BABAGAN SUKU KALANG & SUKU KALANG MAJAPAHIT
Suku Kalang berasal dari Pulau Jawa, khususnya di daerah Jawa Tengah. Kata "Kalang" sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti batas.
Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang Suku Kalang :
- Suku Kalang merupakan salah satu kelompok masyarakat tua asli Jawa.
- Suku Kalang tersebar di berbagai wilayah di Pulau Jawa, terutama di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
- Suku Kalang pernah diasingkan dari kehidupan masyarakat luas karena dianggap liar dan berbahaya.
- Istilah "Kalang" pertama kali ditemukan dalam prasasti Kuburan Candi di Desa Tegalsari, Kabupaten Magelang, yang berangka tahun 753 Saka (831 Masehi).
- Tempat-tempat yang menjadi aktivitas Suku Kalang pada masa lalu terletak di dua garis Pulau Jawa, yaitu di utara dan di selatan. Kedua garis tersebut bertemu di Sungai Brantas.
- Makam Suku Kalang pernah ditemukan di Nganjuk, salah satunya bernisan lingga.
Suku Kalang merupakan arsitektur dibalik Megahnya Candi-Candi Jawa dan Pesona Rumah Kota Gede.
Suku Kalang atau Wong Kalang adalah salah satu sub-suku di masyarakat Jawa. Mereka diperkirakan telah ada sejak (sebelum) datangnya agama Hindu-Budha dan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara. Adalah pedagang dari negeri India konon membawa Wong Kalang dari daerah Kedah, Kelang, dan Pegu pada tahun 800 Masehi.
Menurut kisahnya orang Kalang adalah maestro pembuat candi yang secara fisik berbadan kuat, tegap dan berkekuatan besar. Ada kemungkinan juga mereka berasal dari Khmer atau Kamboja dimana orang kuat di negeri tersebut diterjemahkan sebagai manusia k'lang. Di mana seperti kita ketahui candi di negeri Khmer mempunyai kemiripan dengan candi di Jawa.
Wong Kalang adalah kelompok suku yang bermukim di Pulau Jawa, khususnya di wilayah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Kabupaten Blora dan Rembang di Jawa Tengah; dan Kabupaten Bojonegoro dan Tuban di Jawa Timur. Mereka termasuk dalam sub Suku Jawa yang dengan sengaja hidup mengasingkan diri dalam hutan.
Orang dari Suku Kalang alias Wong Kalang konon dikenal sakti mandraguna. Bahkan kesaktiannya disebut-sebut melebihi warga Suku Dayak yang konon menguasai ilmu sihir.
Pada era Majapahit, warga Suku Kalang ditugaskan menjaga hutan dari serangan musuh. Tugas ini diberikan karena orang kalang dianggap sakti mandraguna.
Istilah Kalang di tanah Jawa pertama kali ditemukan pada prasasti Kamalagi (Kuburan Candi) di Desa Tegalsari, Kawadenan, Tegalharjo (kecamatan Candimulyo) Kabupaten Magelang yang bertarikh (tahun) 743 śaka atau 821 Masehi. Prasasti Kamalagi terukir dengan Sisi depan 22 baris tulisan,dan sisi belakang 17 baris tulisan, beraksara Jawa Kuna (Kawi) dan berbahasa Jawa Kuna, mengisahkan penetapan sebuah wilayah sima pada masa itu.
Disisi depan tertulis :
Selamatlah tahun śaka yang telah berlalu 743, bulan Waisakha (April-Mei)
Pada hari ke-10 bagian bulan gelap Tuŋlai, wage 1), anggara (selasa). Pada saat itu Saŋ Pamgét Wuga bernama Pu Mańnéb meresmikan status sīma (perdikan) sawah Di pihak dan sebuah kebun di Kamalagi dan suatu tempat tinggal bagi Nayaka.
Susunan keputusan itu ditulis oleh Saŋ Anawarjjita Jńāneśwara dan Sang Kari Dharmacinta.
Adapun saksi-saksinya adalah : Hyang Guru Mańgali bernama Sang Siwa Mūrtti dari pertapaan Hubrayan, Dapunta Da-hana sebagai Hyang Guru, Hulu Wras (pejabat pertanian/ penjaga lumbung padi) dari Sukun bernama Si-ń Sang Candrakumāra, Seorang pemimpin dari parama.
