SUDUMUK BATHUK
SANJARI BUMI
DITOHI PATI
Pepatah Jawa ini secara harfiah berarti satu sentuhan dahi, satu jari (lebar)-nya bumi bertaruh kematian. Secara luas pepatah tersebut berarti satu sentuhan pada dahi dan satu pengurangan ukuran atas tanah (bumi) selebar jari saja bisa dibayar, dibela dengan nyawa (pati).
Pepatah di atas sebenarnya secara tersirat ingin menegaskan bahwa tanah dan kehormatan atau harga diri bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang sangat penting. Bahkan orang pun sanggup membela semuanya itu dengan taruhan nyawanya. Sentuhan di dahi oleh orang lain bagi orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula penyerobotan atas kepemilikan tanah walapun luasnya hanya selebar satu jari tangan. Sadumuk bathuk juga dapat diartikan sebagai wanita/pria yang telah syah mempunyai pasangan hidup pantang dicolek atau disentuh oleh orang lain. Bukan masalah rugi secara fisik, tetapi itu semua adalah lambang kehormatan atau harga diri. Maksudnya, keduanya itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang lahiriah atau tampak mata semata, tetapi lebih dalam maknanya dari itu. Keduanya itu identik dengan harga diri atau kehormatan. Jika keduanya itu dilanggar boleh jadi mereka akan mempertaruhkannya dengan nyawa mereka.
1. Makna tersurat :
Sesentuh dahi sejari bumi, dipertahankan sampai mati.
Dumuk = sentuh, tunjuk, gamit.
Sadumuk = sesentuh, segambit, satu sentuh, satu gamit.
Bathuk = dahi, nyari = ukuran selebar jari.
Sanyari = selebar jari.
Bumi =bumi.
Ditohi = dipertaruhi.
Pati = mati.
Ditohi pati = dipertaruhkan jiwanya, dipertahankan sampai mati.
2. Makna tersirat :
Dalam artinya yang sempit ungkapan ini mengandung pengertian bahwa orang harus berani dan mau membela kehormatan isterinya mempertahankan setiap jengkal tanah yang dimilikinya. Dalam artinya yang luas ungkapan ini mengandung pengertian bahwa setiap harus berani dan mau membela serta mempertahankan tanah air, bangsa dan kehormatannya sebagai bangsa.
3. Nilai yang terkandung :
Dalam artian sempit ungkapan ini mengandung nilai pendidikan ke arah keberanian membela atau mempertahankan semua milik pribadi kehormatan, khususnya anak dan isteri. Dalam arti luas ungkapan ini mengandung nilai pendidikan ke arah nasionalisme dan patriotisme.
4. Falsafah Sejarah :
Pada masa lalu di mana Jawa masih merupakan daerah yang benar-benar agraris, hampir semua penduduknya berstatus sosial sebagai petani. Dalam masyarakat seperti itu wajar jika tanah mendapat perhatian dan penghargaan istimewa, sebab tanah berkedudukan sebagai modal dasar dan sekaligus symbol status. Kecuali tanah, isteri dan anak juga mendapat kedudukan penting dalam masyarakat petani, sebab mereka merupakan pembantu utama dan setia para petani. Tidak mengherankan bahwa orang bersedia berbuat apa saja untuk membela dan mempertahankan miliknya di atas. Dalam perkembangan lebih lanjut, kata sanyari bumi yang semula berarti selebar jari dan kata sadumuk bathuk yang semula berarti dahi sesentuhan jari, memperoleh arti yang lebih luas, menjadi tanah air, bangsa dan kehormatan sebagai bangsa.
5. Kehidupan bermasyarakat :
Ungkapan ini mempunyai pengaruh yang posistif kepada masyarakat, dapat menyebabkan masyarakat mempunyai keberanian dan kesediaan membela tanah air, bangsa dan kehormatannya sebagai bangsa.
5. Kedudukannya kehidupan masyarakat :
Ungkapan ini di Jawa masih sering terdengar dalam percakapan atau dalam pidato. Ungkapan ini biasanya dipakai untuk membangkitkan semangat orang, yang miliknya diganggu oleh orang lain terutama yang menyangkut kehormatan pribadi. Juga sering dipakai untuk mengobarkan semangat berjuang pada tentara kita.
