ꦄꦩꦺꦤꦔꦶꦗꦩꦤ꧀ꦄꦼꦣꦤꦺꦮꦸꦃꦄꦪꦆꦁꦥꦩ꧀ꦧꦸꦣꦶ
ꦩꦼꦭꦸꦌꦣꦤ꧀ꦤꦺꦴꦫꦠꦲꦤ꧀
ꦪꦺꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦩꦶꦭꦸꦄꦁꦭꦏꦺꦴꦤꦶ
ꦧꦺꦴꦪꦏꦣꦸꦩꦤ꧀ꦩꦺꦭꦶꦏ꧀
ꦏꦭꦶꦫꦺꦤ꧀ꦮꦼꦏꦱꦤꦶꦥꦸꦤ꧀
ꦣꦶꦭꦭꦃꦏꦼꦂꦱꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦥꦼꦔꦼꦫꦤ꧀
ꦧꦼꦒ꧀ꦗꦧꦼꦒ꧀ꦗꦤꦶꦁꦏꦁꦭꦭꦶ
ꦭꦸꦮꦶꦃꦧꦼꦒ꧀ꦗꦏꦁꦌꦭꦶꦁꦭꦤ꧀ꦮꦱ꧀ꦥꦣ
Amenangi jaman edanewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
Dilalah Kersa Gusti Pengeran
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.
Amenangi jaman edanewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
Dilalah Kersa Gusti Pengeran
begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada.
Amenangi Zaman Edan.
Hilanglah kemuliaan akhlaknya, tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka, Apa yang dipikir serba membahayakan, Sumpah dan janjinya tiada yang percaya, Akhirnya menanggung malu sendiri, Lenyaplah keluhuran budinya.
ꦆꦭꦁꦧꦸꦣꦪꦤꦶꦥꦸꦤ꧀
ꦠꦤ꧀ꦥꦧꦪꦸꦮꦼꦪꦤꦺꦔꦭꦸꦩ꧀ꦥꦸꦏ꧀
ꦱꦏ꧀ꦕꦶꦥ꧀ꦠꦤꦺꦮꦂꦣꦪꦄꦩ꧀ꦧꦺꦧꦪꦤꦶ꧈
ꦈꦧꦪꦤꦺꦤꦺꦴꦫꦥꦪꦸ꧈
ꦏꦫꦶꦏꦼꦠꦩꦤ꧀ꦥꦏꦺꦮꦺꦴꦃ꧈
ꦊꦚꦥ꧀ꦏꦼꦧꦸꦣꦪꦄꦤ꧀ꦚ
Ilang budayanipun,
Tanpa bayu weyane ngalumpuk,
Sakciptane wardaya ambebayani,
Ubayane nora payu,
Kari ketaman pakewoh,
Lenyap kebudayaannya.
Maknanya :
Hilanglah kemuliaan akhlaknya, tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka, Apa yang dipikir serba membahayakan, Sumpah dan janjinya tiada yang percaya, Akhirnya menanggung malu sendiri, Lenyaplah keluhuran budinya.
Kutipan di atas diambil dari bait kelima Serat Sabda Tama yang ditulis dalam bentuk tembang gambuh. Serat Sabda Tama adalah karya sastrawan dan pujangga besar Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, R Ng Ranggawarsita (1802-1873).
Pada zaman R Ng Ranggawarsita, di Kadipaten Mangkunegaran yang bertakhta adalah Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara IV (1809-1881). Mangkunegara IV juga dikenal sebagai seorang pujangga besar. Karyanya antara lain Serat Wedhatama dan Serat Tripama.
Karya-karya R Ng Ranggawarsita banyak yang diakui sebagai ”warisan ajaran kehidupan yang sangat berharga”. Salah satunya, selain Sabda Tama, adalah Serat Kalatida (Masa Suram). Serat ini ditulis pada masa bertakhtanya Pakubuwono IX (1861-1894).
