BABAGAN ILMU & AJARAN R.M.P SOSRO KARTONO
(KAKAK R.A. KARTINI)
Ing
donya mung kebak kangelan,
sing
ora gelem kangelan aja ing Donya
Artinya
:
Di
dunia penuh dengan kesusahan, yang tidak mau susah jangan di dunia.
KISAH R.M.P SOSRO KARTONO
Raden
Mas Panji Sosrokartono lahir di Mayong pada hari Rabu Pahing tanggal 10 April
1877 M. Beliau adalah putera R.M. Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara.
Semenjak kecil beliau sudah mempunyai keistimewaan, beliau cerdas dan mempunyai
kemampuan membaca masa depan.
Raden
Mas Panji Sosrokartono adalah kakak dari RA. Kartini pahlawan Nasional, setelah
tamat dari Eropesche Lagere School di Jepara, melanjutkan pendidikannya ke
H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda.
Mula-mula masuk di sekolah Teknik Tinggi di Leiden, tetapi merasa tidak cocok,
sehingga pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan
mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang
pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya.
Dengan
menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi
Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjelajahi pelbagai pekerjaan.
Selama perang dunia ke I, beliau bekerja sebagai wartawan perang pada Koran New
York Herald dan New York Herald Tribune. Kemudian, setelah perang usai, beliau
menjadi penerjemah di Wina, tapi beliau pindah lagi, bekerja sebagai ahli
bahasa pada kedutaan Perancis di Den Haag, dan akhirnya beliau hijrah ke
Jenewa. Sebagai sarjana yang menguasai 26 bahasa, beliau bekerja sebagai
penerjemah untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa.
Sampai
suatu ketika terdengar berita tentang sakitnya seorang anak berumur ± 12 tahun.
Anak itu adalah anak dari kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak
kunjung sembuh meki sudah diobati oleh beberapa dokter. Dengan dorongan hati
yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan
penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang
sakit parah itu. Sesampainya di sana, beliau langsung meletakkan tangannya di atas
dahi anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit
itu mulai membaik dengan hitungan detik, dan hari itu juga ia pun sembuh.
Kejadian
itu membuat orang-orang yang tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk juga
dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu. Setelah itu, ada
seorang ahli Psychiatrie dan Hypnose yang menjelaskan bahwa sebenarnya Drs.
R.M.P. Sosrokartono mempunyai daya pesoonalijke magneetisme yang besar sekali
yang tak disadari olehnya.
Mendengar
penjelasan tersebut, akhirnya beliau merenungkan dirinya dan memutuskan
menghentikan pekerjaannya di Jenewa dan pergi ke Paris untuk belajar
Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah perguruan tinggi di kota itu. Akan
tetapi, karena beliau adalah lulusan Bahasa dan Sastra, maka di sana beliau
hanya diterima sebagai toehoorder saja, sebab di Perguruan Tinggi tersebut
secara khusus hanya disediakan untuk mahasiswa-mahasiswa lulusan medisch
dokter.
Beliau
kecewa, karena di sana beliau hanya dapat mengikuti mata kuliah yang sangat
terbatas, tidak sesuai dengan harapan beliau. Di sela-sela hati yang digendam
kecewa, datanglah ilham untuk kembali saja ke tanah airnya. Di tanah airnyalah
beliau harus mencurahkan segenap tenaga dan pikiran untuk mengabdikan diri
kepada rakyat Indonesia. Sesampainya di indonesia, beliau bertempat tinggal di
Bandung, beliau menjadi sang penolong sesama manusia yang menderita sakit
jasmani maupun rohani.
Di
Bandung, di Dar-Oes-Salam-lah beliau mulai mengabdikan dirinya untuk
kepentingan umat. Beliau terkenal sebagai seorang paranormal yang cendekiawan
di mana saja, bahkan beliau pernah mendapat undangan Sultan Sumatera, Langkat.
Di daerah sanalah beliau mulai menampakkan kepribadiannya secara pasti, karena
di sebuah kerajaan beliau masih menunjukkan tradisi Jawanya,
kerendah-hatiannya, kesederhanaannya, tidak mau menikmati kemewahan, bahkan
dalam beberapa hari di tiap harinya beliau hanya makan dua buah cabe atau
sebuah pisang.
Beliau
tidak menikah, tidak punya murid dan wakil.
Pada
hari Jum’at Pahing, tanggal 8 februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19
Bandung, yang terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono
kembali ke Sang Pencipta dengan tenang, tentram.
Mandor Klungsu
“…
para Pangeran ingkang sesami rawuh perlu manggihi pun Klungsu, …”
“…
para pangeran yang berdatangan perlu menemui si Klungsu, …”
“Salam
alaikum, Kula pun Mandor Klungsu.”
“Salam
alaikum, Saya si Mandor Klungsu.”
“Taklimi
pun Mandhor … Pak Klungsu.”
“Taklimnya
Mandhor … Pak Klungsu.”
