KISAH GEGER SEJATINING SRI
Kisah ini menceritakan terciptanya tujuh bidadari unggulan Kahyangan Suralaya, yaitu Batari Supraba dan adik-adiknya, serta mengisahkan pertempuran antara Prabu Brahmakadali melawan Sri Maharaja Budakresna yang disebabkan oleh kesalahpahaman.
Kisah ini disusun berdasarkan sumber Serat Pustakaraja Purwa karya Ngabehi Ranggawarsita dengan sedikit pengembangan.
Kediri, 05 September 2014 - Heri Purwanto
Ditulis ulang oleh : Imajiner Nuswantoro
TERCIPTANYA TUJUH BIDADARI UNGGULAN
Di Kahyangan Suralaya, Batara Indra dihadap Batara Wrehaspati dan para jawata, sedang membicarakan tentang sebuah permata indah bernama Mustika Mulat yang jatuh dari langit. Atas petunjuk yang diterima dari Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka, permata tersebut hendaknya dicipta menjadi tujuh bidadari unggulan, dengan melibatkan bantuan keempat saudara lainnya.
Untuk itu, Batara Indra pun mengirimkan undangan kepada Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Bayu, dan Sri Maharaja Budakresna (Batara Wisnu) di tempat tinggal masing-masing. Kini, keempatnya telah hadir di Kahyangan Suralaya. Batara Indra segera mengajak mereka untuk mengheningkan cipta mengelilingi Mustika Mulat tersebut, sesuai petunjuk Batara Guru.
Berkat puja samadi yang dilakukan kelima dewa, Mustika Mulat pun berubah wujud menjadi tujuh orang bidadari yang sangat cantik jelita. Batara Indra kemudian memberi mereka nama Batari Supraba, Batari Wilotama, Batari Warsiki, Batari Surendra, Batari Gagarmayang, Batari Irimirim, dan Batari Tunjungbiru.
Batara Indra sangat senang dan mengangkat ketujuh bidadari itu sebagai anak. Mereka bertujuh lalu diperintahkan mengelilingi taman Kahyangan Suralaya, dan setelah itu melakukan tarian Bedaya di hadapan para jawata. Inilah awal mula Pulau Jawa mengenal tarian Bedaya yang kelak akan banyak dimainkan di keraton-keraton.
BATARA SUKADI MENJADI PATIH SIPTAGATI
Setelah pertemuan di Kahyangan Suralaya usai, para dewa pun kembali ke tempat tinggal masing-masing. Dalam perjalanan pulang tersebut, Sri Maharaja Budakresna melihat ada sebongkah batu meteor meluncur jatuh dari luar angkasa. Batu meteor itu segera ditangkapnya menggunakan kesaktian. Setelah diperiksa dengan seksama, ternyata batu meteor itu mengandung logam yang bermutu tinggi. Dikarenakan bentuknya seperti bunga padma, maka Sri Maharaja Budakresna pun memberinya nama Tosan Padma.
Sri Maharaja Budakresna lalu membawa pulang Tosan Padma ke Kerajaan Purwacarita dan menyerahkannya kepada Batara Sukadi supaya ditempa menjadi senjata pusaka. Batara Sukadi segera melaksanakan perintah tersebut dengan baik, dan akhirnya berhasil mengubah Tosan Padma menjadi empat bilah keris pusaka.
Sri Maharaja Budakresna sangat berkenan melihat keempat keris pusaka tersebut. Ia lalu memberikan anugerah kepada Batara Sukadi dengan mengangkatnya sebagai menteri utama Kerajaan Purwacarita, bergelar Patih Siptagati.
PRABU BRAHMAKADALI MEMINTA SEJATINING SRI
Pada suatu hari Sri Maharaja Budakresna di Kerajaan Purwacarita menerima kedatangan Patih Suweda dari Kerajaan Gilingaya. Patih Suweda datang untuk menyampaikan surat Prabu Brahmakadali yang ingin meminta Sejatining Sri. Apabila Sri Maharaja Budakresna mengizinkan, maka Prabu Brahmakadali akan datang secara pribadi ke Kerajaan Purwacarita.
