konsisten pada prinsip-prinsip dan ritme kerja serta nilai-nilai yang kita pegang sebagi pedoman hidup manusia. Juga sebagai pengingat manusia bagaimana pola dari suatu kehidupan.
Seseorang dapat berada di posisi atas artinya sedang memiliki sesuatu secara penuh yang intinya kebahagiaan. Namun pada saatnya yang mereka miliki akan berkurang bahkan bisa habis tidak ada sisa sedikitpun. Namun demikian kehidupan memberinya kesempatan untuk berusaha lagi agar dapat kembali ke posisi di atas. Jadi bisa disimpulkan bahwa satu siklus bukan akhir dari suatu hidup manusia. Karena hidup manusia akan berakhir apabila waktunya sudah habis artinya rodanya sudah tidak bisa berputar lagi.
Maka selama roda masih akan tetap berputar, manusia masih memiliki kesempatan untuk berusaha memperoleh posisi yang di atas sesuai dengan keinginan yang diharapkan. Manusia bisa memperhitungkan sendiri apa yang harus dilakukan, kalau mau berusaha dapat berada di posisi atas. Apabila manusia sedang terseret di posisi bawah, maka haruslah menyadari, menerima dan kemudian berusaha untuk bangkit dan semangat dari keadaan tersebut. Jangan pernah menyesal atau dalam istilah Jawanya “ kakehan sambat”.
Dengan pernyataan seperti di atas, frase cakra manggilingan secara tidak langsung telah membantu orang Jawa untuk memahami apa arti kehidupan dan bagaimana caranya untuk menjalaninya. Hal ini merupakan salah satu contoh bagaimana orang Jawa berusaha menggali makna di balik segala sesuatu. Selalu siap dengan keadaan yang akan dihadapi, baik atau buruknya.
Waktu kehidupan yang terus berputar, maka bisa mempersiapkan diri untuk tidak larut dalam kebahagiaan atau kesedihan yang sedang dihadapi. Jika manusia merasa berlebihan dalam menikmati kebahagiaan duniawi ini bisa melupakan dan menyesatkan diri sendiri, begitu juga sebaliknya jika terus larut dalam kesedihan atau keterpurukan maka kita hanya akan jalan di tempat dan tidak mungkin bisa membawa perubahan yang baik.
Kesimpulannya adalah sebagai manusia yang berakal, maka siapapun orang itu harus mau menerima kenyataan yang sudah, sedang dan akan terjadi. Itu merupakan kunci untuk mempersiapkan diri agar siap menghadapi kenyataan yang ada. Jangan lupakan filosofi “cakra manggilingan”!.
Dalam cerita pewayangan, cakra yang berputar dikenal sebagai senjata andalan Sri Kresna yang disebut Kalacakra.
Esensi dari Cakra Manggilingan adalah waktu.
Perubahan-perubahan yang terjadi sudah menjadi kodrat manusia, baik dari hari ke hari, bulan ke bulan maupun tahun ke tahun. Konsepsi waktu memegang peranan yang sangat penting.
Dengan menghayati Cakra Manggilingan seseorang harus mampu melakukan "Triwikrama", yakni mempertemukan tiga kekuatan yang ada dalam dirinya: masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Triwikrama sendiri merupakan tiga langkah Dewa Wisnu atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Yakni kertayuga, tirtayuga, dan dwaparayuga.
Kertayuga adalah masa saat roh manusia masih berada di alam sunyaruri.
Tirtayuga adalah saat roh menitis untuk pertama kali ke dalam air kehidupan yang bersemayam dalam rasa sejati.
Sementara dwaparayuga adalah saat ketika jabang bayi di dalam rahim ibunya selama sembilan bulan.
Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi atau Marcapada menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya.