“Salam
taklimipun lan padonganipun. Pak Klungsu.”
“Salam
taklimnya dan do’anya. Pak Klungsu.”
Kutipan- kutipan di atas menunjukkan bahwa Drs. R.M.P. Sosrokartono
menyebut dirinya sebagai “Mandor Klungsu”.
Klungsu
artinya biji asam, bentuknya kecil tapi keras (kuat) yang ketika ditanam dan
dirawat sebaik-baiknya, maka akan menjelma sebuah pohon yang besar-kekar,
berdaun rimbun dan berbuah lebat.
Bukan
sekedar biji buah asam, melainkan kepala/pimpinannya.
Pohon
asam mulai dari pohon sampai bijinya, semua dapat dimanfaatkan. Selain itu,
mempunyai sifat kokoh dan tegar.
Ketika
melihat kiprahnya sehari-hari, maka beliau hanya seorang Mandor, Mandor
Klungsu, yang harus menjalankan perintah Sang Pimpinan (Tuhan), serta
mempertanggungjawabkan semua karyanya selama itu kepada Tuhannya.
“Kula
dermi ngelampahi kemawon.”
Maksudnya,
“Saya hanya menjalankan saja.”
“Namung
madosi barang ingkang sae, sedaya kula sumanggaken dhateng Gusti.”
Maksudnya,
“Saya hanya mencari sesuatu yang baik, semuanya saya serahkan kepada Tuhan.”
“Kula
saged nindhakaken ibadat inggih punika kuwajiban bakti lan suwita kula dhateng
sesami.”
Maksudnya,
“Saya bisa menjalankan ibadah, yaitu kewajiban berbakti dan pengabdian saya
kepada sesama.”
Jaka
Pring
“…
Nyuwun pangestunipun para sedherek dhumateng pun Djoko Pring.”
“…
mohon do’a restunya saudara-saudara untuk si Jaka Pring.”
“Saking
Ulun, Djoko Pring.”
“Dari
saya, Jaka Pring.”
Selain untuk dijadikan nama, Drs. R.M.P Sosrokartono juga pernah
menuliskannya sebagai berikut :
“Pring
padha pring
Weruh
padha weruh
Eling
tanpa nyanding.”
Artinya,
“Bambu sama-sama bambu, tahu sama-sama tahu, ingat tanpa mendekat.”
Versi
lain berbunyi:
“Susah
padha susah; seneng padha seneng; eling padha eling; pring padha pring.”
Artinya,
“Susah sama-sama susah; senang sama-sama senang; ingat sama-sama ingat; bambu
sama- sama bambu.”
Jaka
adalah jejaka/laki-laki yang belum (tidak) menikah dan Pring adalah bambu.
Pohon
bambu adalah pohon yang sekujur tubuhnya dapat dimanfaatkan oleh siapa saja
yang berkepentingan dengannya. Pohon Bambu dapat dimanfaatkan untuk membuat
rumah, mulai dari tiang, atap, dinding, pagar, sampai atap-atapnya. Bukankah
orang-orang dahulu menjadikan daun bambu sebagai genteng rumah mereka?
Ranting-rantingnya dapat dijadikan kayu bakar atau pagar. Bambu dapat digunakan
untuk membuat balai-balai, sangkar, keranjang, tempayan, tembikar, kursi, dll.
Cikal bakal dari pohon bambu dapat dimanfaatkan untuk sayur/dimakan. Yang
jelas, semuanya dapat dimanfaatkan, semuanya dapat difungsikan atau dibutuhkan
sesuai kehendak orang yang bersangkutan.
Satu
hal lagi, jenis bambu itu bermacam-macam. Sesuai dengan hajat seseorang dalam
memfungsikan bambu, maka ia mempunyai pilihan terhadap jenis bambu yang mana ia
butuhkan. Apakah bambu pethung, bambu ori, bambu wuluh, bambu apus dan lain
sebagainya.
Kutipan
di atas juga mengutarakan bahwa, apapun jenis kita, bangsa kita, agama kita,
ras, warna kulit, perbedaan bahasa dan suku kita, kita tetap sama, sama-sama
tahu, sama-sama manusia.
Apapun
jenis, warna dan bentuknya bambu, tetap bambu. Tak ada perbedaan, semua sama
belaka. Manusia yang satu dengan manusia yang lain adalah sama. Seperti ketika
beliau melakukan perjalanan ke luar Jawa, kemudian beliau bertemu oleh sekian
jenis manusia dengan status sosial yang berbeda. Bagi beliau, semua manusia
disejajarkan. Sikap egalitarisme tetap dijaga dan dilestarikan.
Dalam
kondisi dan situasi bagaimanapun dan di manapun, ingat akan keterciptaan,
teringat akan sesama, saling mengingatkan dan ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Yang Maha Pemurah. Ketika manusia itu ingat kepada Tuhannya, maka Tuhanpun akan
ingat kepadanya.