Makna relevan :
Tanah adalah harta pusaka yang melambangkan harga diri, apalagi tanah itu berupa tanah warisan, harus dipertahankan , sehingga tidak ada orang lain yang berani merebut, dan menguasai, sehingga terlepas kepemilikannya.
Harta warisan tanah disebut sebagai tanah wutah getih (tumpah darah), sebagai tempat seseorang dilahirkan. Oleh karena tak boleh ada orang lain yang menguasai.
Dalam pengertian secara luas, tanah bisa diartikan sebagai tanah pribadi, tanah warisan orang tua, tanah milik nenek moyang atau para pendahulu, bahkan wilayah bangsa dan negara dalam arti teritorial secara nasional.
Maka bila ada orang lain yang bermaksud menguasai walaupun hanya sanyari (sejengkal) bumi tetap harus dipertahankan.
Ungkapan sanyari bumi terkait dengan semangat kebanggaan atas tanah yang dimiliki. Sebagaimana perempuan, tanah adalah simbol harga diri yang harus dijaga dan dipertahankan, dan jangan sampai ada orang asing yang menguasai secara tidak sah.
Ada dua kepemilikan yang sah dan tak dapat diganggu gugat, dan akan dipertahankan oleh pemiliknya hingga direwangi toh pati.
Perjuangan untuk mempertahankannya tetap harus dilakukan meskipun nyawa taruhannya.
Pertama adalah kepemilikan istri.
Seseorang yang telah secara sah memiliki seorang istri berkewajiban membela kehormatannya dengan cara apapun.
Istri dalam bahasa jawa adalah garwa dari kiratabasa (akronim) sigarane jiwa / sak sigare semongko.
Istri adalah separuh jiwa, sehingga mempertahankan kehormatan istri berarti membela kehormatan diri sendiri. Tak boleh ada orang lain yang melecehkan atau merendahkan istri, sebab bila itu terjadi akan mengakibatkan risiko yang berat. Berhadapan dengan sang suami sang istri bahkan seluruh bala bantuan dari pihak suami
Ilustrasi cerita :
Troy adalah sebuah fim fiksi yang diadopsi dari legenda Romawi. Perang antara Sparta dan Troy, karena istri sang Raja Menelaus yang bernama Brises diambil paksa oleh anak Raja Troy yang bernama Paris sehingga menyebabkan kemarahan dan peperangan dengan akhir cerita Troy hancur tak tersisa, bahkan kesatria Sparta bernama Achilles yang konon ber-ibu manusia dan ber-ayah dewa harus menemui ajal.
Seorang lelaki sudah semestinya berani melawan saat ada orang lain menggangu istrinya, misalnya meraba, memegang atau melakukan hal lain tanpa ada kepentingan atau bermaksud jahat.
Sadumuk bathuk bermakna satu sentuhan di dahi. Sebagai simbol bahwa harga diri perempuan harus dipertahankan walaupun hanya disentuh dahinya oleh lelaki lain.
Meraba bathuk (dahi) istri Yang dilakukan oleh orang lain adalah tindakan penghinaan, merendahkan, dan melecehkan yang tidak bisa diterima.
Kedua, Kepemilikan tanah
Tanah adalah harta pusaka yang melambangkan harga diri, apalagi tanah itu berupa tanah warisan, harus dipertahankan , sehingga tidak ada orang lain yang berani merebut, dan menguasai, sehingga terlepas kepemilikannya.
Harta warisan tanah disebut sebagai tanah wutah getih (tumpah darah), sebagai tempat seseorang dilahirkan. Oleh karena tak boleh ada orang lain yang menguasai.
Dalam pengertian secara luas, tanah bisa diartikan sebagai tanah pribadi, tanah warisan orang tua, tanah milik nenek moyang atau para pendahulu, bahkan wilayah bangsa dan negara dalam arti teritorial secara nasional.
Maka bila ada orang lain yang bermaksud menguasai walaupun hanya sanyari (sejengkal) bumi tetap harus dipertahankan.
Imajier Nuswantoro