Yang ikut ketika itu ialah kepala dari desa kahurripan yang bernama Pu Nayaka dan Penduduk desa bernama Landung, Ayah maitri; pa-Tih dari mańin sidi bernama Si Narada, Ayah dari Léńkép ; Kalaŋ (Jabatan atau seorang dari suku Kalang) dari Nunungńan bernama Si Maghóm, ayah Mańajang; patih dari Limpar bernama Si Pagér, Ayah dari Māyanī Dan Si Manam, Ayah dari Rgāgi, Kalang dari Kahyangan Bernama Si Sumdék, Ayah dari Kuńuh ; Kalang dari sang Mapatih Sukun Bernama si Wańun; ikut serta Warak-warak ialah Gusti bernama Si. Nańgap, Ayah Si Intap ; Gusti dari Selatan bernama si Pańguh, ayah dari Kbél
Pada masa itu, jalinan hubungan antara orang Kalang dengan masyarakat kerajaan nampaknya berjalan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya penyebutan tuha Kalang dalam prasasti. Jabatan tuha (ketua suku) Kalang ini juga menerima pasêk-pasêk dalam peresmian tanah sima.
Selain Prasasti Kamalagi, Prasasti Harinjing di Siman, Kepung Kediri (804 M) dan Panggumulan di Ngaglik Sleman (904 M) juga telah menyebut tentang keberadaan suku Kalang ini di masyarakat. Harinjing dengan menyebut Tuha Kalang (Kepala Suku Kalang), sementara Panggumulan menyebut Pandhe Kalang (penebang kayu Suku Kalang).
Seiring berlakunya sistem sosial kasta Hindu masuk, Wong Kalang mulai tersisih oleh karena ketidakjelasan nenek moyang mereka. Mereka "dipaksa" tinggal hutan-hutan, lereng-lereng gunung yang tinggi, serta tanah-tanah tang tandus. Tempat suku Kalang bermukim dan membangun peradaban sekarang dikenal dengan "Alas Kalang" yang berada diantara Lasem dan Sungai Bengawan Solo, sebelah selatan Pamotan di perbukitan Kendeng Utara yang membentang dari Blora sampai Malo di Bojonegoro dan Jatirogo di Tuban.
Karena menolak untuk di-Hindukan dan demi mempertahankan existensi kebudayaannya orang Kalang memilih tinggal di hutan dengan tetap mempertahankan kepercayaan asli warisan leluhur masa prasejarah dengan melakukan pemujaan kepada arwah nenek moyang yang dipercaya bersemayam di puncak gunung. Salah satu ritual suku Kalang ketika ada yang meninggal dunia adalah "obong kalang" dg membakar boneka kayu (puspa gambar) ketika meninggal dunia. Adapun ciri khas makam Suku Kalang yaitu pusara mereka selalu menghadap ke sungai.
Namun demikian relasi orang Kalang dengan penguasa setempat berjalan baik, pihak otoritas Kerajaan Majapahit pada waktu itu memanfaatkan tenaga mereka untuk proyek-proyek fisik berskala besar, antara lain sebagai penebang pohon (tukang kayu), pembuatan kapal perang (Jung) juru angkut batu untuk pembuatan candi dan terkadang juga prajurit tempur di medan peperangan. Karena dikenal akan kesaktiannya, mereka juga ditugaskan untuk menjaga hutan agar tidak kemasukan penyusup yang membahayakan kerajaan.
Kesaktian dan kemampuan mistis suku Kalang dimanfaatkan oleh Laksmana Majapahit kala itu Mpu Nala dalam menaklukkan kerajaan dari suku Dayak Nan Serunai. Ketika pasukan Majapahit sudah hampir dipukul mundur oleh orang-orang Dayak dari kerajaan Nan Sarunai, Mpu Nala menerjunkan orang Kalang sebagai pasukan pamungkas. Sang Raja Nan Sarunai nang bangaran Raja Anyan (Datu Tatuyan Wulau Naharaja Papangkat Amas) yang bersembunyi di sumur tua yang ditutup 9 buah gong berlapis mantera tingkat tinggi pun mampu terendus keberadaannya oleh penciuman orang-orang Suku Kalang. Raja Anyan kemudian ditangkap dan dieksekusi mati dengan tombak oleh Empu Nala.