Guru
Sejati
“Murid,
gurune pribadi
Guru,
muride pribadi
Pamulangane,
sengsarane sesami
Ganjarane,
ayu lan arume sesami.”
Artinya,
“Murid gurunya diri pribadi. Guru, muridnya diri pribadi. Tempat
belajarnya/pelajarannya, penderitaan sesama. Balasannya, kebaikan dan keharuman
sesama.”
Untaian
itu mengandung pengertian bahwa sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat
seorang guru dan diri seseorang itu sendiri menjadi murid, murid dari guru
sejati.
Sebab,
pada intinya, segala bentuk ilmu dan pengetahuan itu hanya datang dari Tuhan,
karena guru selain Tuhan itu hanya sebagai perantara belaka.
“Sinau
ngarosake lan nyumerepi tunggalipun manungsa, tunggalipun rasa, tunggalipun
asal lan maksudipun agesang.”
Artinya,
“Perlu belajar ikut merasakan dan mengetahui bahwa manusia itu satu, rasa itu
satu, berasal dari tempat yang sama, dan belajar memahami arti dari tujuan
hidup.”
“Tansah
anglampahi dados muriding agesang.”
Artinya,
“Selalu menjalani jadi murid kehidupan/sesama hidup.”
Kehidupan
itulah sang guru, karena kehidupan itu juga mengajarkan kepada kita.
Sang Alif
“…
Ping kalihipun perlu babat lan ngatur papan kangge masang Alif. (Masang Alif
punika inggih kedah mawi sarana lampah. Boten kenging kok lajeng dipun
canthelaken kemawon, lajeng dipun tilar kados mepe rasukan).”
Artinya,
“Yang keduanya perlu membuka dan mengatur tempat untuk memasang Alif. (Memasang
Alif itu harus dengan sarana penghayatan. Tidak boleh hanya dicantolkan begitu
saja, lalu ditinggal layaknya menjemur pakaian.)
“Ngawula
dateng kawulaning Gusti lan memayu ayuning urip, …”
Maksudnya
adalah mengabdi kepada abdinya Tuhan dan memperbaiki keindahan hidup.
Diungkapkan
bahwa Drs. R.M.P. Sosrokartono memiliki tiga buah Alif, yaitu :
1.
Sang Alif warna hitam, dengan dasar putih.
2.
Sang Alif warna putih, dengan dasar biru muda.
3.
Sand Alif warna putih, dengan dasar merah.
Ketika
melayani dan mengobati orang-orang yang sakit, Drs. R.M.P. Sosrokartono selalu
berdiri. Beilau kuat sekali berdiri berjam-jam atau berhari-hari. Setelah
mengobati orang-orang sampai pukul 12 malam, Dar-Oes-Salam ditutup. Namun
beliau tidak langsung tidur, beliau seringkali bermain catur sampai jam 3, 4
pagi, itupun beliau lakukan sambil berdiri.
Kanthong Bolong
“Nulung
pepadhane, ora nganggo mikir
wayah,
wadhuk, kanthong.
Yen
ana isi lumuntur marang sesami.”
Artinya,
“Menolong sesama, tidak perlu memakai pikiran waktu, perut, saku. Jika (saku)
berisi mengalir kepada sesama.”
Dengan
demikian, maksud dari “Ilmu Kanthong Bolong” adalah sebuah pengetahuan konkrit
tentang sebentuk tempat yang selalu kosong, yang secara pasti tempat itu tak
pernah membiarkan sesuatu yang dimilikinya tetap ada, karena tempat itu
berlobang, maka apapun yang ditaruh di sana selalu mengalir, sehingga menjadi
kosong dan sunyi dari apa saja.
“Nulung
tiyang kula tindakaken ing pundi-pundi, sak mangsa-mangsa, sak wanci-wanci.”
Maksudnya,
menolong orang itu dilaksanakan di mana-mana, sewaktu-waktu, kapan saja.
1.
Sugih Tanpa Bandha.
2.
Sugih tanpa bandha.
3.
Digdaya tanpa adji.
4.
Ngalurug tanpa bala.
5.
Menang tanpa ngasoraken.
Artinya,
“Kaya tanpa harta. Sakti tanpa azimat. Menyerang tanpa balatentara. Menang
tanpa merendahkan.”
Demikianlah
kata-kata mutiara yang tertera pada salah satu batu nisan makam Drs. R.M.P.
Sosrokartono di Sidhomukti Kudus.
Ajaran
Drs. R.M.P. Sosrokartono ini tidak mengajak orang-orang Indonesia jadi orang
yang melarat, miskin, tak punya harta, sehingga mudah dipermainkan oleh mereka
yang berharta. Tapi sesungguhnya, kembali pada penjelasan bahwa orang kaya itu
bukanlah karena banyak harta bendanya, melainkan orang kaya itu adalah orang
yang kaya hatinya, yang kaya mentalnya.
“Puji
kula mboten sanes namung sugih-sugeng-seneng-ipun sesami.”