Dengan menghayati Triwikrama, hendaknya seseorang dapat mengambil pelajaran baik pada masa yang telah dilalui, saat ini, untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Memahami Makna Spiritual Cakra Manggilingan
Dengan menghayati Cakra Manggilingan seseorang harus mampu melakukan "Triwikrama", yakni mempertemukan tiga kekuatan yang ada dalam dirinya: masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Triwikrama sendiri merupakan tiga langkah Dewa Wisnu atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Yakni kertayuga, tirtayuga, dan dwaparayuga. Kertayuga adalah masa saat roh manusia masih berada di alam sunyaruri. Tirtayuga adalah saat roh menitis untuk pertama kali ke dalam air kehidupan yang bersemayam dalam rasa sejati.
Sementara dwaparayuga adalah saat ketika jabang bayi di dalam rahim ibunya selama sembilan bulan. Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi atau Marcapada menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya.
Dengan menghayati Triwikrama, hendaknya seseorang dapat mengambil pelajaran baik pada masa yang telah dilalui, saat ini, untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Belajar Falsafah Hidup Cakra Manggilingan dan Pandawa
Dalam pelbagai hal, indikasi nilai-nilai budaya Jawa sudah mulai ditinggalkan atau bahkan memudar.
Berbicara eksistensi orang Jawa pada zaman kiwari, ibarat berada di sebuah persimpangan jalan. Dalam pelbagai hal, indikasi nilai-nilai budaya Jawa sudah mulai ditinggalkan atau bahkan memudar.
Kini semakin banyak orang Jawa meninggalkan tradisinya. Namun, di dalam perjalanannya, justru bagi sebagian orang yang mengaku lahir dan besar di dalam
kultur kejawaan, semakin membawanya "terasing".
Nyatanya, falsafah-falsafah hidup dalam budaya Jawa tidak semuanya usang meski zaman berganti. Seperti satu pegangan yang berbunyi alon-alon waton kelakon. Ia sudah diperolok.
Bagi orang yang tidak memahaminya, falsafah itu dianggap mengajarkan kemalasan. Dan bagi orang yang memaknainya secara harfiah, akan dianggap bahwa kecekatan, kegesitan dan kecepatan dalam melakukan sesuatu, tidaklah diperlukan.
Falsafah ini juga dipakai sebagai legitimasi bagi orang-orang yang tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan tepat waktu. Padahal makna sesungguhnya adalah mengajarkan seseorang untuk berperilaku sabar, konsisten terhadap apa yang dicita-citakan yang didasari pada kemampuan diri sendiri.
Falsafah ajaran hidup Jawa bukanlah agama, melainkan suatu cara pandang hidup dalam artian yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan serta alam semesta ciptaan-Nya beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya.
Selain alon-alon waton kelakon, ada cakra manggilingan. Cakra adalah sebuah bentuk geometri bulat pipih, seperti bentuk roda dengan jerujinya, hanya lebih kecil, tajam di sekeliling lingkaran luarnya, dan biasannya dipakai buat senjata. Sedangkan kata manggilingan adalah sesuatu yang selalu menggelinding atau berputar.
Cakra manggilingan adalah bentuk roda yang selalu berputar atau menggelinding. Secara umum, hal itu bermakna kalau hidup ini seperti roda yang berputar, kadang di atas dan terkadang di bawah (Amrih, 2008).
Cakra manggilingan telah dikisahkan di dalam dunia perwayangan dalam kurun waktu yang cukup lama, mengenai kisah kehidupan para Pandawa--lima bersaudara anak Pandu bernama Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Mereka berlima lahir dalam lingkungan istana Hastinapura dengan kehidupan yang mewah dan berkecukupan. Tak ada kesusahan dan penderitaan dari balik tembok istana.
Hingga suatu hari, seratus saudara sepupu mereka yang dijuluki Kurawa, pulang dari pengasingan di Desa Gajahoya. Semuannya berandalan yang tidak mengenal sopan santun dan tidak punya rasa empati.
Sejak saat itu, para Pandawa, meski masih di dalam istana, lebih memilih diam di dalam menghadapi Kurawa. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik.
Akhirnya, Kurawa berbuat licik kepada para Pandawa yang membuat mereka terusir dari istana dan pergi ke hutan Wanamarta. Sejak saat itu, para Pandawa tidak lagi mengenyam kenyamanan seperti di istana. Mereka hidup sebagai gelandangan.
