AMANAT GALUNGGUNG
Setelah ditelusuri, ternyata Prabuguru Darmasiksa adalah tokoh yang meletakkan dasar-dasar Pandangan Hidup/Visi ajaran hidup secara tertulis berupa nasihat. Naskahnya disebut sebagai Amanat Galunggung, disebut juga sebagai Naskah Ciburuy (nama tempat di Garut Selatan tempat ditemukan naskah Galunggung tsb) atau disebut pula Kropak No.632, ditulis pada daun nipah sebanyak 6 lembar yang terdiri atas 12 halaman; menggunakan aksara Sunda Kuno.
Dalam naskah Amanat dari Galunggung diharapkan dapat menyebutnya sebagai Amanat Pabu Guru Darmasiksa yang hanya terdiri dari 6 lembar daun nipah. Di dalam amanat ini tersirat secara lengkap apa visi hidup yang harus dijadikan pegangan masyarakat dan menjadi citra jatidiri orang Sukapura Tasikmalaya, lebih makronya lagi bagi orang Sunda yang kemudian mungkin berkontribusi bagi kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berwawasaan Nusantara.
Di bawah rangkuman amanat-amanat Prabuguru Darmasiksa dari setiap halaman (yang diberi nomor di bawah ini:
Sistematika rangkuman tersebut terbagi dalam 4 pokok :
1. Amanat yang bersifat pegangan hidup /cecekelan hirup.
2. Amanat yang bersifat perilaku yang negatif (non etis) ditandai dengan kata penafian “ulah” (jangan).
3. Amanat yang bersifat perilaku yang positif (etis) ditandai dengan kata imperatif “kudu” (harus).
4. Kandungan nilai, sebagai interpretasi penulis.
Halaman 1 Pegangan Hidup: Prabu Darmasiksa menyebutkan lebih dulu 9 nama-nama raja leluhurnya. Darmasiksa memberi amanat ini adalah sebagai nasihat kepada: anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (ke-4), muning (ke-5), anggasantana (ke-6), kulasantana (ke-7), pretisantana (ke-8), wit wekas ( ke-9, hilang jejak), sanak saudara, dan semuanya.
Kandungan Nilai: Mengisyaratkan kepada kita bahwa harus menghormati/mengetahui siapa para leluhur kita. Ini kesadaran akan sejarah diri. Mengisyaratkan pula kesadaran untuk menjaga kualitas (SDM) keturunannya dan seluruh insan-insan masyarakatnya.
Halaman 2 Pegangan Hidup: Perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan (kewibawaan dan kekuasaan) serta kejayaan bangsa sendiri oleh orang asing.
Perilaku Yang Negatif: Jangan merasa diri yang paling benar, paling jujur, paling lurus; Jangan menikah dengan saudara; Jangan membunuh yang tidak berdosa; Jangan merampas hak orang lain; Jangan menyakiti orang yang tidak bersalah; Jangan saling mencurigai.
Kandungan Nilai: Sebagai suatu bangsa (Sunda) harus tetap waspada, tidak boleh lengah jangan sampai kekuasaan dan kemuliaan kita/Sunda direbut/didominasi oleh orang asing. Kebenaran bukan untuk diperdebatkan tapi untuk diaktualisasikan. Pernikahan dengan saudara dekat tidak sehat. Segala sesuatu harus mengandung nilai moral.
Halaman 3 Pegangan Hidup: Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan). Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun. Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu. Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing. Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah daripada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya.
Perilaku Yang Negatif: Jangan memarahi orang yang tidak bersalah. Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutannya) pada jamannya.
