SENDANG TIRTA KAMANDANU RITUAL MELUKAD (MANDI DAN BERSUCI)
Sendang Tirta Kamandanu terletak Menang Pagu Kediri merupakan situs peningalan kerajaan Kediri di masa pemerintahan Prabu Sri Aji Jayabaya di Sendang Tirta Kamandanu pernah di gunakan untuk ritual melukad (mandi dan bersuci), Prabu Sri Aji Jayabaya sebelum beliau muksa.
Rahayu Kediri Nusantara Jayati.
PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
Setelah Kerajaan Kahuripan dibelah menjadi 2 (dua) wilayah oleh Mpu Bharada atas perintah Prabu Airlangga tahun1042 :
1. Bagian Barat disebut Panjalu berpusat di Daha Dahanapura kota Api dipimpin Sri Samarawijaya.
2. Bagian Timur disebut Jenggala berpusat di kota lama Kahuripan
dipimpin Mapanji Garasakan.
Pembelahan itu dilakukan karna perebutan tahta Kahuripan, sedangkan Sanggramawijaya Tunggadewi sebagai pewaris tahta menolak, dan memilih menjadi pertapa bergelar Dewi Kilisuci.
Antara Panjalu dan Jenggala terus terjadi perang saudara, pada awalnya Jenggala yang menang namun pada akhirnya kerajaan Panjalu yang berhasil menguasai warisan tahta Prabu Airlangga (tahun1009-1042), Wangsa Isyana dari trah Mpu Sindok
Raja Sri Bameswara (tahun1117-1130)
Lancana Ardha Candra Kapala
Sang Juru Panjalu. Pada masa pemerintahannya Ibukota Panjalu dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga Panjalu lebih dikenal dengan nama Kediri.
Maharaja Jayabhaya/
Sri Aji Jayabaya th.1135-1157
Lencana Narasingha diyakini sebagai Titisan Batara Wisnu.
Terkenal sebagai ahli nujum dengan ramalan Jangka Jayabaya di bagi ke dalam 3 Zaman (Tri Takali) :
1. Kali-Swara (Zaman Permulaan).
2. Kali-Yoga (Zaman Pertengahan).
3. Kali-Sangara (Zaman Akhir).
Pada masa pemerintahannya ingin mengembalikan kejayaan Kerajaan seperti saat era Prabu Airlangga. Dan pada akhirnya berhasil menaklukkan
Jenggala dan menyatukan kembali dengan Panjalu/Kadhiri.
Termuat dalam Prasasti Ngantang
th.1057 Saka/7 September 1135 M
semboyan Panjalu Jayati.
berarti Kediri Menang. Kemenangan Maharaja Jayabhaya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam Kakawin Bharatayuddha yang digubah Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157 M
3 Fase di Pamuksan Sri Aji Jayabaya :
1. Loka Mukso (tempat muksa Sang Prabu).
2. Loka Busana (tempat singgah busana).
3. Loka Makuta (tempat lepas mahkota).
SENI KOLOSAL JAYABAYA MOKSA
(Karya seni teks karya seni dening Ira Sumarah Hartati Kusumastuti)
Prabu Jayabaya sedang memimpin persidangan di hadapan putra mahkota Shri Aji Jaya Amijaya, Kyai Doho yang sudah diangkatnya menjadi perdana menteri bergelar Buta Locaya, Kyai Doko sebagai Senopati bergelar Tunggul Wulung, dan putri bungsunya Ni Mas Ratu Pagedogan.
Jayabaya : Amijaya, adimu Pramesti sudah mulai merasakan sakit menjelang kelahiran putranya. Karena itu ibumu Ratu Sarameshwari tidak bisa hadir di pasamuan ini.
Amijaya : Ya Rama, apakah sebenarnya yang menjadi titah Ramanda, hingga hamba, diajeng ratu Pagedogan, paman Buta Locaya dan paman Tunggul Wulung Ramanda minta menghadap....
Jayabaya : Anakku Amijaya, sebentar lagi praja Panjalu, Daha, Jenggala, Kediri yang sudah aku satukan ini, akan Rama serahkan padamu. Engkau bersama anak-2mu dari Endang Sulastri, akan beranak pinak merajai tanah ini, berhati-hatilah mengendalikan kerajaan anakku.