Maksudnya,
si miskin akan akan tetap jadi miskin atau makin miskin karena bermental
miskin.
Bukankah
orang kaya itu orang yang sudah tak lagi membutuhkan sesuatu, karena semuanya
telah terpenuhi? Meskipun anda tak berharta, tapi anda sudah merasa cukup
dengan apa yang anda dapatkan di dunia ini, maka andalah orang kaya itu.
Sebaliknya, meskipun anda banyak berharta, tapi anda masih menginginkan dan
membutuhkan sesuatu yang begini dan begitu, maka anda bukanlah orang kya,
karena anda masih fakir (butuh) dan kebutuhan anda belum tercukupi.
Digdaya Tanpa Aji
“Ajinipun
inggih boten sanes namung aji tekad; ilmunipun ilmu pasrah; rapalipun adilipun
Gusti.”
Artinya,
“Ajiannya tidak lain hanyalah ajian tekad, ilmunya ilmu pasrah, manteranya
keadlan Tuhan.”
Perbuatan
taat dan meninggalkan maksiat itulah sumber energi yang dapat membuat seseorang
sakti mandraguna, disamping kemampuan diri mengekang gejolak syahwat dan dari
perintah nafsu yang buruk.
Rumusan
beliau “Digdaya tanpa Aji” ada pada tiga tahapan, yaitu :
Tekad
Tekad
adalah sifat yang merujuk pada semangat dan keberanian diri dalam menghadapi
segala masalah, seperti rekayasa hidup, fitnah dan bujukan dunia. Tekad ada
karena ada niat, sementara segala sesuatu itu tergantung pada niatnya. Jika
niatnya itu baik, maka baiklah jadinya. Selain itu, dengan tekad manusia dapat
menyelesaikan tugas-tugasnya. Tekad bukan berarti spekulasi miring, tapi lebih
mengarah pada sikap tidak takut pada apapun dan siapapun, sehingga hasil yang
dicapaipun menjadi maksimal. Tekad dapat dijadikan senjata, yakni senjata
psikis dalam menghadapi setiap masalah. Oleh karena itu tekad dapat dijadikan
ajian, azimat pamungkas dalam segala urusan. Untuk mendapatkan “aji tekad”
tidak perlu melakukan laku (tirakat), tidak pula belajar ilmu kanuragan dahulu,
tetapi “aji tekad” dapat diperoleh dengan menanam keberanian, kepasrahan,
keadilan dan niat yang baik dalam diri.
Pasrah
Ilmu
pasrah dapat juga disebut ilmu tawakal. Memasrahkan diri sepenuhnya kepada Yang
Maha Kuasa. Ilmu tawakal ini bisa diperoleh dengan menanamkan pemahaman dalam
diri bahwa tak ada kuasa dan daya selain kuasa dan daya Tuhan Yang Maha Agung.
Hidup dan mati itu urusan Tuhan, sukses dan gagal atas kehendak Tuhan. Intinya,
menyerahkan permasalahan hidup ini kepada Tuhan, karena Dialah sebaik-baiknya
Wakil. Pasrahkan jiwa dan raga kepada-Nya; Dibalik tawakkal ada keselamatan,
karena ketika manusia telah menyerahkan hidup-matinya, segala urusannya kepada
Yang Maha Esa, maka Dialah yang akan melindungi dan menyelamatkannya dari bahaya
dan bencana.
Keadilan
Keadilan
disini adalah lafal, kata/tanda yang disandarkan kepada Tuhan. Keadilan ini
sulit didapat dan sulit dipraktekkan, kaena keadilan adalah puncak dari
kebaikan. Ketika manusia tak dapat berbuat adil, maka Tuhanlah yang akan memberikan
keadilan. Keadilan Tuhan ini sangat menakutkan, karena Yang Maha Adil itu
takkan memandang siapa yang akan diadili, sehingga keadilan benar-benar
ditegakkan.
Ketika
keadilan-Nya telah berbicara, maka kebenaranlah yang ada. Ketika keadilan Tuhan
telah menjadi ucapan seseorang dalam denyut kehidupannya, maka kebenaran dan
kebaikanlah yang diperolehnya.
“Tanpa
aji, tanpa ilmu, kula boten gadhah ajrih, sebab payung kula Gusti kula, tameng
kula inggih Gusti kula.”
Artinya,
“Tanpa ajian, tanpa ilmu (kanuragan), saya tidak takut, sebab payung atau
pelindung saya adalah Tuhan dan perisai saya juga hanya Tuhan.”
Bertempur Tanpa Pasukan
“Ngalurug
tanpa Bala” adalah merupakan sebagian kebenaran hidup yang harus dihayati dan
diamalkan, karena ungkapan ini merujuk pada istilah berkarya dengan tangan
sendiri. Tak perlu bantuan, tak perlu teriak-teriak meminta pertolongan, karena
diri pribadi sudah dapat mengatasi apa yang dialami.