Dari sini dapat dilihat bahwa sebuah kehidupan yang digambarkan dari kisah pewayangan ini, pada realitasnya bisa saja terjadi pada kita. Pada kesempatan lain, kita bisa mengalami fase titik terendah pada kondisi yang tidak nyaman.
Cerita belum berhenti. Atas kegigihan serta semangat dan perjuangan para
Pandawa, mereka berhasil membuka lahan di Wanamarta yang kemudian hari berhasil menjadi negeri yang disegani di dunia wayang, namanya Amarta.
Sebagai kepala negara Amarta, Yudhistira melawat ke Hastinapura yang dipimpin oleh Kurawa. Dari sini bisa dilihat, bahwa dengan perjuangan dan semangatnya sebagai pengembara hutan. Seiring berjalannya waktu, Pandawa kembali menemukan momentumnya di puncak kejayaan sebagai orang yang dihormati.
Pertemuan kembali Pandawa dan Kurawa ini sejatinya dilakukan untuk membuka dialog mengenai hak-hak Pandawa bersaudara terhadap negeri Hastinapura. Namun, dialog menemui jalan buntu. Perang besar Baratayudha jadi tak terhindarkan.
Sebuah perang yang akhirnya dimenangkan oleh pihak Pandawa. Sehingga Pandawa berhasil menggabungkan dua negeri sekaligus yakni Hastinapura dan Amarta. Kembali roda berputar membawa Pandawa pada puncak kejayaan.
Pada masa sekarang, cerita di atas mungkin hanya sebagai legenda. Namun, nilai-nilai filosofi yang dikandungnya tetap relevan hingga sekarang. Sebuah makna kearifan tentang hidup yang terus berputar. Khususnya bagi kehidupan masa sekarang, yang lebih berorientasi kepada hal-hal materi, yang menurut sebagian orang dapat menyelamatkan kehidupannya di dunia ini.
Maka, tidak heran jika kemudian banyak pemuda terjebak pada ketidakwaspadaannya di dalam menjalani kehidupan. Contoh sederhananya yang belum lama viral mengenai gaji, saat seorang pemuda terlepas dari kebutuhannya yang terlalu tinggi, ia merasa kurang akan gaji yang diterimannya.
Padahal jika mengacu kepada falsafah hidup cakra manggilingan.
Belum tentu gaji dengan nominal yang besar, akan mampu menjamin hidupnya terus berada di atas. Tapi sebaliknya, orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, tapi karena semangat dan kerja kerasnya, mampu mengalahkan orang-orang berpendidikan.
Maka falsafah cakra manggilingan ini sejatinya merupakan sebuah pakem yang memberikan seseorang kebijaksanaan, untuk selalu waspada dan tetap konsisten pada prinsip-prinsip dan ritme kerja serta nilai-nilai yang kita pegang.
Esensi dari cakra manggilingan ini adalah waktu yang membuat terjadinya perubahan. Kejadian yang dialami semuanya hanya tinggal menunggu waktu.
Tidak heran, jika kita sering mendengar nasehat jangan menyia-yiakan waktu selagi muda.
Cokro Manggilingan dalam Perspektif Garis Hidup Manusia
Pada gambar di atas, saya yakin bagi sampeyan yang gemar akan wayang tentu tidaklah asing. Ya, itulah yang disebut Cakra Manggilingan atau Cokro Manggilingan.
Dalam dunia pewayangan, pusaka yang berbentuk lempengan bulat bergerigi tajam seperti pada ilustrasi di samping adalah senjatanya raja Dwarawati, Kresna.
Namun, pada tulisan kali ini saya tidak hendak membincang keampuhan pusaka Kresna tersebut, tapi lebih pada sisi lainnya, yakni filosofinya.
Dalam budaya Jawa, Cakra Manggilingan adalah sebuah filosofi atau lebih tepatnya keyakinan akan berputarnya roda kehidupan. Baik mikrokosmos maupun makrokosmos. Temasuk di dalamnya berputar dan terbatasnya sebuah kekuasaan. Mari kita ilustrasikan tentang hal ini.