(Sang Prabu menarik nafas panjang, sesaat kemudian meluncurlah nasehatnya pada sang putra...Eylin rangkum karena kalau ditulis semua, habis ruangannya)
Jayabaya : Anakku, zaman akan terus melaju kelak akan ada masanya Kereta tanpa kuda, dan pulau jawa ini berkalung besi...pada masa itu, banyak orang melanggar sumpah sendiri, pengkhianatan menjadi budaya, perempuan berbaju lelaki, lelakinya minta di tandu...yang jahat dipuja-puja, yang benar justru di benci...wolak waliking zaman...lupa jati kemanusiaan, suami mengingkari kewajibannya, istri membuka hati bagi suami orang lain, kemaksiatan meraja lela seakan kebiasaan yang di benarkan...Bapak lupa anak, anak berani pada orang tua...para Pemimpin melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka...namun perhatikanlah anakku...se untung-untungnya orang yang lupa diri dan mengumbar nafsu, tentu masih beruntung mereka yang ingat dan waspada, bahwa semua perbuatan mereka tidak akan lepas dari pengawasan Hyang Widi Wasa..Gusti Sang Akaryaning Jagad...
Amijaya : Duh Rama...berat sekali nasehat paduka, lalu apa maksudnya paduka akan menyerahkan semua ini pada ananda... Ramanda masih segar bugar, apakah paduka berniat madeg pandita ratu ?...kemana paduka akan menuju, biarlah ananda siapkan pengawalan untuk paduka.
Jayabaya : Anakku Amijaya...tidak usah repot-repot, aku nanti akan lengser keprabon setelah pamitan dari ibundamu dan saudarimu Pramesthi...cukup ditemani Buta Locaya, Tunggul Wulung dan adimu Ratu Pagedogan...
Amijaya : Mengapa harus sekarang Rama ? yayi Pramesti sedang berjuang melahirkan bayinya, apakah Rama tidak menunggu sang Jabang Bayi ? dan mengapa yayi ratu Pagedogan ikut kanjeng rama ?
Jayabaya : Amijaya,...dalam pandangan bathinku, anak Pramesthi akan menjadi titisan Wisnu, yang akan menjadi Raja besar diluar kerajaanmu...ketahuilah anakku, dalam raga ayahandamu ini, juga dikaruniai sebagai titisan Wisnu, hingga aku memiliki kemampuan weruh sak durunge winarah...Hyang Wisnu tidak akan bisa menitis pada dua pribadi di zaman yang sama...jadi sebelum keponakanmu lahir, aku harus moksa terlebih dahulu...aku bawa Buta Locaya, yang kelak akan merajai makhluk halus di Goa Selobale, di selatan Bengawan Solo. Dan Kyai Tunggul Wulung yang akan menjadi penguasa gunung Kelud. Menjaga agar Gunung itu tidak membahayakan rakyat kita.
Amijaya : Bagaimana dengan diajeng Pagedogan...mengapa tidak tinggal saja di istana, menikah dan memiliki keluarga, diajeng adalah putri yang cantik dan cerdas....
Pagedogan : Ampuni adikmu ini Rakanda...apa yang terjadi pada ayunda Pramesthi...di hinakan dan dibuang suami seperti itu...membuat nyaliku ciut. Betapa rendahnya martabat wanita, tidak perduli cantik, pandai berderajad luhur...sedikit saja celah terkuak, kami ini akan menjadi bulan bulanan, permainan laki-laki sepanjang zaman...ketika kulit kami kisut, tubuh kami tak lagi singset, betapa mudahnya khianat laki-laki berpaling pada mulusnya kulit dan mudanya usia.... Rakanda, dinda sudah meminta pada Ramanda untuk selamanya tidak menikah, dan menjaga kesempurnaan ragawi dinda, sebagai pengingat...betapa wanita bisa menjadi sangat kuat, ketika luka hati menganga...
Jayabaya : Telah Rama ijinkan tekad adimu untuk menguasai jagad lelembut di pantai selatan, kelak adimu akan bergelar Ratu Perangin angin, sesungguhnya dalam sukma adimu telah bersemayam Bathari Pujabrata dan Bathari Pramudita, yang akan menyatu dalam pribadinya menguasai pantai Selatan.
Amijaya : Jagad Dewa Bathara...duh Kanjeng Rama...baiklah kalau demikian halnya...ananda akan menjaga dan mengingat semua nasehat Ramanda...Ananda akan mempersiapkan segala sesuatunya mulai dari kelahiran cucu paduka, sampai saat moksa nya Rama sekalian....
Hasil dari persidangan itu adalah di wisudanya Shri Aji Jaya Amijaya sebagai Raja Panjalu menggantikan ramandanya Shri Aji Jayabaya. Se usai me wisuda putra mahkota, Prabu Jayabaya mendatangi keputren tempat istrinya menemani Pramesti yang sedang menunggu kelahiran bayinya. Ajaib saat sang Jayabaya masuk peraduan putrinya, Pramesthi menjerit kesakitan karena terasa bayinya berontak dan menendang-nendang perutnya dengan keras...Sarameshwari segera menenangkan putrinya dengan menyapu lembut keringat yg mengucur dari dahi jelita itu..