Sesungguhnya
musuh manusia adalah setan, baik setan manusia maupun setan jin, maka kepada
keduanyalah manusia harus melakukan perlawanan. Sekali lagi, setan-setan itulah
yang harus dilawan, diperangi, dan kalau bisa, dimusnahkan saja. Dengan bekal
teksd dan keberanian yang suci, maka tak ada yang tak dapat dihancurkan, karena
semua mahluk akan binasa kecuali Dzat-Nya.
Kasih
sayang dapat melunakkan musuh, dapat menolong, dapat dijadikan pelindung, dan
dengan tekad asih, kita tidak akan merasa takut terhadap siapapun dan apapun.
“Ingkang
kula dalaken dede tekad pamrih, ananging tekad asih.”
Artinya,
“Yang saya pergunakan bukan tekad pamrih, tapi tekad asih.”
“Anglurug
tanpa bala, tanpa gaman; Ambedhah, tanpa perang tanpa pedhang.”
Maksudnnya,
mengejar (musuh) tanpa tentara, tanpa senjata; menundukkan (musuh) tanpa perang
tanpa pedang.Tak perlu teman, tak perlu senjata. Hindarilah peperangan,
pertarungan, atau kekerasan.
Yakinlah
bahwa orang yang berjalan dengan membawa cinta kasih kepada sesama mahluk akan
senantiasa mendapatkan pertolongan dan perlindungan Tuhan.
Meskipun
manusia tidak mencari masalah atau musuh, permasalahan atau musuh itu datang
dengan sendirinya dan akan meniupkan gangguan-gangguan. Akan tetapi,
permasalahan dan musuh yang ada di dalam diri kita sendiri. Tekanan batin,
penderitaan mental, atau nafsu-nafsu kotor yang menghuni lembah diri kita
itulah permasalahan dan musuh kita yang berat lagi membahayakan, karena tak
tampak tetapi dapat kita rasakan.
Nafsu-nafsu
jahat yang menghuni diri manusia bermacam-macam. Nafsu-nafsu itulah yang pada
umumnya membuat manusia menjadi sombong, kikir, dengki, jahat dan segala bentuk
sifat buruk sering bercokol dalam dirinya, sehingga kehinaan dan kenestapaanlah
yang diperoleh, bukan kemuliaan dan keselamatan. Maka, sangat elegan jika Drs.
R.M.P. Sosrokartono mencetuskan rumusan “Ngalurug tanpa Bala” yang mempunyai
muatan ajaran spiritual dalam rangka menghalau segala bentuk keburukan yang ada
didalam diri manusia, supaya manusia tidak menjadi hina, karena barang siapa
yang dikalahkan dengan hawa nafsunya maka kehinaanlah yang akan bersanding
mesra dengannya.
Trimah Mawi Pasrah
“Trimah
mawi pasrah.
Suwung
pamrih, tebih ajrih.
Langgeng
tan ana susah, tan ana seneng.
Antheng
mantheng sugeng jeneng.”
Artinya,
“Menerima dengan pasrah. Tiada pamrih, jauh dari takut. Abadi tiada duka, tiada
suka. Tenang memusat, bahagia bertakhta.”
Konsep
“trimah mawi Pasrah”, oleh Drs. R. M. P. Sosrokartono, diperjelas dengan apa
yang pernah beliau katakan di bawah ini :
“Ikhlas
marang apa sing wes kelakon.
Trimah
apa kang dilakoni.
Pasrah
marang apa bakal ana.”
Artinya,
“Ikhlas terhadap apa yang telah terjadi. Menerima apa yang dijalani. Pasrah
terhadap apa yang akan ada.”
Jadi,
selain bergandengan dengan ilmu sabar, ilmu pasrah dan ilmu trimah juga
bergandengan dengan ilmu ikhlas, tidak mencari pamrih, tidak karena ingin
dipuji, tidak pamer kepada orang lain. Apa yang telah terjadi, biarlah terjadi,
karena kepasrahan akan membawa keridhaan, dan keridhaan akan membawa
keikhlasan, dan itulah sabar, sebuah sifat yang sangat disukai oleh Tuhan.
“Trimah
mawi Pasrah” juga dapat diartikan bahwa manusia hanya dapat berusaha, sedangkan
Tuhanlah yang menentukan segalanya. Oleh karena itu, janganlah terlalu
menyesali nasib, karena dibalik derita ada bahagia, dibalik kesusahan ada
kemudahan. Yang pasrah akan mendapat kemudahan, yang ridha akan mendapatkan
ganti, yang sabar akan mendapatkan kemuliaan dan yang ikhlas akan mendapat
ketenangan dan kebahagiaan hati.
Suwung Pamrih Tebih Ajrih
”
… Suwung pamrih, suwung ajrih, namung madosi barang ingkang sae, sedaya kula
sumanggaken dhateng Gusti … “
Artinya,
” … Tiada pamrih, tiada takut, hanya mencari sesuatu yang baik, semua saya
serahkan kepada Tuhan … “
“Yen
kula ajrih, kenging dipun wastani ngandut pamrih utawi ancas ingkang boten
sae.”
