MOKSA
Moksa (Sanskerta: mokṣa) juga disebut vimoksha, vimukti, dan mukti adalah sebuah konsep agama Hindu, Buddha, Jainisme, dan Sikhisme untuk segala bentuk emansipasi, pencerahan, kebebasan, dan pelepasan. Dalam pengertian soteriologi dan eskatologi, ini merujuk pada kebebasan dari samsara, putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan. Dalam pengertian epistemologi dan psikologi, moksa adalah kebebasan dari penolakan: realisasi diri, aktualisasi diri, dan pengetahuan diri.
Dalam tradisi Hindu, moksa merupakan sebuah konsep pusat dan tujuan utama hidup manusia yang sepenuhnya; tiga tujuan lainnya yaitu dharma (kehidupan yang berbudi luhur, pantas, dan bermoral), arta (kemakmuran materi, keamanan pendapatan, sarana hidup), dan kama (kesenangan, sensualitas, kepuasan emosional). Secara bersamaan, empat konsep ini disebut sebagai Caturpurusarta dalam agama Hindu.
Di beberapa mazhab agama India, moksa dianggap sama dan digunakan secara bergantian dengan istilah-istilah lain, seperti vimoksha, vimukti, kaivalya, apavarga, mukti, nihsreyasa, dan nirwana. Namun, istilah-istilah seperti moksa dan nirwana punya arti yang berbeda dan merujuk kepada keadaan yang berbeda dalam ajaran Hindu, Buddha, dan Jainisme. Istilah nirwana lebih umum dalam mazhab Buddha, sementara moksa lebih lazim dalam agama Hindu.
Istilah Sunda Buhun menyebutnya Ngahiyang sebagai kata setara dengan Moksa.
Moksa diturunkan dari akarnya, muc, yang berarti membebaskan, membiarkan, melepas, dan memerdekakan.
Moksa adalah salah satu sradha dalam Agama Hindu yang merupakan tujuan hidup tertinggi Agama Hindu (Panca Sradha dan Catur Purusa Artha). Diantara semua makhluk hidup di dunia ini, maka manusia adalah yang termulia, menurut ajaran agama Hindu. Manusia dapat berbuat baik maupun buruk. Orang sepatutnya bersyukur dan berbesar hati lahir sebagai manusia. Menjelma menjadi manusia sungguh-sungguh utama karena ia dapat menolong dirinya dari kesengsaraan dengan berbuat baik.
Menjelma menjadi manusia merupakan kesempatan untuk membebaskan diri dari kesengsaraan menuju kebahagiaan yang abadi yang di sebut moksa/kebebasan.
Moksa berasal dari kata “muc” diambil dari Bahasa Sansekerta yang artinya membebaskan/ mengeluarkan/ melepaskan.
Moksa diturunkan dari akarnya, muc, yang berarti membebaskan, membiarkan, melepas, dan memerdekakan.
Pengertian dan Makna.
Pengertian dan makna moksa bervariasi antara berbagai mazhab agama India. Moksa berarti kebebasan, pembebasan; dari apa dan bagaimana perbedaan mazhab tersebut. Moksa juga merupakan sebuah konsep yang berarti pembebasan dari reinkarnasi atau samsara. Pembebasan ini dapat dicapai ketika seseorang berada di bumi (jivanmukti), atau secara eskatologis (karmamukti, videhamukti). Beberapa tradisi India menekankan pembebasan pada tindakan konkret dan etis di dunia. Pembebasan ini adalah sebuah perubahan epistemologi yang mengizinkan seseorang untuk melihat kebenaran dan realitas di balik kabut penolakan.
Moksa didefinisikan tidak hanya sebagai ketidakhadiran penderitaan dan pelepasan dari ikatan samsara. Beberapa mazhab Hindu juga menjelaskan konsepnya sebagai kehadiran keadaan paripurna-brahmanubhava (pengalaman kesatuan dengan Brahman, Diri Yang Maha Esa), keadaan sastra, kedamaian, dan kebahagiaan. Sebagai contoh, Vivekachudamani – sebuah buku kuno moksa, menjelaskan salah satu banyak langkah meditasi menuju moksa sebagai:
जाति नीति कुल गोत्र दूरगं
नाम रूप गुण दोष वर्जितम्।
देश काल विषया तिवर्ति यद्
ब्रह्म तत्त्वमसि भाव यात्मनि॥ २५४ ॥
Melampaui kasta, keyakinan, keluarga, atau garis keturunan,
Yang tanpa nama dan bentuk, melampaui kelebihan dan kekurangan,
Yang melampaui ruang, waktu, dan obyek-obyek indra,
Anda adalah Dewa itu sendiri; Renungkan ini dalam diri Anda. ||Ayat 254||
— Vivekachudamani, Abad ke-8 [1]
Pengertian Eskatologis.
