Asal-usul Selat Bali
(Berbagai Versi)
Suatu hari di Bali, hiduplah seorang brahmana yang kuat bernama Sidi Mantra. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahkan brahmana harta dan seorang istri yang cantik. Setelah beberapa tahun menikah, brahmana dan istrinya memiliki anak lelaki bernama Manik Angkeran.
Manik Angkeran tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan pandai. Namun, pemuda itu suka berjudi. Dia sering kalah saat berjudi, dan dipaksa untuk menempatkan barang-barang orang tuanya sebagai taruhan.
Pria muda itu juga tidak malu mengambil pinjaman. Karena tidak mampu membayar utang dari kebiasaan berjudi, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa memohon bantuan para dewa.
Tiba-tiba, dia mendengar suara, "Sidi Mantra, ada harta yang dijaga oleh naga bernama Naga Besukih di kawah Gunung Agung. Pergi ke sana dan minta naga tersebut untuk memberikan sebagian dari harta karunnya."
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dan mengatasi semua hambatan selama perjalanannya. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Saat dia membunyikan bel, dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama setelah itu, naga itu keluar. Setelah mendengar kunjungan Sidi Mantra ke kawah, Naga Besukih menggeliat, dan dari sisik-sisiknya keluar emas dan berlian. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri.
Setelah kembali ke rumah, Sidi Mantra memberikan harta yang dia dapatkan dari naga tersebut ke Manik Angkeran, berharap dia tidak akan berjudi lagi. Namun, Manik Angkeran tiba-tiba menghabiskan semua harta yang diberikan Sidi Mantra kepadanya. Tidak lama setelah itu, Manik Angkeran kembali meminta bantuan ayahnya. Namun, Sidi Mantra kecewa dan menolak permintaan putranya.
Manik Angkeran tidak tinggal diam. Dia menemukan dari mana ayahnya mendapatkan harta itu. Tidak lama kemudian, Manik Angkeran tahu bahwa harta itu diperoleh dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu bahwa untuk sampai ke sana, dia harus membaca mantra. Namun, dia tidak pernah belajar tentang doa dan mantra. Karena itu, ia hanya membawa bel yang dicuri dari ayahnya ketika Sidi Mantra sedang tidur.
Setelah tiba di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan bel. Dia menjadi sangat ketakutan ketika dia melihat Naga Besukih. Setelah mendengar niat Manik Angkeran mengunjungi naga, Naga Besukih berkata, "Aku akan memberimu harta yang kamu minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah perilakumu. Jangan bertaruh lagi. Ingat hukum karma."
Manik Angkeran kagum melihat emas, berlian, dan permata di depannya. Niat jahat kemudian mengalahkan hatinya. Ingin mendapatkan lebih banyak harta, Manik Angkeran menebas ekor Naga Besukih ketika naga itu membalikkan tubuhnya untuk kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dari tempat itu dengan ketakutan. Namun, Manik Angkeran tidak tahu bahwa naga itu adalah makhluk yang sangat kuat. Ketika sang naga menjilat kaki Manik Angkeran di tanah, Manik Angkeran terbakar menjadi abu.
Melihat kematian putranya, Sidi Mantra menjadi sangat sedih. Dia segera mencari Naga Besukih dan memohon putranya untuk hidup kembali. Naga Besukih mengabulkan permintaan Sidi Mantra, dengan syarat Sidi Mantra mengembalikan ekor naga kembali normal. Kemudian, dengan menggunakan kekuatannya, Sidi Mantra menyembuhkan ekor naga dengan normal.
Setelah Manik Angkeran dihidupkan kembali oleh naga, Manik meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi tindakannya lagi. Sidi Mantra tahu bahwa putranya telah bertobat, tetapi dia memutuskan bahwa dia tidak bisa hidup bersama dengan Manik Angkeran lagi.
"Kamu harus memulai hidup baru," kata Sidi Mantra.
Dalam sekejap mata dia menghilang. Di tempat dia berdiri muncul sumber air yang tumbuh semakin besar seperti laut. Dengan kekuatan gaib, Sidi Mantra membuat garis yang memisahkannya dengan putranya. Kisah ini adalah dasar untuk asal-usul Selat Bali, yang memisahkan pulau Bali dari Jawa.
Versi Manik Angkeran dan Naga Besukih.
