PITHONAN
MUDUN LEMAH
MUDUN LEMAH
Rr. Rahma Kanthi Suci |
Rr. Rahma Kanthi Suci |
Rr. Rahma Kanthi Suci |
R. Syehha Agem Manumayasya |
PITHONAN
(TURUN LEMAH)
TRADISI Tedhak Siten atau orang jawa menyebut tradisi ( mudun lemah ) turun tanah.
Tedak siten (dari kata Jawa= tedak =
cedhak ( men-dekat ).
Siten = siti = lemah (jawa = tanah )
.Ketika anak menginjak 8 bulan ( pitung lapan ), tradisi ini tidak hanya di
Jawa, didaerah lain di Indonesia juga ada tradisi seperti ini. tradisi turun
tanah menjadi symbol bagi kalangan masyarakat jawa mengisyratakan dalam usia
tersebut seorang anak sudah saatnya untuk kembali ketanah.
Menginjakan kakinya ke tanah sebagai
upaya pendekatan kepada dirinya sendiri yang berunsurkan tanah.
Dan sekaligus merupakan usia anak
untuk melatih dirinya untuk berjalan di tanah yang pertama kali.
Rangkaian tradsisi ini memiliki keunikan
dan makna tersendiri bagi masyarakat jawa.
Bahkan ada pesan moral yang ingin
disampaikan, salah satunya yakni sang bayi disuruh memilih beberapa pilihan
dari buku, kitab, sisir, pulpen dll.
Dan pilihan pertama itulah yang akan
menentukan pilihan terakhir yang memiliki urutan atau tahapan masing-masing.
Beberapa perlengkapan prosesi
disebut Uba Rampen
Uba rampen yang
diperlukan dalam upacara Tedhak Siten ini yaitu,
Banyu gege (air yang disimpan dlm tempayan/bokor selama satu malam
& pagi harinya dihangatkan dengan sinar matahari), ayam panggang, pisang
raja (melambangkan harapan agar si anak di masa depan bisa hidup sejahtera dan
mulia,
Juadah (jadah) warna
warni (7 warna: putih, merah, hijau, kuning, biru, cokelat, merah muda/ungu), tangga yang
terbuat dari tebu ireng (tebu arjuna), kurungan (biasanya berbentuk seperti
kurungan ayam) yang diisi dengan barang/benda (misalnya: alat tulis, mainan
dalam berbagai bentuk dan jenis) sebagai lambang/tanda untuk masa depan anak,
Benang lawe, dan udhek-udhek (yang terdiri berbagai jenis
biji-bijian, uang logam, & beras kuning).
Prosesinya :
pertama, memandikan bayi.
Bahwa bayi dalam keadaan suci
seperti pertma kali ia terlahir dalam keadaan fitrah dan kelak ketika
meninggalkan dunia ini sang anak juga diharapkan kembali kedalam fitrahnya.
Kedua, menginjak bubur atau orang jawa
menyebut bubur tersebut dengan nama bubur chetil yakni bubur merah manis dengan
bulatan dari tepung beras (bulatan itulah yang disebut chetil). Memiliki makna
bahwa bayi akan menjadi kuat dan kokoh untuk menapaki kehidupannya
Ketiga, menyebar uang orang jawa
menyebutnya udhek-udhek duit yang berisi beras kuning dan bunga artinya
menyebar yakni melemparkannya yang disana banyak orang yang berkumpul untuk
mengambil uangnya sebagai hak miliknya.
Menunjukan bahwa sang anak
diharapkan kelak menjadi orang yang dermawan dan dikaruniai banyak rizki dan
saling berbagi kepada siapa saja yang membutuhkan.
Keempat, memilih barang, ada beberapa pilihan
disinilah kelak anak akan menapaki kehidupannya dalam memilih profesi dan
berantai dalam memilihnya.
Tradisi ini digelar sebagai bentuk
harapan dan doa agar anak mampu menjadi orang yang berguana bagi agama, Negara
dan masyarakat.
Sebagai sebuah symbol atas karunia
yang diberikan kepada keluarga.
Didalamnya mengisyaratkan berbagai
macam benda seperti berdoa, makanan, uang, barang, bunga dll. Ini menunjukan
hubungan tiga dimensi antara manusia, tuhan dan alam. Dan kesemuanya berjalan
dengan lancar dan harmonis.