Artinya,
“Jika saya takut, boleh dikatakan (bahwa saya) menyimpan pamrih atau niat yang
tidak baik.”
“Luh
ingkang medal sangking manah punika, dede luh ipun tangis pamrih, nanging luh
peresanipun manah suwung pamrih.”
Artinya,
“Air mata yang keluar dari hati ini, bukanlah air matanya tangis pamrih, tetapi
air mata perasan hati yang kosong pamrih.”
Ketika
anda menangis, menangislah karena syukur dan ikhlas, bukan karena menginginkan
imbalan yang tak kunjung tiba. Apalah artinya menantikan imbalan, jika semua
yang ada tak mengizinkan. Apalah artinya tangisan hanya gara-gara ingin dipuji,
dibalas atau diberi, jika kemuliaan jauh dari kita. Yang terpenting adalah
kedamaian, ketentraman, aman, kebahagiaan dan kemuliaan.
Pamrih
itu hanya membuat seseorang menjadi penakut, picik, menderita, menjenuhkan,
bahkan dapat membuat orang menjadi hina.
Apalah
artinya berpegang kepada kesementaraan, jika di alam baka kita dicambuk derita
?!
Padhang Ing Petheng
”
… Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara,
tunggaling sewu yuta … “
Artinya,
“Yang jelas adalah mencari terang di dalam gelap; senang dalam kesengsaraan,
ribuan juta contohnya.”
Apa
saja yang ada di dunia ini relatif. Di bumi ini selalu ada dualisme, seperti
padhang-peteng; seneng-sengsara; sehat-sakit; hujan-panas dan lain sebagainya.
Demikianlah yang namanya kehidupan. Peteng terus itu tidak ada. Padhang terus
juga tidak ada. Seneng terus itu juga tidak ada. Sengsara terus itupun tidak
ada. Oleh karena itu, yang bertentangan itu dibutuhkan dalam kehidupan ini.
Dengan adanya panjang, kita tahu pendek; dengan adanya sakit, kita bisa
merasakan sehat. Dengan mengetahui baik, maka kita tahu apa itu buruk.
Hujan
dan panas, keduanya dibutuhkan dalam kehidupan ini. Kalau orang tidak mau
peteng dan selalu ingin yang padhang saja, apa jadinya dunia ini? Kapan kita
istirahat, kapan kita tidur? Kalau peteng terus, apa saja yang semula tumbuh
pasti mati. Sebab tidak terkena sinarnya matahari. Kalau panas terus, bumi ini
akan kering kerontang, kematian akan tersebar di muka bumi. Kalau hujan terus,
pasti terjadi banjir di mana-mana. Daratan akan tenggelam, kelaparan melanda
dunia disertai kematian umat manusia. Dimana-mana yang ada cuma air! Apa
jadinya bumi ini?
Senang
dan sengsara harus diterima seperti apa adanya, karena kedua-duanya membawa
manfaat dan didalamnya ada hikmah yang tersembunyi. Janganlah kita terikat atau
terbelenggu oleh senang dan susah. Jika kesengsaraan datang, terimalah. Jika
kesenangan datang, sambutlah. Mengapa? Supaya hidup ini dapat dijalani dengan
tenang.
Di
manapun anda temukan kegelapan, maka terangilah. Di manapun anda temukan
kesengsaraan, maka berilah kesenangan. Janganlah berhenti melakukan tugas itu,
karena berjuta-juta yang membutuhkan cahaya terang dan sinar kebahagiaan.
Catur Murti
Catur
itu empat, sedangkan Murti itu penjelmaan. Jadi yang dimaksudkan adalah empat
yang dijelmakan menjadi satu. Menurut Aksan, Catur Murti adalah bersatunya
empat faal, yaitu pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan.
Berawal
dari keinginan atau kehendak (perasaan), itulah yang menyebabkan berpikir dan
tindak lanjutnya adalah berkata, terakhir berbuat. Pikiranlah yang mendorong
kita untuk berkata maupun berbuat. Sekarang tergantung kepada pikirannya. Kalau
pikirannya baik/benar, maka akan mengeluarkan kata-kata yang baik/benar. Kalau
pikirannya baik/benar, akan mendorong untuk berbuat baik/benar. Jika pikirannya
jahat/tidak benar, akan mendorong orang untuk berkata yang jahat dan berbuat
jahat.
Kebencian
jangan diberi kesempatan untuk merajalela di alam pikiran kita. Kita harus
menjinakkan kebencian yang ada di dalam pikiran kita, kemudian kita pudarkan
atau kita kecilkan, agar pikiran jahat itu dapat kita hilangkan. Kalau sudah
begitu, jangan diingat-ingat lagi orang yang pernah membuat anda jadi benci.
KAta-katanya, perilakunya, jangan diingat lagi. Dengan berjalannya waktu, anda
akan melupakan itu semuanya. Berterima kasihlah kepada Tuhan, karena anda
dikaruniai sifat lupa, kalau anda tidak diberi lupa, maka anda akan ingat
segala-galanya, apakah anda tidak bertambah pusing?