Nama Suku Kalang sendiri di era pemerintahan Hayam Wuruk ditemukan dalam Prasasti Tambang. Tahun 1358 yang isinya mengatur kedudukan desa-desa di tepian Sungai Brantas dan Bengawan Solo yang menjadi tempat penyeberangan. Suku Kalang diketahui membangun peradaban di lembah Bengawan Solo dan sebagian berprofesi dalam jasa penyeberangan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pasca runtuhnya kerajaan Hindu-Budha terakhir di tanah Jawa dan tidak berlakunya "sistem kasta", orang-orang Kalang sudah banyak berbaur dengan masyarakat lainnya, baik dalam pergaulan sosial maupun pernikahan. Suku Kalang sudah diterima dengan baik di Indonesia. Demikian pula sebaliknya, suku Kalang juga dapat menerima orang-orang dari luar sukunya.
Dalam catatan Belanda, nama suku Kalang muncul pertama pada 1675. Isinya, menceritakan keberadaan suku Kalang di wilayah Rembang dan Pati. Berprofesi sebagai penebang pohon. Dibuku Speelman 1678, menulis diskripsi lebih jelas. Suku Kalang bekerja menebang dan mengangkut kayu; membuat gorab dan kapal perang.
Masih menurut catatan Hindia Belanda, diketahui, suku Kalang bekerja mengangkut barang-barang. Milik tentara Hurdt. Yang pergi berperang. Menyerang Trunajaya di Kediri, pada kisaran 1679. Setelah Belanda, menguasai pesisir Jawa 1743, tiga tahun setelah itu, VOC mengakui status khas suku Kalang. Sebagai een apart volk (kelompok tersendiri).
Implikasinya, tidak seperti suku Jawa umumnya. Suku Kalang, dikenakan pajak badan. Oleh pemerintah Belanda. Dimana sebelumnya, mereka dibebankan oleh Raja Jawa. Karena, posisi suku Kalang dianggap sebagai orang asing.
Kemudian zaman Daendels berkuasa, yang mewakili kekuasaan Perancis, kewajiban pajak dihapuskan. Selanjutnya, Daendels yang dikenal memiliki jasa membangun jalan darat Anyer – Panurakan, memberikan hak pada suku Kalang. Untuk menebang pohon. Sebagai bahan baku pembuatan gerobak Jawa. Yaitu, cikar dan pedati.
Winter SR 1839 juga mencatat sejak abad ke 17 dan 18, kebiasaaan nomaden suku Kalang berangsur-angsur menghilang dan mulau menetap dengan berkelompok dalam satu kampung atau dalam wilayah yang saling berdekatan. Kampung atau wilayah suku Kalang, disebut Pekalangan.
Yang menarik dalam catatan sejarah suku Kalang adalah terjadinya transformasi sosial dengan munculnya etos kewiraswastaan (enterprenuer). Mirip dengan etnis minoritas Tionghoa dan Arab. Walaupun ada yang memilih berprofesi sebagai petani, tetapi sangat jarang. Alih-alih menjadi abdi dalem Raja atau memilih status pangreh praja. Suku Kalang lebih memilih Berdikari daripada menghamba kepada kraton.
Kisah Wong Kalang muncul di Mataram pada zaman pemerintahan Sultan Agung terkenal sangat ulet dan gigih, hingga ketika Sultan Agung menyerang Batavia banyak wong Kalang yang diikutkan. Selain terkenal sebagai ahli ukir dan pertukangan kayu, di kalangan prajurit atau pasukan perang, wong Kalang biasanya dipilih sebagai pasukan infanteri. Pilihan ini cukup beralasan sebab wong Kalang terkenal sangat tangguh dalam menghadapi medan tersulit sekalipun.
Adapun cikal bakal wong Kalang di Kotagede bermula pasca serangan Mataram ke Blambangan dengan membawa Wong Kalang, Gajamati dan Pinggir. Wong Kalang ditempatkan diseberang barat sungai Gajahwong di daerah Tegalgendu. Ketika Sultan Agung ungin menghias Kedatonnya di daerah Kerto, beliau memanfaatkan seorang ahli jasa ahli ukir dari suku Kalang yang bernama Jaka Sasono dari kalangan rendah.
Saat menjalankan tugasnya menghias Kedhaton Kerto dengan pahatan san ukiran itulah Jaka Sasono menjalin hubungan dengan putri Raja Mataram yang bernama Ambarlurung. Percintaan keduanya rupanya terlanjur dalam dan tak bisa dipisahkan. Jaka Sasono pun akhirnya menghadap Sultan Agung untuk melamar Ambarlurung.
Dan di luar dugaan, lamaran lelaki itu ternyata diterima Sultan Agung hanya dengan syarat Jaka Sasono harus masuk Islam. Jaka Sasono menerima syarat itu dan mereka pun akhirnya menikah. Tetapi Jaka Sasono yang tetap menyadari bahwa dirinya berasal dari kasta rendah menolak untuk tinggal di istana. Mereka berdua memilih menetap di daerah Petanahan Kebumen, Jawa Tengah.
