Arti
sebuah cita-cita
By : R. Syehha Agem Manumayasya
Cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang akan
masa depannya, bagi sebagian orang cita-cita itu adalah tujuan hidup dan bagi
sebagian yang lain cita-cita itu hanyalah mimpi belaka. Bagi orang yang
menganggapnya sebagai tujuan hidupnya maka cita-cita adalah sebuah impian yang
dapat membakar semangat untuk terus melangkah maju dengan langkah yang jelas
dan mantap dalam kehidupan ini sehingga ia menjadi sebuah akselerator
pengembangan diri namun bagi yang menganggap cita-cita sebagai mimpi maka ia adalah
sebuah impian belaka tanpa api yang dapat membakar motivasi untuk melangkah
maju. Manusia tanpa cita-cita ibarat air yang mengalir dari pegunungan menuju
dataran rendah, mengikuti kemana saja alur sungai membawanya. Manusia tanpa
cita-cita bagaikan seseorang yang sedang tersesat yang berjalan tanpa tujuan
yang jelas sehingga ia bahkan dapat lebih jauh tersesat lagi. Ya, cita-cita
adalah sebuah rancangan bangunan kehidupan seseorang, bangunan yang tersusun
dari batu bata keterampilan, semen ilmu dan pasir potensi diri.
Bagaimanakah jadinya nanti jika kita memiliki beribu-ribu batu bata,
berpuluh-puluh karung semen dan berkubik-kubik pasir serta bahan-bahan bangunan
yang lain untuk membuat rumah namun kita tidak mempunyai rancangan maupun
bayangan seperti apakah bentuk rumah itu nanti. Alhasil, mungkin kita akan
mendapatkan rumah dengan bentuk yang aneh, gampang rubuh atau bahkan kita tidak
akan pernah bisa membuat sebuah rumah pun.
Fenomena seseorang tanpa cita-cita bisa dengan mudah kita temui, cobalah tanya
kepada beberapa orang siswa SMU yang baru lulus, akan melanjutkan studi di mana
mereka atau apa yang akan mereka lakukan setelah mereka lulus. Mungkin sebagian
dari mereka akan menjawab tidak tahu, menjawab dengan rasa ragu, atau mereka
menjawab mereka akan memilih suatu jurusan favorit di PTN tertentu. Apakah
jurusan favorit tersebut mereka pilih karena memang mereka tahu potensi mereka,
tahu seperti apa gambaran umum perkuliahan di jurusan tersebut dan
peluang-peluang yang dapat mereka raih kedepannya karena berkuliah di jurusan
tersebut, sekedar ikut-ikutan teman, gengsi belaka, trend, karena mengikuti
“anjuran” orang tua, atau bahkan asal pilih? Yang terjadi selanjutnya adalah di
saat perkuliahan sudah berlangsung, beberapa dari mereka ada merasa jurusan
yang dipilihnya tidak sesuai dengan apa yang dia bayangkan atau tidak sesuai
dengan kemampuannya. Boleh jadi setelah itu ia akan mengikuti ujian lagi di
tahun depan atau malas-malasan belajar dengan Indeks Prestasi Kumulatif
alakadarnya. Sungguh suatu pemborosan terhadap waktu, biaya dan tenaga.
Dahulu ada sebuah tradisi kurung ayam, balita yang sudah berumur beberapa bulan
dikurung dalam sebuah kurungan ayam yang ditutuipi kain. Lalu di sekeliling
kurungan tersebut disimpan berbagai macam benda yang mewakili profesi seperti
gitar (musisi),
spidol (pengajar/guru), sarung tinju (atlit), pesawat-pesawatan (pilot) dan
lain-lain. Lalu orang tua akan memperhatikan benda apakah yang pertama kali
diambil oleh balita tersebut, jika ia mengambil terompet maka orang tua akan
beranggapan sang bayi kelak akan menjadi seorang musisi atau berpotensi menjadi
seorang musisi. Namun tampaknya adat semacam ini jarang dilakukan lagi. Nilai
yang dapat diambil dari tradisi semacam ini adalah bahwa orang tua mempunyai peranan
penting dalam memfasilitasi anaknya untuk mengeksplorasi bakat dan minat yang
dipunyainya. Dan membantu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Cita-cita bukan hanya terkait dengan sebuah profesi namun lebih dari itu ia
adalah sebuah tujuan hidup. Seperti ada seseorang yang bercita-cita ingin
memiliki harta yang banyak, menjadi orang terkenal, mengelilingi dunia,
mempunyai prestasi yang bagus dan segudang cita-cita lainnya. Namun seorang
muslim tentunya akan menempatkan cita-citanya di tempat yang paling tinggi dan
mulia yaitu menggapai keridhaan Allah.