Ada
kalanya kita menggunakan pikiran yang baik, namun masih dianggap kurang cukup.
Menggunakan perasaan yang baik pun masih ada kekurangannya.
Sebagai
contoh : Anda sedang berjalan dengan seorang teman. Kebetulan teman itu tidak
punya uang sama sekali. Dan sama-sama lapar, tetapi uang anda hanya Rp 2000.
Anda mampir di warung, nasi satu piring Rp 2000. jadi yang makan hanya anda
sendiri. Sebab, uang itu adalah uang anda sendiri dan anda sangat lapar. Teman
anda menunggu sambil berdiri, di luar warung. Sampai hatikah anda berbuat
begitu?
Contoh
lainnya :
Uang
Rp 2000 (sekarang nilai 2 juta) anda berikan kepada teman anda, teman anda yang
makan. Anda hanya duduk saja di dalam warung, sambil mengamati teman anda yang
sedang menikmati makanannya.
Pada
contoh yang pertama, anda egoistis. Sekalipun berpikir benar. Pada contoh yang
kedua, anda adalah orang gila yang baik hati. Sekalipun berperasaan benar. Nah,
coba anda mencari makanan yang harganya Rp 1000 (senilai 1 juta) saja. Anda dan
teman anda sama-sama dapat makan. Anda makan tidak kenyang, tetapi sudah makan.
Teman anda tidak kelaparan. Jadi sebelum anda berbuat, pikiran yang benar harus
diselaraskan dengan perasaan yang benar. Artinya, ada unsur penyelarasan.
Dengan begitu, dalam konteks tersebut, perbuatan anda adalah “Perbuatan benar”.
Dengan
demikian, Catur Murti itu merupakan kesatuan, tidak boleh dipisahkan, jangan
ambil protholannya saja, ambillah kesatuannya, keseluruhannya. itu baru namanya
Catur Murti. Selain itu, Catur Murti bukan hanya sekedar dihafalkan, tapi harus
dihayati dan diamalkan. Berlatih Catur murti tanpa berhenti, baru ada
manfaatnya. Sehingga menyatu dengan jiwa kita, sehingga kita terbiasakan untuk
berpikir benar, berperasaan benar, berkata benar dan berbuat benar. Dalam
situai dan kondisi apapun reaksi kita jadi cepat dan dalam mengambil keputusan
bisa dengan tepat dan benar.
Tuhan
telah memberi kita 2 buah mata, 2 buah telinga dan 1 mulut. 2 buah mata,
artinya banyak-banyaklah melihat. 2 buah telinga, artinya banyak-banyaklah
mendengar. 1 buah mulut, kalau tidak perlu sebaiknya ditutup. Sebab mulut
adalah pintu gerbang yang mendatangkan bahaya.
Benci (kebencian)
Hidup
ini jadi tegang dan gelisah. Kebencian dapat melahirkan dendam. Dendam dapat
melahirkan ketidaktenangan. Gelisah dan gundah gulana itu juga akibat dari
sebuah kebencian.
Serakah
Keserakahan
menyebabkan hati kita tertutup. Hati yang tertutup tidak dapat melihat
kepentingan orang lain, tidak dapat merasakan penderitaan orang lain. Yang
dipikirkan hanya kepentingan, kesenangan dan keselamatan dirinya sendiri.
Iri Hati
Orang
yang iri hati selalu merasa tidak senang, jika orang lain senang. Ia tidak
merasa bahagia kalau orang lain bahagia. Ia merasa kecil hati melihat orang
lain sukses. Orang yang iri hati itu hatinya kerdil, karena ia tidak mau
menerima kenyataan dengan lapang dada atau mengakui kesuksesan orang lain,
kegembiraan orang lain, kebahagiaan orang lain. Orang iri hati cepat sekali
untuk memfitnah orang, menggunjing atau menjelekkan orang lain yang sukses.
Fitnah
Selama
kita benar, jangan takut terhadap fitnah. Kalau kita tak berbuat yang
neko-neko, kita merasa benar, tak perlu memikirkan fitnah itu. Biarkan saja,
diamkan saja dan hadapi dengan kesabaran.
Bodoh (kebodohan)
Bilamana
kita sedang marah, sedang membenci, sedang iri hati, sedang serakah, pada saat
itu kita dalam keadaan bodoh, yang artinya tidak punya kemampuan untuk
mengendalikan diri/lepas kontrol. Saat itu pikiran kita jadi gelap, tidak
sadar, tidak bijaksana, kita jadi bodoh (tidak seperti biasanya, cerdas,
bijaksana). Karena bodoh, ada kemungkinan kita memukul atau membunuh tanpa
kesadaran. Melakukan hal-hal membahayakan untuk diri sendiri dan orang lain,
dan kita pun menderita lahir batin. Kita baru sadar, setelah itu semua terjadi.