Pada jaman dahulu kala, ada seorang pemuda bernama Manik Angkeran. Ayahnya seorang Begawan yang berbudi pekerti luhur, yang bernama Begawan Sidi Mantra. Walaupun ayahnya seorang yang disegani oleh masyarakat sekitar dan memiliki pengetahuan agama yang luas, tetapi Manik Angkeran adalah seorang anak yang manja, yang kerjanya hanya berjudi dan mengadu ayam seperti berandalan-berandalan yang ada di desanya. Mungkin ini karena ia telah ditinggal oleh Ibunya yang meninggal sewaktu melahirkannya. Karena kebiasaannya itu, kekayaan ayahnya makin lama makin habis dan akhirnya mereka jatuh miskin.
Walaupun keadaan mereka sudah miskin, kebiasaan Manik Angkeran tidak juga berkurang, bahkan karena dalam berjudi ia selalu kalah, hutangnya makin lama makin banyak dan ia pun di kejar-kejar oleh orang-orang yang dihutanginya. Akhirnya datanglah Manik ketempat ayahnya, dan dengan nada sedih ia meminta ayahnya untuk membayar hutang-hutangnya. Karena Manik Angkeran adalah anak satu-satunya, Begawan Sidi Mantra pun merasa kasihan dan berjanji akan membayar hutang-hutang anaknya.
Maka dengan kekuatan batinnya, Begawan Sidi Mantra mendapat petunjuk bahwa ada sebuah Gunung yang bernama Gunung Agung yang terletak di sebelah timur. Di Gunung Agung konon terdapat harta yang melimpah. Berbekal petunjuk tersebut, pergilah Begawan Sidi Mantra ke Gunung Agung dengan membawa genta pemujaannya.
Setelah sekian lama perjalanannya, sampailah ia ke Gunung Agung. Segeralah ia mengucapkan mantra sambil membunyikan gentanya. Dan keluarlah seekor naga besar bernama Naga Besukih.
“Hai Begawan Sidi Mantra, ada apa engkau memanggilku?” tanya sang Naga Besukih.
“Sang Besukih, kekayaanku telah dihabiskan anakku untuk berjudi. Sekarang karena hutangnya menumpuk, dia dikejar-kejar oleh orang-orang. Aku mohon, bantulah aku agar aku bisa membayar hutang anakku!”
“Baiklah, aku akan memenuhi permintaanmu Begawan Sidi Mantra, tapi kau harus menasehati anakmu agar tidak berjudi lagi, karena kau tahu berjudi itu dilarang agama!”
“Aku berjanji akan menasehati anakku” jawab Begawan Sidi Mantra.
Kemudian Sang Naga Besukih menggetarkan badannya dan sisik-sisiknya yang berjatuhan segera berubah menjadi emas dan intan.
“Ambillah Begawan Sidi Mantra. Bayarlah hutang-hutang anakmu. Dan jangan lupa nasehati dia agar tidak berjudi lagi.”
Sambil memungut emas dan intan serta tak lupa mengucapkan terima kasih, maka Begawan Sidi Mantra segera pergi dari Gunung Agung. Lalu pulanglah ia ke rumahnya di Jawa Timur. Sesampainya di rumah, di bayarlah semua hutang anaknya dan tak lupa ia menasehati anaknya agar tidak berjudi lagi.
Tetapi rupanya nasehat ayahnya tidak dihiraukan oleh Manik Angkeran. Dia tetap berjudi dan mengadu ayam setiap hari. Lama-kelamaan, hutang Manik Angkeran pun semakin banyak dan ia pun di kejar-kejar lagi oleh orang-orang yang dihutanginya. Dan seperti sebelumnya, pergilah Manik Angkeran menghadap ayahnya dan memohon agar hutang-hutangnya dilunasi lagi.
Walaupun dengan sedikit kesal, sebagai seorang ayah, Begawan Sidi Mantra pun berjanji akan melunasi hutang-hutang tersebut. Dan segera ia pun pergi ke Gunung Agung untuk memohon kepada Sang Naga Besukih agar diberikan pertolongan lagi.
Sesampainya ia di Gunung Agung, dibunyikannya genta dan membaca mantra-mantra agar Sang Naga Besukih keluar dari istananya.
Tidak beberapa lama, keluarlah akhirnya Sang Naga Besukih dari istananya.
“Ada apa lagi Begawan Sidi Mantra? Mengapa engkau memanggilku lagi?” tanya Sang Naga Besukih.
“Maaf Sang Besukih, sekali lagi aku memohon bantuanmu agar aku bisa membayar hutang-hutang anakku. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi dan aku sudah menasehatinya agar tidak berjudi, tapi ia tidak menghiraukanku.” mohon Begawan Sidi Mantra.