Mari sejenak nyambangi jagad wayang. Dalam jagad pewayangan, Semar dan punokawan lainnya semuanya tunduk kepada tuannya, dalam hal ini para ksatria Pandawa. Sementara Pandawa tunduk kepada Batara Guru atau yang sering disebut Manikmaya itu di kahyangan yang berkuasa penuh atas marcapada (bumi). Sedangkan Batara Guru tunduk kepada kakaknya yang membangunkan kahyangan untuknya, yakni Batara Ismaya, yang tak lain adalah Semar yang turun ke bumi.
Wayang, Koin Kuno dari Jawa yang Dibawa Raffles ke LondonWayang Kulit, Kesenian Adiluhung Yang Melintasi Zaman dan Benua.
Bentuk melingkar Cakra Manggilingan, atau bentuk lain yang tertutup itu membuat keseimbangan. Bila salah satu bagian tidak berfungsi sesuai peran dan atau kecepatan berputarnya, maka keseimbangan itu akan terganggu dan bahkan bisa hancur. Bilamana masih memungkinkan, akan dilakukan perbaikan pada titik kerusakan itu hingga pulih kembali, atau terjadi keseimbangan baru. Begitulah galibnya.
Para Dewa dibuat kalang kabut ketika Prabu Niwatakawaca, raksasa dari bumi mengobrak-abrik kahyangan, karena ditolak lamarannya meminang Dewi Supraba, ratunya bidadari. Kekacauan itu pulih kembali ketika Arjuna turun tangan. Tak ubahnya saat kita sedang suitan dulu dan tidak menerima kekalahan, maka bisa ditebak toh, kita ribut sama kawan kita tersebut. Harusnya, presiden Soeharto tidak perlu lengser keprabon secara mendadak, bila menjalankan kekuasaan eksekutif dengan baik. Saya percaya tiap orang berada pada lingkaran Cakra Manggilingan masing-masing, hanya saja saya sering meragukan keberadaan saya sendiri.
Dulu, saat saya masih kerja ikut orang, saya tunduk dan patuh sepenuhnya pada bos saya. Bagaimana tidak, wong dia yang gaji saya. Sementara kalau di rumah, saya adalah kepala rumah keluarga yang bebas saja memerintah istri dan anak-anak saya. Tapi nyatanya, istri dan anak-anaklah yang justru dominan memerintah saya. memang, perintah itu tidak lantas diucapkan, tetapi sudah ditetapkan kodrat, yang suka tidak suka saya harus lakukan tanpa syarat.
Jika di graito (renungkan), sepertinya, pada lingkaran itu saya tidak berada di satu titik, tetapi dua titik atau mungkin lebih dalam waktu yang bersamaan. Meski demikian, saya bersyukur bisa merasakan suka duka perputaran itu, yang masih sesuai dengan irama saya dan masih diberi kekuatan mengimbanginya.
Cakra Manggilingan
(Kr. Roda Dunia - Ciptaan Gesang)
Ibaratnya dunia...
Itu sepertilah roda
Berputar…
Putarlah jalannya…
O... terus berubah
Tiada tentu nanti bagaimana jadinya
Dulu bermegah...
Kini dalam keadaan susah
O.. roda dunia...
Selalu menanti
Adil dan benar...
Akan menang di belakang nanti
Cakra manggilingan adalah filosofi atau keyakinan berputarnya roda kehidupan baik mikro maupun makro.
Demikian pula dengan berputar dan terbatasnya kekuasaan.
Dalam dunia pewayangan, Semar dan punokawan lainnya tunduk kepada tuannya, misalnya ksatria Pandawa, Pandawa tunduk kepada Betara Guru (Manikmaya) di kahyangan yang menguasai marcapada (bumi), sedangkan Betara Guru tunduk kepada kakaknya yang membangun kahyangan untuknya, yaitu Batara Ismaya, yang tidak lain adalah Semar yang turun ke bumi.