Kesadaran yang datangnya terlambat.
Kata-kata mutiara :
“…
Kula badhe nyobi prabotanipun wong lanang, inggih punika: bares, mantep, wani.
…”
“…
Saya akan mencoba identitas seorang lelaki, yaitu: jujur, mantab, wani …”
“Boten
kenging tiyang jaler ngunduri utawi nyingkiri bebaya utami, saha cidra dhateng
pengajeng-ajeng lan kepercadosipun sesami.”
Intinya,
seorang pemberani jangan takut menghadapi apapun..
“Yen
kapergok aja mlayu.”
..dan
jika bertemu suatu bahaya, jangan lari. (Bertanggungjawab)
“Ing
donya mung kebak kangelan, seng ora gelem kangelan aja ing donya.”
“Di
dunia penuh dengan kesusahan, yang tidak mau susah jangan di dunia.”
“Ajinipun
inggih boten sanes naming aji tekad, ilmunipun ilmu pasrah, rapalipun adiling
Gusti.”
Intinya,
tak perlu mempelajari ajian-ajian, cukup dengan tekad yang baik, dengan
kepasrahan yang benar dan selalu berlindung di bawah sifat adil tuhan.
“Kula
bade ngukur dedeg kula, nimbang botin kamantepan, njajagi gayuhanipun budi.”
Intinya,
di dalam sebuah pengembaraan, sebaiknya seseorang juga perlu mempertimbangkan
keyakinan yang dimilikinya dan mendalami raihan budi. Sejauh mana keyakinan dan
raihan budinya, dapat dilihat setelah seseorang menjalani pengembaraan, karena
di sanalah kedua hal tersebut dapat teruji dan terbukti.
“Pakerti
asor numusi anak putu lan mbekta kasengsarane tiyang katah.”
Intinya,
harus tahu bahwa perbuatan atau akhlak yang buruk dapat terwarisi oleh sang
anak dan dapat mendatangkan kesengsaraan orang lain.
“Aja
dumeh, tepa slira, ngerti kuwalat.”
Intinya,
janganlah merasa hebat. Terhadap siapapun harus tenggang rasa. Dan harus tahu
kena tuah (semisal hukum karma).
“Wani
mengku: anteping ati, kencenging pikir, boboting kekuatane.”
Intinya,
kemantapan dan kekuatan hati, pikiran yang kuat atau teguh dan bobotnya
kekuatan harus dimiliki.
“Nekad:
Kekendelan, ngluwihi kekuatan.”
Intinya,
bertekad bahwa kepastian (di dalam diri) itu melebihi kekuatan.
“Dede
tekad pamrih, nanging tekad asih.”
Intinya,
berdasarkan pada tekad asih, bukan tekad pamrih.
“Tiyang
mlampah punika, sangunipun lan gembolanipun satunggal, inggih punika :
“maksudipun”.”
Intinya,
orang berjalan hanya mempunyai satu bekal, yaitu niat.
“Barang
sanesipun saged dipun wastani ngriribedi lan ngrawati lampah, kenging dipun
wastani ugi : Ngendoni niyat utawi “ngeker ancas lan tujuning lampah”.”
Intinya,
barang lainnya selain niat yang baik, hanya akan menjadi penghalang dan
memperberat langkah, dapat juga dinamakan sesuatu yang bisa mengendorkan niat,
bisa memutar tujuan perjalanan. Gara-gara mencari sesuatu yang tak jelas, niat
seseorang dapat berubah.
Sumber
Referensi :
Indy
G. Hakim, Tafsir Surat-surat & Mutiara-mutiara Drs. R.M.P. Sosrokartono,
(Pustaka Kaona, April 2008)
Pa’
Roesno, Karena Panggilan Ibu Sejati : Riwayat Hidup dari Drs. R.M.P.
Sosrokartono, (Djakarta : 1954)
Panitya
Buku Riwayat Drs. R.M.P. Sosrokartono, Kempalan Serat-serat : Drs.
Sosrokartono, (Surabaya : Panitya Buku Riwayat Drs. R.M.P. Sosrokartono, 1992)
Serat
Saking Medan, 12 Mei 1931 dalam Suxmantojo, Kempalan Serat-serat Drs. R.M.P.
Sosrokartono
Serat
Saking Binjei, 5 Juli 1931
Serat
Saking Binjei, 9 Juli 1931
Serat
Saking Tanjung Pura (Langkat), 26 Oct. 1931
Serat
Saking Tanjung Pura, 11 Oct. 1931
Djoko
Pring, “Aji Pring”, (Binjei, 12 Nov. 1931)
Djoko
Pring, Omong Kosong, (Binjei, 12 Nov. 1931)
R.
Mohammad Ali, Ilmu Kantong Bolong, Ilmu Kantong Kosong, Ilmu Sunji Drs. R.M.P.
Sosrokartono
Djoko
Pring, Lampah lan Maksudipun, (Binjei 12 Nov. 1931)