Moksa adalah konsep yang diasosiasikan dengan samsara (putaran reinkarnasi). Samsara berasal dari gerakan keagamaan pada milenium pertama sebelum masehi. Gerakan-gerakan seperti Buddha, Jainisme, dan mazhab baru dalam agama Hindu, memandang kehidupan manusia sebagai belenggu proses kelahiran kembali yang berulang. Keterikatan pada kelahiran kembali dan kehidupan yang berulang-ulang, setiap kehidupan mengalami cedera, penyakit, dan penuaan, dipandang sebagai siklus penderitaan. Dengan terbebas dari siklus ini, penderitaan yang terlibat dalam siklus ini juga berakhir. Pelepasan ini disebut dengan moksa, nirwana, kaivalya, mukti, dan istilah-istilah lainnya dalam tradisi religius India. Sebuah hasrat untuk lepas dari rasa sakit dan penderitaan ini tampaknya merupakan akar dari perjuangan mencapai moksa, dan umumnya diyakini bahwa moksa adalah dengan kata lain kenyataan, hanya dapat dicapai pada akhir kehidupan, bukan pada saat itu. Bagaimanapun, ada juga anggapan bahwa moksa dapat dicapai selama hidup dalam bentuk pencerahan yang disebut jivan-mukti, meskipun hal ini masih bergantung pada upaya pribadi dan spiritual yang dikaitkan dengan pencapaian moksa.
Gagasan eskatologis berkembang dalam Hinduisme. Dalam sastra paling awal Weda, surga dan neraka sudah mencukupi keingintahuan soteriologis. Seiring berjalannya waktu, para cendekiawan zaman dahulu mengamati bahwa setiap orang memiliki kualitas hidup berbudi luhur atau berdosa yang mereka jalani berbeda-beda, dan mulai mempertanyakan bagaimana perbedaan puṇya (pahala, perbuatan baik) atau pāp (keburukan, dosa) setiap orang sebagai manusia memengaruhi kehidupan mereka di akhirat. Pertanyaan ini mengarah kepada konsepsi sebuah kehidupan setelah kematian di mana orang tersebut tinggal di surga atau neraka, sebanding dengan kelebihan atau kekurangannya, lalu kembali ke bumi dan dilahirkan kembali, putaran ini terus berlanjut tanpa henti. Ide kelahiran kembali pada akhirnya berkembang menjadi gagasan samsara, atau transmigrasi – di mana keseimbangan karma seseorang menentukan kelahiran kembali seseorang. Seiring dengan gagasan samsara ini, para cendekiawan zaman dahulu mengembangkan konsep moksa, sebagai keadaan yang melepaskan seseorang dari putaran samsara. Menurut van Buitenen, pelepasan moksa dalam pengertian eskatologis di sastra-sastra kuno Hinduisme, datang dari pengetahuan diri dan kesadaraan akan keesaan Yang Mahatinggi.
Pengertian Epistemologis dan Psikologis.
Para cendekiawan menyediakan berbagai penjelasan makna dari moksa dalam pengertian epistemologis dan psikologis. Sebagai contoh, orang-orang Jerman melihat moksa sebagai kesadaran transendental, keadaan sempurna, realisasi diri, kebebasan dan "menyadari seluruh alam semesta sebagai Diri".
Moksa dalam agama Hindu, menurut Klaus Klostermaier, menyiratkan terbebasnya kemampuan-kemampuan yang selama ini terbelenggu, dihilangkannya hambatan-hambatan menuju kehidupan yang tidak terbatas, memungkinkan seseorang menjadi pribadi yang lebih sejati dalam arti seutuhnya; konsep ini mengasumsikan sebuah potensi kreativitas, kasih sayang, dan pemahaman manusia yang tak terpakai yang telah ditutup dan dimatikan. Moksa itu lebih dari pelepasan dari sebuah penderitaan putaran reinkarnasi (samsara); mazhab Weda memisahkannya menjadi dua bagian: jivanmukti (pembebasan semasa hidup) dan videhamukti (pembebasan setelah mati). Moksa dalam hidup ini menyertakan pembebasan psikologi dari adhyasa (ketakutan dalam hidup seseorang) dan avidya (penolakan atau apapun yang bukan pengetahuan sejati).
Sebagai Keadaan Sempurna.
