BHAGAWANTA BHARI & HARINJING
ASAL KATA KEDIRI
Nama Kediri ada yang berpendapat berasal dari kata KEDI yang artinya MANDUL atau Wanita yang tidak berdatang bulan.
Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, KEDI berarti Orang Kebiri atau Dukun.
Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama KEDI WRAKANTOLO.
Bila kita hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng.
KEDI berarti Suci atau Wadad.
Di samping itu kata Kediri berasal dari kata DIRI yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).
Untuk itu dapat kita baca pada prasasti WANUA tahun 830 saka, yang diantaranya berbunyi :
Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban.
Artinya : pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama Kediri banyak terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti :
1. Kitab Samaradana.
2. Pararaton.
3. Negara Kertagama.
4. Kitab Calon Arang.
Demikian pula pada beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti :
1. Prasasti Ceker, berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo. Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, Tanah Perdikan. Dalam prasasti itu tertulis Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri artinya raja telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.
2. Prasasti Kamulan di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194. Pada prasasti itu juga menyebutkan nama, Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.
Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang (tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri).
3. Kediri muncul pertama kalinya bersumber dari tiga buah prasasti Harinjing A-B-C, namun pendapat beliau, nama Kadiri yang paling tepat dimunculkan pada ketiga prasasti. Alasannya Prasasti Harinjing A tanggal 25 Maret 804 masehi, dinilai usianya lebih tua dari pada kedua prasasti B dan C, yakni tanggal 19 September 921 dan tanggal 7 Juni 1015 Masehi. Dilihat dari ketiga tanggal tersebut menyebutkan nama Kediri ditetapkan tanggal 25 Maret 804 M. Tatkala Bhagawanta Bhari memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang tertulis di ketiga prasasti Harinjing.
Nama Kediri semula kecil lalu berkembang menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga sekarang.
4. Penelitian dari para ahli lembaga Javanologi, Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, Kediri lahir pada Maret 804 Masehi. Sekitar tahun itulah, Kediri mulai disebut-sebut sebagai nama tempat maupun negara.
Belum ada sumber resmi seperti prasasti maupun dokumen tertulis lainnya yang dapat menyebutkan, kapan sebenarnya Kediri ini benar-benar menjadi pusat dari sebuah Pemerintahan maupun sebagai mana tempat.
Dari prasasti yang diketemukan kala itu, masih belum ada pemisah wilayah administratif seperti sekarang ini.
Adanya Kabupaten dan Kodya Kediri, sehingga peringatan Hari Jadi Kediri yang sekarang ini masih merupakan milik dua wilayah dengan dua kepala wilayah.
Menurut para ahli, baik Kadiri maupun Kediri sama-sama berasal dari bahasa Sansekerta, dalam etimologi Kadiri disebut sebagai Kedi yang artinya Mandul, tidak berdatang bulan (aprodit).
Dalam bahasa Jawa Kuno, Kedi juga mempunyai arti Dikebiri atau dukun. Menurut Drs. M.M. Soekarton Kartoadmodjo, nama Kediri tidak ada kaitannya dengan Kedi) maupun tokoh Rara Kilisuci. Namun berasal dari kata diri yang berarti adeg (berdiri) yang mendapat awalan Ka yang dalam bahasa Jawa Kuno berarti Menjadi Raja.
Kediri juga dapat berarti mandiri atau berdiri tegak, berkepribadian atau berswasembada.
Jadi pendapat yang mengkaitkan Kediri dengan perempuan, apalagi dengan Kedi kurang beralasan.
5. Menurut Drs. Soepomo Poejo Soedarmo, dalam kamus Melayu, kata Kediri dan Kendiri sering menggantikan kata sendiri. Perubahan pengucapan Kadiri menjadi Kediri. Menurut Drs. Soepomo paling tidak ada dua gejala. Yang pertama, gejala usia tua dan gejala informalisasi. Hal ini berdasarkan pada kebiasaan dalam rumpun bahasa Austronesia sebelah barat, di mana perubahan seperti tadi sering terjadi.
27 Juli 879 M (Kota Kediri)
Sebagian anggota tim penelusuran hari jadi Kota Kediri, yang terdiri dari para sejarawan dan arkeolog, berpendapat bahwa hari jadi Kediri jatuh pada 27 Juli, sesuai dengan prasasti Kwak yang ditemukan di Desa Ngabean, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti bertanggal 27 Juli 879 Masehi ini menyebut kata Kwak, yang kebetulan adalah nama sebuah desa di Kediri. Daerah ini sampai sekarang masih ada.
Sebagian lagi menganggap ulang tahun Kediri seperti tertulis di prasasti Hanjiring A (25 Maret 804 Masehi).
Tapi ada pula yang memakai prasasti Hanjiring B bertanggal 19 September 921 Masehi sebagai patokan.
DYAH TULODONG
Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmatanuraga Uttunggadewa atau disingkat Dyah Tulodong atau Tlodhong adalah raja Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 919–924.
SILSILAH
Dyah Tulodong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca.
Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong.
Mungkin Rakryan Layang adalah anak perempuan Mpu Daksa. Dyah Tulodong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa.
Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodong disebut sebagai putri dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil.
Nama Layang sekarang mulai dikaitkan dengan keberadaan Situs Liyangan, berdasarkan kemiripan nama.
RIWAYAT PEMERINTAHAN
Prasasti Lintakan tanggal 12 Juli 919 adalah prasasti tertua yang pernah ditemukan dengan menyebut Tulodong sebagai raja. Dalam pemerintahannya, yang menduduki jabatan Rakryan Mapatih Hino bernama Mpu Ketuwijaya yang juga bergelar Sri Ketudhara Manimantaprabha Prabhusakti, sedangkan yang menjabat Rakryan Halu adalah Mpu Sindok.
Prasasti Harinjing tanggal 19 September 921 berisi pengukuhan anugerah untuk anak-anak Bhagawanta Bhari yang berjumlah 12 orang dan tersebar di mana-mana.
Bhagawanta Bhari adalah tokoh yang berjasa membangun bendungan pencegah banjir. Ia sendiri telah mendapat anugerah dari raja sebelumnya.
Prasasti untuk anak-anak Bhagawanta Bhari diperbaharui lagi pada tanggal 7 Maret 927, di mana mereka mendapatkan Desa Culanggi sebagai sima swatantra (daerah bebas pajak). Pembaharuan tersebut dilakukan oleh Rakai Hino Mpu Ketuwijaya, atas saran dari Rakai Sumba yang menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah.
AKHIR PEMERINTAHAN
Prasasti Sangguran tanggal 2 Agustus 928 menyebut adanya raja baru bernama Rakai Sumba Dyah Wawa. Ia diyakini sebagai raja pengganti Dyah Tulodong.
Seperti diketahui, Rakai Sumba sebelumnya adalah menjabat sebagai Sang Pamgat Momahumah, semacam pegawai pengadilan. Ia sendiri mengaku sebagai putra dari Kryan Landhayan, yaitu tokoh penculikan anak dan istri Rakai Kayuwangi dalam peristiwa Wuatan Tija.
Sejarawan Boechari berpendapat bahwa Dyah Wawa telah melakukan kudeta merebut takhta Kerajaan Medang dengan cara menyingkirkan Dyah Tulodong dan Mpu Ketuwijaya. Ada dugaan, kudeta ini dibantu oleh Mpu Sindok yang semula menjabat sebagai Rakai Halu, dan kemudian naik pangkat menjadi Rakai Hino.
KEDIRI DAN BHAGAWANTA BHARI
Mungkin saja Kediri tidak akan tampil dalam panggung sejarah, andai kata Bagawanta Bhari, seorang tokoh spiritual dari belahan Desa Culanggi, tidak mendapatkan penghargaan dari Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tuladong.
Dalam perjalanannya, pada waktu itu Bhagawanta Bhari, seperti memperoleh penghargaan Parasamya Purnakarya Nugraha, kalau hal itu terjadi sekarang ini.
