Wisikan Ananing Dzat
Wisikan ananing dzat berarti pengetahuan bisikan tentang keberadaan Dzat, yang mengacu pada pemahaman batiniah tentang kebenaran atau esensi terdalam dari Dzat, khususnya dalam konteks ajaran tasawuf Kejawen dan sastra klasik, seperti Babad Centhini. Ini adalah istilah yang menandakan adanya pengetahuan yang bersifat spiritual atau intuitif yang diterima sebagai wahyu atau petunjuk dari Tuhan.
Tentang Wisikan Ananing Dzat :
- Wisikan: Bisikan, petunjuk, atau wahyu yang datang dari dalam diri.
- Ananing: Keberadaan atau eksistensi.
- Dzat: Esensi atau hakikat terdalam dari segala sesuatu, yang sering kali merujuk pada Tuhan.
Secara keseluruhan, Wisikan ananing dzat adalah pengetahuan tentang bagaimana memahami kehadiran dan esensi Dzat itu sendiri melalui bisikan batin, yang sering kali dihubungkan dengan ajaran makrifat.
Kajian Centhini (210:10-15): Wisikan Ananing Dzat
Pupuh 210, Sinom (metrum: 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a.), bait ke-10 sampai bait ke-15, Serat Centhini, tema wejangan Panembahan Rama:
Jatine kang ran Mukhamad, wahananing cahya wêning, kang anglimputi ing jagat, dumunung nèng Urip-mami. Yèku Urip pribadi, nir kang nguripi èstu, mula kuwasa miyat, myarsa angganda lan malih, angandika ngraoskên saliring rahsa,
puniku sadayanira, saka kodrating Datmami, mangkono kulup jarwanya. Datira kang Maha Suci, dènnira aningali, datanpa netra satuhu, nanging mokal yèn wuta, iya iku muhung saking, panguwasa angagêm ing netra kita.
Ênggonnira amiyarsa, datanpa karna kakalih, nanging mokal yèn tuliya, muhung ngagêm karna-mami. Dènnya (ng)ganda sakalir, datanpa grana saèstu, mokal lamun sumpêta, iya iku muhung saking, kang ingagêm saèstune grana kita.
Ênggonira angandika, datanpa lesan sayêkti, nanging mokal yèn bisua, iya iku muhung saking, ngagêm ing lesan-mami. Dènnya ngraoskên sadarum, rahsa tanpa dunungan, ananging mokal yèn sunyi, iya iku muhung nèng pangraos kita.
Tamat Dalil kang kapisan, sukèng tyas kang sinung wangsit, manêmbah aris turira, pangawruh ingkang kawijil, wasta ngèlmi punapi, kita paran têgêsipun. Sang pangeran lon ngandika, kawruh kang mangkono kaki, ingaranan Wisikan ananing Êdat.
Dene ta kang têmbung kita, saka kirane tyasmami, iku kinarya timbangan, têmbung Ingsun jarwamami, ngarani aku iki, wijange mangkene kulup, têmbung Ingsun têgêsnya, aku nanging aku-Gusti, basa kita uga aku ning kawula.
Kajian per kata:
Jatine (sesungguhnya) kang (yang) ran (bernama) Mukhamad (Muhammad), wahananing (penjabaran) cahya (cahaya) wêning (bening), kang (yang) anglimputi (meliputi) ing (pada) jagat (jagat), dumunung (terletak) nèng (ada di) Urip–mami (hidupku). Sesungguhnya yang bernama Muhammad adalah penjabaran cahaya bening yang meliputi pada jagat, terletak di dalam hidupku.
Sesungguhnya yang disebut dengan nama Muhammad adalah penjabaran cahaya bening yang meliputi jagad raya, yang terletak pada hidupku. Maka cahaya bening tadi juga disebut Nur Muhammad. Nur Muhammad meliputi seluruh jagad raya, dan juga meliputi hidup-ku.