“Anakmu rupanya sudah tidak menghormati orang tuanya lagi. Tapi aku akan membantumu untuk yang terakhir kali. Ingat, terakhir kali.”
Maka Sang Naga menggerakkan tubuhnya dan Begawan Sidi Mantra mengumpulkan emas dan permata yang berasal dari sisik-sisik tubuhnya yang berjatuhan. Lalu Begawan Sidi Mantra pun memohon diri. Dan setiba dirumahnya, Begawan Sidi Mantra segera melunasi hutang-hutang anaknya.
Karena dengan mudahnya Begawan Sidi Mantra mendaptkan harta, Manik Angkeran pun merasa heran melihatnya. Maka bertanyalah Manik Angkeran kepada ayahnya, “Ayah, darimana ayah mendapatkan semua kekayaan itu?”
“Sudahlah Manik Angkeran, jangan kau tanyakan dari mana ayah mendapat harta itu. Berhentilah berjudi dan menyabung ayam, karena itu semua dilarang oleh agama. Dan inipun untuk terakhir kalinya ayah membantumu. Lain kali apabila engkau berhutang lagi, ayah tidak akan membantumu lagi.”
Tetapi ternyata Manik Angkeran tidak dapat meninggalkan kebiasaan buruknya itu, ia tetap berjudi dan berjudi terus. Sehingga dalam waktu singkat hutangnya sudah menumpuk banyak. Dan walaupun ia sudah meminta bantuan ayahnya, ayahnya tetap tidak mau membantunya lagi. Sehingga ia pun bertekad untuk mencari tahu sumber kekayaan ayahnya.
Bertanyalah ia kesana kemari, dan beberapa temannya memberitahu bahwa ayahnya mendapat kekayaan di Gunung Agung. Karena keserakahannya, Manik Angkeran pun mencuri genta ayahnya dan pergi ke Gunung Agung.
Sesampai di Gunung Agung, segeralah ia membunyikan genta tersebut. Mendengar bunyi genta, Sang Naga Besukih pun merasa terpanggil olehnya, tetapi Sang Naga heran, karena tidak mendengar mantra-mantra yang biasanya di ucapkan oleh Begawan Sidi Mantra apabila membunyikan genta tersebut.
Maka keluarlah Sang Naga untuk melihat siapa yang datang memangilnya.
Setelah keluar, bertemulah Sang Naga dengan Manik Angkeran. Melihat Manik Angkeran, Sang Naga Besukih pun tidak dapat menahan marahnya.
“Hai Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari ayahmu itu?”
Dengan sikap memelas, Manik Angkeran pun berkata “Sang Naga bantulah aku. Berilah aku harta yang melimpah agar aku bisa membayar hutang-hutangku. Kalau kali ini aku tak bisa membayarnya, orang-orang akan membunuhku. Kasihanilah aku.”
Melihat kesedihan Manik Angkeran, Sang Naga pun merasa kasihan.
“Baiklah, aku akan membantumu.” jawab Sang Naga Besukih.
Setelah memberikan nasehat kepada Manik Angkeran, Sang Naga segera membalikkan badannya untuk mengambil harta yang akan diberikan ke Manik Angkeran. Pada saat Sang Naga membenamkan kepala dan tubuhnya kedalam bumi untuk mengambil harta, Manik Angkeran pun melihat ekor Sang Naga yang ada dipemukaan bumi dipenuhi oleh intan dan permata, maka timbullah niat jahatnya. Manik Angkeran segera menghunus keris dan memotong ekor Sang Naga Besukih. Sang Naga Besukih meronta dan segera membalikkan badannya. Akan tetapi, Manik Angkeran telah pergi. Sang Naga pun segera mengejar Manik Angkeran ke segala penjuru, tetapi ia tidak dapat menemukan Manik Angkeran, yang ditemui hanyalah bekas tapak kaki Manik Angkeran.
Maka dengan kesaktiannya, Sang Naga Besukih membakar bekas tapak kaki Manik Angkeran. Walaupun Manik Angkeran sudah jauh dari Sang Naga, tetapi dengan kesaktian Sang Naga Besukih, ia pun tetap merasakan pembakaran tapak kaki tersebut sehingga tubuh Manik Angkeran terasa panas sehingga ia rebah dan lama kelamaan menjadi abu.