Dalam pengabdiannya Bhagawanta Bhari kala itu, bagaimana upaya tokoh spiritual ini meyelamatkan lingkungan dari amukan banjir tahunan yang mengancam daerahnya. Ketekunannya yang tanpa pamrih inilah akhirnya menghantarkan dirinya sebagai panutan, sekaligus idola masyarakat kala itu.
Ketika itu tidak ada istilah Parasamya atau Kalpataru, namun bagi masyarakat yang berhasil dalam ikut serta memakmurkan negara akan mendapat Ganjaran seperti Bagawanta Bhari, dirinya juga memperoleh ganjaran itu berupa gelar kehormatan Wanuta Rama (ayah yang terhormat atau Kepala Desa) dan tidak dikenakan berbagai macam pajak (Mangilaladrbyahaji) di daerah yang dikuasai Bhagawanta Bhari, seperti :
1. Culanggi dan.
2. Kawasan Kabikuannya.
Sementara itu daerah seperti :
1. Wilayah Waruk Sambung.
2. Wilang, hanya dikenakan I mas Suwarna kepada Sri Maharaja setiap bulan Kesanga (Centra). Pembebasan atas pajak itu antara lain berupa :
1. Kring Padammaduy (Iuran Pemadam Kebakaran).
2. Tapahaji erhaji (Iuran yang berkaitan dengan air).
3. Tuhan Tuha dagang (Kepala perdagangan).
4. Tuha hujamman (Ketua Kelompok masyarakat).
5. Manghuri (Pujangga Kraton).
6. Pakayungan Pakalangkang (Iuran lumbung padi).
7. Pamanikan (Iuran manik-manik, permata) dan masih banyak pajak lainnya.
Kala itu juga belum ada piagam penghargaan untuknya, maka sebagai peringatan atas jasanya itu lalu dibuat prasasti sebagai Pengeling-eling (Peringatan). Prasasti itu diberi nama HARINJING B yang bertahun Masehi 19 September 921 Masehi. Dan disebitlah Selamat tahun saka telah lampau 843, bulan Asuji, tanggal lima belas paro terang, paringkelan Haryang, Umanis (legi).
Budhawara (Hari Rabo), Naksatra (bintang) Uttara Bhadrawada, dewata ahnibudhana, yoga wrsa.
TERSURAT PRASASTI HARINJING
Bagian Depan (Recto) :
1. swasti śakawarṣātīta 706 (=702) caitra;
2. māsa tithī ĕka daśī śuklapakṣa wāra ha. wa. so. tatkā-;
3. la bhagawanta bārī (=dharī) i culaŋgi sumakṣyakan sīmā nira n mula ḍawu-;
4. han gawai nira kali i hariñjiŋ hana ta lĕmaḥ ḍapu bhi saŋ apatiḥ a;
5. tuha kamwah deni kali hineyan lĕmaḥ satamwah de bhagawanta bārī (=dharī)(Atmodjo, 1985:49-52).
Lafal di atas disadur dari uraian Prasasti Harinjing A (726 Śaka/804 Masehi) yang menjadi dasar penetapan harijadi Kabupaten Kediri hingga saat ini.
Prasasti berasal dari bahasa Sansekerta, praśāsti yang arti halfiahnya bermakna puji-pujian, dan arti secara luas adalah piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang. Menurut pemahaman kekinian, prasasti berarti huruf-huruf, kata-kata atau tanda-tanda konvensional yang dipahatkan pada bahan-bahan yang tidak mudah rusak, contohnya batu dan logam. Ilmu yang mempelajari prasasti disebut epigrafi (epigraphy) dan ahlinya disebut epigraf (epigraph).
Pada awal kemunculannya, prasasti dibuat untuk pujia-pujian kepada raja, yang disamakan dengan dewa, walau terdengar berlebihan, tapi itulah tujuan prasasti dibuat. Pada masa selanjutnya, isi prasasti lebih mengarah kepada peringatan suatu peristiwa, seperti peresmian sebidang tanah, pendirian bangunan suci, ekspedisi perjalanan dan sebagainya.
Demikian pula Prasasti Harinjing ini, prasasti ini terpahat pada sebuah batu andesit.
Menurut laporan PV van Stein Callenfels (1934) dalam De inscriptie van Soekaboemi, prasasti ini ditemukan di Perkebunan Sukabumi, wilayah Kepung, Kediri.
Beraksara dan berbahasa Jawa Kuna.
Dengan ukuran panjang 75 cm, lebar 26 cm, tinggi 117 cm.
Dan sekarang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta, dengan nomor inventaris D 173.
Prasasti Harinjing ini memuat 3 peristiwa sekaligus dengan angka tahun berbeda.
Bagian Pertama.
Disebut Prasasti Harinjing A, yang tersurat pada bagian depan (recto) dengan banyak kekeliruan penulisan, terutama angka tahunnya tertulis berangka tahun 706 Śaka, sesuai pembacaan Callenfels. Kemudian direvisi oleh L. Ch. Damais dalam laporan penelitiannya bagian jilid I dengan judul “Etudes d'épigraphie indonésienne, Sub Bab III 'Liste des Principales Inscriptions Datees de I'Indonsie yang diterbitkan BEFEO (Perancis), menjadi tahun 726 Śaka.
Isi bagian prasasti ini sesuai terjemahan lafal di atas, menyebutkan tentang pada tahun 726 saka bulan caitra, tanggal 11 (sebelas) paro terang, wara (hari) : Hariyang-Wage-Soma, seorang pendeta di daerah Culaŋgi bernama Bhagawanta Bharī yang memperoleh hak sima atas daerah mereka karena telah berjasa membuat saluran sungai (tanggul kali) bernama Harinjing di sebidang tanah milik ḍapu bhi, seorang apatiḥ atuha, yang telah tergenang aliran kali seluas satu tamwah akibat tanggul tersebut.
Bila keterangan pertanggalan tersebut dikonversi ke masehi, bertepatan dengan hari Senin Wage, tanggal 25 Maret 804 Masehi. Sehingga peristiwa ini sekarang dijadikan harijadi Kabupaten Kediri, sesuai bunyi pasal 1 surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kediri pada tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 oleh pejabat Bupati Drs. Usri Sastradiredja saat itu.
Bagian Kedua.
Disebut Prasasti Hariñjiŋ B, yang tersurat pada bagian belakang (verso), tersurat :
1. swasti śakavarṣātīta 843
2. aśujimāsa tithi pañcadaśī śuklapakṣa wāra ha . u.
3. bu. nakṣatra uttarabhadrawāda. ahnibudhnadewatā dhṛwayoga ta-
4. tkāla ajñā śrï mahārāja rake hyang dyaḥ tuloḍong.
Menyebutkan bahwa pada tahun 843 saka, bulan aśuji tanggal 15 paro terang, wara (hari) : Hariyang-Umanis-Budha; nakṣatra & dewata (bintang): uttarabhadrawāda, ahnibudhnadewatā, yoga (pergerakan bulan & matahari) dhṛwayoga, ketika śrï mahārāja rake hyang Dyaḥ Tuloḍong mengakui hak-hak pendeta di Culaŋgi karena mereka masih tetap harus memelihara saluran Hariñjiŋ.
Bila pertanggalan tersebut dikonversi ke masehi maka bertepatan dengan hari Rabu Legi, tanggal 19 September 921 Masehi.
Bagian Ketiga.
Disebut dengan Prasasti Harinjing C, yang dimulai pada baris ke-23 bagian belakang hingga sisi kiri prasasti, menyebutkan tentang pada tahun 849 Saka, bulan caitra, tanggal 1, paro terang, wara (hari) : Wās-Umanis- Budha; ketika anak Bhagawanta Dharī memperlihatkan anugerah dari seorang raja terdahulu yang telah meninggal di Twak, dan hak mereka tetap diakui.
Secara pertanggalan masehi, peristiwa itu terjadi pada hari Rabu Legi, tanggal 7 Maret 927 Masehi.
Catatan panjang telah terukir dari sebuah batu Prasasti Harinjing, prasasti yang memperingati pendirian saluran air dan tanggul kali oleh Bhagawanta Bhari dan keturunan selanjutnya.
