Semar Bodroyono Ngejowantah Mbabar Jatidiri
Dalam kehidupan yang telah terjadi di jaman sekarang, sudah banyak manusia yang kehilangan jatidirinya, tidak mengetahui kebenaran yang sejati, karna manusia jaman sekarang dalam menhalani kehidupanya hanya mengikuti pola pikirnya saja, tanpa bisa mengunakan rasa / hati nuraninya, maka sudah saatnya Kaki Lurah Semar Bodroyono Ngejowantah Mbabar Jatidiri.
Semar Mbabar Jatidiri adalah tema cerita pewayangan dan judul sebuah buku, bukan nama blog. Tema ini mengisahkan perjalanan spiritual Semar dalam mengungkap jati diri dan makna hidup, mengajarkan nilai-nilai kebijaksanaan, kesederhanaan, dan kearifan. Buku berjudul "Semar Ngejowantah Mbabar Jati Diri" ditulis oleh Wawan Sujiyanto berdasarkan sabda dari para sesepuh Jawa, dan cerita ini juga pernah dipentaskan dalam bentuk wayang kulit oleh berbagai dalang dan lembaga pendidikan.
Cerita Pewayangan :
- Lakon "Semar Mbabar Jati Diri berpusat pada ajaran Semar tentang menjalani hidup sesuai kodrat, menggunakan hati nurani, dan menjaga keseimbangan dunia.
- Buku berjudul Semar Ngejowantah Mbabar Jati Diri ditulis oleh Wawan Sujiyanto, yang mengisahkan ajaran Semar sebagai panduan untuk menemukan jati diri.
- Tema ini relevan dalam konteks budaya Jawa, termasuk dalam pertunjukan wayang kulit yang bertujuan untuk pendidikan dan pelestarian budaya.
Manusia zaman sekarang sudah banyak yang kehilangan jati diri dan tidak mengetahui arti kebenaran yang sejati. Saat ini manusia hanya mengikuti pola pikir saja tanpa menggunakan hati nurani. Akal dan budi adalah seperangkat alat yang membedakan manusia dengan makhluk lain, jika salah satu hilang maka manusia dapat disejajarkan dengan hewan. Budi merupakan hati nurani yang senantiasa membimbing ke jalan yang benar.
Buku ini mengisahkan tentang ajaran sejati (Kejaten) yang diajarkan oleh Sang Hyang Ismoyo atau Kaki Lurah Semar Bodroyono dalam mengemban tugas dari Sang Hyang Wening atau Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai juru pamomong bagi manusia untuk mencari jati diri dan mengetahui makna dari kehidupan sejati. Manusia dilahirkan di dunia dengan kodratnya masing-masing, maka manusia harus menjalani kewajiban sesuai kodratnya dengan menggunakan hati nurani. Buku Semar Ngejowantah Mbabar Jati Diri ini berisi ajaran-ajaran tentang kehidupan yang akan selalu mengingatkan manusia untuk selalu eling akan kodratnya masing-masing. Sayang,tata bahasa yang kurang tepat dan banyaknya kalimat-kalimat berulang akan membuat pembaca merasa jenuh pada bagian awal buku ini.
Buku ini merupakan hasil dari sabda dan perintah dari para sesepuh dan pinisepuh di tanah Jawa lewat wawancara gaib yang telah dilakukan oleh penulisnya, Wawan Sujiyanto. Wawan berharap dengan diterbitkannya buku ini, sudah dapat memenuhi perintah dari Sang Hyang Ismoyo dan para sesepuh yang lainnya.
Kisah Lakon Semar Bodroyono Ngejowantah Mbabar Jatidiri.
Padepokan Karangkadempel suatu saat menjadi sangat ramai. Keramaian itu disebabkan datangnya para raja, para ksatria, dan kerabat-kerabatnya dari lingkup kerajaan Amarta, Dwarawati dan Mandura dan ksatrian ksatriannya ke Padepokan Karangkadempel tempat Ki Semar Badranaya berada. Semuanya baik para raja seperti Puntadewa dari Amarta, Kresna dari Dwarawati, Baladewa dari Mandura, Werkudara dari Jodhipati, Arjuna dari Madukara; dan para ksatria seperti Gatotkaca dari Pringgodani, Abimanyu dari Plongkowati, Setyaki dari Lesanpura, Ontorejo dari Jangkarbumi hadir memenuhi undangan untuk berkumpul dari seruan Ki Semar Badranaya.
Memahami tingkat kepentingan dan risiko momentum kehadiran para raja dan ksatria ini, para ksatria berbagi peran. Ada ksatria yang bertugas menjaga keamanan di lingkungan Padepokan Karangkadempel dan sebagiannya lagi menyertai para raja menghadiri pertemuan yang digelar oleh Ki Semar.
Ki Semar Badranaya mengumpulkan para raja dan para raja di Padepokan Karangkadempel dalam rangka memberi nasihat kepada mereka. Di tengah kondisi pemerintahan yang morat-marit yang ditandai dengan meningkatnya jumlah hutang negara, memburuknya kondisi perekonomian, memburuknya penegakan hukum, semakin rendahnya moral pemimpin dan masyarakat, semakin tercerai berainya masyarakat, semakin rendahnya apreasi bangsa bangsa lain; yang dibutuhkan adalah peningkatan kesadaran para pemimpin.
“Perhatikanlah wahai para raja dan para ksatria, perjalanan kehidupan kita sebagai bangsa atau pun negara saat ini semakin semrawut dan morat-morit, yang ujungnya sangat merendahkan kualitas kehidupan rakyat. Coba perhatikan alam semesta, kekuatan alam semesta pun dari tanah, angin, air, api.. semuanya sekarang tak bersahabat dengan kita, gempa bumi terjadi bergiliran, angin bergerak cepat memunculkan badai, yang merubuhkan segalanya, air mengalir semakin tak terkendali memunculkan banjir banjir, api yang tak tertata nyalanya menimbulkan kebakaran baik yang tidak disengaja atau disengaja, semuanya adalah pertanda yang semestinya memunculkan kesadaran bahwa kita telah melakukan beragam kesalahan, tidak ada jalan lain kita semua perlu lakukan pertobatan nasional”
Atas nasihat itu, para Raja dan para ksatria menerimanya dan berkehendak untuk bertaubat dan memperbaiki diri. Tapi, cerita lakon tak berhenti di sini. Pengumpulan para raja dan ksatria di Padepokan Karangkadempel dalam jumlah banyak dipandang sebagai tindakan untuk merencanakan makar dan menjadikan Semar sebagai penguasa baru. Tak lama setelah Ki Semar Badranaya menyampaikan nasihat, Ki Semar diculik oleh tokoh yang sangat sakti yang bisa lolos dari penjagaan oleh ksatria penjaga dan tidak diketahui oleh para raja yang hadir dalam pertemuan. Padepokan Karangkadempel menjadi geger karena Ki Semar hilang. Lalu, para raja berbagi tugas.. Baladewa, Werkudara, Puntadewa ditugaskan untuk menjaga Karangkadempel. Kresna dan Arjuna ditugaskan mencari Semar yang hilang.
Ki Semar Badranaya sangat mudah melumpuhkan kesaktian penculiknya. Ki Semar mengetahui dan memahami alur proses penculikannya ini dari aktor penculikan, penyuruh penculikan dan ujung otak pelakunya. Penculik yang berujud raksasa sakti itu disuruh oleh Dewi Permoni dan ujungnya oleh Bethara Guru. Akhirnya, untuk mengatasi masalah ini, Ki Semar berangkat menuju Kayangan Suralaya untuk bertemu Sang Hyang Wenang.
Di Kayangan, Sanghyang Wenang sedang adakan pertemuan dengan Bethara Guru dan Narada membincangkan huru hara yang terjadi di Mayapada, dan akan hadirnya Ki Semar Badranaya atau Bethara Ismaya-namanya sewaktu menjadi Dewa. Adakah kehendak Ki Semar kembali ke Kayangan ini merupakan ujud ketidak-sabaran Ki Semar dalam menjalankan fungsi kepengasuhan kepada para Ksatria.
Saat Ki Semar Badranaya atau Bathara Ismaya hadir dalam pertemuan, Ki Semar menjelaskan bahwa pengumpulan para Raja dan ksatria di Padepokan Karangkadempel tidak dimaksudkan untuk merencanakan makar, tetapi forum itu ditujukan untuk menyadarkan para pemimpin negara agar segera melakukan pertaubatan nasional demi hilangnya beragam keburukan dan terciptanya kebaikan kebaikan kembali di tengah pemerintahan. Apa yang dilakukan Ki Semar justru merupakan pengejawantahan fungsi dirinya selaku pengasuh para raja dan ksatrian.
Atas penjelasan itu, Bathara Guru kemudian meminta maaf kepada Ki Semar karena dia tidak terlebih dulu melakukan konfirmasi kepada Ki Semar. Sanghyang Wenang memahami maksud Ki Semar dan bahkan memberi dukungan penguatan misi Ki Semar. Sanghyang Wenang memberi wejangan tentang ajaran “Memayu ayuning bawana”. “Memayu ayuning bawana” itu harus diujudkan dan prosesnya perlu ditempuh secara bertahap. “Memayu ayuning bawana” itu harus ditempuh melalui “Memayu ayuning jiwa”, “Memayu ayuning keluarga”, “Memayu ayuning sasomo”, “Memayu ayuning negara lan bangsa”. Setelah tahapan itu tercapai maka “Memayu ayuning bawana” akan tercapai pula.
Prabu Sawarka putro Prabu Bomanarakasura peputro Prabu Kresna mengisahkan terjadinya kekisruhan yang terjadi di Kerajaan Yawastina yang disebabkan oleh keturunan kurawa dan sekutu sekutunya, diantaranya Raden Antisura / Surakesti dan Raden Surabasa putra Sengkuni, Dahyang Suwela putra Raden Aswatama, Prabu Niradhakawaca putra Prabu Bumiloka kakak Dewi Mustakaweni yang menjadi Istri Bambang Priyambada cucu Prabu Niwatakawaca, kekisruhan ini bersumber dari tokoh antagonis Raden Kertiwindu putra Sengkuni yang mewarisi kelicikan ayahnya, Raden Dursasabula putra Raden Dursala, dengan menghasut dan mengadu domba cucu cucu pandawa dan kresna diantaranya Pancakusuma putra Pancawala, dan Suwarka cucu kresna. kekisruhan dan kekacauan ini dapat diredam setelah berhasil memboyong dan menerima atau mendapat wejangan dari Ki Lurah Semar.
lalu memberi petuah petuah kepada Prabu Parikesit putra Raden Abimanyu dan semua yang terlibat dalam pertengkaran yang mencangkup : pembangunan sebagai wujud pengamalan lima gegebengan, Eka Prasetya Pancakarsa adalah pengendalian diri, serta masalah ilmu sangkan paraning dumadi.
Sumber referensi :
- Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 5
Imajiner Nuswantoro