Di Jawa Timur, Begawan Sidi Mantra sedang gelisah karena anaknya Manik Angkeran telah hilang dan genta pemujaannya juga hilang. Tetapi Begawan Sidi Mantra tahu kalau gentanya diambil oleh anaknya Manik Angkeran dan merasa bahwa anaknya pergi ke Gunung Agung menemui Sang Naga Besukih. Maka berangkatlah ia ke Gunung Agung.
Sesampainya di Gunung Agung, dilihatnya Sang Naga Besukih sedang berada di luar istananya. Dengan tergesa-gesa Begawan Sidi Mantra bertanya kepada Sang Naga Besukih “Wahai Sang Besukih, adakah anakku Manik Angkeran datang kemari?”
“Ya, ia telah datang kemari untuk meminta harta yang akan dipakainya untuk melunasi hutang-hutangnya. Tetapi ketika aku membalikkan badan hendak mengambil harta untuknya, dipotonglah ekorku olehnya. Dan aku telah membakarnya sampai musnah, karena sikap anakmu tidak tahu balas budi itu. Sekarang apa maksud kedatanganmu kemari, Begawan Sidi Mantra?”
“Maafkan aku, Sang Besukih! Anakku Cuma satu, karena itu aku mohon agar anakku dihidupkan kembali.” mohon Sang Begawan.
“Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permintaanmu. Tapi dengan satu syarat, kembalikan ekorku seperti semula.” kata Sang Naga Besukih.
“Baiklah, aku pun akan memenuhi syaratmu!” jawab Begawan Sidi Mantra.
Maka dengan mengerahkan kekuatan mereka masing-masing, Manik Angkeran pun hidup kembali. Demikian pula dengan ekor Sang Naga Besukih bisa kembali utuh seperti semula.
Dinasehatinya Manik Angkeran oleh Sang Naga Besukih dan Begawan Sidi Mantra secara panjang lebar dan setelah itu pulanglah Begawan Sidi Mantra ke Jawa Timur. Tetapi Manik Angkeran tidak boleh ikut pulang, ia harus tetap tinggal di sekitar Gunung Agung. Karena Manik Angkeran sudah sadar dan berubah, ia pun tidak membangkang dan menuruti perintah ayahnya tersebut.
Dan dalam perjalanan pulangnya, ketika Begawan Sidi Mantra sampai di Tanah Benteng, di torehkannya tongkatnya ke tanah untuk membuat batas dengan anaknya. Seketika itu pula bekas torehan itu bertambah lebar dan air laut naik menggenanginya. Dan lama kelamaan menjadi sebuah selat. Selat itulah yang sekarang di beri nama “Selat Bali"
Kisah Manik Angkeran, Asal Mula Selat Bali.
Dahulu, di sebuah desa di wilayah Pulau Bali, tinggallah seorang pemuda tampan bernama Manik Angkeran. Ayahnya bernama Empu Sidhi Mandra. Manik Angkeran terpengaruh lingkungan yang tidak baik. Ia menjadi seorang yang hidup dari berjudi. Inilah yang membuat pusing orang tuanya.
“Anakku, sadarlah bahwa judi itu merusak segalanya,” kata orang tua Manik Angkeran.
Tetapi, Manik Angkeran tidak peduli dengan ucapan orang tuanya. Hampir setiap hari, Manik Angkeran berada di tempat penyabungan ayam. Setelah penyabungan tutup, ia lanjutkan dengan judi kartu.
“Kalau kau tidak mau menghentikan judimu, lebih baik kau pergi dari rumah ini!,” kata ayah Manik Angkeran dengan nada mengancam.
Tetapi, karena judi sudah mendarah daging dalam dirinya, kata-kata ancaman sekeras apapun tetap tidak didengar. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri dan begitu sebaliknya.
Karena merasa gagal mendidik dan tidak bisa menyadarkan, Empu Sidhi Mandra menitipkan Manik Angkeran kepada seorang Brahmana yang bernama Brahmana Dangeang Nirata atau dikenal dengan nama Pedanda Bau Rauh. Manik Angkeran menjadi anak asuh Brahmana tersebut.
Apakah Manik Angkeran sadar ?
Ternyata ia masih gila judi. Brahmana Dangeang Nirata mencari jalan keluar agar Manik Angkeran dapat meninggalkan judi.
“Mulai hari ini, kamu harus melakukan tapa. Bertobatlah kepada Sang Dewata agar kau dapat meninggalkan judi,” kata Brahmana Dangeang Nirata kepada Manik Angkeran.
