KAKAWIN KUNJARAKARNA
Pangarang Mpu Dusun, masa penulisan zaman Singhasari. Naskah beraliran Buddha. Cerita naskah ini digambarkan pada relief Candi Jago, Malang. Candi Jago adalah kuil agama Buddha yang dipersembahkan bagi Raja Wisnuwardhana (1248-1268) ayah Kertanagara. Penggambaran cerita pada relief candi memberi kesan bahwa tema kelepasan erat hubungannya dengan keselamatan jiwa tokoh yang telah meninggal.
Kelima Tataghata dalam agama Buddha disamakan dengan kelima manifestasi Siwa atau dewa-dewa Pancakusika dalam agama Hindu. Wairocana dan Siwa dinyatakan sama-sama ‘guru semesta’ (Wairocana buddhamurti siwamurti pinaka guru ning jagad kabeh).
Naskah ini diteliti oleh Dr. JLA Brandes dilanjutkan oleh Dr. Slamet Muljana. Kakawin Kunjarakarna disebut juga kakawin Sugataparwawarnnana.
Ringkasan Cerita
Raksana Kunjarakarna melakukan yoga dalam gua Gunung Meru bertujuan untuk membebaskan dirinya dari rupa raksasa. Kemudian ia menghadap Buddha memohon diajarkan tentang hukum karma. Buddha menyuruhnya ke neraka untuk melihat para pendosa yang siksa di Yamaloka. Ia melihat tempayan yang besar, dipersiapkan untuk roh yang akan direbus selama 100.000 tahun. Ia juga terkejut melihat gurunya yang sangat dihormati Purnawijaya minta tolong padanya. Ia mengajak gurunya menghadap Buddha. Setelah diberi pengajaran oleh Buddha dengan panjang lebar, Purnawijaya minta dibebaskan dari neraka. Buddha menjawab bahwa hal itu tidak mungkin. Purnawijaya harus mati dan masuk neraka. Akan tetapi, berkat pengajaran yang telah diterimanya, penderitaannya dikurangi hingga 9 hari. Setelah selesai masa hukumannya, Purnawijaya bersama isterinya menghadap Buddha, memohon pengajaran selanjutnya. Setelah itu, Purnawijaya bersama istri pergi ke Gunung Semeru. Di sana kedua pasangan ini mendapatkan kelepasan.
Kunjarakarna Uraikan Siksaan di Neraka
Salah satu buku atau kitab Jawa kuno yang populer di zamannya adalah kitab Kunjarakarna. Kitab yang ditulis dalam bentuk kakawin atau tembang ini ditulis pada masa Kerajaan Kediri diperintah oleh Dharmawangsa (991 – 1016). Seperti banyak buku atau kitab Jawa kuno lainnya di masa itu, di kitab ini tidak diketahui siapa nama sang pujangga atau penulisnya. Sang pujangga hanya menyebut dirinya sebagai kadi ngwang adusun, yang artinya pujangga atau penulis dari dusun.
Kunjarakarna buah karya pujangga yang rendah hati itu di masanya tentu layak dikategorikan sebagai sebuah karya buku yang spektakuler. Betapa tidak. Buku atau kitab ini, berbeda dengan kebanyakan kitab karya lainnya. Kitab ini membahas dan menguraikan tentang “apa dan bagaimana’ dengan neraka.
Kunjarakarna dan Purnawijaya
Dahulu kala terdapat seorang makhluk Yaksa yang bernama Kunjarakarna. Kunjara berarti gajah dan Karna berarti telinga. Telinga gajah yang besar melambangkan gemar mendengar dan rajin belajar. Hatinya gundah memikirkan penjelmaannya yang terkatung-katung sebagai manusia, tetapi bukan manusia, sebagai dewa juga tidak sepenuhnya dewa. Ia mendengar mengenai Sri Buddha yang menjadi Guru Agung para dewa dan manusia. Maka ia pergi menghadap Buddha Wairocana di Bodhicitta. Sebelum Buddha Wairocana mengajarkan Dharma, Kunjarakarna diharuskan pergi berguru kepada Dewa Yama di Neraka.
