Kanjeng Raden Ayu Adipati Sedahmirah (RA Mayangsari) pujangga ayu kesayangan Paku Buwana IV, penulis Kitab Ponconiti
Ilustrasi foto Nyai Sedah Mirah (Imajiner Nuswantoro)
Nyai Sedah Mirah adalah seorang pujangga sekaligus garwa ampil (selir) Pakubuwånå IV yang cantik dan pintar. Dari buah pikirnya melahirkan Kitab Ponconiti. Dari rahim beliau pula dilahirkan Sinuwun Bangun Tapa yang lebih dikenal dengan nama Pakubuwånå VI.
Sedah Mirah dikenal sebagai perempuan yang pandai.
Semasa hidup Sedah Mirah dikenal cantik, pandai diplomasi dengan gaji yang cukup.
Banyak yang percaya jika mereka beruntung biasanya akan ditemui oleh sosok B.Ray. Sedah Mirah yang sangat cantik dan anggun.
Saat ini banyak peziarah datang ke makam B.Ray. Sedah Mirah untuk ngalap berkah.
Banyak peziarah yang datang untuk ritual meminta berkah dengan bekal hati yang bersih sopan santun.
Banyak yang percaya jika mereka beruntung biasanya akan ditemui oleh sosok B.Ray. Sedah Mirah yang sangat cantik dan anggun.
BRAy Adipati Sedah Mirah mengatakan jika beliau sesungguhnya adalah garwa ampil atau selir dari ISKS Paku Buwono IV (1768-1820), dari pernikahannya dengan PB IV ini kemudian beliau menurunkan ISKS PB VI (1807-1846) yang mendapat julukan Sinuhun Bangun Tapa karena kegemaran beliau melakukan tapa brata.
Makam Nyai Sedah Mirah sendiri terletak di sebuah kompleks yang dibatasi pagar dengan makam lainnya dan di sekitarnya dimakamkan abdi-abdi beliau. Saat ini citra beliau di kalangan masyarakat cukup buruk karena terkenalnya beliau dengan ilmu pengasihan dan kanuragan-nya dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan ritual di makam beliau untuk maksud dan tujuan yang kurang baik.
Ilustrasi foto Nyai Sedah Mirah (Imajiner Nuswantoro)
Makam BRaY Sedah Mirah Di Situs Kartosuro.
Situs Keraton Kartasura (1680 – 1745) kini hanya tinggal puing-puing saja, dengan pagar tembok/benteng Baluwarti terbuat dari batu bata merah setebal 2-3 meter dan tinggi kurang lebih 3 meter. Petilasan ini membuktikan keberadaan Keraton Kartasura Hadiningrat memang pernah ada sebelumnya di masa lalu. Di dalam situs antara lain terdapat ; alun-alun, kolam segaran yang sekarang berubah menjadi tanah lapang, gudang mesiu yang sekarang berubah menjadi gedong obat. Tembok berlubang sebagai saksi bisu atas terjadinya peristiwa Geger Pacinan, Sumur Madusaka digunakan untuk memandikan pusaka-pusaka kerajaan, genthong batu, lingga dan yoni, tombak Kyai Jangkung dan Tombak Kyai Slamet. Dan terdapat beberapa makam keramat di antaranya adalah Makam Mas Ngabehi Sukareja, Makam B.R.Ay Adipati Sedah Mirah, Makam KPH Adinegoro, Makam Ki Nyoto Carito dalang Keraton yang terkenal pada masanya, serta masjid tua yang dibangun Sunan Paku Buwono II.
Peninggalan sejarah yang masih dapat dijumpai di situs Keraton Kartasura berupa reruntuhan bangunan dan nama-nama tempat atau toponim. Sedangkan luas kota Kartasura di masa lampau diperkirakan mencakup seluruh wilayah Kecamatan Kartasura saat sekarang, ditambah beberapa kawasan yang masuk wilayah Kabupaten Boyolali dan Karanganyar. Saat sekarang, Keraton Kartasura yang terletak di Kelurahan Siti Hinggil, menjadi kota kecamatan seperti pada umumnya.
Di antara makam-makam di Astana Wanakerta (petilasan Keraton Kartasura), makam Ratu Sedah Mirah paling dikeramatkan. Setiap Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon, makam ini selalu dipadati peziarah yang hendak ngalap berkah.
Orang-orang yang datang hendak ngalap berkah di makam Ratu Sedah Mirah berasal dari berbagai penjuru tanah air. Baik dari kota-kota di Jawa maupun luar Jawa. Malah ada pula yang datang dari Singapura dan Malaysia.
Tujuan mereka bermacam-macam. Ada yang menginginkan agar lekas naik pangkat, mencari kewibawaan, usahanya lancar, dan masih banyak lagi.
Ratu Sedah Mirah hanyalah garwa ampil. Selir dari Pakubuwono, raja Surakarta. Namun karena keanggunan dan kecantikannya tak terhingga, maka ketika meninggal, ratu ini tetap dikenang. Malah banyak pula yang memitoskan.
Makam Raden Ayu Sedah Mirah atau RA Mayangsari yang dimakamkan di kompleks Petilasan Keraton Kasunanan Kartasura pada 1826.
Sedah Mirah adalah garwa ampil (selir) Pakubuwana. Namun karena konon ia menguasai ilmu persilatan dan pintar bermain pedang maka Sinuwun Paku Buwono memberi gelar adipati kepadanya. Sedah Mirah yang cantik juga dikenal pandai berdiplomasi dan memiliki aji pengasihan.
B.R.Ay Adipati Sedah Mirah pada masa hidupnya memiliki segudang prestasi besar. Selain dikenal berparas cantik, juga pandai berdiplomasi serta memiliki ilmu pengasihan tinggi sehingga beliau sebagai wanita mempunyai kharisma dan wibawa luar biasa. Sebagai pemimpin, beliau pemimpin yang dicintai rakyatnya, pemimpin yang disayangi rajanya, dihormati kawan, sekaligus disegani lawan. BRAy Adipati Sedah Mirah adalah seorang pujangga, beliaulah penulis Kitab Ponconiti. Selain itu beliau juga dikenal sebagai pemegang babon serat yasan dalem Susuhunan seperti kitab Wulang Reh yasan dalem PB IV, dan serat babad Centhini yang ditulis semasa PB V. Kepandaiannya dalam bidang olah kanuragan atau ilmu beladiri pencak silat, membuat sang Raja berkenan menganugerahkan gelar padanya sebagai seorang Adipati. Berkat kepiawaian beliau banyak bidang khususnya spiritual, BRAy Adipati Sedah Mirah dipercaya oleh Keraton untuk mengemban tugas sebagai pemimpin upacara dan ritual sakral yakni Adhang Dhandhang Kyai Duda atau menanak nasi menggunakan alat berupa kukusan dan dhandhang yang terbuat dari tembaga. Dhandhang Kyai Duda adalah pusaka peninggalan Ki Ageng Tarub dan istrinya yang seorang bidadari Dewi Nawang Wulan. Berkat dhandhang pusaka ini pula bidadari Dewi Nawang Wulan menanak nasi cukup hanya satu butir beras tetapi nasinya bisa dimakan orang banyak. Selanjutnya BRAy Adipati Sedah Mirah memimpin acara labuh semua bekas acara ritual adhang dhandhang Kyai Duda ke pantai selatan tepatnya di pantai Parangkusumo. Acara ini cukup langka karena diadakan hanya setiap 8 tahun atau sewindu sekali.
Paku Buwono IV (bergelar : Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IV ing Nagari Surakarta Adiningrat).
ISKS (Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan) Paku Buwono IV adalah gelar lengkap dari Sri Susuhunan Paku Buwana IV, yang merupakan raja ketiga Kasunanan Surakarta yang memerintah dari tahun 1788 hingga 1820. Gelar lengkapnya adalah "Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IV ing Nagari Surakarta Adiningrat". Ia juga dikenal dengan nama "Sunan Bagus" karena naik takhta di usia muda dan berwajah rupawan.
Selain itu, Pakubuwana IV juga dikenal sebagai raja yang berani dan tidak mau tunduk kepada Belanda, serta seorang Muslim yang taat. Ia juga dikenal sebagai ahli strategi dan sastra, khususnya yang bersifat rohani, dan menciptakan Serat Wulangreh.
Berikut beberapa perjalanan penting mengenai ISKS Paku Buwono IV :
1. Raja Surakarta : Memerintah Kasunanan Surakarta dari tahun 1788 hingga 1820.
2. Julukan : Dikenal dengan nama "Sunan Bagus".
3. Sikap : Berani dan tidak mau tunduk kepada Belanda, serta seorang Muslim yang taat.
4. Karya Sastra : Pencipta Serat Wulangreh, sebuah karya sastra Jawa klasik.
5. Kehidupan Pribadi : Lahir pada tanggal 2 September 1768 dan wafat pada 2 Oktober 1820.
6. Nama Asli : Raden Mas Subadya.
Imajiner Nuswantoro