Banyak mazhab Hinduisme yang menurut Daniel Ingalls, melihat moksa sebagai keadaan sempurna. Konsep ini dipandang sebagai tujuan alamiah yang melampaui dharma. Moksa, dalam sastra kuno dan epos agama Hindu, dipandang dapat dicapai dengan teknik yang sama yang diperlukan untuk mempraktikkan dharma. Disiplin diri merupakan jalan menuju dharma, moksa adalah disiplin diri yang begitu sempurna hingga menjadi sifat alamiah yang tidak disadari. Dharma dengan demikian adalah jalan menuju moksa.
Mazhab Samkhya dalam ajaran Hindu, sebagai contoh, menyarankan bahwa salah satu jalan menuju moksa adalah untuk memperbesar sattvam seseorang. Untuk memperbesar sattvam seseorang, seseorang harus mengembangkan dirinya di mana sattvam-nya menjadi sifat nalurinya. Banyak mazhab Hindu dengan demikian memahami dharma dan moksa sebagai dua titik dari satu perjalanan hidup seseorang, sebuah perjalanan yang viaticum-nya adalah disiplin dan pelatihan mandiri. Sering kali, gagasan-gagasan tentang moksa ini ditentang.
Tantangan Nagarjuna.
Dharma dan moksa, menurut Nagarjuna pada abad ke-2, tidak dapat menjadi tujuan dalam perjalanan yang sama. Ia menunjuk ke perbedaan antara dunia yang kita huni dengan kebebasan yang tersirat dalam konsep moksa. Mereka sangat berbeda sehingga dharma dan moksa tidak dapat dikaitkan secara intelektual. Dharma membutuhkan pemikiran duniawi, moksa merupakan pemahaman surgawi, sebuah kebahagiaan abadi. "Bagaimana alur-pikir duniawi mengarah ke pemahaman surgawi?", tanya Nagarjuna. Karl Potter menjelaskan bahwa jawaban untuk pertanyaan ini sebagai salah satu konteks dan kerangka kerja, kemunculan prinsip umum yang lebih luas dari pemahaman dari prosedur yang terbatas dalam satu kerangka kerja.
Tantangan Adi Shankara.
Adi Shankara di abad ke-8 Masehi, seperti Nagarjuna sebelumnya, meneliti perbedaan antara dunia yang kita huni dengan moksa, kebebasan dan pelepasan yang diharapkan. Tidak seperti Nagarjuna, Shankara mempertimbangkan karakteristik di antara keduanya. Dunia yang kita huni membutuhkan tindakan dan juga pemikiran; dunia kita, ucap ia, tidak mungkin terjadi tanpa adanya vyavahara (tindakan dan keragaman). Dunia saling berhubungan, satu objek bekerja satu sama lain, masukan diubah menjadi keluaran, perubahan itu berkelanjutan dan ada di manapun. Moksa, ucap Shankara, adalah sebuah akhir sempurna, keadaan bahagia di mana tidak mungkin terjadi perubahan, di mana tidak ada keadaan yang beragam. Ini pasti menjadi pemikiran dan kesadaran yang tidak menyertai tindakan. Ia mempertanyakan: "Bagaimana teknik yang berorientasi pada tindakan yang dapat membuat kita mencapai tiga tujuan pertama manusia (kama, arta, dan dharma) bermanfaat untuk mencapai tujuan terakhir, yang disebut moksa?"
Cendekiawan, menjawab tantangan Shankara terhadap konsep moksa yang sejajar dengan tantangan Plotinus terhadap kaum Gnostik, dengan satu perbedaan penting: Plotinos menuduh kaum Gnostik karena menukar sebuah seperangkat kebajikan antroposentris dengan seperangkat teosentris dalam mengejar keselamatan; Shankara menantang bahwa konsep moksa menyiratkan pertukaran seperangkat kebajikan antroposentris (dharma) dengan keadaan bahagia yang tidak memerlukan nilai-nilai. Shankara melanjutkan jawaban dengan mengatakan bahwa kebajikan antroposentris saja sudah cukup.
Tantangan Waisnawa.
Mazhab Waisnawa, salah satu mazhab bhakti yoga dalam agama Hindu, yang dikhususkan untuk beribadah kepada Dewa, menyebutkan namanya, mengurapi gambarnya atau berhala, memiliki banyak banyak sub-mazhab. Pengikut mazhab ini mengatakan bahwa dharma dan moksa tidak bisa menjadi dua tujuan atau keadaan hidup yang berbeda atau berurutan. Alih-alih demikian, mereka mengatakan bahwa Dewa harus selalu diingat untuk secara bersamaan dalam upaya mencapai dharma dan moksa, begitu terus-menerus sehingga seseorang merasa tidak dapat hidup tanpa kehadiran kasih Dewa. Mazhab ini menekankan kasih dan pengaguman terhadap Dewa sebagai jalan menuju moksa (penyelamatan dan pelepasan), daripada pekerjaan dan pengetahuan. Fokus mereka menjadi kebajikan-kebajikan ilahi, dibandingkan dengan kebajikan-kebajikan antroposentris. Melalui karya Thibaut, Max Müller, dan lain-lain, Daniel Ingalls menganggap pengertian umat Waisnawa tentang moksa mirip dengan pengertian umat Kristen tentang keselamatan, dan mazhab Waisnawa sebagai mazhab yang melihat dharma, karma, dan moksa mendominasi kesan awal dan sastra era kolonial agama Hindu.