Ketika itu, kemerosotan, dekadensi moral, dan nafsu keserakahan begitu meraja-lela, mewabah di kalangan elite yang berkuasa. Karena itu, lewat salah satunya pupuh (bait) ketujuh dari tembang sinom Serat Kalatida (Masa Suram), R Ng Ranggawarsita menulis :
ꦩꦼꦤꦔꦶꦗꦩꦤ꧀ꦌꦣꦤ꧀/
ꦄꦼꦮꦸꦃꦄꦪꦆꦁꦥꦩ꧀ꦧꦸꦣꦶ/
ꦩꦼꦭꦸꦌꦣꦤ꧀ꦤꦺꦴꦫꦠꦲꦤ꧀/
ꦪꦺꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦩꦼꦭꦸꦄꦁꦭꦏꦺꦴꦤꦶ/
ꦧꦺꦴꦪꦏꦼꦣꦸꦩꦤ꧀ꦩꦺꦭꦶꦏ꧀/ꦏꦭꦶꦫꦺꦤ꧀ꦮꦼꦏꦱꦤꦶꦥꦸꦤ꧀/
ꦤ꧀ꦝꦶꦭꦭꦃꦏꦼꦂꦱꦤꦶꦁꦄꦭ꧀ꦭꦃ/
ꦧꦼꦒ꧀ꦗꦧꦼꦒ꧀ꦗꦤꦺꦏꦁꦭꦭꦶ/
ꦭꦸꦮꦶꦃꦧꦼꦒ꧀ꦗꦏꦁꦌꦭꦶꦁꦭꦤ꧀ꦮꦱ꧀ꦥꦣ꧉
Menangi jaman edan/
ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/
Yen tan melu anglakoni/
boya keduman melik/kaliren wekasanipun/
ndilalah kersaning Allah/
begja-begjane kang laliluwih begja kang eling lan waspada.
Terjemahan bebas :
Menghadapi zaman gila/suasana memang menjadi sulit/Ikut gila tidak tahan/tetapi kalau tidak ikut melakukan/lenyaplah segala kemungkinan untuk mendapatkan, kelaparan/kesengsaraan jadinya/untunglah, sudah menjadi kehendak Allah/seberuntung-beruntungnya orang yang lupa/lebih beruntung orang yang sadar/dan waspada).
꧋ꦚꦠꦤꦺꦆꦁꦗꦩꦤ꧀ꦱꦻꦏꦶꦭꦒꦶꦔꦣꦺꦥꦶꦗꦩꦤ꧀ꦌꦣꦤ꧀ꦱꦶꦁꦎꦫꦏꦫꦸꦮꦤ꧀
꧋ꦆꦱꦶꦤꦺꦱꦂꦮꦄꦔꦺꦭ꧀ꦆꦁꦮꦠꦏ꧀ꦧꦸꦣꦶꦤꦺ꧈ꦪꦺꦤ꧀ꦩꦼꦭꦸꦌꦣꦤ꧀ꦎꦫꦠꦲꦤ꧀
꧋ꦤꦔꦶꦁꦪꦺꦤ꧀ꦎꦫꦩꦼꦭꦸ꧈ꦧꦏꦭ꧀ꦎꦫꦏꦼꦣꦸꦩꦤ꧀ꦧꦒꦺꦪꦤ꧀
ꦭꦤ꧀ꦄꦏ꦳ꦶꦫꦺꦧꦏꦭ꧀ꦏꦼꦭꦸꦮꦺꦤ꧀꧈
꧋ꦤꦔꦶꦁꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦥꦼꦔꦼꦫꦤ꧀ꦥꦫꦶꦁꦏꦼꦂꦱꦭꦤ꧀ꦮꦶꦱ꧀ꦔꦠꦸꦂꦉꦗꦼꦏꦶꦤꦺꦮꦺꦴꦁ꧈
ꦱꦼꦈꦤ꧀ꦠꦸꦁꦈꦤ꧀ꦠꦸꦔꦺꦮꦺꦴꦁꦱꦼꦩ꧀ꦧꦿꦤꦭꦤ꧀ꦭꦭꦶ꧈
꧋ꦧꦏꦭ꧀ꦭꦸꦮꦶꦃꦈꦤ꧀ꦠꦸꦁꦮꦺꦴꦁꦱꦶꦁꦌꦭꦶꦁꦭꦤ꧀ꦮꦱ꧀ꦥꦣ꧉
Nyatane ing jaman saiki lagi ngadhepi jaman edan sing ora karuwan, isine sarwa angel ing watak budine, yen melu edan ora tahan, nanging yen ora melu, bakal ora keduman bageyan, lan akhire bakal keluwen. Nanging Gusti Pengeran paring kersa lan wis ngatur rejekine wong, seuntung-untunge wong sembrana lan lali, bakal luwih untung wong sing eling lan waspada.