Kunjarakarna pun pergi menuju Neraka. Dengan menyebut nama Sri Buddha ia diterima di Kahyangan Dewa Yama. Kunjarakarna menerima petunjuk serta bimbingan dari Dewa tersebut. Ia pun menyaksikan orang-orang berdosa disiksa. Kata Dewa Yama. Mereka disiksa, dipukul dengan gada besi karena pekertinya dahulu buruk dan jahat. Hasil perbuatannya yang jahat itulah yang menjadi gada besi yang kemudian menderanya.
Mereka yang berdosa digiring menuju kawah melalui jembatan besi yang di bawahnya penuh kobaran api. Tampak sebuah kawah yang masih kosong. Agaknya sedang dipersiapkan untuk digunakan.
Kunjarakarna bertanya kepada gurunya, “Wahai Yamadipati, siapa gerangan yang akan dimasukkan ke dalam kawah yang sedang dipersiapkan itu ?”
Jawab Dewa Yama, “Kawah itu dipersiapkan untuk Purnawijaya, seorang bidadara.”
“Ah, mengejutkan sekali. Bagaimana mungkin sampai demikian Yamadipati, bukankah Purnawijaya berasal dari Surga dan dihormati oleh para bidadara-bidadara?”
Kunjarakarna tidak saja kenal, tetapi bahkan bersahabat erat dengan Purnawijaya.
“Hai Kunjarakarna, setiap perbuatan jahat akan menuntun makhluk apa saja yang memasuki neraka. Ia yang berdosa karena membunuh, mencuri, menipu, asusila, angkara murka, menghukum orang yang tidak besalah, sombong, tidak menghormati orangtua, tidak mengasihi makhluk hidup dan segala perbuatan tercela lainnya, akan tertarik ke dalam kawah neraka.”
Setelah selesai berguru kepada Dewa Yama, Kunjarakarna segera pergi mencari sahabatnya. Sekalipun tengah malam. Purnawijaya yang sedang tidur bersama istrinya terjaga karena ketukan pintu tamunya. Dengan tergesa-gesa Kunjarakarna menyampaikan pengalamannya di neraka kepada Purnawijaya. Tentu saja pasangan suami istri itu amat terperanjat. Purnawijaya tidak dapat menahan tangisnya, Ia memeluk Kunjarakarna dan ratapnya, “Wahai sahabatku, tolonglah aku, hindarkan dari jalan ke Neraka. Sungguh tak terhingga besarnya dosa yang pernah kulakukan.”
“Purnawijaya, apa dayaku untuk menolongmu? Tentulah dirimu sendiri yang harus berusaha. Aku hanya bisa menyarankan agar engkau ikut denganku menghadap Buddha Wairocana.”
Maka Purnawijaya pun meminta diri kepada istrinya. Kunjarakarna menerima ajaran tentang kesempurnaan hidup dan kebahagiaan sejati. Buddha Wairocana memberkahinya. Tubuhnya dibenamkan ke dalam air suci, dan seketika Kunjarakarna bercahaya. Ia telah menjadi Dewa.
Kemudian Purnawijaya pun diterima menghadap Buddha Wairocana. Ia menerima wejangan Dharma dengan khidmat. Tetapi ia tidak dapat dihindarkan dari maut. Sebagai akibat perbuatannya di masa lampau, ia juga tetap akan memasuki Neraka. Tetapi karena tobat dan kesucian yang dicapainya sekarang, di Neraka ia hanya akan tinggal selama sepuluh hari saja.
Purnawijaya kembali ke rumahnya. Istrinya, Kusumagandawati diiringi bidadari-bidadari lain menyambutnya. Mereka semua takjub melihat Purnawijaya yang kini tekun melatih semadi.