Selanjutnya, anak keturunan Jaka Sasono dan Ambar Lurung ini menyebar ke berbagai wilayah di Jawa Tengah, termasuk Gombong. Salah satu keturunan Jaka Sasono dari Gombong ini kemudian kembali ke Kotagede dan membuat sejarah baru di sana. Adalah Ki Mertowongso orang Kalang pertama yang menjejakkan kakinya di Kotagede. Tempat asal dari leluhurnya Joko Sasono dan Dewi Ambar Lurung.
Ki Mertowongso datang ke Kotagede dalam rangka mengembangkan usahanya, yakni usaha pegadaian. Usaha ini semakin besar di bawah pengelolaan keturunan berikutnya yakni Mulyo Suwarno yang kala itu mendapat lisensi dari kraton Surakarta terhadap suku Kalang di Kotagede. Alhasil, dalam tempo waktu singkat, kelompok Kalang berhasil mengembangkan jaringannya. Dimana, rumah gadai memberi keuntungan besar.
Catatan Claude Guillot menyatakan, pekerjaan suku Kalang lainnya adalah pedagang yang bukan menjadi monopoli kaum lelaki, tetapi, juga dari kaum perempuan sebagaimana istri Mulyo Suwarno, Fatimah (putri demang Brodjosemito). Bukan hanya berjualan kebutuhan harian seperti sembako, namun lebih luas lagi, kain batik, emas dan berlian.
Kotagede kala itu sebagaimana diungkapkan Van Mook, 1926, merupakan sentral pasar berlian terbesar. Di Hindia Belanda. Dan itu, dikuasai keluarga suku Kalang. Hasilnya dapat diterka, pasangan Mulyo Suwarno dan Fatimah. Menjadi sangat kaya dan berstatus sosial tinggi.
Putra mereka adalah Prawiro Suwarno yang lahir 1873 meneruskan usaha kedua orang tuanya. Diwaktu remaja ia biasa keluar-masuk istana Yogya secara bebas dan bermain-main dengan sang pangeran yang kelak dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono ke-VIII.
Melihat perkembangan usaha Prawiro Suwarno yang semakin besar, pemerintah Hindia Belanda merasa tidak suka. Kemudian membuat aturan yang membuat bisnis pegadaian orang kalang ini hancur. Prawiro Suwarno yang mengalami kebangkrutan akhirnya ganti usaha dengan berjualan sayuran. Kegigihannya dalam menjalankan usaha menarik hati seorang Belanda dan kemudian memberinya modal untuk menjalankan usaha dagang intan berlian.
Ki Prawiro Suwarno mampu menunjukkan kemampuan bisnisnya. Tidak lama dia pun akhirnya menjadi raja berlian yang terkenal sampai Asia Tenggara dan menjadi orang terkaya di Kotagede bak Raja Midas. Mitsuo Nakamura menyebutkan, tentang hikayat lokal Kotagede. Bahwa; Perang Dunia ke I, keluarga suku Kalang, malah mendapat keuntungan besar melalui bisnisnya.
Pada saat itu orang biasa memanggilnya dengan sebutan Bekel Tembong. Sebagai orang terkaya, Bekel Tembong ini punya pengaruh yang luar biasa. Bahkan dikenal memiliki kedekatan dengan kalangan keraton dan pernah membantu keuangan istana ketika terjadi masalah keuangan.
Kekayaan yang dimilikinya tidak terhitung jumlahnya. Semua disimpan di lemari besi yang tebal. Bahkan ada cerita yang mengatakan terdapat hiasan di salah satu rumahnya yang berbentuk setandan pisang dan terbuat dari emas.
Karena kekayaannya inilah rumah-rumah yang dibangunnya memiliki arsitektur perpaduan Eropa dan Jawa. Arsitektur ini dipilih seolah untuk menegaskan, meskipun orang kalang dari Jawa, tapi kastanya sekelas dengan orang Eropa.
Waktu itu Prawiro Suwarno berencana menutup lantai ruangan pendoponya, dengan uang koin dari perak. Entah apa maksudnya. Mungkin karena kelebihan duit. Bila rencana itu terlaksana maka secara otomatis, wajah Ratu Wilhelmina yang gambarnya berada di uang tersebut akan terinjak-injak kaum pribumi.
