BABAD SAWUNGGALING
(Dinamika Politik Surabaya Melawan Kertasura)
Pasca mangkatnya Adipati Terung Raden Kusen di era Majapahit akhir, Adipati Surabaya di era Demak dipegang oleh Adipati Tranggana atau Pangeran Rekyana putra Raden Qasim Sunan Drajat dg Dewi Sufiyah putri Sunan Gunung Jati. Putranya, Raden Panji Wiryakrama meneruskan sbg Adipati Surabaya yang berkonflik dg Pajang. Untuk mendamaikan konflik Pajang-Surabaya, Sunan Prapen dari Giri Kedhaton menikahkan putri Sultan Hadiwijaya dg Panji Wiryakrama.
Di era awal Mataram Islam Adipati Surabaya diteruskan oleh putra Panji Wiryakrama yaitu Panji Jayalengkara (1546-1625) murid Sunan Prapen. Di masanya Surabaya menjadi kota pelabuhan yang sangat ramai. Panembahan Senopati pun tergiur untuk menaklukan Surabaya. Sunan Prapen (1548-1605) kembali menjadi penengah Adipati Jayalengkara dan para adipati jawa tengah dan jawa timur yang menolak kekuasaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati (1586-1601).
Putra Senopati, Panembahan Hanyakrawati (1601-1613) dari Mataram berusaha manaklukan Surabaya yang lebih makmur tetapi selalu gagal. Surabaya akhirnya takluk pada Mataram pada 1625 di era Sultan Agung. Putranya, Raden Pekik Jenggolo diangkat sebagai Adipati Surabaya (1625-1670) dan dinikahkan dg adik Sultan Agung Ratu Pandan Sari. Beliau ditugasi untuk menggulingkan Panembahan Ageng Giri (1616-1636/cucu sunan Prapen) di Giri Kedhaton pada 1636.
Setelah wafatnya Pangeran Pekik Jenggolo pada 1670, Adipati Surabaya dilimpahkan kepada Hangga Wangsa yang bergelar Djangrana I (1670-1678). Beliau adalah putra Sunan Boto Putih atau Pangeran Lanang Dangiran putra Prabu Tawang Alun, raja Blambangan di Kedhawung Jember. Adiknya, Mas Sanepo meneruskan tahta ayahnya bergelar Prabu Tawangalun II (1655-1690) di Macan Putih.
Pangeran Lanang Dangiran gemar (menjalani) bertapa di laut sampai hanyut di pantai Sedayu Lamongan diasuh oleh Kyai Kendil Wesi dan dinikahkan dengan putri Ki Bimotjili (seorang ulama dari Cirebon). Pada tahun 1595 Pangeran Lanang Dangiran bersama istri dan anak-anaknya pergi ke Surabaya, menetap di timur kali Pegirian dukuh Botoputih untuk berguru kepada Sunan Prapen kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Botoputih sambil membantu Raden Pekik.
Sunan Botoputih wafat pada 1638 di usia 70 tahun meninggalkan 7 anak, 2 putra laki-laki yang bernama Hanggawangsa dan Hanggadjaya telah dipersiapkan menjadi pemimpin. Hanggawangsa menggantikan Raden Pekik sebagai bupati Surabaya bergelar Djangrana I (1670-1678) sedangkan adiknya Hanggadjaya diangkat sebagai bupati di Pasuruan (1678-1686)
Kisah Tumenggung Djangrana I
Tercatat dalam sejarah Tumenggung Djangrana I dikenal sebagai bupati Surabaya yang berjasa besar membantu Amangkurat Amral melawan pemberontakan Trunajaya. Kedua-duanya dibesarkan di Surabaya. Amangkurat Amral sejak kecil oleh Pangeran Pekik di Surabaya sebelum akhirnya berpindah ke kraton Plered sebagai putra mahkota.
Pada 1677 Djangrana berhasil merebut meriam pusaka Nyai Setomi dari tangan pemberontak di Gresik. Beliau juga yang berhasil membebebaskan Pangeran Cakraningrat II bupati Madura yang dibuang Trunajaya di hutan Lodaya (dekat Blitar). Djangrana gugur di gapura benteng Kediri pada Desember 1678.
Dimine Francois Valentina yang ikut dalam peperangan di Kediri mencatat :
" Satu-satunya pemberani dalam peperangan itu adalah Kiyahi Yangrono, pangeran Surabaya, yang dengan naik kuda serta menggenggam pistol terjun dalam sungai tanpa menghiraukan berondongan senapan dari musuh, menyusup dalam barisan musuh. Lima hari sesudah peristiwa itu pasukan kita dapat merebut benteng Kediri kira-kira pada awal atau pertengahan Desember 1678, dan dalam penyerbuan Kediri itu, Sang Pahlawan Pangeran Surabaya tadi kedapatan mati dalam gapuro benteng kota. Adipati Jangrana lalu di makamkan di Boto Putih Surabaya.
Adipati Jangrana I menurunkan 5 anak, yaitu :
1. Djangrana Il yang bernama kecil Surodirono
2. Djajapuspita, Adipati Panatagama
3. Wiradirja
4. Surengrana, Natapura
5. Kartayuda.
Adipati Djangrana II menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Adipati Surabaya. Ia diangkat oleh Amangkurat II sebagai Adipati Kliwon dari pesisir Wetan bersamaan dengan di angkatnya Cakraningrat II menjadi Panembahan Madura dan Adipati Wedono seluruh pesisir wetan Jawa.
Setelah Pemberontakan Trunajaya
Jangrana ll ditugasi memadamkan perlawanan Tawangalun ll dari Blambangan yang dituduh membantu dana bagi pemberontakan Trunajaya. Namun ia berperang setengah-setengah karena dalam hati ia memihak Tawangalun II yang masih terhitung kakeknya sendiri.
Jangrana ll ini dikenal berdedikasi dan bereputasi tinggi dibuktikan dengan keberhasilannya memadamkan pemberontakan trah Giring-Kajoran yang dilakukan oleh Ki Ageng Wanakusuma dan dua putranya Jaya Lalana dan Jaya Purusa dari Gunungkidul yg dibantu oleh Kertanadi dan Kertinegoro dari trah Kajoran terhadap Amangkurat ll di Kertasura pada 1683, ia pulang dengan meminta residen Surabaya menyambut kedatangannya menggunakan tembakan salvo.
Pada saat pemberontakan Untung Surapati di Kertasura, diam-diam ia dilindungi oleh Amangkurat II di dalam keraton yang berakhir dengan terbunuhnya Kapten Tack 8 Februari 1686 dengan 20 tusukan oleh tangan Untung Suropati, ia pun menjadi buron Belanda.
Pada 1686 Untung Surapati mendapat restu Amangkurat II untuk pergi ke timur merebut Pasuruan yang saat itu dipimpin Hanggadjaya. Setelah berhasil, ia pun diangkat menjadi bupati Pasuruan bergelar Tumenggung Wiranegara. Adipati Hanggajaya melarikan diri ke Surabaya meminta bantuan pada keponakannya, Jangrana lI namun tidak ditanggapinya karena Jangrana II juga tidak suka terhadap VOC.
Tetapi takdir tidak bisa ditolak, pada 1690 Jangrana ll dan Cakraningrat II (bupati Madura) akhirnya mendapat tugas Amangkurat II merebut kembali Pasuruan dari tangan Untung Surapati atas perintah VOC. Keduanya pun menyanggupinya dan terjadilah perang antara kedua belah pihak. Namun perang ini hanya perang sandiwara untuk menyenangkan VOC seakan Amangkurat II tetap setia pada perintah Belanda dg menyuruh dua adipatinya.
Amangkurat II wafat pada 1703 dan terjadilah perebutan tahta di Kartasura antara Amangkurat lll (Sunan Mas) dengan Pangeran Puger, pamannya. Dalam hal ini Jangrana ll memihak pada Pangeran Puger (Pakubuwana I). Pada tahun 1705 Pakubuwana I dengan bantuan VOC di Semarang berhasil merebut istana Kartasura dan mengusir Amangkurat III ke Madiun. Pada 1706 Untung Suropati bupati Pasuruan mengirim bantuan untuk melindungi Sunan Amangkurat III.
Pada tahun 1706 gabungan pasukan VOC, Kartasura, Madura, dan Surabaya bergerak menyerang Pasuruan karena Amangkurat III dilindungi Untung Surapati. Dalam perang tersebut Jangrana ll melakukan gerakan sabotase yang merugikan Belanda, karena ia sendiri adalah sahabat Untung Surapati.
Pada akhirnya.perlawansn Untung Surapati berakhir. Ia tertangkap dan wafat di Pasuruan pada 1706. Adapun Amangkurat lll menyerah di Surabaya pada 1708 dan dibuang ke Sri Langka. Pasca peristiwa itu pihak VOC ganti melaporkan pengkhianatan Jangrana ll kepada Pakubuwana I pada 1709. Jangrana ll terbukti telah merugikan VOC dalam peperangan tersebut.
Djangrana II ditunjuk sebagai pemandu perjalanan pasukan gabungan Kertasura dan VOC dalam penyerbuan ke Pasuruan. Ia dengan sengaja memilih jalur yang sulit dengan melewati rawa-rawa, sehingga banyak tentara Belanda yang jatuh sakit dan mati dalam perjalanan. Jangrana ll sendiri juga dinilai bertempur setengah hati, terbukti ada satupun prajurit Surabaya yang gugur melawan pasukan Untung Surapati di Pasuruan, ini aneh bin ajaib.
Pakubuwono I dalam keadaan dilematis, ia dihadapkan pada perjanjian baru dengan VOC menggantikan perjanjian lama yg telah dilakukan oleh Amangkurat III. Pada perjanjian lama Kertasura harus menebus utang perang Trunojoyo sebanyak 2,5 juta gulden. Sementara pada perjanjian baru Kertasura diharuskan untuk mengirim beras sebanyak 13.000 ton beras setiap tahunnya kepada Belanda selama 25 tahun.