Yèku (yaitu) Urip (hidup) pribadi (sendiri), nir (tanpa) kang (yang) nguripi (menghidupkan) èstu (sungguh), mula (maka) kuwasa (kuasa) miyat (melihat), myarsa (mendengar) angganda (membauhi) lan (dan) malih (lagi), angandika (berkata) ngraoskên (merasakan) saliring (segala) rahsa (rahsa), puniku (itu) sadayanira (semua), saka (dari) kodrating (kodrat dari) Datmami (Dzat-ku), mangkono (demikian) kulup (anakku) jarwanya (pengertiannya). Yaitu hidup sendiri, tanpa yang menghidupkan sungguh, maka kuasa melihat, mendengar, membauhi dan lagi berkata, merasakan segala rahsa, itu semua dari kodrat Dzat-ku, demikian anakku pengertiannya.
Yang karena diliputi Nur Muhammad itu maka diriku hidup sendiri, tanpa ada yang menghidupkan. Karena diriku adalah wahana dari Dzat Yang Maha Kuasa. Karena Nur Muhammad itu pula aku hidup, aku mampu melihat, mendengar, membauhi, berkata-kata dan merasakan segala rahsa. Semua itu adalah kodrat dari Dzatku, yang adalah wahana dari Dzat Yang Maha Kuasa.
Datira (Dzat-Nya) kang (Yang) Maha (Maha) Suci (Suci), dènnira (dalam dia) aningali (melihat), datanpa (tanpa) netra (mata) satuhu (sungguh), nanging (tetapi) mokal (mustahil) yèn (kalau) wuta (buta), iya (ya) iku (itu) muhung (hanya) saking (dari), panguwasa (kekuasaan) angagêm (memakai) ing (pada) netra (mata) kita (kita). Dzat-Nya Yang Maha Suci dalam dia melihat tanpa mata sungguh, tetapi mustahil kalau buta, yaitu hanya dari kekuasaan memakai mata kita.
Yakni Dzat Yang Maha Kuasa, yang melihat tanpa mata, tetapi mustahil kalau buta. Dia Maha Melihat segala sesuatu karena kekuasaanNya dapat melihat melalui mata kita.
Ênggonnira (dalam Dia) amiyarsa (mendengar), datanpa (tanpa) karna (telinga) kakalih (dua), nanging (tetapi) mokal (mustahil) yèn (kalau) tuliya (tuli), muhung (hanya) ngagêm (memakai) karna–mami (telingaku). Dalam Dia mendengar tanpa telinga, tetapi mustahil kalau tuli, hanya memakai telingaku.
Dia Maha Mendengar walau tanpa telinga, hanya memakai telingaku untuk mendengar.
Dènnya (dalam Dia) (ng)ganda (membauhi) sakalir (segala), datanpa (tanpa) grana (hidung) saèstu (sungguh), mokal (mustahil) lamun (kalau) sumpêta (sumpet), iya (ya) iku (itu) muhung (hanya) saking (dari), kang (yang) ingagêm (dipakai) saèstune (sungguh) grana (hidung) kita (kita). Dalam Dia membauhi segala tanpa hidung sungguh, mustahil kalau sumpet, yaitu hanya dari memakai hidung kita.
Dia dapat membauhi segala bau tanpa hidung, tetapi mustahil baginya sumpet. Dia hanya memakai hidung kita. Sumpet artinya tertutup hidungnya sehingga tidak bisa membauhi.
Ênggonira (dalam Dia) angandika (berkata-kata), datanpa (tanpa) lesan (lisan) sayêkti (sungguh), nanging (tetapi) mokal (mustahil) yèn (kalau) bisua (bisu), iya (ya) iku (itu) muhung (hanya) saking (dari), ngagêm (memakai) ing (pada) lesan–mami (lisan-ku). Dalam dia berkata-kata tanpa lisan sungguh, tetapi mustahil kalau bisu, yaitu hanya dari memakai lisan-ku.