Ia berpesan kepada istrinya, bahwa ia akan tampak bagaikan tidur selama sepuluh hari. Selama itu istrinya ditemani bidadara-bidadari harus menjaga tubuhnya.
Sesungguhnya maut telah menanti. Purnawijaya meninggalkan jasmaninya yang terlihat bagaikan tidur. Ia ditarik oleh perbuatannya yang sudah lalu, bagai bayangan yang senantiasa mengikuti menuju ke kawah Neraka. Ia tidak menolaknya, dan memang tidak bisa menolaknya. Selama berada di dalam kawah ia tetap bersemadi. Air kawah menjadi tenang dan jernih. Lewat hari yang kesepuluh, tiba-tiba kawah itu hancur dengan sendirinya. Api pun padam, yang tertinggal hanyalah cahayanya. Di tempat itu tumbuh pohon-pohon yang berdaun emas, dan muncul kolam dengan bunga teratai yang amat indah.
Semua makhluk neraka terkejut. Dewa Yama pun tercengang keheranan. Mengingat timbunan dosa yang sudah diperbuat oleh Purnawijaya seharusnya ia disiksa selama seratus tahun di Neraka. Tetapi setelah Purnawijaya menjelaskan bahwa ia menerima anugerah Dharma, Dewa Yama pun memahaminya. Kemudian Purnawijaya diizinkannya pulang pada jasadnya.
Maka pada hari kesebelas, bangkitlah Purnawijaya dari kematiannya. Istrinya amat bersuka cita. Semua bidadara-bidadari dikumpulkan. Mereka bersama-sama pergi ke Bodhicitta. Di sana mereka memuja Sri Buddha.
Pada saat itu datang pula para dewa. Dewa Yama bertanya apakah sebabnya Purnawijaya diselamatkan dari hukuman seratus tahun dalam kawah neraka. Buddha Wairocana menguraikan riwayat Kunjarakarna dan Purnawijaya. Sabdanya kemudian, “Perhatikanlah pahalanya mereka yang mengabdi kepada Dharma.”
Dan menyembahlah mereka semua kepada Sri Buddha, lalu kembali ke tempat masing-masing.
Setelah peristiwa itu, Purnawijaya membicarakan dengan istrinya niat untuk pergi bertapa. Dengan berat hati Kusumagandawati pulang ke Keindraaan di Surga. Kunjarakarna bertemu kembali dengan Purnawijaya di gunung Mahameru. Mereka bersama membuat pertapaan. Kemudian keduanya menjalani tapa selama dua puluh tahun. Setelah mencapai kesempurnaan. Mereka pun pulang ke Surga.
Kunjarakarna Dharmakatana
Kunjarakarna Dharmakatana merupakan ajaran suci bagi pendosa berat sebagai ilmu kebatinan dalam usaha manusia untuk dapat mencapai kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.
Salah satu kitab Jawa kuno yang membahas dan merinci ngerinya keadaan neraka.
Hidup adalah penderitaan, begitu ajaran kebatinan lakon itu diawali.
Manusia di bumi memang bisa berbuat sesukanya. Namun kelak di akhirat akan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Ngunduh wohing pakarti (suka tidak suka, menerima risiko atas segala perbuatannya), sebuah konsep sederhana yang sudah lama ada, bahkan jadi sistem tersendiri sebagai kendali perilaku manusia leluhur kala lampau, menunjukkan hal itu.
Menurut Kitab Kunjarakarna, disebutkan ada 2 kelompok kejahatan yang menyebabkan sukma manusia masuk neraka dan disiksa yaitu :
Anidya paradrwya misalnya, dilakukan oleh mereka semasa di dunia yang selalu dipenuhi nafsu untuk memiliki harta yang bukan miliknya.
Anidra parawadha atau paradara, yakni dilakoni orang yang jiwanya dikuasai nafsu seksual, dalam artian gemar mengganggu, mengajak serong dara, istri, atau suami orang lain.