Kandungan Nilai: Tanah kabuyutan, tanah yang disakralkan, bisa dikonotasikan sebagai tanah air (lemah cai, ibu pertiwi). Untuk orang Sunda adalah Tatar Sunda-lah tanah yang disucikannya (kabuyutannya). Untuk orang Sukapura/Tasikmalaya ya wilayahnya itulah tanah yang disucikannya. Siapa yang bisa menjaga tanah airnya akan hidup bahagia. Pertahankanlah eksistensi tanah air kita itu. Jangan sampai dikuasai orang asing. Alangkah hinanya seorang anak bangsa, jauh lebih hina dan menjijikan dibandingkan dengan kulit musang (yang berbau busuk) yang tercampak di tempat sampah (tempat hina dan berbau busuk), bila anak bangsa tsb tidak mampu mempertahankan tanah airnya. Hidup harus mempunyai etika.
Halaman 4 Pegangan Hidup: Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri sendiri. Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para leluhurnya, sulit untuk diobati sebab diserang musuh yang halus. Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau mendengar nasihat ayah-bunda, tidak mengindahkan ajaran moral (patikrama). Ibarat pucuk alang-alang yang memenuhi tegal.
Kandungan Nilai: Hidup harus tunduk kepada aturan, termasuk mentaati “pantangan” diri sendiri. Ini menyiratkan bahwa manusia harus sadar hukum, bermoral; tahu batas dan dapat mengendalikan dirinya sendiri. Orang yang moralnya rusak sulit diperbaiki, sebab terserang penyakit batin (hawa nafsunya), termasuk orang yang keras kepala.
Halaman 5 Pegangan Hidup: Orang yang mendengarkan nasihat leluhurnya akan tenteram hidupnya, berjaya. Orang yang tetap hati seibarat telah sampai di puncak gunung. Bila kita tidak saling bertengkar dan tidak merasa diri paling lurus dan paling benar, maka manusia di seluruh dunia akan tenteram, ibarat gunung yang tegak abadi, seperti telaga yang bening airnya; seperti kita kembali ke kampung halaman tempat berteduh. Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua. Jangan kosong (tidak mengetahui) dan jangan merasa bingung dengan ajaran keutamaan dari leluhur. Semua yang dinasihatkan bagi kita semua ini adalah amanat dari Rakeyan Darmasiksa.
Kandungan Nilai: Manusia harus rendah hati jangan angkuh. Agama sebagai pegangan hidup harus ditegakkan. Pengetahuan akan nilai-nilai peninggalan para leluhur harus didengar dan dilaksanakan.
Halaman 6 Pegangan Hidup: Sang Raja Purana merasa bangga dengan ayahandanya (Rakeyan Darmasiksa), yang telah membuat ajaran/pegangan hidup yang lengkap dan sempurna. Bila ajaran Darmasiksa ini tetap dipelihara dan dilaksanakan maka akan terjadi :
- Raja pun akan tenteram dalam menjalankan tugasnya;
- Keluarga/tokoh masyarakat akan lancar mengumpulkan bahan makanan.
- Ahli strategi akan unggul perangnya.
- Pertanian akan subur
- Akhir Kekuasaan dan Wasiat
Prabuguru Darmasiksa memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M). Ia meninggal tahun 1297 M. Prabuguru Darmasiksa pernah memberikan peupeujeuh (nasihat) kepada cucunya, yakni Raden Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut :
Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya. Ikang sayogyanya rajyaa Jawa rajya Sunda paras paropasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh caranya: mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.
Inti dari nasihatnya adalah menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna.
Dalam Carita Parahyangan diceritakan, Darmasiksa (ada juga yang menyebutnya Prabu Sanghyang Wisnu) memerintah selama 150 tahun. Ada pun Naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni tahun 1097 – 1219 Saka (1175 – 1297 M). Darmasiksa naik tahta setelah 16 tahun Prabu Jayabaya (1135 – 1159 M), penguasa Kediri-Jenggala tiada. Darmasiksa memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M).
Menurut Pustaka Nusantara II/2, Prabuguru Darmasiksa pernah memberikan peupeujeuh (nasihat) kepada cucunya, yakni Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut: Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya. Ikang sayogyanya rajyaa Jawa rajya Sunda parasparopasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh caranya: mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika.