Nama Harinjing ini identik dengan salah satu nama sungai yang berhulu di Gunung Kelud, Sungai Srinjing kita mengenal namanya. Dan nama si pemrakarsa pembuatan saluran itu dikenal dan menjadi sebuah nama sungai yang juga berhulu di Gunung Kelud, Bhagawanta Bhari identik dengan Sungai Konto (Bhogowonto).
Kedua sungai ini bermuara pada Sungai Brantas.
Dan keduanya masih kita kenal hingga hari ini dan semoga hingga nanti.
KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian.
Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada.
Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan serat Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta.
Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga.
Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu (Kediri) yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga.
Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri (Panjalu) atas Jenggala.
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam.
Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok.
Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari.
Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268 1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan.
Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
Raja Kediri pertama Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri.
Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.
Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berhasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan.
Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran.
Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah.
Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kekacauan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja-raja antar kedua negara.
Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan Jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
Adapun raja-raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah :
1. Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu, Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
Kameshwara Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri 2. Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai Kameshwara I (1115 – 1130 ). Lencana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab Smaradhana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
3. Jayabaya Raja Kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasastinya pada tahun 1181. Prabu Jayabaya adalah raja Kediri yang paling terkenal, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.
4. Prabu Sarwaswera, raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau .
Tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5. Prabu Kroncharyadipa Namanya yang berarti benteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat, beliau mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah :
1. Kroda (marah).
2. Moha (kebingungan).
3. Kama (hawa nafsu).
4. Loba (rakus).
5. Mada (mabuk).
6. Masarya (iri hati).
Srengga Kertajaya Srengga Kertajaya tak henti-hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya.
Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh Prapanca.
Pemerintahan Kertajaya Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu :
1. Darma.
2. Arta.
3. Karma.
4. Moksa.
KERAJAAN KEDIRI RUNTUH
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya, terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa mereka untuk menyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel.
Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M.
Dalam pertempuran itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
Setelah berhasil mengalahkan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang.
Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura.
Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya.
Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang.
Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri.
Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
Prasasti pada Jaman Kerajaan Kediri antara lain :
1. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala
2. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Panjalu Menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala.
Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.
1. Prasasti Hantang
2. Prasasti Jepun 1144 M
4. Prasasti Talan 1136 M
Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri.
Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan.
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Kurawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Jenggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
PRASASTI SUKABUMI
Prasasti Sukabumi adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di perkebunan Sukabumi, tepatnya di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri, Jawa Timur, yang berada di punggung Gunung Kelud.
Prasasti ini di kalangan ahli epigrafi lebih dikenal dengan nama Prasasti Harinjing.
Tulisan yang terdapat pada kedua belah sisi prasasti ini ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno.
Prasasti ini terdiri dari tiga buah piagam yang mengenai hal yang sama.
ISI PRASASTI HARINJING
1. Bagian depan disebut Prasasti Harinjing A.
Isinya menyebutkan bahwa pada 11 suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi) para pendeta di daerah Culanggi memperoleh hak sima (tanah yang dilindungi dari pajak) atas daerah mereka karena telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing.
2. Bagian belakang, Prasasti Harinjing B, baris 1-23 menyebutkan bahwa Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tulodhong pada 15 Suklapaksa bulan Asuji tahun 843 Saka (19 September 921 Masehi) mengakui hak-hak para pendeta di Culanggi karena mereka masih tetap harus memelihara saluran Harinjing.
3. Mulai baris selanjutnya, disebut Prasasti Harinjing C, menyebutkan bahwa hak serupa diakui pula pada 1 Suklapaksa bulan Caitra tahun 849 Saka (7 Maret 927 Masehi).
PRASASTI SUKABUMI TAHUN 804
Prasasti Sukabumi adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di Perkebunan Sukabumi, tepatnya di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri, Jawa Timur, yang berada di punggung Gunung Kelud.
Prasasti Harinjing berisi catatan peraturan-peraturan tentang hukum yang terjadi pada tiga masa kepemimpinan.
Tiga pemimpin tersebut yaitu Pendeta Agung Bhagawanta Bari tahun 804 Masehi, Raja Rakai Layang Dyah Tulodong pada tahun 921 Masehi, dan diteruskan oleh keturunannya di tahun 927 Masehi.
Prasasti ini di kalangan ahli epigrafi lebih dikenal dengan nama Prasasti Harinjing.
Tulisan yang terdapat pada kedua belah sisi prasasti ini ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno.
Prasasti ini terdiri dari tiga buah piagam yang mengenai hal yang sama.
Bagian depan disebut Prasasti Harinjing A.
Isinya menyebutkan bahwa :
1. Pada 11 suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka (25 Maret 804 Masehi) para pendeta di daerah Culanggi memperoleh hak sima (tanah yang dilindungi dari pajak) atas daerah mereka karena telah berjasa membuat sebuah saluran sungai bernama Harinjing.
2. Kebijakan pembuatan tanggul di sungai Harinjing dilakukan oleh Bhagawan Bari agar warganya tidak terkena banjir.
3. La Bhaganwanta Bari i Culanggi sumaksyakan simaniran mula dawu (pendeta agung Bhagawanta Bhari dari Culanggi menyaksikan penetapan tanah bebas pajak untuk membuat tanggul).
4. Prasasti Harinjing B lebih menekankan mengenai hukum perkara yang terjadi kepada seseorang. Pamgat bawang tiruan halaran kumonnakan sasana sang dewata lumah I kwak ka (pemberi keputusan terdiri dari Bawang, Tiruan, Halaran yang memerintahkan surat perintah dari almarhum yang dicandikan di kwak).
5. Aturan mengenai sanksi kepada seseorang yang melanggar aturan juga tertulis di dalam prasasti Harinjing B.
Gawanta Bari ya Sangkanani Pramadanya salwirani langghana ring ajna haji lwiranya nigrahan ya ri mas ka 1 (kalau Bhagawanta Bari melanggar perintah raja maka akan mendapat denda 1 kati).
ALIH AKSARA
Alihaksara selengkapnya prasasti ini menurut van Stein Callenfels (1934) adalah sbb :