Mendengar anjuran Brahmana Dangeang Nirata itu, Manik Angkeran mulai melakukan tapa. Ia bertapa di sebuah Pura Gua yang berada di sebelah kiri bagian depan Pura Besakih, sesuai dengan anjuran Brahmana Dangeang Nirata itu. Konon dalamnya lubang Pura Gua di Pura Besakih berhubungan langsung dengan lubang Pura Gua Lawa di Klungkung.
Pada hari pertama, Manik Angkeran masih dapat memusatkan perhatian secara penuh dalam tapanya. Tetapi, tiba pada hari ketiga Manik Angkeran mendapat firasat bahwa ia akan ditemui oleh seekor naga.
“Hem, aku akan minta ajian kepada Naga yang mendiami Pura Gua ini agar aku bisa menang terus dalam berjudi,” kata Manik Angkeran dalam hati. Ia bertambah khusuk dalam semadinya, maksudnya agar dapat cepat memperoleh apa yang diinginkan itu.
Tiba-tiba ular Naga yang dikenal dengan nama Naga Besukih muncul di depan Manik Angkeran. Manik Angkeran terkejut, keringat dingin keluar dari badannya. Manik Angkeran menggigil karena ketakutan.
“Jangan takut, aku datang untuk menemuimu. Permintaanmu untuk mendapat ajian akan kukabulkan,” kata Naga Besukih sambil menggeram. Manik Angkeran mengucapkan terima kasih dan segera pulang.
Berbekal ajian yang dimiliki Manik Angkeran turun di gelanggang perjudian. “Aku tantang mereka!,” ucap Manik Angkeran sambil memainkan kartu judi. Ternyata Manik Angkeran selalu menang. Manik Angkeran kurang puas dan berniat ingin menguasai tempat perjudian tersebut.
Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, Manik Angkeran kembali bertapa di Pura Gua Besakih. Manik Angkeran mulai bertapa di Pura Gua lagi. Tidak berapa lama Naga Besukih menemui Manik Angkeran.
“Permintaanmu kukabulkan,” kata Naga Besukih.
Betapa senangnya hati Manik Angkeran. Naga Besukih dengan perlahan-lahan masuk gua lagi. Manik Angkeran terperanjat melihat Naga Besukih berekor emas berlian. Karena serakah, Manik Angkeran berniat mengambil ekor Naga Besukih.
“Aku akan kaya raya bila mendapatkan ekor Naga Besukih. Manik Angkeran segera memotong ekor Naga Besukih, lalu dengan cepat melarikan diri meninggalkan Pura Gua.
Merasa ekornya dipotong oleh Manik Angkeran, Naga Besukih berusaha mengejarnya. Karena badannya besar, larinya lambat. Maka Naga Besukih mematuk pijakan kaki Manik Angkeran. Seketika itu juga Manik Angkeran meninggal.
Karena sudah lama Manik Angkeran tidak pulang ke rumah, Brahmana Dangeang Nirata mencari ke Pura Gua Besakih. Naga Besukih menjelaskan bahwa Manik Angkeran telah ia bunuh, karena telah memotong ekornya. Naga Besukih tidak tahu kalau Manik Angkeran adalah anak asuh Brahmana Dangeang Nirata. Maka, Naga Besukih minta maaf dan bersedia menghidupkan kembali Manik Angkeran. Begitu juga Dangeang Nirata minta maaf karena ulah Manik Angkeran dan bersedia mengembalikan ekor Naga Besukih. Setelah Manik Angkeran hidup kembali, ia menjadi sadar dan mau bertobat.
Moral : Sifat tamak atau serakah adalah sifat yang sangat buruk. Karenanya keserakahan dapat menyebabkan seseorang menjadi celaka dan mendapat balasan yang setimpal. (Sumber Referensi : Elexmedia)
Versi lain Asal Mula Selat Bali.
Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.
Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.
Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.
Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.
"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.
Naga Besukih dan Manik Angkeran: Legenda Selat Bali tentang Kebaikan, Keserakahan, dan Tanggung Jawab. (Versi : Naga Besukih Folklor dari Bali)
Pada zaman dahulu kala, di tanah kerajaan Daha, hiduplah seorang Brahmana agung bernama Empu Sidi Mantra. Ia dikenal sebagai orang yang bijak dan sakti, mampu berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib, dan sering bermeditasi di pegunungan.
Namun, kebahagiaannya terusik oleh satu hal anak semata wayangnya, Manik Angkeran.