Inti dari nasihatnya adalah menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Perihal Prabu Darmasiksa memberikan wejangan kepada Sanjaya, Carita Parahyangan (CP) pun membeberkan hal tersebut. Dalam CP yang sebagian besar isinya menceritakan kepahlawanan Sanjaya, raja Sunda di Pakuan dan Galuh di Jawa Barat dan pendiri Mataram Kuno di Jawa Tengah (sama dengan Pararaton yang menceritakan sepak terjang Ken Angrok) disebutkan bahwa Patih Galuh menasihati agar Rahiyang Sanjaya mematuhi Sanghyang Darmasiksa. Naskah ini memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M. Secara politis, Saunggalah merupakan alternatif untuk menyelesaikan pembagian kekuasaan antara keturunan Wretikandayun, yaitu anak-anak Mandi Minyak dengan anak-anak Sempak Waja, Naskah ini menjelaskan sisi dan perkembangan keturunan Wretikandayun di luar Galuh.
Dari naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, kita tahu bahwa nama Raja Saunggalah I bernama Resiguru Demunawan. Kedudukan sebagai penguasa di wilayah tersebut diberikan oleh ayahnya, yakni Sempak Waja, putra Wretikandayun pendiri Galuh. Resiguru Demunawan merupakan kakak kandung dari kakak kandung Purbasora, yang pernah menjadi raja di Galuh pada 716-732.
Demunawan memiliki keistimewaan dari saudara-saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh keturunan Kendan. Sekali pun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu memperoleh gelar resi guru, sebuah gelar yang tidak sembarangan bisa didapat, sekali pun oleh raja-raja terkenal, tanpa memilik sifat ksatria minandita. Bahkan pasca Tarumanagara, gelar ini hanya diperoleh Resiguru Manikmaya, pendiri Kendan, Resiguru Darmasiksa, dan Resiguru Niskala Wastu Kancana raja di Kawali. Seorang raja bergelar resiguru diyakini telah mampu membuat sebuah ajaran (pandangan hidup) yang dijadikan acuan kehidupan masyarakatnya.
Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (persisnya di desa Ciherang, Kadugede, Kab. Kuningan), kemudian memindahkan ke Saunggalah 2, (Mangunreja, Tasikmalaya), selanjutnya menjadi raja Di Pakuan Pajajaran. Menurut teks Bujangga Manik (akhir abad ke- 15 atau awal abad ke-16), lokasi lahan tersebut terletak di daerah Tasik Selatan sebelah barat, bahkan kerajaan ini mampu mempertahankan kehadirannya setelah Pajajaran dan Galuh runtuh. Pada abad ke-18 nama kerajaan tersebut masih ada, namun setingkat kabupaten, dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Mungkin sebab inilah penduduk Kampung Naga Salawu di Tasik enggan menyebut Singaparna, tetap menyebut Galunggung untuk wilayah Singaparna.
Kemudian Darmasiksa diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan), sedangkan Saunggalah diserahkan kepada putranya, yakni Ragasuci alias Sang Lumahing Taman.
“Kesadaran Sejarah” Berbeda dengan Carita Parahyangan yang jelas menceritakan perjalanan pemerintahan raja-raja kuno di Jawa Barat, Amanat Galunggung ini membeberkan ajaran moral dan aturan sosial yang harus dipatuhi oleh urang Sunda. Namun, dalam naskah Amanat Galunggung ini terdapat baris-baris kalimat yang menyatakan pentingnya masa lalu sebagai “tunggak” (tonggak) atau “tunggul” untuk masa berikutnya, maka dari itu seyogyanya generasi kini harus tetap menghormati nilai-nilai yang diwarisi generasi sebelumnya.