1. Depan.
Swasti cakawarsatita 709 (726) caitraMasa tithi ekadaci cuklapaksa ha.wa.ca.tatkaLa bhagawanta bari I wulanggi sumaksyan simaniran mula dawuHan gawainira kali I harinjing hana ta lmah dapubhi sang apatih aTuha kambah deni kali hinelyan lmah satamwah de bhagawanta bari paMeget sang panggumulan parttaya sang kamalagyan anu hinanakan rika kala waHuta sang labihan pitungtung daman waca panigran daman gundu parwuwus sang apatih daMan gundu winekas dama gandhang parwuwus daman gamel lawan daman cali gustiDapu landap tuha dihulu dapu gundu….watan.acur haler dapu…kan apkan daPu undun hulu kuwu dapu santan wu.ang atuha sang wulawan lawan dapu petet tuha wenggah daman erwariga daman udaya citralekha dapunta waca nahan sira rama I paradah anu hinanakanRika kala//rama I bagu winkas dapu tahani gusti dapu natu tuha dihulu dapu garbu wka wuaMa tuha saka sang er lawan dapu tiwul awatas daman wanyaga apeken daman wahang…Tu daman sampanna parwuwus sang majalu bsi lawan daman bangun wariga dapu taji tuha wenggah daman daharaNi tuha buru daman kunja tuhalas daman wacana lawan daman wihar kalang tuha daman wanua Parwuwus daman lampuyang wadahuma daman waca tuha padahi si bunta lawan si karyya kulapati iHarinjing dapunta mandi kulapati I latateng dapu aman kulapati I bubul dapunta kurungan tpi siring anung Saksi daman guntar I garage daman damen nihan sira aligrama saksinira saksyakan ikana simanira mulaDawuhan // Kunang tinadah bhaganta I ramanta gawai sang. Aswa…cyamah waragan pitu kawenggahan inumanAmunuhatasamada awaknira sira kunang yan gawai .i. sabya…salwiranira // niyanta wrddhinira mu.an sang paMgat lasun deni….bhagawanta dapu landap….anta…an….Dapu hadyan dapu sura daman kunja panigran sang taruk ramanta ri tajam wina…sangka .i. sang arawisaI sangkawu I sangkara I sang……………I sangsala I sangang naha kawrddhini gawe gawe bhagawanta Iwulanggi //o//………………………..i bagu I kukap I watu walu……………….ralan tpisiringnya watekSisi KananRangga manggehan tangkilsugih randaMman nahan sakweh nikang wanua kaSamwah deni gawai bhagawanta bhari
2. Belakang//swasti cakawarsatita 843Asujimasa tithi pancadaci suklapaksa wara ha.u.Bu.naksatra uttarabadrawada ahnibudhna dewata wrsayoga taTkala ajna cri maharaja rake laying dyah tulodhong tinadah rakryanMapatih I hino mahamantri cri ketudharamanimantaprabhaprabhusaktitriWikrama umingsor ing rakryan mapatih halu wka sirikan kaluwarak tiruan muangPamgat bawang tiruan halaran kumonnakan casana sang dewata lumah I kwak kaPagehekna ni wka bhagawanta bari sang magawali kali I harinjing ikanang tan kolahalaDeni patih wahuta rama muang tan katamana dening saprakara ni mangila drbyajiKring padammapuy tapahaji erhaji tuha dagang tuha hunjamman manguri kutak kaPayungngan pakalangkang pamanikan limus galuh pangaruhan manimpiki malanjang Iba haluwaRak wungkal tajam paranakan kdi walyan widu mangidung singgah mamrsi hulun haji watakI jro ityewammadi saprakara ni mangilala drbya haji micra paramicra tan tamatah iStha ni wka bhagawanta bari I wulanggi sanggirigil muang ikang kabikuan mula sa..mamaKangaran I wulahya ing waruk ing cambung ing wila kawela pamasangnya mas su 1 maparahI cri maharaja mijil angken cetra ka 3, I sang pamgat asing juru I kadiri ikang ri wilangMas 4 winijillakannya byaya ni masa rinapi I wulahnya mas 1 winijillakannya daLannira ggawaiyakan ikanang dhrarmma kali I harinjing nahan balacrama ni mangatag maNgkana pingsornnikanag ajna haji kinonnakan hatguhakna tan kolahhulah hatka ri dlaha ningDlaha kunang yan hana patih wahuta rama muang mangilala drbyahaji tan parabyapara I sthana ni wka bhaGawanta bari ya sangkanani pramadanya salwirnni langghana ring ajna haji lwiranya nigrahan ya rim as ka 1Su 2 matanya deya nikana hana mangilala patih wahuta rama kabeh kayatnaknannya soni nikeng suratPraasti casana sri maharaja //o// muwah saka 843 caitramasa tithi pratipada suklaWara wa.u.bu.tatkala ni wka bhagawanta bari mintonakan anugraha sang lumah ri kwakTinadah rake hino pu ketu makasambandha pakon sang pamgat momahumah kakaN rake sumba sang pamgat anggehan sang parpat sira ta kumonnakan ikang prasasti umnahhakna yaw uKal kweh ni wka bhagawanta bari ri wulanggi sang giwil sang trayi sang sacra sang pulas ri wilang sang banatSang durak ring sambung sang ngrawrit sang uwir ri wulahnya sang waseh sang bayaka ri waruk sang wadhi sang kinang nahanSisi KiriKwehnira wka bhagawanta bari umnahhakan nikangPrasasti ri wungkal kunang ta kwe sang lumah ri kwakAsing umulahhulah ikang nugraha sanghyang suKram upadrawa yan…kuha…jna…
PRASASTI PARADAH
Mengenal Prasasti Parada di desa Siman Kediri yang terkait Raja Mpu Sindok.
Prasasti Parada yang ditemukan di Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri.
Situs kuno Prasati Parada yang ditemukan di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri diduga terkait dengan raja Mpu Sendok.
Prasasti Parada ini diterbitkan oleh Raja Sindok pada tahun 856 tahun saka atau 934 Masehi dan berusia lebih dari 1000 tahun.
Prasasti ini cukup menarik karena dalam lokasi ini disebutkan lokasi dari tempat yang diperintah oleh Raja Sindok.
Dalam baris ke-8 di Prasasti Parada ini disebutkan tulisan tanah sima yang berada di Timur Bendungan Sungai Harinjing. Selain itu juga menariknya disini ada prasasti Harinjing yang menjadi bukti hari jadi Kediri. Sekarang sudah diamankan di museum Kediri.
Manfaat dari Sungai Harinjing, dijelaskan dalam Praasti Parada, menjadi bagian penting yang dimanfaatkan masyarakat di Kabupaten Kediri dari generasi ke generasi.
Dalam Prasasti ini sungai dibuat pada abad ke 8 Masehi yang manfaatnya dirasakan dari raja ke raja lainnya sampai kerajaan majapahit kita temukan prasasti yang menemukan ini.
Sehingga sangat penting prasasti di desa Siman Kepung perbatasan malang kediri dengan kaitan pengelolaan sungai.
Seperti diketahui sebelumnya bahwa Prasasti itu seperti saat ini adalah anugerah keputusan / maklumat sapto pandito ratu yang dikeluarkan oleh Raja.
Dalam Prasasti ini disebutkan bagaimana raja yang menyayangi masyarakatnya yang sangat berjasa dan diberikan anugrah Tanah Sima.
Kemudian jenis pekerjaan serta pajak yang dulu sudah dibuatkan oleh kerajaan berupa pande, emas bagi pedagang hewan atau lembu serta Pabanyokan (Pentas hiburan) mereka semua sudah ada sejak dulu.
Melalui Prasasti ini, kita bisa belajar banyak kehidupan jaman dahulu yang sudah ada seperti Pentas hiburan, Pedagang, Pengembara dll.
Jadi jangan dibayangkan jaman dahulu itu kehidupan sepi dan tidak ada apa-apa dengan background pekerjaan yang macam-macam.
Bahkan juga ada yang pembuat kain seperti tinta dan lain-lain, itu semua sudah ada dan diklasifikasikan.
Di Pra Khadiri, tersebutlah Prasasti Siman atau Prasasti Paradah. Prasasti yang terletak di Desa Siman Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri, Jawa Timur ini berjumlah dua buah yakni Prasasti Paradah 1 dan Prasasti Paradah 2 selain dua buah Prasasti ini terdapat pula Prasasti Harinjing yang kini di amankan di museum Nasional Jakarta.
Kondisi Prasasti Paradah 1 dan 2 masih nampak utuh dan terawat karena aksara nya masih jelas terbaca.
Alih aksara dalam Prasasti Paradah 2 ini termuat di OJO XLVIII.
Berikut alih aksara dari 8 baris awal Prasasti Paradah 2 :
1. Swasti cakawarsatita 865 crawana masa tithi pancami cuklapaksa,pa, ka.
2. So wara ksatra.
3. Raja Rakai Hino Pu Sindok Cri Icana Wikrama Dharmotunggadewa tinadah Rakriyan mapinghai i halu pu sahasra umingso.
4. R i Rakai Kanuruhan pu kumonakan ikanang lmah sawah i paradahi tutuganing tandai paradah.
5. Hyang dharmma kamulan winli deng sang slak mas ka 2 rikanang rama i paradah sapasuk wanua kabeh muang ikanang lmah gaga warukwaruk i tagi watak para.
6. Wan imah kanayakan tan kakatihan halu para ko ka nan tan palu angi draby haji panggu han i tagi ukurnya tampah 6 winli de.
7. Mas ka 1 su 10 i tagi sapasuk wanua kabeh siman susukan de sang sluknya ikanang sawah winli sinduk i paradah.
8. Ka arpanakna i sang hyang dhar(mma)kamulan i punya sang sluk i paradah lorning luah paknanya punpunana sang hyang dharmma kamulan umyarpaga.
KISAH BHAGAWANTA BHARI
(Bhagawanta Bhari Menyemai Kebaikan - Anak Cucu Menuai Kemuliaan).