Mendengar hal ini, residen Belanda di Yogyakarta, jadi jengkel, namun tidak ada alasan yuridis untuk melarangnya. Untuk menghalangi niat tersebut, pihak residen menyusun siasat dengan memberi saran untuk memasang uang perak secara tegak bukan mendatar.
Mitsuo Nakamura mengatakan, bahwa besaran kekayaan keluarga suku Kalang, sampai saat ini dapat terlihat dengan mudah. Di Kotagede, tersebar lusinan rumah besar. Milik Suku Kalang. Mirip istana. Dibangun sekitar dasawarsa abad ke20. Salah satunya, gedung di bagian timur Sungai Gajah Wong. Sebuah bangunan dengan 2 garasi. Yang dapat menampung delapan unit mobil. Dan kandang kuda yang diperkirakan memuat 20 ekor.
Bangunan lain Omah Kalang lainnya masih ada sampai sekarang, dan bisa kita lihat di Jl. Tegal Gendu berjajar dari Anshor Silver, Narti Silver ke barat hingga radio MBS yang sekarang berubah menjadi Restaurant mewah dan Rumah Art Galery.
Di masa revolusi kemerdekaan lagi-lagi Suku Kalang jatuh menderita. Mereka menjadi sasaran-sasaran penjarahan atau perampokan masal setiap kali ada kerusuhan, sama dengan yang dialami suku Tionghoa. Saat ibukota pindah ke Yogya, Sultan HB IX juga meminta golongan Suku Kalang menyumbang dana besar bagi perjuangan Republik.
Hj. Noeriyah yang meneruskan usaha ayahnya Prawiro Suwarno dan berteman baik dengan Sri Sultan Hamwngku Buwono 1X mengirim gerobak pedati yang mengangkut beberapa peti dan berlian ke istana Presiden di Gedung Agung Yogyakarta.
Di zaman Revolusi kemerdekaan, Kejayaan orang Kalang di Kotagede waktu itu terhenti akibat adanya aksi penjarahan akibat kesenjangan ekonomi antara orang Kalang dan penduduk asli. Setiap ada kerusuhan rumah dan kekayaan mereka dijarah dan dikuasai oleh penduduk asli Kotagede. Kini semuanya tinggal kenangan.
SUKU KALANG MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit seperti yang kita ketahui sangat berambisi menyatukan nusantara, dimana salah satunya adalah tanah Borneo.
Majapahit sangat berambisi untuk menguasai tanah Borneo karena melalui informasi telik sandinya mengabarkan ada dua kerajaan yang sangat makmur di sana.
Dua kerajaan tersebut adalah Tanjung Puri dan Nan Sarunai, sehingga pada 1356 M Majapahit mengirim ekspedisi militer pertamanya ke Borneo.
Penyerangan pertama di tanah Borneo oleh Majapahit pada 1309 M, dengan 40.000 yang menyerang kerajaan Nan Sarunai.
Akan tetapi penyerangan pertama mengalami kegagalan, disini peran Suku Kalang atau Wong Kalang terlihat.
Dilansir melalui jurnal yang berjudul Asal Muasal Wong Jonegoro: Tinjauan Historis Hubungan Wong Kalang dan Masyarakat Samin Bojonegoro, yang di tulis oleh Firza Azzam Fadilla dan Agus Danugroho, kisah tentang kehadiran komunitas masyarakat kuno Kalang ternyata juga pernah termaktub dalam kitab paling sohor dari era Kerajaan Majapahit, Kitab Negarakertagama.
Suku Kalang yang ditugaskan menjaga hutan dari serangan musuh, mereka mereka sendiri sudah lama dikenal sebagai orang-orang yang sakti mandraguna.
Mereka bermukim di Pulau Jawa terkhusus di wilayah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, contohnya di Kabupaten Blora dan Rembang di Jawa Tengah, serta di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban di Jawa Timur.
Dalam perang melawan Dayak suku Kalang membawa kemenangan hebat bagi Majapahit, sehibgga memberikan kegembiraan.
Pasukan dayak tunduk pada Wong kalang pasalnya kemampuan pasukan Kalang sangat luar biasa di medan pertempuran.
Selain itu, dengan kesaktiannya, mereka juga dipekerjakan sebagai pembuat candi, suku ini merupakan pasukan Majapahit yang kuat namun sayangnya mereka bar-bar.
Konon, Wong Kalang mampu mengangkat batu yang sangat besar, ketika berperang melawan suku Dayak yang dikenal sakti pun Majapahit banyak membawa tentara Kalang, sehingga akhirnya memperoleh kemenangan besar.
Imajier Nuswantoro