Berikut petikan dan terjemaahannya :
Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke aya ma beuheula aya tu ayeuna hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna hana tunggak hana watang tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna
(Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang karena ada masa silam maka ada masa kini bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini ada tonggak tentu ada batang bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada catangnya)
PERAN BERGESER KE TIMUR
Dalam abad ke-14 di timur muncul kota baru yang makin mendesak kedudukan Galuh dan Saunggalah, yaitu KAWALI (arti Kuali atau Belanga). Lokasinya strategis karena berada di tengah segitiga Galunggung, Saunggalah dan Galuh. Sejak abad XIV ini Galuh selalu disangkutpautkan dengan Kawali. Dua orang Raja Sunda dipusarakan di WINDURAJA (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).
Bagi masyarakat Sunda Kuno juga Jawa dan etnis-etnis lain di Indonesia, terutama pada masa klasik (Hindu-Buddha) “kesadaran sejarah” bukanlah kesadaran seseorang atau pun sekelompok orang terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu di mana peristiwa-peristiwa tersebut harus ditentukan kebenarannya (secara ilmiah), melainkan kesadaran generasi mendatang terhadap nilai-nilai yang pernah ditanamkan oleh generasi sebelumnya. Hampir tak pernah ditemukan sebuah kronik sejarah kecuali Nagarakretagama karya Prapanca dalam bentuk pustaka di Indonesia yang memang bertujuan untuk mencatat peristiwa-persitiwa penting pada masanya beserta pencantuman tarikh-tarikhnya. Di Jawa Barat sendrir, kecuali Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan, naskah-naskah Sunda Kuno yang dihasilkan pada abad-abad ke-15 dan ke-16 hampir semua merupakan teks religius, pedoman moral, atau sejenis “sastra-jurnal” seperti Bujangga Manik. Memang dalam naskah-naskah pedoman moral itu dapat diketahui sejumlah aspek kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang dapat dijadikan acuan sebagai “informasi sejarah”, namun hampir tak ada catatan-catatan mengenani peristiwa politik yang akan memuaskan para peniliti sejarah, kecuali peneliti filologi dan arkeologi.
Sebenarnya gejala pemerintahan yang condong ke timur sudah mulai nampak sejak masa pemerintahan PRABU RAGASUCI (1297 - 1303). Ketika naik tahta menggantikan ayahnya (PRABU DARMASIKSA), ia tetap memilih SAUNGGALAH sebagai pusat pemerintahan karena ia sendiri sebelumnya telah lama berkedudukan sebagai raja di timur. Tetapi pada masa pemerintahan puteranya PRABU CITRAGANDA, sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
RAGASUCI sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya RAKEYAN JAYADARMA. Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3, JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan DYAH SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL. Mereka berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur]
Prabu Darmasiksa kemudian menunjuk putera Prabu Ragasuci sebagai calon ahli warisnya yang bernama CITRAGANDA. Permaisuri Ragasuci adalah DARA PUSPA (Puteri Kerajaan Melayu) adik DARA KENCANA isteri KERTANEGARA. Citraganda tinggal di Pakuan bersama kakeknya. Ketika Prabu Darmasiksa wafat, untuk sementara ia menjadi raja daerah selama 6 tahun di Pakuan (ketika itu Raja Sunda dijabat ayahnya di Saunggalah). Dari 1303 sampai 1311, Citraganda menjadi Raja Sunda di Pakuan dan ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
IBU KOTA KEMBALI KE PAKUAN
Kejatuhan PRABU KERTABUMI (BRAWIJAYA V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah RADEN BARIBIN saudara seayah PRABU KERTABUMI. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan kemudian dijodohkan dengan RATNA AYU KIRANA (puteri bungsu Dewa Niskala dari salah seorang istrinya), adik RADEN BANYAK CAKRA (KAMANDAKA) yang telah jadi raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan. [Dalam Carita Parahiyangan disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat, kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit. Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan]
Dengan demikian, Dewa Niskala telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan.
Imajiner Nuswantoro