Tersebutlah seorang pendeta agung (Bhagawanta) di kerajaan Mdang / Medang (Mataram kuno) bernama Bhari yang sangat peduli lingkungan dan berwawasan ke depan.
Sang Bhagawanta hidup pada masa pemerintahan Rakai Warak Dyah Wanara yang naik tahta tahun 803 Masehi.
Mdang / Medang masih berpusat di Jawa bagian tengah kala itu.
Beliau diceritakan telah membangun dawuhan/ tanggul, membuat sungai di Hariñjing dan mendirikan bangunan suci (dharma) didekatnya.
Dawuhan tersebut sangat penting untuk menanggulangi bencana banjir dan menyediakan irigasi untuk persawahan dan perkebunan, sehingga dapat meningkatkan hasil bumi yang melimpah.
Bhagawanta Bhārī berupaya mencegah dan memperbaiki kerusakan lingkungan serta menampakkan sifat peduli pada orang lain.
Di ambang tuntasnya proyek, tak lupa dihadirkan para tokoh pejabat sebagai saksi dengan mengadakan jamuan pesta makan dan minum.
Kerja keras ini mendapat ganjaran dari penguasa berupa pemberian status sima (bebas membayar pajak) kepada sang bhagawanta berhati mulia dan para pendeta dari daerah Culangi.
Setelah seabad berlalu, tepatnya pada tahun 921 Masehi, raja Rakai Layang Dyah Tulodong menguatkan kembali status sima Bhagawanta Bhārī dan diberikan kepada keturunannya.
Perbuatan baik memang akan selalu dikenang sepanjang masa sehingga manfaatnya tidak hanya dinikmati oleh yang bersangkutan saja, melainkan juga oleh anak cucu sang bhagawanta .
Pada tahun 927 Masehi surat keputusan raja yang dikeluarkan 6 tahun sebelumnya yang diduga masih berupa rontal (ripta prasasti) atau prasasti logam (tamra prasasti) tersebut dipahat dalam bentuk prasasti batu bertanggal 7 Maret 927 Masehi.
Teladan kehidupan memang dapat dipelajari dari mana saja, termasuk dari sejarah.
Tahun 1916, W. Pet, seorang Administratur Perkebunan Kopi (Koffie-Onderneming) di Desa Sukabumi wilayah Pare Karesidenan Kediri Jawa Timur melaporkan adanya prasasti batu kepada Dr. P.V. Van Stein Callenfels.
Prasasti tersebut telah dipindah ke depan rumahnya dari tempat penemuan awalnya di sekitaran Kampung Baru.
Berita temuan tersebut termuat dalam laporan O.D. (Oudheidkundige Dienst/Dinas Purbakala Masa Hindia-Belanda) bertahun 1916.
Administrator selanjutnya, Th. Klusman memindahkan batu tersebut ke bangunan dekat beranda depan rumahnya. Selanjutnya, prasasti tersebut dikirim ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschaapen (Sekarang Museum Nasional) di Jakarta dengan nomor registrasi D 173.
Alih bahasa pertama kali dilakukan oleh Stein Callenfels dan diterbitkan dalam bukunya De Inscriptie van Soekaboemi.
Sarjana Prancis L. Ch. Damais mengoreksi penanggalannya, selanjutnya juga terdapat beberapa koreksi oleh ahli epigrafi dalam negri, M.M Soekarto Kartoarmodjo.
Awalnya prasasti ini disebut inskripsi dari Sukabumi, namun setelah terbaca isinya tentang pembuatan sungai di Hariñjing, maka disebut sebagai Prasasti Hariñjing.
Secara fisik, prasasti Hariñjing memiliki tinggi 118 sentimeter dan berdiri di atas lapik berhias bunga teratai merah (Padmāsana).
Prasasti batu tertua yang telah ditemukan sejauh ini adalah :
1. Prasasti Hamran (Salatiga) berangka tahun 750 Masehi.
2. Prasasti Dinoyo I dari dekat Candi Badut-Malang berangka tahun 760 Masehi yang menggunakan aksara Jawa kuno dengan bahasa sansekerta.
Prasasti Hariñjing adalah yang tertua yang menggunakan aksara dan bahasa Jawa kuno.
Prasasti Hariñjing memiliki keunikan lain, yakni 3 peristiwa berbeda namun berkaitan, yang terjadi pada penanggalan yang berbeda-beda seperti berikut ini :
1. Prasasti Hariñjing A tahun 726 Saka ( 25 Maret 804 Masehi).
2. Prasasti Hariñjing B tahun 843 Saka ( 19 September 921 Masehi).
3. Prasasti Hariñjing C tahun 849 Saka ( 7 Maret 927 Masehi).
Isi prasasti secara lengkap adalah sebagai berikut :
1. Prasasti Hariñjing A (25 Maret 804 Masehi).
Sisi Depan (Recto) :
Swasti sakawarṣātīta 726
- Caitra (Selamat tahun saka telah berlalu 726 Bulan Caitra [Maret-April])
- Māsa tithi ekādaśī śuklapaksa wāra ha. wa. so tatkā (tanggal sebelas. paro terang. harinya [Ha]riyang, [Wa]gai, [So]ma/Senin (diekuivalenkan ke masehi menjadi 25 Maret 804 Masehi).
- Ketikala Bhagawanta Bārī i Culanggi sumaksyakan sīmaniran mula ḍawu (seorang pendeta agung [Bhagawanta] bernama Bārī dari Culanggi menyaksikan [mengudang orang untuk menjadi saksi] penetapan tanah sīmanya [tanah bebas pajak/perdikan] diperoleh dari pembuatan tanggul [ḍawuhan])
- han gawainira kali i Hariñjing hana ta ḷmaḥ ḍapu bhī sang apatih a (dibuatlah sungai di Hariñjing adapun tanah milik Ḍapu Bhī seorang patih tua/sepuh)
- tuha kāmbah deni kali hinêlyan ḷmaḥ satamwah de Bhagawanta Bārī pa (tergenang aliran [air] sungai yang mengalir [seluas] satu tamwah oleh Bhagawanta Bārī)
- mêgêt sang panggumulan parttaya sang kamalagyan anu hinanākan rika kāla wa (Pemutus perkara bernama Sang Panggumulan, orang kepercayaan bernama Sang Kamalagyan [datang sebagai saksi], serta yang [juga] didatangkan pada waktu itu seorang pejabat)huta sang labihan pitungtung ḍaman waca panigran ḍaman gundu parwuwus sang apatih ḍa (bernama Sang Labihan, tokoh yang ditinggikan bernama Ḍaman Waca, pembuat kesepakatan [?] bernama Ḍaman Gundu, Juru Bicara bernama Sang Apatih Ḍaman)
- man gundu winêkas ḍaman gandhang parwuwus ḍaman gamêl lawan ḍaman cali gusti (Gundu, Pemberi Perintah bernama Ḍaman Gandhang, Juru Bicara bernama Ḍaman Gamêl serta Ḍaman Cali, Bangsawan)
- ḍapu landap tuhaḍihulu ḍapu gundu …. watan. acur hulêr ḍapu …. kan apkan ḍa (bernama Ḍapu Landap, Kepala pimpinan para petugas bernama Ḍapu Gundu ……watan[?]. petugas pengatur pengairan bernama Ḍapu…….. kan[?], Petugas pengurus pasar bernama )
- pu undun hulu kuwu ḍapu santan wuang atuha sang wulawan lawan ḍapu patêt tuha wêrêh ḍaman (Ḍapu Undun, Pimpinan Permukiman bernama Ḍapu Santan, orang yang dituakan bernama Sang Wulawan dan Ḍapu Patêt, Pimpinan para pemuda bernama Ḍaman Er)
- er wariga ḍaman udaya citralekha ḍapunta waca nāhan sira rāma i paraḍah anu hinanākan (Ahli pertanggalan bernama Ḍaman Udaya, Penulis prasasti bernama Ḍapunta Waca, demikian [juga] para rāma [pimpinan daerah yang terhormat] dari Paradah yang didatangkan )
- rika kāla // rāma i bagu winkas ḍapu tahani gusti ḍapu natu tuhaḍihulu ḍapu garbu wka wuang (pada waktu itu // rāma dari Bagu [di antaranya] Penyampai pesan bernama Ḍapu Tahani, Bangsawan bernama Ḍapu Natu, Kepala pimpinan para petugas bernama Ḍapu Garbu, anak-anak muda)
- matuha saka sang er lāwan ḍapu tiwul awatas ḍaman wanyaga apêkan ḍaman wahang …. (pengatur hubungan pertemanan bernama Sang Er dan Ḍapu Tiwul, Petugas penentu batas tanah bernama Ḍaman Wanyaga, Petugas Pasar bernama Ḍaman Wahang ….. )
- tu ḍaman sampanna parwuwus sang majalu bsi lāwan ḍaman bangun wariga ḍapu taji tuha wêrêh daman dahara (tu [?] bernama Ḍaman Sampanna, Juru bicara bernama Sang Majalu Bsi dan Ḍaman Bangun, Ahli pertanggalan bernama Ḍapu Taji, Pimpinan para pemuda bernama Daman Dahara)
- ni tuha buru ḍaman kuñja tuhalas ḍaman wacana lāwan ḍaman wihar tuha kalang ḍaman wanua (Pengawas perburuan bernama Ḍaman Kuñja, Pengawas hutan bernama Ḍaman Wacana dan Ḍaman Wihar, Pemimpin golongan kalang [mungkin tukang kayu atau pembuat bangunan] bernama Ḍaman Wanua)
- parwuwus ḍaman lampuyang wadahuma ḍaman waca tuha padahi si bunta lāwan si kāryya kulapati i (Juru Bicara bernama Ḍaman Lampuyang, Pengatur masalah rumah tangga bernama Ḍaman Waca, Pimpinan pemain gendang bernama Si Bunta dan Si Karyya, tokoh masyarakat dari )
- Hariñjing ḍapunta manḍi kulapati i lalatȇng ḍapu aman kulapati i bubul dapunta karugnan tp siring anung (Hariñjing bernama Ḍapunta Manḍi, tokoh masyarakat dari Lalatêng bernama Ḍapu Aman, tokoh masyarakat dari Bubul bernama Dapunta Karugnan, dari daerah batas wilayah yang menjadi)
- sākṣi ḍaman guntar i garaga ḍaman damên nāhan sira. aligrama sakṣinira sakṣyakên ikana sīmanira mula (saksi bernama Ḍaman Guntar, dari daerah Garaga bernama Ḍaman Damên itulah semuanya. Orang-orang yang telah datang menjadi saksi untuk melihat secara langsung penetapan status sīma-nya [Bhagawanta Bārī] yang diperoleh dari pembuatan)
- ḍawuhan // kunang tinaḍah bhagawanta i ramanta gawai sang aswa syamah (?) warangan pitu, kawêrêhan inuman (tanggul [ḍawuhan] // Adapun yang diterima oleh Bhagawanta dari para pimpinan wilayah yang paling terhormat membuat selera makan menjadi nikmat, hidangan sayur-sayuran syamah [?] untuk berpesta ria tujuh minuman yang bisa membuat awet muda [kuat])
- amunuhatasamada (?) awaknira sira kunang yan gawai i sabya …. salwiranira // niyanta wṛddhinira mu. an. sang pa (menaruh perhatian terhadap tubuh beliau apabila mengerjakan sesuatu yang pantas dilakukan …….. segala macam // benar-benar sebuah kemajuan [daerah] yang dikerjakan beliau [Bhagawanta Bārī] beserta Sang pemutus perkara)
- mgat lasun deni …. bhagawanta ḍapu lanḍap …. anta …. an … (berasal dari Lasun oleh ……. Bhagawanta, Ḍapu Lanḍap …. anta ….. an …).
- ḍapu hadyan ḍapu sūra ḍaman kuñja panigran sang taruk ramānta ri tajam wina … sangka. i. sang arawisa (Ḍapu Hadyan, Ḍapu Sūra, Ḍaman Kuñja, pembuat kesepakatan [?] bernama Sang Taruk, Pimpinan wilayah yang terhormat dari Tajam wina[?]…. sangka[?]. dari Sang Arawisa)
- i sangkawu i sangkāra i sang …. i sangsala i sangngang nāhan kawṛddhini gawe Bhagawanta i (di Sangkawu, di Sangkāra, di Sang….. di Sangsala, di Sangngang, itulah sebuah kemajuan [daerah] yang dilakukan oleh Bhagawanta dari)
- Culanggi //-// …. i bagu i kukap i watu walu (Culanggi //-// …..di Bagu, di Kukap, di Watu Walu)…. ralan tpisiringnya watêk (……. daerah perbatasan wilayah)
Sisi Kanan :
- Rangga manggêhan tangkilsugih raṇda (Rangga, Manggêhan, Tangkilsugih, Raṇdamman)
- mman nahan sakweh nikang wanua ka (itulah semua desa yang diikutsertakan)
- samwahan deni gawai Bhagawanta Bārī (dalam pekerjaan [yang dilakukan oleh] Bhagawanta Bārī)
Prasasti Hariñjing B (19 September 921 Masehi).
- // Swasti śakawarṣātīta 843 (Selamat tahun saka telah berlalu 843)
- aśujimāsa tithi pañcadasi śuklapaksa wāra ha. u. (Bulan Asuji [september-oktober]. tanggal limabelas. Paro terang. Harinya [Ha]riyang, [U]manis/legi)
- bu nakṣatra uttarabhadrawāda ahnibudhna dewāta wṛsayoga ta ([Bu]dha/rabu (diekuivalenkan ke masehi menjadi 19 September 921 Masehi).
