BOBOT BEBET BIBIT
Lamun ora gampang wong arabi
Kudu milih wanodyo keno
Ginawe rewang uripe
Sarono cekaping kang sandhang bogi
Saronone kang ono
Catur upayeku
Marmaniro kawikono
Dhingin bobot loro bebet katri bibit
Kaping pat tatriman.
Pitutur mau jaman semono ditompo dening kalangan bangsawan utowo trah darah biru arane.
Mulo iku, ora maido Bobot Bebet Bibit mau tegese digathukne karo babag'an keturunan utowo asal usul, amergo dadi kamulyan yen anak oleh jodho soko keturunan bangsawan utowo darah biru.
Bobot Bibit Bebet adalah filosofi Jawa yang berkaitan dengan kriteria mencari jodoh atau pasangan hidup. Filosofi ini dipakai untuk memperoleh gambaran tentang kriteria calon jodoh versi Jawa.
Bobot, bibit, bebet adalah tiga hal atau kriteria yang umum diperhatikan ketika mencari jodoh atau pasangan. Semacam alat kalibrasi bagi orang Jawa untuk menentukan calon menantu yang baik bagi anaknya.
Berkenaan dengan pasangan hidup, orang Jawa sangat berhati-hati, meski tidak terlalu selektif dalam mencari siapa yang akan bersanding sebagai :
1. Garwo (sigare nyowo).
2. Ing geghayu bahteraning urip (dalam mengarungi bahtera kehidupan).
3. Koyo mini lan mintuna (dalam kesetiaan sampai kiki nini).
Hal ini karena memilih pasangan hidup yang ideal adalah salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidup seseorang yang ingin berumah tangga dan berketurunan. Kesalahan memilih (urip iku pilihan), pasangan yang dinikahi dapat berdampak buruk (bubrah omah-omah), pada kualitas hidup pribadi, anak, dan keluarga di masa depan.
Menjadikan musibah dan malapetaka besar yang dialami oleh seseorang adalah ketika salah memilih siapa yang menjadi pasangan pendamping hidup.
Filosofi Jawa mengilustrasikan dan mengajarkan bahwa ada lima perkara dimana manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti peran dan nasib perjalanan hidupnya :
1. Siji Pesthi (mati)
2. Loro Jodho (jodoh)
3. Telu Wahyu (anugerah)
4. Papat Kodrat (nasib)
5. Lima Nandha (rizki).
Ilustrasi falsafah leluhur Jawa tersebut bermaksud agar orangtua melaksanakan pemilihan yang seksama akan calon menantunya atau bagi yang berkepentingan memilih calon teman hidupnya.
Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih-pilih kasih, tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multi dimensi antara sepasang anak manusia.
Mengadopsi sumber dari pakar Aristoteles pernah mengatakan bahwa pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa yang lain. Karena mereka adalah makhluk sosial atau zoon-politicon, yang mana mereka akan mencoba melakukan interaksi dan komunikasi satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan, baik tubuh dan jiwa.
Maka titik center letak perlunya mencari pasangan yang serasi agar dapat hidup harmonis dalam duka maupun duka.
Falsafah Jawa BOBOT, BIBIT, BEBET dapat menjadi alternatif bijak untuk menjawab konsep dalam The Law of Attraction :
1. Getaran jiwa memancar
2. Mencari.
3. Mendekat.
4. Menarik getaran jiwa yang sama.
Secara sederhana, The Law of Attraction (LoA) adalah hukum ketertarikan atau tarik menarik, di mana apapun yang kita fokuskan dalam pikiran dan rasakan, adalah yang akan ditarik dan hadir ke dalam kehidupan secara sadar atau tidak sadar, positif atau negatif, diinginkan atau tidak diinginkan.