Menurut kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa.
Sedangkan hal-hal yang termasuk ikatan adalah :
- Pengaruh panca indria
- Pikiran yang sempit
- Ke-akuan
- Ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman
- Cinta kasih selain kepada Hyang Widhi
- Rasa benci
- Keinginan
- Kegembiraan
- Kesedihan
- Kekhawatiran/ketakutan, dan
- Khayalan
Moksa adalah tujuan akhir umat Hindu. Moksa merupakan akhir dari punarbhawa, akhir dari lahir dan mati, bersatunya atma dengan paramatma, kebebasan yang kekal abadi. Bersatunya Atma dengan Brahman berarti Atma telah mencapai keadaan “Sat Cit Ananda”, yaitu kebahagiaan yang kekal abadi/ “sukha tan pawali dukha”. Istilah moksa disamakan artinya dengan kelepasan, nirwana, mukti dan kaparamartha. Mencapai moksa bukan hanya setelah manusia itu mati (disebut : Videha Mukta), tetapi dalam dunia ini pun moksa dapat dicapai setelah bebas dari ikatan duniawi dan pasang surut, suka dukanya gelombang hidup di dunia yang disebut “jiwanmukti” (moksa semasih hidup).
Jika selama masih hidup seseorang itu mencapai moksa maka ia telah mencapai tingkat moral yang tertinggi, kehidupannya sempurna (krtakrtya), penuh dengan kesenangan (atmarati) karena terbebas dari 11 jenis ikatan yang disebutkan diatas, memandang dirinya ada pada semua mahluk (eka-atma-darsana), memandang dirinya ada pada alam semesta (sarva-atma-bhava-darsana). Kesenangan juga tercapai karena pengetahuan dan kesadaran bahwa brahman-lah atman yang ada didirinya (brahmanbhavana).
Jika moksa dicapai setelah meninggal dunia maka terjadilah proses menyatunya atman dengan brahman sehingga atman tidak lahir kembali sebagai mahluk apapun atau bebas dari samsara, disebut juga sebagai kedamaian abadi (sasvatisanti).
Macam-Macam Moksa.
Berdasarkan atas keadaan Atma dalam hubungannya dengan Paramatma, maka moksa dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
1. Samipya/Jiwan Mukti. Merupakan suatu kebebasan yang dicapai semasa hidup ini terutama oleh para Maha Rsi pada waktu melakukan semadhi, segala unsur-unsur maya/pikiran, emosi dan badan dapat dikendalikan, sehingga beliau dapat menerima wahyu-wahyu Tuhan.
2. Sarupya / Sadarmya.
Merupakan kebebasan yang dicapai semasa hidup, dimana kedudukan Atma dapat mengatasi unsur-unsur maya, karena dalam hal ini Atma merupakan refleksi daripada kemahakuasaan Tuhan.
3. Salokya/Karma Mukti.
Merupakan kebebasan yang dapat dicapai oleh Atma dimana Atma itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan, akan tetapi belum bersatu. Dalam hal ini Atma telah mencapai tingkat dewa yang merupakan manifestasi sinar suci Tuhan. Salokya sama dengan Karma Mukti.
4. Sayujya/Purna Mukti.
Merupakan suatu tingkat kebebasan yang tertinggi dimana Atma telah bersatu dengan Tuhan, sehingga mencapai “Brahman Atman Aikyam”. Sayujya sama dengan Purna Mukti.
Tingkatan Moksa.
Berdasarkan atas kemampuan manusia untuk melepaskan diri dari ikatan keduniawian untuk mencapai Moksa, maka berdasarkan tingkatannya Moksa dibedakan menjadi 3 diantaranya :
1. Moksa.
Merupakan kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang tetapi masih meninggalkan bekas berupa mayat/badan kasar.
2. Adi Moksa.
Merupakan kebebasan yang dicapai oleh seseorang dengan meninggalkan bekas-bekas berupa abu.
3. Parama Moksa.
Merupakan kebebasan yang dicapai oleh seseorang tanpa meninggalkan bekas.
Jalan Mencapai Moksa.
Untuk mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan tertentu sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma-norma ajaran agama Hindu. Dalam mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Dharma.
Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Parusa Arta dijelaskan bahwa tujuan dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.
Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai karateristik lain dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk Dwapara latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan yang suci.
2. Pendekatan kepada Yang Widhi Wasa.
Untuk mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rochani , terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat-sifat Tuhan sudah melekat dalam diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.
3. Kesucian.
Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Yang Widhi Wasa dalam keberagaman dinyatakan dalam doa Upanisad yang termasyur :
- Asatoma Satgamaya,
- Tamasoma Jyothir Gamaya,
- Mrityorma Amritan Gamaya
Artinya :
- Tuntunanlah kami dari yang palsu ke yang sejati,
- Tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang,
- Tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan.
Setiap kita melakukan kegiatan, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Yang Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Yang Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Yang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.
Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Ciri-ciri orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah :
- Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
- Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.
- Tidak terikat dengan keduniawian.
- Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak.
- Pada dasarnya semua umat Hindu mempunyai keinginan untuk bahagia baik didunia maupun diakhirat (“Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”).
Ada empat jalan untuk menuju moksa yang disebut dengan Catur Marga Yoga; diantaranya :
1. Bhakti Marga Yoga
Jalan atau cara untuk mencapai moksa atau kebebasan, yaitu bersatunya Atman dengan Tuhan dengan melakukan sujud bakti kehadapan Yang Widhi Wasa. Bakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamerih sedikitpun dan tanpa keinginan duniawi apapun juga. Bagi umat Hindu untuk melakukan Bakti Marga Yoga dengan menyanyikan nama-nama Tuhan secara berulang-ulang, bergaul dengan orang-orang Suci yang mempunyai bakti, konsentrasi pikiran setiap saat kepada Tuhan, dan jalan Bakti ini adalah yang paling mudah dilakukan. Seperti setiap hari kita melakukan Trisandya dengan mengucapkan Gayatri Mantra tiga kali sehari.
Untuk menanamkan rasa Bakti kehadapan Yang Widhi Wasa , sebaiknya anak mulai kecil dididik mengucapkan Mantra Gayatri dengan memberi penjelasan makna dan arti masing bait, sehingga meresap dalam pikiran mereka dan dapat menuntun ajaran-ajaran kebenaran (Dharma). Kalau belum hafal sebaiknya dibaca saja dan usahakan dengan suara yang lembut sehingga benar-benar meresap dalam hati sanubari kita dan bayangkan Brahman ada dalam pikiran dan renungkan secara terus menerus selama melagukan Gayatri Mantra Dengan selalu melantunkan Gayatri Mantra terus menerus, maka kita seolah olah menyatu dengan Tuhan atau bersatunya Atman dengan Tuhan., sehingga kita mendapat ketenangan, kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan.Dalam melakukan Bakti Marga Yoga terutama upacara piodalan di pura-pura diseluruh Indonesia, masyarakat Hindu sudah mempunyai cara upacara bakti (persembahyangan) secara baku, dimanapun kita melakukan persembahyangan sudah tersusun sama, dan Mantra Gayatri selalu dilantunkan sebelum persembahyangan dimulai.
Pada saat Pendeta melakukan upacara piodalan juga dinyanyikan lagu-lagu warga sari sebagai pemujaan kehadapan Yang Widhi Wasa yang mempunya makna adalah agar sebelum persembahyangan dimulai kita sudah mulai rasakan menyatunya Atman dengan Brahman.
2. Karma Marga Yoga.
Cara atau jalan untuk mencapai moksa (bersatunya Atman dengan Brahman), dengan selalu berbuat baik, tetapi tidak mengharapkan balasan atau hasilnya untuk kepentingan diri sendiri (amerih sukaning awah) disebut Karma Marga Yoga. Dalam Karma Marga Yoga, kita sebagai umat Hindu setiap tindak tanduk kita melakukan karya harus demi kepentingan masyarakat banyak dan jangan ada suatu keinginan untuk menikmati hasilnya, sebab kalau kita selalu berpikir hasilnya akan timbul keterikatan-keterikatan, kalau keterikatan-keterikatan telah tumbuh dalam jiwa kita, maka ketenangan akan menjauh dari kenyataan, sehingga jiwa kita akan diracuni oleh Sad Ripu yaitu enam musuh utama manusia yang terdiri dari Kama, Lobha, Mada, Moha, Kroda, Matsarya (napsu, loba, kemarahan, kemabukan, kebingungan, iri hati).