Pada perbintangan terletak pada uttarabhadrawāda. Penguasa waktu terletak pada Waktu selama gerak bersamaan antara bulan dan matahari dalam posisi 13°20’ terletak padawṛsa )
- tkala ajña Śrī Mahārāja Rake Layang Dyah Tuloḍong tinadah rakryan (ketika perintah dari Śrī Mahārāja Rake Layang Dyah Tuloḍong diterima oleh Rakryan )
- mapatih i hino mahāmantri śrī ketudharamanimantaprabhāprabhusaktitri (Mapatih i Hino Mahāmantri Śrī Ketudharamanimantaprabhāprabhusaktitri)
- wikrama umingsor ing rakryan mapatih halu wka sirikan kalungwarak tiruan muang (wirama kemudian diturunkan kembali kepada [pejabat tinggi istana yaitu] Rakryan, Mapatih dari daerah Halu, Wka, Sirikan, Kalungwarak, Tiruan dan)
- pamgat bawang tiruan halaran kumonnakan saṣana sang dewata lumah i kwak ka (pemberi keputusan [terdiri dari] Bawang, Tiruan, Halaran memerintahkan surat perintah dari almarhum yang dicandikan di Kwak)
- pagȇhakna ni wka Bhagawanta Bārī sang magawai kali i Hariñjing ikanang tan kolāhala (untuk diperkuat kembali oleh anak Bhagawanta Bārī seorang tokoh yang telah membuat sungai di Hariñjing [agar] tidak diganggu gugat)
- deni patih wahuta rāma muang tan katamāna dening saprakāra ni mangilāla dṛbyahaji (oleh [pejabat istana terdiri dari]
- Patih, Wahuta, Rāma serta tidak didatangi oleh para abdi dalem istana [mangilāla dṛbyahaji])
- kring paḍammapuy tapahaji erhaji tuhān tuha dagang tuhā huñjamman manghuri kutak ka ([di antaranya] petugas pemadam kebakaran, penjaga tempat pertapaan milik raja [?], Penjaga air milik raja, para pimpinan, ketua perdagangan, ketua kelompok masyarakat, juru tulis di istana, Pemukul)
- payungngan pakalangkang pamanikan limus galuh pengaruhan manimpiki malañjang lba kalungwa (Petugas Pembawa Payung [?], Pekerja Bangunan Kayu [?], Pembuat Manik-manik, Pembuat Perhiasan Emas, Tukang Emas, Tukang Ukir, Pengawas Perjudian, Asisten Pengawas Perjudian, Kalungwarak [?], )
- rak wungkal tajam paranakan kḍi walyan widu mangidung singgah mamṛsi hulun haji wata (Tukang Mempertajam Batu, para anak buah dari dukun wanita, dukun laki-laki, Biduan, Singgah [?], Pejabat Keagamaan, Pelayan Raja, [golongan] yang tinggal di )
- k i jro ityewamādi saprakāra ni mangilala dṛbyahaji miśra paramiśra tan tamātah i (dalam [keraton] dan selanjutnya seluruh abdi dalem istana [mangilala dṛbyahaji] [khususnya] pemungut pajak usaha kerajinan tidak ingkar [memasuki] )
- sthā ni wka Bhagawanta Bārī i Culanggi sang girigil muang ikāng kabikuan mula sa …. mā ma (daerah tempat tinggal para anak Bhagawanta Bārī di Culanggi, Sang Girigil dan sebuah bangunan suci untuk para wiku [bhiksu]
- …mā ma [?])kangaran i wulahya ing waruk ing śambung ing wilang kewala pamasangnya mās su 1 maparah. (bernama di Wulahya, di Waruk, di Śambung, di Wilang hanya memasang [membayar] emas 1 suwarṇa diberikan)
- i śrī mahārāja mijil angkȇn cetra ka 3 i sang pamgat asing juru i kaḍiri ikang i wilang (kepada śrī mahārāja dikeluarkan [perintahnya] setiap Bulan Caitra [Maret-April] tanggal 3, kepada Sang Pemutus Perkara bernama Asing petugas di Kaḍiri, yang dari Wilang)
- mās 4 winijilakannya byaya ni masa rinapi i wulahya mās 1 winijilakannya ḍa (mengeluarkan 4 emas sebagai biaya bulan rinapi [pemujaan?], dari Wulahya mengeluarkan 1 emas sebagai [biaya])
- lāñnira ggawaiyakan ikanang dharma kali i Hariñjing nāhan bālaśrama ni mangatag ma (untuk membuat bangunan suci [dekat] sungai di Hariñjing. Itulah hadirnya asrama yang)
- ngkana pingsor nikanang ajña haji kinonnakan hatguhakna tan kolahulah hatka ri dhāla ning (menyebabkan diturunkannya perintah raja agar tetap dikokohkan tidak dapat diganggu gugat hingga di masa mendatang [dhāla ning dhāla])
- dlāha kunang yan hana patih wahuta rāma muang mangilala dṛbyahaji tan parabyapāra i sthāna ni wka Bha (apabila ada Patih, Wahuta, Rāma serta abdi dalem istana [mangilala dṛbyahaji] mengganggu di lingkungan tempat tinggal para anak)
- gawanta Barī ya sangkānani pramādanya salwirani langghana ring ajña haji lwiranya nigrahān ya ri mās kā 1 (Bhagawanta Barī lebih-lebih kalau melalaikan apalagi melanggar perintah raja, maka akan mendapat denda emas 1 kāti [dan])
- su 2 matanya deya nikana hana mangilala patih wahuta rāma kabeh kayatnāknanya soni nikeng surat (2 suwarna, oleh karena itulah untuk keberadaan abdi dalem [seperti] Patih, Wahuta, Rāma semuanya harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh yang tertulis)
' praśasti sāṣana śrī mahārāja //–// (dalam prasasti perintah śrī mahārāja)
Prasasti Hariñjing C (7 Maret 927 Masehi).
- muwah śaka 849 caitramasa tithī pratipāda śukla (serta tahun saka 849 Bulan Caitra [Maret-April] Tanggal pertama paro terang)
- wara wā. u. bu. Tatkala ni wka Bhagawanta Bārī mintonakan anugraha sang lumāh ri kwa (Harinya [wā]s, [u]manis, [bu]dha/rabu(diekuivalenkan ke masehi menjadi 7 Maret 927 Masehi). Ketika para anak [keturunan] Bhagawanta Bārī memperlihatkan sebuah anugerah dari almarhum yang dicandikan di Kwak)
- k tinaḍah rake hino mpu ketu makasambandha pakon sang pamgat momahhumah kaka (diterima oleh Rakai Hino Mpu Ketu sebagai alasannya yaitu perintah dari Sang Pemutus Perkara tentang urusan perumahan kakak)
- n rake sumba sang pamgat anggȇhan sang parpāt sira ta kumonnakan ikang prasasti umnahhakna ya wung (dari Rakai Sumba, Sang Pemutus Perkara tentang hubungan seseorang bernama Sang Parpāt, mereka memerintahkan agar prasasti dipahatkan pada batu)
- kal kweh ni wka Bhagawanta Bārī i Culanggi sang giwil sang trayi sang saśrā sang pulas ri wilang sang banat (semua anak keturunan Bhagawanta Bārī dari Culanggi [di antaranya] Sang Giwil, Sang Trayi, Sang Saśrā, Sang Pulas di Wilang, Sang Banat)
- sang durak ring sambung sang ngrawit sang uwir ri wulahya sang wasȇh sang bayakā ri waruk sang wadhi sang kinang nāhan (Sang Durak di Sambung, Sang Ngrawit, Sang Uwir di Wulahya, Sang Wasêh, Sang Bayakā di Waruk, Sang Wadhi, Sang Kinang. Itulah [nama-nama])
Sisi Kiri :
- kwehnira wka Bhagawanta Bārī umanhhakan nikang (semua anak keturunan Bhagawanta Bārī yang [meminta untuk] menuliskan)prasasti ri wungkal kunang ta kweh (?) sang lumah ri kwa (prasasti di batu. Demikian pula sang tokoh yang dicandikan di Kwak)
- k asing umulahhulaha ikang anugraha sangyang su (?) (siapapunn yang berani mengganggu gugat anugerah sang hyang su [?])kram (?)
- upadrawa yan ….. kuha …. jnā….. (kram [?] akan mendapat bencana apabila…… kuha [?]…. jnā…….)………………………………………………….. //-// (………………………………………..).
(Casparis (1978) dalam Annisa, 2011; Atmojo, 1985:49-63; Zoetmulder, 1982; Yogi, 1996)
Ditulis ulang dari “Menggali Nilai-nilai Budaya dalam Prasasti Hariñjing (804-927 Masehi)
KALI SERINJING / HARINJING
Kali Serinjing menjadi sungai penting dan bersejarah bagi Kabupaten Kediri. Sungai buatan ini menjadi titik awal berkembangnya daerah menjadi wilayah sebesar sekarang ini. Ditandai dengan Prasasti Harinjing, yang mencatat nama Kediri untuk pertama kali.
Sejak dulu sebagian besar wilayah Kabupaten Kediri dikenal memiliki tanah yang subur. Didukung dengan sistem pengairan yang sangat mumpuni. Sistem pengairan itu berupa sungai buatan yang dibuat sejak ribuan tahun lalu. Membelah wilayah Kabupaten Kediri. Membujur dari timur ke barat.
Masyarakat menyebutnya Kali Serinjing. Satu sungai yang awalnya saluran irigasi yang dibuat oleh Bagawanta Bhari. Memecah aliran Sungai Konto yang berhulu di Gunung Kelud. Upaya Bhagawanta Bhari inilah yang membuat dia menerima anugerah tanah sima dari raja yang berkuasa saat itu. Pada saat Bagawanta Bhari melakukan upaya itu, daerah ini masuk wilayah kerajaan Mataram Kuno, atau juga dikenal dengan Kerajaan Medang, yang berpusat di Jawa Tengah.
Bukti pembuatan Kali Serinjing ini tertulis pada Prasasti Harinjing. Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Kerajaan Medang Rakai Layang Dyah Tulodhong pada 11 suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka. Atau 25 Maret 804 Masehi.
Prasasti Harinjing ini ditemukan pada 1916. Di perkebunan kopi Onderneming Soekabumi, yang sekarang masuk wilayah Desa Kampungbaru, Kecamatan Kepung. Prasasti ini menjadi bukti cerita tentang pemberian anugerah tanah bebas pajak kepada Bagawanta Bhari dan keluarganya.