"Anakku... Kau cerdas, punya masa depan cerah. Tapi mengapa berjudi seperti jalan yang kau pilih?"
suara lembut Sidi Mantra saat melihat Manik yang kembali pulang dengan wajah murung dan baju compang-camping.
Manik Angkeran memang pandai, tetapi dia mudah tergoda oleh gemerlap dunia. Ia terjerat dalam perjudian, dan semakin hari, utangnya menumpuk. Tanpa sepengetahuan ayahnya, ia bahkan pernah menggadaikan barang-barang milik keluarga.
Sidi Mantra yang resah akhirnya bertapa di Gunung Agung. Dalam keheningan malam dan aroma kemenyan yang melayang, ia memanggil sosok agung penjaga gunung: Naga Besukih.
"Wahai Naga Besukih, penjaga tanah dan api, aku memohon pertolongan. Anakku tersesat di jalan dunia..." bisik Sidi Mantra dengan suara bergetar.
Dari kawah Gunung Agung, muncullah Naga Besukih, tubuhnya berkilauan seperti sisik intan dan matanya membara bagaikan bara api. Ia mendengar permintaan Sidi Mantra dan, dengan syarat berat, memberikan emas dan permata.
"Bawa ini pada anakmu, tapi ingat... Harta ini hanya untuk mereka yang mampu mengendalikan nafsu." suara Naga bergema di antara kabut gunung.
Godaan dan Pengkhianatan.
Sayangnya, Manik Angkeran tak belajar dari kesalahannya. Tak lama setelah menerima harta, ia kembali ke meja perjudian. Hutangnya bahkan lebih besar dari sebelumnya.
Putus asa, ia mencuri genta pusaka milik ayahnya alat pemanggil makhluk gaib dan mendaki Gunung Agung seorang diri.
"Hanya sekali lagi... Aku janji ini yang terakhir." gumam Manik, matanya penuh rasa takut sekaligus harap.
Dengan membunyikan genta itu, ia berhasil memanggil Naga Besukih. Naga itu muncul kembali, meski kali ini sorot matanya lebih tajam.
"Kau bukan ayahmu... Tapi aku tetap memberimu satu kesempatan." kata Naga, lalu melepaskan beberapa permata dari ekornya.
Namun, ketika Naga berbalik hendak kembali ke sarangnya, Manik melihat betapa berkilau ekor naga itu dan keserakahan pun membutakan hatinya. Ia menebas ekor naga dan mencuri lebih banyak harta.
Hukuman Sang Naga
Jeritan marah menggema dari puncak gunung. Langit mendung. Awan gelap bergulung. Naga Besukih memburu Manik Angkeran yang berlari menuruni lereng dengan kantong penuh permata.
"Manusia tamak! Kau berani mengkhianati janji suci!" raung Naga sebelum semburan api menyelimuti tubuh Manik Angkeran, membakarnya hingga menjadi abu.
Penebusan dan Perpisahan
Beberapa hari kemudian, Sidi Mantra menemukan gentanya di mulut gua Naga Besukih. Ia langsung berlutut dan menangis.
"Ampunilah anakku... Aku mohon, kembalikan dia. Aku yang akan menebus kesalahannya." kata Sidi Mantra dengan tulus, meneteskan air mata ke tanah yang menghitam.
Naga Besukih muncul kembali, tubuhnya masih terluka. Ia menunjuk bagian ekornya yang putus dan berkata,
"Jika kau dapat menyambung kembali ekorku dengan penuh niat dan kekuatan cinta... maka aku akan menghidupkan kembali putramu."
Sidi Mantra pun mengambil daun-daun suci dan rempah-rempah, menyatukan ekor naga dengan mantra dan air suci. Setelah semalam suntuk, luka Naga Besukih tertutup kembali.
Dan seperti janji yang diucapkan, Manik Angkeran bangkit dari abu, lemah dan gemetar.
"Ayah... aku... aku ingat semuanya." bisiknya penuh penyesalan.
Sidi Mantra tersenyum, tapi dalam sorot matanya ada kesedihan mendalam.
"Anakku... aku mencintaimu. Tapi kita tak bisa berjalan bersama lagi." katanya lembut, sebelum menancapkan tongkatnya ke tanah.
Dengan suara mantra dan cahaya yang membelah bumi, air pun mengalir deras, memisahkan daratan.
Dari situlah, Selat Bali terbentuk garis air yang menjadi batas antara dua dunia: yang bijak dan yang belajar, yang sakti dan yang sedang bertobat.
Imajiner Nuswantoro