Dalam beberapa tingkatan neraka disebutkan dalam kitab ini yaitu :
- Neraka Tapana | ruang tertutup berbau amis bercampur sengak oleh uap yang menyembur dari ketel panas.
- Neraka Raurawa | tangis dan jeritan panjang yang khusus digunakan buat manusia pengobral janji, berkata kasar, atau besar mulut dan terutama pembohong.
- Neraka Awici. diperuntukan buat manusia yang berani kepada orang tua, membunuh guru, dan menghina agama.
- Dalam lakon Kunjarakarna berbentuk prosa, lengkap sekali dilukiskan neraka sebagai tempat setan-setan gentayangan mengerikan, gelap penuh penderitaan yang tiada bandingannya.
- Neraka yang disebut petrabhawana (jagat arwah), katanya mirip lautan manusia yang dikelilingi tanggul api membara.
- Di sini ribuan roh jahat disiksa dengan berbagai senjata maut, dari rantai besi sampai gada api sebesar pohon pinang.
- Ada yang diborgol tangan dan kakinya, ada yang disumbat timah panas mulutnya, ada yang cuma disayat pisau kulitnya.
- Tapi ada juga yang dijepit catut lehernya. Semua tergantung besar-kecilnya dosa yang diperbuatnya.
- Sementara ratap tangis memilukan bagai kumbang kesakitan, datanglah sisantama, burung raksasa berkepala setan yang galak menyeruak, melumat ribuan pendosa sekaligus hancur luluh dengan cakarnya.
- Tapi para pendosa itu tak mati, meski secara fisik sudah. Malah katanya, dengan tubuh lemah sempoyongan banyak di antara mereka malang-melintang berlari saling mendahului, saling berpegang pundak, ada yang terjatuh dan terinjak-injak.
- Ada juga serigala berkepala hantu, tiba-tiba muncul mengejar mereka. Yang tertangkap dikoyak-koyak tubuhnya, hingga menyembul isi perutnya.
- Sementara dari arah berbeda, muncul raksasa berkepala dan bertangan api, terus memburu. Yang tertangkap bakal hangus, meringis mulutnya, melotot matanya, menangis, dan mengaduh, menggelepar kesakitan karena napas tersengal mendekati ajal. Tapi sekali lagi, mereka tak mati.
- Kakawin Kuñjarakarna Dharmakathana adalah gubahan dalam bentuk syair (kakawin) dari karya sastra prosa; Kuñjarakarna.
Kakawin Kuñjarakarna Dharmakathana, adalah sebuah frasa bahasa Sanskerta yang memiliki banyak makna. Jika judul ini dibaca sebagai kata majemuk dalam bahasa Sanskerta Kuñjarakarnadharmakathana, maka bisa diartikan sebagai "Cerita mengenai Dharma (hukum) dan hubungannya dengan Kuñjarakarna". Namun bisa pula frasa Dharmakathana ini dibaca secara lepas sebagai konstruksi bahuvrîhi sehingga artinya adalah: "(Sang Buddha) di mana katanya adalah Dharma". Biar bagaimanapun artinya adalah jelas bahwa kakawin ini mengenai dharma.
Menurut Prof. Slamet Muljana, judul kakawin di atas diambil dari kalimat pada kolofon: "iti Kunjarakarna dharma katha na samapta kirtti siddha mpu Dusun", yang berarti "Ini Kunjarakarna, cerita suci, telah selesai, hasil karya Mpu Dusun". Kalimat itu dilanjutkan dengan keterangan tentang tempat penyalinan, nama penyalin, dan tahun disalin: "..telas sinurat ing Kancana tekap ni Artha Pamasah" pada tahun 1660. Sebagaimana halnya nama Nagarakretagama yang tertulis pada kolofon ternyata bukan nama asli Kakawin Desawarnana, Slamet Muljana meyakini bahwa Kunjarakarna juga bukan nama ciptaan si penulis untuk karya sastra ini, melainkan Sugataparwawarnnana (=uraian tentang kisah sang Buddha).[2]: 313–5
Penulis kakawin ini menyebut dirinya sebagai "Mpu Dusun". Hal ini mengartikan bahwa kakawin ini berasal dari kalangan pedesaan. Selain itu diperkirakan bahwa kakawin ini ditulis pada abad ke-15 Masehi.
Isi cerita
- Kakawin Kuñjarakarna menceritakan seorang yaksa, semacam raksasa yang bernama Kuñjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.
- Kakawin dimulai dengan manggala yang diikuti dengan sebuah deskripsi tentang gunung Mahameru di mana Kuñjarakarna sedang bertapa supaya pada kelahiran berikutnya ia bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia menghadap Wairocana.
- Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama. Di sana ia mendapat kabar bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di neraka.
- Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta keringanan. Akhirnya ia diperbolehkan memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu ia kembali ke bumi dan berpamitan dengan istrinya, sang Kusumagandawati.
- Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya seratus tahun. Lalu ia diperbolehkan kembali hidup. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di lereng gunung Mahameru.
Kisah-Kisah Relief di Candi Jago Tentang Kunjarakarna
Candi Jago (Jajaghu) terletak di Desa Tumpang, sekitar 18 km di sebelah tenggara Kota Malang, penduduk setempat juga menyebutnya dengan nama Candi Tumpang. Candi Jago merupakan pendarmaan raja Wisnuwarddhana yang dibangun pada tahun 1268 M atau kemungkinan 12 tahun sesudahnya (upacara sraddha). Pada teras candi terdapat relief-relief yang ceritanya menunjukkan dua agama yang dianut Wisnuwarddhana yaitu Siwa dan Buddha. Cerita itu antara lain tentang kisah Kunjarakarna yang bersifat Budhistis. Relief Kunjarakarna ini dipahatkan pada teras pertama lanjutan cerita Tantri mulai dari timur laut dan selanjutnya sebagian dipahatkan pada teras kedua mulai dari sudut barat laut.
Relief-relief Kunjarakarna di Candi Jago ini menceritakan tentang usaha seorang makhluk setengah dewa (Kunjarakarna) dalam mencapai jalan kebenaran. Diceritakan Boddhicitta Wairocana di wihara sedang mengajarkan dharma kepada para Jina, Boddhisattwa, Bajrapani, dan dewa-dewa. Pada saat yang sama yaksa yang bernama Kunjarakarna melakukan meditasi Buddha di Gunung Sumeru agar dapat dibebaskan dari wataknya sebagai setan pada inkarnasi berikutnya. Konon kabarnya ia bertekad untuk mengunjungi dewa Gotama (Buddha) dan berangkat.
Setelah itu Kunjarakarna diizinkan menghadap Wairocana dan memohon agar diberi pelajaran mengenai dharma dan diberi penerangan mengenai nasib yang dialami para makhluk di dunia ini. Wairocana memuji keprihatinan Kunjarakarna. Namun, Kunjarakarna diperintahkan dahulu mengunjungi dunia orang mati yaitu wilayah yang dikuasai Dewa Yama. Kunjarakarna berangkat mengunjungi daerah itu. Di suatu persimpangan jalan, Kunjarakarna bertemu dengan dua raksasa yaitu Kalagupta dan Niskala, yang menunjukkan kepada para arwah yang lewat untuk menuju surga atau neraka sesuai dengan amal perbuatan mereka di masa lampau. Jalan ke selatan menuju “Daerah Besi” (Lohabhumipattana) di mana pohon-pohon berupa pedang, gunung dari besi yang menganga dan menutup, burung-burung berekor pisau dan belati, rerumputan dari paku sebagai dedaunan. Kunjarakarna menyaksikan bagaimana orang mati disiksa para kingkara yaitu pembantu Yama dalam bentuk yang mengerikan. Kunjarakarna sangat terharu karena apa yang dilihatnya dan ia berterima kasih kep
Kunjarakarna mengunjungi kediaman Dewa Yama dan oleh dewa disambut dengan ramah. Yama kemudian menguraikan kepadanya tentang hakikat kejahatan yang berakibat pada jatuhnya siksaan di neraka. Jalan ke neraka sangat lebar dan mudah ditempuh. Sedangkan jalan ke surga jarang ditempuh orang, tertutup semak belukar dan penuh rintangan. Yama menjelaskan kepada Kunjarakarna mengapa orang yang sudah mati di dunia masih harus disiksa di neraka.
Kunjarakarna melihat bagaimana sebuah periuk besar akan digosok dan dibersihkan untuk menyambut kedatangan seorang pendosa besar seperti yang diterangkan Yama. Dalam waktu tujuh hari lagi Yama akan memulai siksaan yang akan berlangsung selama 100.000 tahun. Adapun pendosa besar itu adalah Purnawijaya, raja para gandharwa, yang saat itu masih menikmati hasil pahalanya di surga. Penjelasan Yama mengguncangkan Kunjarakarna, karena Purnawijaya masih bersaudara dengannya. Justru karena ia ingin turut menikmati kebahagiaan Purnawijaya di surga Indra, ia mau melakukan tobat. Kini ia makin terdorong untuk kembali ke Wairocana dan menerima pelajaran yang dimintanya. Tetapi sebelum ia meninggalkan neraka ia harus mendengarkan dulu uraian Yama mengenai berbagai macam inkarnasi yang menantikan para pendosa setelah mereka melunasi siksaannya di neraka.
Kunjarakarna kemudian mendatangi Purnawijaya yang sedang menikmati kenikmatan surga. Ia menceritakan segala sesuatu yang berkaitan dengan nasib yang akan dijalani Purnawijaya. Raja para gandharwa itu tersentak kaget dan kehilangan harapan akibat berita mengenai kematiannya yang tak terduga-duga serta hal-hal yang mengerikan yang akan terjadi sesudah itu. Namun Kunjarakarna menasehati agar Purnawijaya bertabah hati dan seharusnya menghadap ke Wairocana untuk memohon bantuan sehingga ia dapat mengelakkan nasibnya. Purnawijaya kemudian ikut Kunjarakarna setelah terlebih dahulu berpamitan kepada istrinya, Kusumagandhawati. Dengan diiringi makhluk-makhluk surgawi, Purnawijaya bersama Kunjarakarna menuju Boddhicittanirmala, kediaman Wairocana. Setelah menghormati Wairocana sebagai mahadewa, mereka memohon anugerah dan pelajaran dharma.
Wairocana menerangkan kepada mereka berdua tentang pelajaran menuju kebebasan, di mana salah satu cara mencapai kebebasan itu dengan melalui jnana wisesa (pengetahuan mulia) yang menyebabkan seorang manusia sadar bahwa ia merupakan inkarnasi dewa bahkan ia sendiri adalah dewa itu. Wairocana menguraikan tentang kesamaan lima Jina (Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan Amogasiddhi) dengan kelima rsi Kusika (Patanjala, Mahakusika, Garga, Metri, dan Kurusya) dan kelima dewa Siwa-isme (Siwa, Iswara, Brahma, Mahadewa, dan Wisnu). Di situ Wairocana menyatakan bahwa ia adalah manifestasi Siwa dan Buddha dalm bentuk yang dapat dilihat, sebagai guru alam semesta, Bhattara Guru, dan dewa tertinggi.
Setelah selesai mendapat pelajaran dharmadesana dari Wairocana, Kunjarakarna mohon diri untuk melanjutkan tapa brata lebih khusuk lagi, tetapi Purnawijaya tidak turut. Purnawijaya masih menanyakan bagaimana ia bisa lolos dari siksa neraka. Wairocana memberitahu bahwa Purnawijaya tidak bisa bebas dari kematian. Ia akan mati dalam tidur dan penderitaannya akan berlangsung selama sembilan hari.