Jadi tidak hanya Bagawanta Bhari saja. Keturunannya juga mendapat anugerah serupa. Karena telah membuat mahakarya yang luar biasa dan bermanfaat.
Mahakarya itulah yang masih bisa dimanfaatkan hingga kini. Bisa mengairi sebagian besar persawahan di Kabupaten Kediri. Tak hanya berfungsi sebagai pengairan saja, keberadaan Kali Serinjing juga sebagai sarana penanggulangan banjir di Kediri.
Sang Raja Rakai Layang Dyah Tulodhong, diteruskan oleh raja kedua, yakni masa Raja Rakai Sumba Dyah Wawa, raja sebelum Mpu Sindok bertahta.
Mpu Sindok tidak mengeluarkan Prasasti Harinjing tetapi Prasasti Paradah yang ditemukan di Desa Siman.
Secara keseluruhan ada tiga bagian maklumat raja pada Prasasti Harinjing.
Yakni Harinjing A, B, dan C.
1. Untuk Harinjing A merupakan prasasti bagian depan yang menceritakan tentang penganugerahan tanah sima atau tanah perdikan yang bebas dari pajak kepada Bhagawanta Bhari.
2. Sementara Harinjing B adalah bagian belakang prasasti. Menyebut pada 15 suklapaksa bulan Asuji tahun 843, atau 19 September 921 Masehi, yang mengakui hak-hak para pendeta di Culanggi, satu nama daerah di wilayah sekitar Waduk Siman saat ini. Karena mereka masih tetap harus memelihara saluran Harinjing. Para pendeta itulah yang masih keturunan Bagawanta Bhari.
3. Prasasti Harinjing C, terletak di samping, pada kedua sisi. Menyebutkan bahwa hak serupa yakni pembebasan pajak dan upeti juga masih diakui pula pada 1 Suklapaksa bulan Caitra tahun 849 Saka atau 7 Maret 927 Masehi.
Saat ini prasasti yang menjadi kebanggaan masyarakat Kabupaten Kediri itu ada di Museum Nasional.
Dengan kode D-173, sementara yang tersimpan di museum yang ada di Pemkab Kediri adalah replikanya.
MONUMEN BHAGAWANTA BHARI
Monumen di bantaran Kali Konto, Dusun Bogorpradah, Desa Siman, Kecamatan Kepung yang menandai sudetan awal Kali Serinjing.
Beberapa monumen dibangun untuk penghormatan Bagawanta Bhari. Salah satunya monumen pengingat Hari Jadi Kediri yang nyaris terlupakan.
Monumen penghormatan Bagawanta Bhari paling dikenal adalah Patung Harinjing. Lokasinya mudah dijumpai.
Di tengah pertigaan Dusun Pluncing, Desa Siman, Kepung. Patung lainnya ada di halaman Balai Desa Siman yang baru dibuat beberapa tahun silam.
Padahal sebenarnya masih ada monumen lain sebagai pengingat jasa Bagawanta Bhari. Hanya saja namanya belum diketahui pasti. Yang jelas itu jadi tanda tempat tersebut diduga sebagai sudetan awal Kali Serinjing.
Lokasinya memang jauh dari permukiman. Berada di bantaran Kali Konto, masuk Dusun Bogorpradah, Desa Siman. Beberapa langkah dari monumen itu sudah masuk wilayah Desa Pondok Agung, Kasembon, Malang.
Kondisinya kini cukup memprihatinkan. Padahal isi monumen setinggi 5 meter itu sangat bermakna. Menceritakan perjalanan pembangunan kali sudetan Serinjing oleh Bagawanta Bhari dan membendung Kali Konto untuk dialirkan ke Kali Serinjing kala itu.
Ada pula cerita prosesi penganugerahan tanah Sima. Cerita tersebut digambarkan pada relief berbentuk segi lima. Ada di bagian kaki monumen yang dibuat pada 1985 era Bupati Kediri Asmono.
Tak hanya proses pembuatan megaproyek Bhagawanta Bhari yang selama ini diabadikan pada Prasasti Harinjing.
Relief juga menceritakan kemakmuran zaman dulu dengan sistem bertani.
Pada bagian tubuh monumen berbentuk prisma segitiga itu terdapat plakat atau prasasti bertajuk Piagam Penghargaan dan Penghormatan.
Isinya menjelaskan ulasan Prasasti Harinjing.
Menandakan lokasi tempat pembangunan dawuhan Serinjing. Mengingatkan lagi mahakarya Bhagawanta Bhari.
Ditandatangani tepat pada peringatan 1181 tahun Kabupaten Kediri.
Bila tak diperhatikan seksama dari dekat, tulisan dan relief tersebut tidak tampak.
WADUK SIMAN
Sungai Serinjing mengular hingga sejauh 35 kilometer melewati 6 kecamatan di kabupaten Kediri. Bermuara di sungai Brantas yang ada di Desa Minggiran Kecamatan Papar dan berhulu di Waduk Siman, Desa Siman, Kecamatan Kepung, kabupaten Kediri.
Menurut sejarah, dulu hulu Sungai Serinjing ini dibuat oleh Bagawanta Bhari yang sekarang berada di daerah Waduk Siman.
Dari prasasti yang ditemukan di daerah Siman, pada era Mataram Kuno sekitar abad ke 9, Bhagawanta Bhari membendung aliran Sungai Konto untuk kepentingan irigasi di lembah utara Gunung Kelud.
Berkat jasanya, maka dianugerahkanlah Prasasti Harinjing pada 25 maret 804 masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Kediri.
Menurut warga Desa Siman, waduk Siman berfungsi sebagai irigasi pertanian di Kecamatan Kepung dan sekitarnya. Selain berfungsi untuk irigasi, waduk ini juga dimanfaatkan sebagai tempat wisata alternatif oleh masyarakat setempat.
Banyak yang ke sini untuk rekreasi bersama keluarga, apalagi musim liburan seperti ini, muda mudi banyak yang datang sekedar menghabiskan waktu sambil menikmati pemandangan waduk dan perbukitan.
Waduk Siman yang memiliki luas 50,000 m² ini juga sering digunakan untuk upacara Melasti oleh masyarakat Hindu Kediri Raya.
Kalo pas ada upacara keagamaan di sini pasti ramai. bahkan orang dari luar Kediri juga datang ke Waduk Siman.
CERITA BHAGAWATAPURANA
Bhagawatapurana atau Shrimad Bhagawatam (disingkat Bhagawata atau Bhagawatam) adalah salah satu kitab Purana dalam agama Hindu yang berisi syair kisah kepahlawanan dan mitologi tentang berbagai awatara, atau penjelmaan Tuhan yang turun ke dunia, yang ditulis dalam bahasa Sanskerta (versi asli).
Kitab ini menekankan ajaran bhakti dalam agama Hindu, yaitu tulus ikhlas memuja Tuhan. Menurut legenda, penyusun kitab ini adalah Maharesi Byasa, putera Maharesi Parasara.
Bhagawatapurana dituturkan seperti sebuah narasi.
Diceritakan bahwa Raja Parikesit dari Hastinapura sedang mencemaskan nasibnya, sebab ia dikutuk agar tewas digigit ular. Untuk dapat menghadapi kematian dengan baik, Parikesit menghabiskan sisa umurnya dengan cara berdo'a di tepi sungai Gangga.
Di sanalah Resi Suka, yakni putera Maharesi Byasa, menceritakan cerita suci Bhagawatam untuk Parikesit, bersama dengan para resi lainnya. Kisah yang dituturkan pertama kali adalah mitologi tentang penciptaan alam semesta, kemudian cerita berlanjut tentang kisah bagaimana Nārāyana turun ke dunia untuk menyelamatkan orang saleh dari ancaman makhluk jahat.
Demikianlah rangkuman tulisan artikel dari berbagai sumber referensi dalam kisah BHAGAWANTA BHARI & HARINJING versi Imajiner Nuswantoro semoga bermanfaat.