Serat Kalatidha adalah sebuah karya sastra Jawa karangan Ranggawarsita, yang ditulis sekitar tahun 1860 Masehi. Ranggawarsita adalah pujangga terakhir dari kasunanan/kerajaan Surakarta. Konon Ranggawarsita menulis syair ini karena suatu kekecewaan, ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Penyebabnya adalah ketidak adilan, krisis yang terjadi disegala lini dan ia menyebutnya sebagai gila/edan.
Ranggawarsita hidup dan mengabdi sebagai pujangga Keraton Surakarta di masa Raja Paku Buwana IX. Pujangga dapat diartikan sebagai orang yang memiliki kewenangan menulis puisi, surat, cerita menurut perintah rajanya. Otomatis apa yang ditulis oleh orang pujangga keraton harus merefleksikan kebesaran dan legitimasi kekuasaan sang raja.
Kalatidha merupakan sebuah syair yang sangat termashur. Ketenaran Serat Kalatidha juga mencapai kota Leiden, Belanda. Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum.
Serat Kalatidha bukanlah ramalan seperti Jangka Jayabaya. Serat Kalatidha adalah sebuah syair yang terdiri dari 12 bait, berisi falsafah atau ajaran hidup Ranggawarsita. “Kala” berarti “jaman” dan “tidha” adalah “ragu”. Kalatidha berarti jaman penuh keraguan. Walau demikian banyak yang memberi pengertian “Kalatidha adalah jaman edan” mengambil makna dari bait ke tujuh serat ini, bait yang sangat popular.
Bait ketujuh :
ꦄꦩꦺꦤꦔꦶꦗ꦳ꦩꦤ꧀ꦌꦣꦤ꧀꧈
ꦩꦺꦭꦸꦔꦺꦣꦤ꧀ꦤꦺꦴꦫꦠꦲꦤ꧀꧈
꧋ꦪꦺꦤ꧀ꦠꦤ꧀ꦩꦺꦭꦸꦄꦁꦭꦏꦺꦴꦤꦶꦧꦺꦴꦪꦏꦺꦣꦸꦩꦤ꧀꧈
ꦧꦼꦒ꧀ꦗꦧꦼꦒ꧀ꦗꦤꦶꦁꦏꦁꦌꦣꦤ꧀꧈
ꦭꦸꦮꦶꦃꦧꦼꦒ꧀ꦗꦏꦁꦌꦭꦶꦁꦏ꧀ꦭꦮꦤ꧀ꦮꦱ꧀ꦥꦣ
Amenangi zaman édan.
Mélu ngédan nora tahan.
Yén tan mélu anglakoni boya kéduman.
Begja-begjaning kang édan.
Luwih begja kang éling klawan waspada.
Artinya :
“Berada pada zaman édan; Kalau ikut édan tidak akan tahan; Tapi kalau tidak ngikuti édan tidak kebagian; Sebahagia-bahagianya orang yang édan; Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Bait ke-tujuh serat ini menggambarkan situasi edan saat itu dan ajakan untuk mawas diri. Makna dari bait ke tujuh adalah :
- Mengalami hidup pada jaman edan; memang serba repot.
- Mau ikut ngedan hati tidak sampai.
- Kalau tidak mengikuti.
- Tidak kebagian apa-apa.
- Akhirnya malah kelaparan.
- Namun sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.
Bagaimanapun beruntungnya orang yang edan, Masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.
Imajier Nuswantoro