Sarameshwari : Kanda Prabu, aneh sekali, sebelum paduka datang...anak kita tenang saja, mengapa tiba-tiba cucunda berulah seperti itu ? seakan tahu sedang di tengok eyangnya...
Jayabaya (tersenyum) : Dinda Sarameshwari...
itulah bukti cucu kita bukan orang sembarangan...
Sarameshwari : Kanda...mengapa dinda merasakan kehadiran kanda ini bukan kehadiran biasa...apa yang ingin kanda titahkan ?...
Jayabaya (menarik nafas panjang) : Sarameshwari... engkau ratuku...kawaskitan mu sudah setara dengan kemampuan seorang senopati, tentu engkau tahu aku harus menyingkir untuk memberi jalan Hyang Wisnu memasuki raga cucu kita...(Jayabaya menggenggam tangan istrinya) aku pamit diajeng...bersama Buta Locaya, Tunggul Wulung dan Pagedogan...aku akan menyepi ke desa Mamenang, menunggu saat-saat tepat kelahiran jabang bayi dan moksanya Rakanda... Baik-baiklah adinda merawat Pramesthi dan bayinya...dampingi Jaya Amijaya dengan kebijaksanaanmu dinda...
Sarameshwari (meremas genggaman Jayabaya, menganggukkan kepalanya) : Ya Kanda...tinggalkanlah pertanda, apa yg bisa aku tularkan pada anak cucuku sepeninggal paduka...
Jayabaya : Sameshwari...telah aku tuliskan peninggalanku dalam wujud Jangka Jayabaya...yang sebenarnya terangkum dalam 3 zaman yang di pisahkan setiap 700 tahun.
I. Jaman permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th bulan). Pada waku itu di jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia berasa menjadi dewa dan dewa turun kebumi menjadi manusia.
II. Jaman pertengahan disebut KALI-YOGA, banyak perubahan pada bumi,bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yang salah jalan, karena orang yang mati banyak menjelma (nitis).
III. Jaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Banyak hujan salah mangsa dan banyak kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya kebahagiaan, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang yang mati banyak yang tetap memegang ilmunya.
Sarameshwari : Oooh kanda...semogalah manusia mampu melewati beratnya zaman-zaman itu...
Jayabaya : Kuncinya hanya pada keluhuran budi, terpeliharanya nurani dan tekad yang kuat untuk selalu ingat, waspada...Sarameswari tanamkan pada anak turunku...bukanlah sifat pengecut untuk mengakui kesalahan, bertobat dan hidup dalam penyesalan...karena disitulah hidup barunya dimulai, untuk tidak menebar keangkuhan, keyakinan bahwa perbuatan sedeng, buruk dan kepalsuannya tidak akan terkuak... sesungguhnya tidak akan ada yang dapat disembunyikan dari perbuatan busuk manusia.. semua akan terbuka pada waktunya.. kalau mereka sadar, adalah lebih ksatria untuk segera mengakui kesalahan itu.. meminta maaf secara tulus pada orang yang di dzolimi.. dan memulai hidup baru dengan lambaran penyesalannya yang terucap di setiap doa tobatnya.
Sarameshwari : Sendika dawuh Kakaprabu....
Saat Fajar merekah dalam hitungan sepekan dari saat Sang Prabu Shri Aji Jayabaya meninggalkan istana, lahirlah seorang bayi tampan dengan dahi bersinar dari rahim Pramesthi...Bayi itu diberi nama Anglingdarma... Setelah kelahiran sang Bayi, Dewi Prameshti dengan di dampingi ibu Suri Sarameshwari dan beberapa hulubalang...di berikan pesanggrahan di sebelah utara Kediri oleh Raja muda Shri Aji Jaya Amijaya... pesanggrahan itu di beri nama Malwapati.
Sak wijining dina, bersamaan dengan kelahiran sang Bayi, di sebelah timur kerajaan Kediri di pertapaan Watu Tumpuk desa Mamenang, tempat pertapaan Shri Aji Jayabaya, dikejutkan dengan raibnya sang Prabu, yang meninggalkan busana dan mahkotanya tergeletak di sanggar pamujan. Shri Aji Jayabaya telah moksa...Hyang Wisnu telah berpindah menitis ke Anglingdarmo cucundanya.