Kriteria dalam menentukan jodoh yang dimaksud yaitu :
1. BOBOT adalah kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku. Filosofi Jawa ini mengajarkan, ketika mau ngundhuh mantu akan mempertanyakan hal-hal tersebut kepada calon menantunya. Hal ini mereka lakukan sebagai kewajiban orang tua terhadap hak anak, yakni menikahkan dengan seseorang yang diyakini mampu membahagiakan anaknya. Karena setelah menikah tanggung jawab akan nafkah, perlindungan dan lain-lain berpindah ke suami. Oleh karena itu, tak heran terkadang ada orang tua yang cenderung memaksa atau intervensi urusan yang satu ini kepada putrinya. Sebab, siapa sih yang rela dan tega bila putri kesayangannya yang mereka besarkan dengan penuh kasih sayang harus menjalani hidup penuh deraian air mata di tangan suami yang kejam yang tak kenal sayang? Untuk itu konsepsi BOBOT ini diterapkan dalam rangka memberi perlindungan, kasih sayang dan penghormatan kepada wanita.
Standar Kompetensi dalam BOBOT dalam filosofi ini meliputi : a. Jangkeping Warni (lengkapnya warna), yaitu sempurnanya tubuh yang terhindar dari cacat fisik. Misalnya, tidak bisu, buta, tuli, lumpuh apalagi impoten.
b. Rahayu ing Mana (baik hati) bahasa kerennya inner beauty, termasuk kategori ini adalah kepahaman agama sang menantu.
c. Ngertos Unggah-Ungguh (mengerti tata krama).
d. Wasis (ulet/memiliki etos kerja). Dalam filosofi ini kita diajarkan untuk tidak silau oleh harta dan kemewaan yang dimiliki calon menantu.
2. BIBIT adalah asal usul/keturunan. Di sini kita diajarkan untuk konsen terhadap asal-usul calon menantu. Jangan sampai memilih menantu bagai memilih kucing dalam karung, yang asal-usulnya tidak jelas, keluarganya juga remang-remang, pekerjaannya cuma begadang di jalanan. Namun, bukan berarti bahwa kita harus mencari menantu keturunan darah biru, tetapi setidaknya calon menantunya punya latar belakang yang jelas dan berasal dari keluarga yang baik-baik.
Menurut teori Gen oleh Gregor Mendel yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan berikutnya, bahwa manusia pada dasarnya mewarisi sifat-sifat fisik dan karakter dari orang tuanya, atau juga nenek dan kakeknya secara genetik.
Ciri-ciri ini nampak melalui aspek tinggi badan, warna kulit, warna mata, keadaan rambut lurus atau kerinting, ketebalan bibir dan sebagainya. Sifat dan tingkah laku manusia juga mengalami pewarisan daripada induk asal. Contoh sifat pendiam, cerewet / hyperactive (memiliki kelainan darah) dominan atau pasif adalah ciri-ciri sifat alamiah manusia yang tidak dipelajari melalui pengalaman, tetapi hasil warisan generasi sebelumnya.
Filosofi jawa yang memperhatikan BIBIT bukan omongan ngedhabrus semata. Sebab menikah dengan mempertimbangkan segi keturunan bukanlah deskriminatif, tapi salah satu alternative yang bijak dalam laku babad untuk menjaga dan melestarikan keturunan yang baik sebagai tanggung jawab moril terhadap kesehatan mental-spiritual generasi bangsa selanjutnya.
3. BEBET merupakan status sosial (harkat, martabat, prestige). Filosofi Jawa memposisikannya dalam urutan ketiga. Bebet ini memang penting tapi tidak terlalu penting.
Dalam filosofi Jawa mengatakan, Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman, (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi). Tetapi, apa salahnya kalau status sosial sesorang juga menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan calon menantu. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa status sosial juga merupakan kebutuhan dasar manusia.
Baik direnungkan dengan hikmah dan mohon petunjuk Sang Yang Maha Kodrat, untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang berasal dari :
1. Benih (bibit) yang baik.
2. Dari jenis (bebet) yang unggul.
3. Dan yang nilai (bobot) yang berat.
Filosofi Jawa itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata-mata memandang lahiriah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan. Pemilihan yang hanya berdasarkan wujud lahiriah dan harta benda dapat melupakan tujuan mendapatkan keturunan yang baik, saleh, berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat, dan sebagainya.