Purnawijaya kembali ke istrinya dan berpesan agar sang istri menantikan kedatangannya pada hari kesepuluh saat ia tidur dan meninggal dunia. Penuh kebimbangan sang istri ditinggalkan bersama dengan jenazah suaminya dan mengungkapkan rasa sedihnya dalam suatu ratapan. Arwah Purnawijaya diangkat oleh para kingkara dan dimasukkan ke dalam periuk. Namun karena ia melakukan samadhi ia hampir tidak merasa sakit. Pada hari ketiga periuk pecah dan menjadi manikam dalam bentuk bunga teratai. Pohon-pohon pedang menjadi parijata-parijata. Para kingkara melaporkan kejadian itu kepada Yama.
Yama datang dan menyaksikan apa yang terjadi pada diri Purnawijaya. Raja para gandharwa itu menjelaskan bahwa itu semua karena rahmat Wairocana dan kesaktian ilmu yang diajarkan kepadanya. Jiwa Purnawijaya kembali ke tubuhnya dan ia seolah-olah bangun tidur. Tetapi kegembiraan istri Purnawijaya, Kusumagandhawati, berubah jadi kekecewaan ketika Purnawijaya menjelaskan bahwa ia akan mengikuti Kunjarakarna untuk melakukan tapa brata. Istrinya terisak menangisi nasibnya dan hanya sedikit terhibur ketika Purnawijaya berusaha untuk memperlihatkan kasih sayangnya.
Keesokan harinya, Kunjarakarna berangkat ditemani gandharwa dan widyadhari dan menghormati Wairocana dengan sembah sujud. Di Boddhicitta para dewa berkumpul menghadiri upacara dewapuja. Yama memohon kepada Wairocana untuk menerangkan, bagaimana mungkin siksaan bagi pendosa besar hanya dilunasi dalam sembilan hari. Wairocana menuturkan kisah Muladhara yang menghabiskan segala kekayaannya untuk diberikan sebagai derma, tetapi dengan hati diliputi kejahatan dan kesombongan. Di satu pihak, terdapat pasangan suami dan istri, Utsahadharma dan Sudharmika, yang menggunakan harta mereka yang sedikit untuk berbuat kebajikan dengan hati murni dan ikhlas. Suami dan istri itu diusir oleh Muladhara dari rumahnya, kemudian mereka menjadi pertapa.
Ketika meninggal, suami dan istri itu menjadi Indra dan Saci yang hidup bahagia di surga. Sedangkan Muladhara ketika mati diangkat menjadi Purnawijaya, raja para gandharwa. Meski kejahatannya pantas diganjar dengan siksa yang lama di neraka, namun siksaan itu diperpendek menjadi beberapa hari saja karena kesaktian yang terpancar dari ajaran suci. Purnawijaya telah diberi pengetahuan mengenai ajaran itu bersama dengan bekas ahli bangunannya, Karnagotra, yang dilahirkan kembali sebagai Kunjarakarna.
Wairocana kemudian menerangkan kepada Purnawijaya, bagaimana perbuatan lahiriah yang baik hanya dapat menghasilkan ganjaran di surga, bukannya pembebasan sempurna. Ini hanya dapat dicapai dengan punya yang lebih luhur sifatnya, yaitu mencapai pencerahan sempurna. Purnawijaya kemudian bersama istrinya akan mempraktekkan ajaran itu ke Sumeru. Ia memberitahukan kepada para bawahannya di surga, bahwa ia mengundurkan diri lalu memerintahkan kepada mereka agar kembali ke surga. Mereka patuh, walaupun dengan sedih hati, karena kehilangan seorang raja yang tak ada taranya. Dengan melakukan tapa sebagai mahayana, Purnawijaya dan Kusumagandhawati berhasil mencapai pembebasan di surga Jina. Sedangkan Kunjarakarna telah mendahului mereka di sana.
Berikut Buku Kakawin Kunjarakarna (1 & 2) :
1. KUNJARA KARNNA 1





