CERITA BIMO SUCI
Lakon ini amat digemari di kalangan kasepuhan
karena mengandung permenungan mendalam
tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan
paraning dumadi) dan menjawab kerinduan hidup
dalam perjalanan rohani orang jawa untuk bersatu
dengan Tuhan (manunggaling kawulo Gusti; curiga manjing warangko).
Begitu disenangi dan diulang-ulang sebagai bahan permenungan, maka kisah ini memilik variasi-variasi bahkan menyimpang dari lakon awalnya, tergantung siapa yang menyalin kisah ini, siapa dalang yang memainkan lakon dalam pertunjukan wayang.
Poerbotjaroko, tahun 1940 menyelidiki variasi-variasi
naskah dan menemukan kurang lebih 29 buah naskah Bima Suci. 19 buah naskah tersimpan di Universitas Leiden Belanda.
Dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doctor
tahun 1930, Prijohoetomo membandingkan dua kisah :
Nawaruci dan Dewaruci. Kitab Nawaruci yang juga
dikenal dengan nama Sang Hyang Tat-twajnana (kitab tentang hakekat hidup) ditulis oleh Empu Siwamurti (th. 1950-an) dengann latar belakang
budaya Kerajaan Majapahit. Pada jaman itu mistik Islam mulai masuk dalam budaya Jawa, dan kisah Nawaruci digubah menjadi lakon Dewaruci (dengan dimasuki unsur-unsur Islam) dan dipentaskan dalam dunia perwayangan.
Alur ceritera Dewaruci/Bima Suci dipengaruhi oleh kisah Markandeya dari India. Di kisahkan Markandeya mengarungi kedalam samudera dan berjumpa dengan anak kecil. Anak kecil itu bernama Narayana, jelmaan dari Dewa Wisnu. Narayana meminta Markandeya masuk dalam tubuhnya untuk menyaksikan seluruh isi alam semesta. Dalam kisah ini tokoh Bima tidak ada.
Dari berbagai kisah Bima Suci yang bervariatif itu
dapat ditemukan benang merahnya.
Alkisah, Bima atas perintah gurunya (Durno) mencari
Banyu Perwitasari. Dalam perjalanan mencari air
kehidupan, Bima menuju hutan Tikbrasara (berarti
landeping cipta) yang terletak di gunung ReksaMuka (yang artinya Mata). Di hutan ini Bima dihadang oleh dua raksasa Rukmuka (berarti kamukten) dan Rukmokala (yang berarti Kamulyan). Bima mampu mengalahkan ke dua raksasa itu.
Untuk memperoleh inti sari pengetahuan sejati (Perwitasari), Bima harus melalui samadi (yang dilambang dengan hutan Tibaksara dan gunung Reksomuka = Mata/pemahaman yang mendalam).
Bima tidak bisa mencapai titik penyatuan mata batin
dalam samadi kalau tidak ‘membunuh’ pikiran tentang kamukten dan kamulyan.
Kisah selanjutnya, Bima tahu bahwa air perwitasari tidak terletak di hutan Tikbrasara yang ada di gunung Reksamuka, tetapi di dasar samudera.
Maka perjalanan dilanjutkan ke dasar samudra (samudra
pangaksama = pengampunan). Dalam samudra bertarung dengan naga (symbol kejahatan/ keburukan) dan Bima berhasil membunuhnya.
Untuk memperoleh air perwitasari tidak cukup dengan membuang kamukten dan kamulyan tetapi harus juga berani mengampuni kepada orang-orang yang bersalah dan membunuh kejahatan yang ada dalam dirinya (masuk samudra pengampunan dan
membunuh naga kejahatan).
Setelah melampaui berbagai rintangan, akhirnya Bima
ketemu Dewaruci, yang persis dengan dirinya namun dalam ukuran kecil. Bima masuk ke badan Dewaruci melalui telinga kanan dan di dalam diri Dewaruci, Bima melihat seluruh isi semesta alam.
Bima dengan samadi secara benar yaitu menutup mata, mengatur nafas, konsentrasi dengan pikiran dan perasaan yang bersih (Cipta Hening). Dalam samadi ini, Bima menerima Terang atau wahyu sejati dalam samadi yaitu manunggaling kawula gusti, kesatuan manusia dengan Tuhan. Dalam jati diri terdalam, manusia bersatu dengan Tuhan. Kemanunggalan ini yang menjadikan manusia mampu melihat hidup yang sejati.
Dalam istilah kejawen adalah Mati sakjroning
urip, urip sakjroning mati. Inilah perjalanan rohani untuk masuk dalam samudera menanging kalbu.
TIRTO PERWITOSARI MAHENING SUCI
Penjelasan tentang TIRTO PERWITOSARI MAHENING SUCI terdapat pada Kisah Dewaruci yang terdapat di 2 kitab jawa kuno yaitu :
1. KITAB NAWARUCI
2. KITAB SANG HYANG TAT TWAJNANA
Kedua kitab tsb ditulis oleh Mpu Siwamurti pada jaman Kerajaan Majapahit
TIRTO PERWITOSARI MAHENING SUCI
Berikut ini cuplikannya :
Ilmu sejati meniko tetesing embun ingkang medal saking wahono bumi, inggih tetesing anugrah lan wujud welas asihing Gusti Hyang Tunggal Jati, wujud saking joyo rebowo urip, wujud saking cahyaning urip, wujud agunging Gusti.
Ilmu Sejati di ibaratkan sebagai :
Sumber mata air kebenaran hakiki
Sumber mata air suci cahaya kehidupan.
Ilmu Sejati akan memancar keluar jika manusia sudah bisa mengendalikan nafsunya dan sudah berada di tahap MADEG MADEP MANTEP.
Manusia sejati selalu mengutamakan berbagi welas asih kepada sesama manusia dan makhluk lain di alam semesta.
Manusia wajib berusaha mencari dan menemukan Ilmu Sejati agar bisa mencapai derajat sebagai Manusia Sejati yang ber Budi Bowo Laksono dan ber Budi Pekerti Luhur.
Proses pencarian Ilmu Sejati seperti digambarkan dalam Kisah Dewaruci, dimana Werkudoro bertemu dengan Dewa Ruci yang akhirnya Werkudoro mendapat Tirto Perwitosari yaitu Ilmu Sejati dengan cara Mahening Suci yaitu melakukan Semedi sampai masuk ke alam suwung (alam suci) yang di ibaratkan Werkudoro masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci.
Ilmu Sejati bersumber dari Guru Sejati yang membimbing Sukma Sejati sebagai Utusan Gusti di dunia
Ilmu Sejati sebagai pedoman untuk mengantarkan kita kepada Kamulyaning Urip Kasampurnaning Pati
Sejak ratusan tahun yang lalu Leluhur Jawa sudah memahami dan menguasai Ilmu Sejati atau Ilmu Hakekat Ketuhanan yang juga dikenal dengan Kawruh Jowo.