Didalam Bhagawad Gita disebutkan bahwa berulang kali Krisna berkata kepada Arjuna, lakukan tugasmu, lakukanlah pekerjaan yang benar tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaan itu. Tujuan Krisna memberikan wejangan kepada Arjuna agar jangan melihat hasil nya adalah, kita sebagai pelaku benar-benar dalam bekerja semua perbuatan kita yaitu karma diubah menjadi Yoga sehingga kegiatan tersebut membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan maka ini disebut dengan Karma Marga Yoga. Apabila seseorang sudah dapat melakukan pekerjaan tanpa melihat hasilnya maka ia akan menjadi orang yang benar-benar bijaksana (Stithaprajna), yang tidak terpengaruh dengan keadaan suka dan duka atau gembira dan sedih.
Perbuatan adalah karma, setiap orang lahir dari karma, hidup dalam karma dan mati dalam karma, karma sumber dari baik dan buruk dosa atau kebajikan, laba atau rugi, kebahagiaan atau kesedihan, sebenarnya karmalah penyebab kelahiran, maka karma dalam kehidupan merupakan masalah yang sangat penting. Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut.
Diumpamakan badan kita adalah sebuah jam dinding, dan nafas kita adalah pegasnya yang menyebabkan jarum jam dapat berputar, dan baterynya adalah tenaga manusia. Tanpa nafas dan tenaga, manusia tidak dapat berbuat apa apa yaitu berkarma, maka perbuatan (karma) sangat tergantung dengan nafas (pegas) dan tenaga (batery). Dengan kekuatan batery (tenaga) maka jarum jam yang terdiri dari tiga jarum yaitu jarum yang paling panjang disebut jarum detik, jarum yang menengah disebut dengan jarum menit dan jarum yang paling pendek disebut jarum jam. Ketiga jarum akan berputar dengan kecepatan yang berbeda beda dan saling ketergantungan satu sama lainnya, tetapi masing-masing jarum akan berputar sesuai dengan fungsinya.
Apabila jarum detik telah berputar 60 kali maka jarum menit akan mengikuti berputar hanya sekali, demikian saat jarum menit telah berputar 60 kali maka jarum jam akan berputar sekali demikian seterusnya dengan menggunakan kelipatan 60. Setiap gerakan jarum detik kita umpakan adalah karma (perbuatan), untuk gerakan jarum menit kita umpamakan adalah perasaan dan untuk gerakan jarum jam kita umpamakan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai suatu kebahagiaan yang terus menerus kita harus selalu berbuat (berkarma) baik, setiap tindakan kita selalu tanamkan kebaikan yang menyebabkan perasaan kita mendapat rangsangan kebaikan tersebut sehingga kita merasa senang.
Apabila perasaan kita telah mencapai kesenangan terus menerus akibat kita selalu berbuat (karma) baik terhadap seseorang, maka menyebabkan kita akan mencapai kebahagiaan, sebab karma (perbuatan), perasaan, dan kebahagian saling keterkaitan seperti ketiga jarum jam berputar saling ketergantungan satu sama lainnya.
Makin banyak kita ber karma baik maka perasaan dan kebahagian akan selalu mengikuti seperti perputaran jarum jam, apabila jarum detik tidak bergerak jangan harap jarum menit bergerak apalagi jarum jam Kebahagian akan dicapai dalam kehidupan ini apabila kita selalu berkarma baik.
3. Jnana Marga Yoga.
Pada saat sekarang peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat menentukan dalam pembangunan nasional disamping ilmu pengetahuan lainnya. Setiap negara akan berusaha sekuat tenaga dengan menggunakan resource yang ada untuk berkompetisi dalam bidang IPTEK, siapa yang menguasai IPTEK maka merekalah yang menguasai dunia ini. Kata Jnana artinya adalah kebijaksanaan filsafat atau pengetahuan, Yoga berasal dari urat kata YUJ yang artinya menghubungkan diri.
Jadi Janana Marga Yoga artinyga jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan Paramatman (Tuhan) berdasarkan atas pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) terutama mengenai kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi (maya). Dalam kehidupan ini kita memilih profesi pekerjaan kita sesuai dengan bakat yang diberikan oleh Sangyang Widhi Wasa dan latar belakang pendidikan kita atau pekerjaan yang sangat menarik yang kita geluti saat ini, sebab bakat yang diberikan oleh Tuhan adalah anugrah yang sangat tinggi nilainya yang merupakan hasil Karma kita dahulu sebelum kita Reinkarnasi sebagai manusia. Apabila kita ingin mengabdi kan diri dibidang ilmu pengetahuan, perlu diperhatikan adalah ilmu pengetahuan yang dapat membantu umat manusia dalam mengatasi kehidupan ini.
Sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut :
- Pada zaman sekarang banyak manusia mengalami kesulitan dalam mengatasi penyakit, banyak penyakit yang belum diketemukan obatnya seperti AID, lever hati, tumor, kanker dan lain lainnya. Perkembangan ilmu kedokteran tidak dapat mengejar penyakit-penyakit yang timbul dalam masyarakat, peralatan rumah sakit masih menggunakan peralatan tradisional sehingga angka kematian di negara kita sampai sekarang masih cukup tinggi.
- Para dokter yang bergerak dibidang kesehatan harus terus menerus melakukan penelitian atau Research And Development (R&D) sehingga semua kesulitan masyarakat dapat diatasi dengan baik dan murah dengan diketemukan obat-obat yang mujarab. Seseorang yang mempunyai profesi dalam bidang kedokteran ini disebut dengan Jnana Marga Yoga dimana ilmu yang diabdikan demi kepentingan umat manusia.
4. Raja Marga Yoga.
Jalan untuk mencapai moksa menurut agama Hindu dapat dilakukan melalui Tapa, Brata, Yoga, dan Semadi. Untuk mengendalikan diri dengan melakukan latihan-latihan untuk mengatasi Sadripu disebut dengan Tapa, Brata, sebab apabila Sadripu kita sudah dapat kendalikan maka jalan mencapai moksa lebih mudah. Disamping mengendalikan Sad Ripu, kita juga melakukan latihan-latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Tuhan yang disebut dengan Yoga dan Semadi, dengan melakukan konsentrasi yang setepat tepatnya dalam ketenangan dan suasana syandu sempurna sehingga kita dapat menyatu dengan Tuhan.
Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut :
- Didalam suatu pesraman di Hutan rimba ada seorang resi yang bernama Resi Suka yang memberikan dharma wecana kepada murid-muridnya yaitu yoga, semadi diantara murid-murid nya ada seorang raja bernama raja Jenaka. Raja Jenaka disamping mempunyai kerajaan yang sangat besar dan kaya juga berkeinginan belajar spiritual (Yoga, semadi) kepada Resi Suka yang sangat terkenal ilmu spiritualnya. Banyak ujian-ujian yang diberikan kepada para siswanya agar dapat mencapai moksa dalam kehidupan ini dengan meninggalkan keduniawian dengan melepaskan semua keterikatan-keteriktan sehingga Atman menyatu dengan Brahman. Pada suatu hari Resi Suka agak terlambat memberikan dharma wecana sehubungan Raja Jenaka ada keperluan kerajaan yang sangat mendesak yang tidak boleh diwakili. Resi Suka dengan sengaja menunggu Raja Jenaka, ingin menguji kesabaran para muridnya apakah dapat mengekang sad ripu sebagai dasar pelajaran Yoga.
- Dari pengamatan Resi Suka banyak para muridnya gelisah dan gusar dan kadang-kadang timbul marah tidak sabar menunggu sampai ada yang protes bahwa pelajaran dimulai saja, mengapa kita dibeda-bedakan orang biasa dengan raja Setelah raja datang dharma wecana baru dimulai dan resi Suka memberikan wejangan, kita harus dapat mengendalikan sad ripu sehingga kita dapat ketenangan bathin. Setelah dharma wecana selesai maka pelajaran dilanjutkan dengan yoga, semadi, dan pelajaran ini harus dilakukan dengan konsentrasi pikiran secara penuh.
- Dengan suasana hening sepi hanya suara jengkrik yang kedengaran, para muridnya sedang asyik melakukan yoga semadi, tiba-tiba Resi dengan berteriak bahwa sedang ada kebakaran di kota kerajaan, murid-muridnya pada bubar berlari lari pergi ke kota kerajaan ingin menyelamatkan harta dan rumahnya yang kebakaran. Tetapi raja Jenata tidak bergeming sedikitpun, dia telah masuk dalam keadaan Semadi, beliau berbahagia dalam Atman.
- Resi mengamati wajah raja dengan perasaan sangat gembira. Setelah beberapa murid-murid yang lari kembali bahwa dikota tidak ada kebakaran dan resipun memberikan penjelasan arti dari peristiwa tersebut. Penundaan mulainya dharma wecana adalah untuk menghormati raja, karena beliau telah menghapuskan keakuannnya kebanggaannya dan mempunyai kerendahan hati dan melatih mengendalikan sadripu dan berhasil dengan baik dan ini perlu dicontoh oleh semua muridnya. Dan peristiwa kebakaran di kota kerajaan sebenarnya tidak pernah terjadi, peristiwa kebakaran adalah rekayasa Resi dan ini merupakan ujian dari Resi Suka.Kalau mau berhasil sebagai seorang spiritual (Yogi) harus berani melepaskan semua keduniawian yaitu keterikatan-keterikatan, tanpa ada kemauan untuk menghilangkan keterikatan-keterikatan ini tidak mungkin tercapai tujuannya yaitu sebagai seorang Yogi.
Semua latihan ini membutuhkan ketekunan, tulus iklas, kesujudan iman dan tanpa pamerih. Pada akhir-akhir ini banyak generasi muda sudah melakukan latihan Yoga dan Semadi, dan buku penuntun untuk yang baru memulai belajar Yoga dan Semadi sudah cukup banyak beredar di toko buku, dan suasana ini sangat membantu bagi umat hindu untuk belajar masalah spiritual melalui Raja Marga Yoga.
Diantara keempat Marga Yoga tersebut diatas semuanya adalah sama tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya, umat Hindu dapat memilih dari keempat Marga Yoga tersebut tergantung dari bakat masing-masing dan jalan yang satu akan berhubungan dengan yang lain semuanya akan mencapai tujuan yang sama yaitu Moksa.
Hambatan (Hambatan Mencapai Moksa)
Mencapai moksa sungguh tidaklah mudah, banyak terdapat hambatan dan rintangan diantaranya :
- Masih melekatnya karma wesana dalam jiwatman.
- Karena terbelenggu oleh Awidya / kebodohan
- Karena ikatan subha dan asubha karma
- Karena guna, rajas dan tamas selalu lebih dominan
- Citta, Budhi, Manah dan Ahamkara tidak seimbang
- Belum dapat melaksanakan ajaran-ajaran Catur Asrama dengan baik dan benar.
Selain itu menjalankan Spiritual dalam kehidupan sehari hari sering mengalami kendala, banyak pertanyaan yang timbul terutama generasi muda, apakah kita melakukan kegiatan spiritual harus mengurangi kegiatan untuk mencari harta yaitu bekerja (karma). Ada juga yang berpendapat bahwa melakukan kegiatan spiritual sebaiknya dilakukan setelah MPP (masa persiapan pensiun) disamping banyak waktu juga tanggung jawab atau kewajiban sudah berkurang. Pada saat bekerja aktif dimana ada suatu jabatan tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan spiritual karena disibukkan dengan pekerjaan yang kadang menyimpang dari Dharma akibat tugas yang membutuhkan untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan atasan (manajemen. Pada hal pada saat menjabatlah memanfaatkan kesempatan untuk menegakkan Dharma yaitu kebenaran, setiap keputusan yang diambil harus menguntungkan masyarakat banyak. Kadang banyak orang yang tidak sabar dalam mengumpulkan harta dalam bidang pekerjaannya dengan mengambil jalan pintas yaitu KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), pada hal dalam mengumpulkan harta tidak harus ber KKN banyak jalan atau cara yang ditempuh asal mau sabar dan tetap berlandaskan Dharma.
Kesimpulan :
Ringkasan tentang Moksa, Catur Purusa Artha, dan Panca Sradha dalam agama Hindu adalah : Moksa adalah tujuan tertinggi dalam agama Hindu, yaitu kebebasan dari ikatan duniawi dan bersatunya atman (jiwa) dengan Brahman (Tuhan). Catur Purusa Artha adalah empat tujuan hidup manusia (Dharma, Artha, Kama, dan Moksa) yang menjadi pedoman. Panca Sradha adalah lima keyakinan dasar dalam agama Hindu, termasuk keyakinan pada Moksa.
Penjelasannya :
1. Moksa.
Moksa berarti pembebasan atau pelepasan dari siklus kelahiran dan kematian (samsara). Ini adalah tujuan akhir dari perjalanan spiritual dalam agama Hindu, di mana atman (jiwa individu) mencapai kesatuan dengan Brahman (Tuhan).
2. Catur Purusa Artha.
Catur Purusa Artha adalah empat tujuan hidup yang menjadi pedoman bagi umat Hindu dalam menjalani kehidupan. Keempat tujuan tersebut adalah:
3. Dharma.
Kebaikan, moralitas, dan kewajiban.
4. Artha.
Kekayaan, kesejahteraan materi.
5. Kama.
Keinginan, kesenangan, dan kepuasan indrawi.
6. Moksa.
Pembebasan, tujuan tertinggi.
7. Panca Sradha.
Panca Sradha adalah lima keyakinan dasar dalam agama Hindu:
8. Percaya pada Brahman.
Tuhan Yang Maha Esa.
9. Percaya pada Atman.
Jiwa individu.
10. Percaya pada Karmaphala.
Hukum sebab akibat.
11. Percaya pada Punarbhava.
Kelahiran kembali.
12. Percaya pada Moksa.
Pembebasan.
Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Catur Purusa Artha dan Panca Sradha, umat Hindu diharapkan dapat mencapai tujuan hidup yang hakiki, yaitu Moksa.
Imajiner Nuswantoro