Sri Maharaja Budakresna sangat murka membaca surat tersebut, karena dianggap sebagai penghinaan baginya. Ia menuduh Prabu Brahmakadali berniat kurang ajar, karena meminta Sejatining Sri berarti meminta permaisurinya. Hal ini dikarenakan para istri Batara Wisnu (Sri Maharaja Budakresna) banyak yang memiliki nama depan “Sri”, antara lain Dewi Srilaksmi, Dewi Srilaksmita, Dewi Sriyani, dan Dewi Sri Satyawarna.
Sri Maharaja Budakresna pun mengusir Patih Suweda agar kembali kepada rajanya dan melapor bahwa permintaannya ditolak. Tidak hanya itu, ia juga memerintahkan Patih Siptagati untuk memimpin pasukan menggempur Kerajaan Gilingaya.
PRABU BRAHMAKADALI GUGUR
Patih Suweda tiba di Kerajaan Gilingaya dan melaporkan kegagalannya kepada Prabu Brahmakadali. Tidak lama kemudian, pasukan Purwacarita yang dipimpin Patih Siptagati datang menyerbu. Patih Suweda segera keluar memimpin pasukan Gilingaya menghadapi serangan tersebut. Pertempuran besar pun terjadi, di mana Patih Suweda akhirnya tewas di tangan Patih Siptagati.
Prabu Brahmakadali maju memimpin langsung pasukan Gilingaya. Kali ini ganti pihak Purwacarita yang terpukul mundur. Bahkan, Patih Siptagati gugur pula di tangan Prabu Brahmakadali yang tidak lain adalah adik kandungnya sendiri itu.
Sri Maharaja Budakresna yang mendengar pasukannya terdesak mundur segera melesat terbang dan mendarat di medan pertempuran. Ia lalu bertarung menghadapi Prabu Brahmakadali dan melepaskan senjata Cakra Sudarsana. Begitu terkena pusaka berbentuk cakram tersebut, Prabu Brahmakadali pun gugur rebetika.
BRAHMANA DEWAHESA MENYADARKAN SRI MAHARAJA BUDAKRESNA
Batara Rudra (kakak tiri Batara Guru) di Kahyangan Keling merasa prihatin mendengar berita pertempuran antara Kerajaan Purwacarita melawan Kerajaan Gilingaya. Jika dulu ia pernah melerai pertempuran antara Sri Maharaja Budawaka dan Sri Maharaja Budakresna, maka kini ia merasa perlu untuk datang kembali ke Pulau Jawa.
Batara Rudra mengubah wujud menjadi seorang brahmana, bergelar Brahmana Dewahesa menuju Kerajaan Purwacarita. Ia menemui Sri Maharaja Budakresna dan mengatakan bahwa pertempuran yang telah terjadi hanyalah karena kesalahpahaman belaka. Ia menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sejatining Sri bukanlah meminta permaisuri, tetapi Prabu Brahmakadali ingin meminta kepada Sri Maharaja Budakresna supaya mengajarkan Sejatining Ilmu Keraton.
Brahmana Dewahesa menyebut kedua pihak sama-sama keliru. Sri Maharaja Budakresna dinyatakan bersalah karena terlalu menuruti amarah, sedangkan Prabu Brahmakadali juga bersalah karena sebagai pihak yang lebih muda ia seharusnya berterus terang dan bukannya main tebak-tebakan seperti itu.
Sri Maharaja Budakresna sangat malu dan menyesali kesalahannya yang terburu nafsu. Ia lalu kembali ke wujud Batara Wisnu dan mohon pamit untuk pulang ke Kahyangan Utarasegara, meninggalkan Kerajaan Purwacarita.
BRAHMANA DEWAHESA MENJADI RAJA GILINGAYA
Sepeninggal Batara Wisnu, Brahmana Dewahesa lalu pergi ke Kerajaan Gilingaya dan memperbaiki negeri tersebut dari kerusakan. Bala tentara yang masih tersisa dan segenap penduduk merasa sangat gembira seolah mendapatkan pemimpin baru. Mereka pun sepakat meminta Brahmana Dewahesa untuk menjadi raja Gilingaya yang baru, bergelar Sri Maharaja Dewahesa.
Sementara itu, Kerajaan Purwacarita yang ditinggal pergi oleh Batara Wisnu kini menjadi kosong seperti kota mati. Hal itu dikarenakan tidak ada lagi raja yang bertakhta di sana.
Imajiner Nuswantoro