Dia kuasa untuk berbicara tanpa lisan, dan mustahil kalau bisu. Dia memakai lisan-ku untuk berbicara.
Dènnya (dalam Dia) ngraoskên (merasakan) sadarum (semua), rahsa (rahsa) tanpa (tanpa) dunungan (tempat), ananging (tetapi) mokal (mustahil) yèn (kalau) sunyi (sunyi), iya (ya) iku (itu) muhung (hanya) nèng (ada di) pangraos (perasa) kita (kita). Dalam dia merasakan segala rahsa tanpa tempat, tetapi mustahil kalau sunyi, yaitu hanya ada di perasa kita.
Dia dapat merasakan segala rahsa tanpa mempunyai tempat. Namun mustahil bagiNya dalam kesunyian. Dia ada di dalam perasa kita.
Tamat (tamat) Dalil (dalil) kang (yang) kapisan (pertama), sukèng (suka dalam) tyas (hati) kang (yang) sinung (diberi) wangsit (nasihat), manêmbah (menyembah, menghormat) aris (pelan) turira (berkata dia), pangawruh (pengetahuan) ingkang (yang) kawijil (diuraikan, dikeluarkan), wasta (disebut) ngèlmi (ilmu) punapi (apakah), kita (kita) paran (bagaimana) têgêsipun (artinya). Tamat dalil yang pertama, suka hati yang diberi nasihat, menyembah pelan berkata dia, pengetahuan yang diuraikan disebut ilmu apakah, bagaimana artinya.
Selesai dalil yang pertama dari penjelasan Pangeran Rama. Suka hati Mas Cebolang yang baru saja diberi nasihat. Cebolang menyembah hormat dan berkata pelan, “Pengetahuan yang barus saja diuraikan disebut ilmu apakah, dan bagaimana artinya?”
Sang pangeran (Sang Pangeran) lon (pelan) ngandika (berkata), kawruh (pengetahuan) kang (yang) mangkono (demikian) kaki (anakku), ingaranan (disebut) Wisikan (bisikan) ananing (keberadaan) Êdat (Dzat). Sang Pangeran berkata pelan, pengetahuan yang demikian anakku, disebut bisikan keberadaan Dzat.
Pangeran Rama menjawab bahwa pengetahuan yang baru saja diuraikan disebut Kawruh Wisikan Ananing Dzat atau pengetahuan bisikan keberadaan Dzat. Sebaiknya, karena nama pengetahuan ini akan sering disebut di dalam berbagai literatur klasik maka kita namakan saja sebagimana adanya sebagai Kawruh Wisikan Ananing Dzat.
Dene ta (adapun) kang (yang) têmbung (kata) kita (kita), saka (dari) kirane (perkiraan) tyasmami (hatiku), iku (itu) kinarya (sebagai) timbangan (perimbangan), têmbung (kata) Ingsun (Ingsun) jarwamami (artinya aku), ngarani (menyebut) aku (aku) iki (ini), wijange (jelasnya) mangkene (demikian, seperti ini) kulup (anakku), têmbung (kata) Ingsun (Ingsun) têgêsnya (artinya), aku (aku) nanging (tetapi) aku–Gusti (Aku-Tuhan), basa (kata) kita (kita) uga (juga) aku (aku) ning (tetapi) kawula (hamba). Adapun kata kita dari perkiraan hatiku itu sebagai perimbangan, kata Ingsun artinya aku, menyebut aku ini, jelasnya seperti ini, anakku, kata Ingsun artinya aku, tetapi Aku-Tuhan, kata kita juga aku, tetapi sebagai hamba.
Inilah konsep satunggaling-kawula Gusti. Dalam satu pengertian kata Aku merujuk kepada Aku sebagai Tuhan. Dalam pengertian yang lain, aku adalah sebagai hamba.
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro