Rakai Pikatan
Pemersatu Dinasti Sanjaya & Dinasti Syailendra (abad ke 8)
Rakai Pikatan adalah Raja Medang ketujuh yang memerintah sekitar tahun 847–855. Dalam Prasasti Wanua Tengah III (908), ia memerintah antara 6 Maret 847 s.d. 27 April 855. Ia adalah raja setelah Rakai Garung dan sebelum Rakai Kayuwangi. Namanya dikenal dalam Prasasti Wantil, Prasasti Mantyasih, dan Prasasti Wanua Tengah III.
Rakai Pikatan, Simbol Bersatunya Kembali Kerajaan Mataram Kuno yang Terpecah Jadi Dua
Ada beberapa hal yang patut diingat dari sosok Rakai Pikatan. Yang paling terkenal barangkali: pada zamannyalah Candi Prambanan dibangun.
Tapi ada satu lagi, kerajaan Mataram Kuno yang terpecah dapat disatukan kembali pada masa pemerintahan raja satu ini.
Bagaimana kisahnya ?
Kabar duka datang dari Kerajaan Medang (atau kita mengenalnya sebagai Kerajaan Mataram Kuno) pada abad ke-8. Raja Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang, meninggal dunia.
Setelah itu, ditunjuklah anaknya, Rakai Panangkatan, menjadi raja. Setelah Rakai Panangkaran meninggal, Kerajaan Mataram Kuno pecah jadi dua :
1. Kerajaan Mataram Kuno yang berhaluan Hindu di Jawa Tengah bagian utara diperintah Dinasti Sanjaya;
2. Sedangkan Kerajaan Mataram Kuno yang berhaluan Buddha di Jawa Tengah bagian selatan diperintah Dinasti Syailendra.
Beruntung, pada akhirnya, Kerajaan Mataram Kuno dapat disatukan setelah Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) yang menikah dengan Pramodawardhani (Dinasti Syailendra). Pramodawardhani merupakan putri dari Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno yang berkuasa sejak 792 hingga 835 M.
Sayangnya, pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani tidak disukai oleh Balaputradewa, anak Samaratungga dari Dewi Tara. Akibatnya, terjadi perang antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa yang saling berebut kekuasaan kerajaan.
Perang ini pun berakhir dengan kemenangan di pihak Rakai Pikatan, sehingga dia meneruskan kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Dengan demikian, penyatuan Kerajaan Mataram Kuno berhasil dilakukan di bawah pemerintahan Rakai Pikatan.
Wangsa Sanjaya.
Wangsa Sanjaya adalah indikasi suatu dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang Periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Wangsa ini, bersama-sama dengan Wangsa Syailendra memerintah di Kerajaan Medang.
Asal-usul
Istilah Wangsa Sanjaya diperkenalkan oleh sejarawan bernama Dr. Bosch dalam karangannya yang berjudul Sriwijaya, de Sailendrawamsa en de Sanjayawamsa (1952). Ia menyebutkan bahwa, di Kerajaan Medang terdapat dua dinasti yang berkuasa, yaitu dinasti Sanjaya dan Sailendra. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk kepada nama pendiri Kerajaan Medang, yaitu Sanjaya yang memerintah sekitar tahun 732.
Berdasarkan Prasasti Canggal (732 M) diketahui Sanjaya adalah penerus raja Jawa Sanna, menganut agama Hindu aliran Siwa, dan berkiblat ke Kunjarakunja di daerah India, dan mendirikan Shivalingga baru yang menunjukkan membangun pusat pemerintahan baru.Menurut penafsiran atas naskah Carita Parahyangan yang disusun dari zaman kemudian, Sanjaya digambarkan sebagai pangeran dari Galuh yang akhirnya berkuasa di Mataram. Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Sena/Sanna/Bratasenawa, raja Galuh ketiga. Sena adalah putra Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa, raja Sunda. Penyerangan ini bertujuan untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal pada tahun 723, kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangannya, Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan kekuasaan Sunda-Galuh kepada putranya Rakryan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga, Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran. Secara garis besar kisah dari Carita Parahyangan ini sesuai dengan prasasti Canggal.
Rakai Panangkaran dikalahkan oleh dinasti pendatang dari Jawa, atau India, atau Sumatera yang bernama Wangsa Sailendra. Berdasarkan penafsiran atas Prasasti Kalasan (778 M), pada tahun 778 raja Sailendra yang beragama Buddha aliran Mahayana memerintah Rakai Panangkaran untuk mendirikan Candi Kalasan.
Sejak saat itu Kerajaan Medang dikuasai oleh Wangsa Sailendra. Sampai akhirnya seorang putri mahkota Sailendra yang bernama Pramodawardhani menikah dengan Rakai Pikatan, seorang keturunan Sanjaya, pada tahun 840–an. Rakai Pikatan kemudian mewarisi takhta mertuanya. Dengan demikian, Wangsa Sanjaya kembali berkuasa di Medang.
Teori yang menolak
Poerbatjaraka menolak keberadaan Wangsa Sanjaya. Menurutnya, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada, karena Sanjaya sendiri adalah anggota Wangsa Sailendra. Dinasti ini mula-mula beragama Hindu, karena istilah Sailendra bermakna “penguasa gunung” yaitu sebutan untuk Siwa.
Selain itu, istilah Sanjayawangsa tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, sedangkan istilah Sailendrawangsa ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Ligor, prasasti Kalasan, dan prasasti Abhayagiriwihara.
Poerbatjaraka berpendapat bahwa, Sanjaya telah memerintahkan agar putranya, yaitu Rakai Panangkaran pindah agama, dari Hindu menjadi Buddha. Teori ini berdasarkan atas kisah dalam Carita Parahyangan bahwa Rahyang Sanjaya menyuruh Rahyang Panaraban untuk berpindah agama. Dengan demikian, yang dimaksud dengan istilah “raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah Rakai Panangkaran sendiri.
Carita Parahyangan memang ditulis ratusan tahun sesudah kematian Sanjaya. Meskipun demikian, kisah di atas seolah terbukti dengan ditemukannya prasasti Raja Sankhara yang mengisahkan tentang seorang pangeran bernama Sankhara yang pindah agama karena ayahnya meniggal dunia akibat menjalani ritual terlalu berat. Sayangnya, prasasti ini telah hilang dan tidak jelas angka tahunnya, serta tidak menyebutkan nama ayah Sankhara tersebut.
Jadi, teori Poerbatjaraka menyebutkan bahwa hanya ada satu dinasti saja yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sailendra yang beragama Hindu Siwa. Sejak pemerintahan Rakai Panangkaran, dinasti Sailendra terpecah menjadi dua. Agama Buddha dijadikan agama resmi negara, sedangkan cabang Sailendra lainnya ada yang tetap menganut agama Hindu, misalnya seseorang yang kelak menurunkan Rakai Pikatan.
Kalender Sanjaya
Meskipun istilah Sanjayawangsa tidak pernah dijumpai dalam prasasti mana pun, namun istilah Sanjayawarsa atau “Kalender Sanjaya” ditemukan dalam prasasti Taji Gunung dan prasasti Timbangan Wungkal.
Kedua prasasti tersebut dikeluarkan oleh Mpu Daksa dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya, sang pendiri kerajaan. Tahun 1 Sanjayawarsa sama dengan tahun 717 Masehi. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun 717 ini merupakan tahun kelahiran Sanjaya, ataukah tahun berdirinya kerajaan.
Daftar para raja Medang sebelum Dyah Balitung yang tertulis dalam prasasti Mantyasih menurut teori Bosch adalah daftar para raja Wangsa Sanjaya, sekaligus juga silsilah keluarga mulai dari Sanjaya sampai Balitung.
Para raja tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Sanjaya
2. Rakai Panangkaran
3. Rakai Panunggalan
4. Rakai Warak
5. Rakai Garung
6. Rakai Pikatan
7. Rakai Kayuwangi
8. Rakai Watuhumalang
Sejarawan Slamet Muljana berpendapat lain. Menurutnya, daftar tersebut bukan silsilah Wangsa Sanjaya, melainkan daftar para raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang. Pendapatnya itu berdasarkan atas julukan Rakai Panangkaran dalam prasasti Kalasan, yaitu Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Jadi menurutnya tidak mungkin apabila Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya.
Analisis Slamet Muljana terhadap beberapa prasasti, misalnya prasasti Kelurak, prasasti Nalanda, ataupun prasasti Kayumwungan menyimpulkan bahwa Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, dan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra, sementara sisanya adalah anggota Wangsa Sanjaya, kecuali Rakai Kayuwangi yang berdarah campuran. |pub
Raja sesudah Balitung.
Raja sesudah Dyah Balitung adalah Mpu Daksa yang memperkenalkan pemakaian “Kalender Sanjaya” untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli sang pendiri kerajaan. Selain itu, kemungkinan besar Daksa juga merupakan cucu Rakai Pikatan sebagaimana yang tertulis dalam Prasasti Telahap.
Daksa digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong, yaitu putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. Tidak diketahui dengan pasti apakah Tulodhong ini merupakan keturunan Sanjaya atau bukan.
Menurut sejarawan Boechari, pemerintahan Tulodhong berakhir akibat pemberontakan Dyah Wawa, putra Rakryan Landhayan. Dalam hal ini juga tidak dapat dipastikan apakah Wawa keturunan Sanjaya atau bukan.
Raja selanjutnya bernama Mpu Sindok yang diperkirakan sebagai cucu Mpu Daksa. Jika benar demikian, maka Mpu Sindok dapat disebut sebagai keturunan Sanjaya pula, meskipun ia dianggap telah mendirikan dinasti baru bernama Wangsa Isyana.
Dinasti Syailendra.
Dalam sumber sejarah Dinasti Syailendra dibuktikan dengan penemuan beberapa prasasti diantaranya sebagai berikut :
1. Prasasti Sojomerto
Prasasti yang berasal dari pertengaan abad ke-7 itu berebahasa Melayu Kuno di desa Sojomerto, Kabupaten Pekalongan yang menjelaskan bahwa Dapunta Syailendra adalah penganut agama Siwa.
2. Prasasti Kalasan (778 M)
Prasasti ini menyebutkan tentang seorang raja dari Dinasti Syailendra yang berhasil menunjuk Rakai Panangkaran untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah Bihara untuk para pendeta. Rakai Panangkaran akhirnya menghadiahkan desa Kalasan kepada Sanggha Budha.
3. Prasasti Kelurak (782 M) di daerah Prambanan
Prasasti ini menyebutkan tentang pembuatan arca Manjusri yang merupakan perwujudan Sang Budha, Wisnu, dan Sanggha, yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, Siwa. Prasasti itu juga menyebutkan nama raja yang memerintah saat itu yang bernama Raja Indra.
4. Prasasti Ratu Boko (856 M)
Prasasti ini menyebutkan tentang kekalahan Raja Balaputra Dewa dalam perang saudara melawan kakaknya Pramodhawardani dan selanjutnya melarikan diri ke Sriwijaya.
5. Prasasti Nalanda (860 M)
Prasasti ini menyebutkan tentang asal-usul Raja Balaputra Dewa. Disebutkan bahwa Balaputra Dewa adalah putra dari Raja Samarottungga dan cucu dari Raja Indra (Kerajaan Syailendra di Jawa Tengah).
Di samping prasasti-prasasti tersebut di atas, juga terdapat peninggalan-peninggalan berupa candi-candi Budha seperti Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Kalasan, Sari, Sewu, dan candi-candi lainnya yang lebih kecil.
Selain prasasti tersebut diatas, ada beberapa sumber yang menyebutkan asal-usul keluarga Syailendra, yaitu :
1. Sumber India
Nilakanta Sastri dan Moens yang berasal dari India dan menetap di Palembang menyatakan bahwa pada tahun 683 M keluarga Syailendra melarikan diri di Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hyang.
2. Sumber Funan
Codes beranggapan bahwa Syailendra yang ada di Nusantara berasal dari Funan (Kamboja). Kerusuhan yang terjadi di Funa mengakibatkan keluarga kerajaan Funan menyingkir ke Jawa dan menjadi penguasa di Mataram pada abad ke 8 M dengan menggunakan nama Syailendra.
3. Sumber Nusantara
Sumber ini menyatakan bahwa bangsa Syailendra mungkin berasal dari Sumatera yang kemudian berpindah dan berkuasa di Jawa, atau mungkin bangsa asli dari pulau Jawa tetapi mendapatkan pengaruh kuat dari Sriwijaya. Menurut beberapa sejarawan, keluarga Syailendra berasal dari Sumatera yang bermigrasi ke Jawa Tengah setelah Sriwijaya melakukan ekspansi ke tanah Jawa pada abad ke 7 M dengan menyerang kerajaan Tarumanagara dan Ho-ling di Jawa. Serangan Sriwijaya atas Jawa yang tidak mau berbakti kepada Sriwijaya.
Kehidupan Politik Dinasti Syailendra.
Pada akhir abad ke-8 M Dinasti Sanjaya terdesak oleh dinasti lain, yaitu Dinasti Syailendra. Peristiwa ini terjadi ketika Dinasti Sanjaya diperintah oleh Rakai Panangkaran. Hal itu dibuktikan melalui Prasasti Kalasan yang menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran mendapat perintah dari Raja Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan (Candi Budha).
Walaupun kedudukan raja-raja dari Dinasti Sanjaya telah terdesak oleh Dinasti Syailendra, raja-raja dari Dinasti sanjaya tetap diakui kedudukannya sebagai raja yang terhormat. Hanya harus tunduk terhadap raja-raja Syailendra sebagai penguasa tertinggi atas seluruh Mataram.
Berdasarkan prasasti yang telah ditemukan dapat diketahui raja-raja yang pernah memerintah Dinasti Syailendra, di antaranya :
1. Bhanu (752- 775 M)
Raja banu merupakan raja pertama sekaligus pendiri Wangsa Syailendra.
2. Wisnu (775- 782 M)
Pada masa pemerintahannya, Candi Brobudur mulai di banugun tempatnya 778.
3. Indra (782 -812 M)
Pada masa pemerintahannya, Raja Indra membuat Prasasti Klurak yang berangka tahun 782 M, di daerah Prambanan. Dinasti Syailendra menjalankan politik ekspansi pada masa pemerintahan Raja Indra. Perluasan wilayah ini ditujukan untuk menguasai daerah-daerah di sekitar Selat Malaka. Selanjutnya, yang memperkokoh pengaruh kekuasaan Syailendra terhadap Sriwijaya adalah karena Raja Indra menjalankan perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang bernama Samarottungga dengan putri Raja Sriwijaya.
4. Samaratungga (812 – 833 M)
Pengganti Raja Indra bernama Samarottungga. Raja Samaratungga berperan menjadi pengatur segala dimensi kehidupan rakyatnya. Sebagai raja Mataram Budha, Samaratungga sangat menghayati nilai agama dan budaya. Pada zaman kekuasaannya dibangun Candi Borobudur. Namun sebelum pembangunan Candi Borobudur selesai, Raja Samarottungga meninggal dan digantikan oleh putranya yang bernama Balaputra Dewa yang merupakan anak dari selir.
5. Pramodhawardhani (883 – 856 M)
Pramodhawardhani adalah putrid samaratungga yang dikenal cerdas dan cantik. Beliau bergelar Sri Kaluhunan, yang artinya seorang sekar keratin yang menjadi tumpuan harapan bagi rakyat. Pramodhawardhani kelak menjdi permaisuri raja Rakai Pikatan, Raja Mataram Kuno dari Wangsa Sanjaya.
6. Balaputera Dewa (883 – 850 M)
Balaputera Dewa adalah putera Raja Samaratungga dari ibunya yang bernama Dewi Tara, Puteri raja Sriwijaya. Dari Prasasti Ratu Boko, terjadi perebutan tahta kerajaan oleh Rakai Pikatan yang menjadi suami Pramodhawardhani. Belaputera Dewa merasa berhak mendapatkan tahta tersebut karena beliau merupakan anak laki-laki berdarah Syailendra dan tidak setuju terhadap tahta yang diberikan Rakai Pikatan yang keturunan Sanjaya. Dalam peperangan saudara tersebut Balaputera Dewa mengalami kekalahan dan melatrikan diri ke Palembang.
Kehidupan Sosial Dinasti Syailendra
Kehidupan sosial Kerajaan Syailendra tidak diketahui secara pasti. Namun, melalui bukti-bukti peninggalan berupa candi-candi, para ahli menafsirkan bahwa kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Syailendra sudah teratur. Hal ini dilihat melalui cara pembuatan candi yang menggunakan tenaga rakyat secara bergotong-royong. Di samping itu, pembuatan candi ini menunjukkan betapa rakyat taat dan mengkultuskan rajanya.
Kehidupan Budaya Dinasti Syailendra.
Kerajaan Syailendra banyak meninggalkan bangunan-bangunan candi yang sangat megah dan besar nilainya, baik dari segi kebudayaan, kehidupan masyarakat dan perkembangan kerajaan. Candi-candi yang terkenal seperti telah disebutkan di atas adalah Candi Mendut, Pawon, Borobudur, Kalasan, Sari, dan Sewu.
Nama Borobudur diperkirakan berasal dari nama Bhumi Sambhara Budhara. Bhumi Sambhara berarti bukit atau gunung dan Budhara berarti “raja”. Jadi arti dari nama tersebut adalah Raja Gunung, yang sama artinya dengan Syailendra. Candi Borobudur memiliki suatu sistem yang terbagi dalam tiga bagian yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.
Runtuhnya Dinasti Syailendra.
Adanya ketimpangan perekonomian serta perbedaan keyakinan antara syailendra sang penguasa yang beragama Budha dengan rakyat Jawa yang beragama Hindu Siwa, menjadi faktor terjadinya ketidakstabilan di Jawa Tengah. Untuk mengatasi ini, raja Samaratungga menikahkan puterinya Pramodhawardhani, dengan anak Garung, Rakai Pikatan yang waktu itu menjadi pangeran wangsa Sanjaya. Sejak itu pengaruh Senjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Budha. Rakai pikatan bahkan menyerang Balaputera Dewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani.
Sejarah wangsa syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputeradewa melarikan diri ke kesuwarnadwipa yang merupakan negeri asal ibunya. Setelah terusirnya wangsa syailendra dari Jawa Tengah, berakhir pula kekuasaan Sriwijaya atas Jawa selama satu abad.
Imajier Nuswantoro