Rangkaian perjanjian tersebut membuat Pakubuwana I tersandera dan dengan terpaksa menjalankan perintah Belanda memberikan hukuman mati Adipati Djangrana II tim suskesnya yang telah membelanya matia-matian hanya demi menjaga harga diri raja di hadapan VOC.
Djangrsna II wafat pada hari kamis 20 Februari 1709 jam 9 pagi di gapuro Kemandungan Kraton Kartasura setelah di hujani 25 tusukan keris oleh algojo Kartasura dan di makamkan di Astana Laweyan di Surakarta.
Peristiwa tersebut kontan membuat marah rakyat Surabaya. Sang adik Tumenggung Jayapuspita yang memimpin Kadipaten Kasepuhan bersama saudaranya Kyai Tumenggung Wiradirja yang memimpin Kadipaten Kanoman segera mengangkat senjata melawan Kertasura pada 1718.
Babad Tanah Jawi memberitakan kisah pemberontakan Arya Jayapuspita panjang lebar. Jayapuspita disebut sebagai pewaris sifat-sifat Jangrana, kakaknya, yaitu gagah berani, mencintai rakyat, dan taat beragama. Selain pemimpin militer juga pemimpin agama dengan gelar Tumenggung Jaya Puspita Panatagama.
Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke Kartasura. Ia menyusun pemberontakan sebagai pembalasan atas kematian kakaknya Jangrana II. Daerah-daerah pesisir seperti Gresik, Tuban, dan Lamongan jatuh ke tangannya.
Pada 1717 gabungan pasukan VOC dan Kartasura berangkat menyerbu Surabaya. Mereka bermarkas di desa Sepanjang. Perang besar terjadi. Jayapuspita mendapat bantuan dari Bali dibawah pimpinan Dewa Kaloran yang membawahi tiga bupati yaitu Dewa Saka, Dewa Sade dan Dewa Bagus Bala.
Pada 1718 adik Jayapuspita yang memimpin Kadipaten Kanoman Tumenggung Wiradirja gugur di medan laga. Pasca runtuhnya benteng pertahanan di Wonokromo, Jayapuspita bersama warga Surabaya melakukan bedhol negoro dan memindahkan pusat pemerintahannya ke Japan (dekat Mojokerto) dengan didampingi kedua adiknya yang masih hidup, yaitu Surengrana dan Kartayuda.
Pada Februari 1719, Pakubuwana I dari Mataram meninggal. Penggantinya adalah Mas Suryanata (Amangkurat IV, 1719-1726). Pangeran Arya Dipanegara kakak Amangkurat IV yang sedang diberi tugas oleh ayahnya PB I untuk menangkap Jayapuspita berbalik arah bergabung dengan kelompok Jayapuspita di Japan.
Tetapi Pangeran Blitar yang bermarkas di Kraton Kerta Sekar Pleret berhasil membujuk Jayapuspita untuk bergabung dengannya dan memsnfaatkan kekuatannya di Japan untuk menggempur kubu Arya Dipanegara di Madiun. Arya Dipanegara kalah dan menyingkir ke Baturatna sebelum akhirnya bergabung dengan kelompok Karta Sekar di Pleret bersama kakaknya, Pangeran Purbaya.
Pada bulan November 1720 gabungan pasukan Kartasura dan VOC dibawah pimpinan Patih Cakrajaya dan Admiral Bergman memutuskan untuk menyerang Mataram di Kerta. Kota Karta Sekar dihancurkan, kelompok Pangeran Blitar menyingkir ke timur dan ia meninggal pada 1721 akibat wabah penyakit di daerah Malang. Perjuangan dilanjutkan Pangeran Purbaya yang berhasil merebut Lamongan. Namun kekuatan musuh jauh lebih besar.
Perlawanan Jayapuspita yang mengangkat dirinya dengan gelar Adipati Panatagama berakhir ketika ia sakit keras dan meninggal di Japan tahun 1720. Perjuangannya diteruskan oleh Tumenggung Surengrana (Natapura) di Lamongan yang kemudian bergabung dengan pasukan Pangeran Purbaya.
Namun kekuatan Tumenggung Surengrana di Japan tidak setangguh sebelumnya karena pasuksn Bali yang menyokong Jayapuspita memilih mrmbubarkan diri dan kembali ke daerah asalnya. Temenggung Surengrana tidak mampu mempertahankan Japan dan menyerah pada tahun 1722. Japan kembali ke Kertasura, adapun Surabaya menjadi milik VOC. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia pada 1723.
Ditengah hiruk pikuknya perang Surabaya-Kertasura muncul kisah legenda yang selalu dikenang oleh warga Surabaya yaitu SAWUNGGALING. Siapa beliau gerangan dan bagaimana kisah kepahlawanannya?
Menurut tedhak Dermayudan (CB 145-1-E No 2) Sawunggaling memerintah Surabaya pasca wafatnya Jayapuspita. Adapun menurut Silsilah Pangeran Lanang Dangiran, Baba asal usul Keluarga Kasepuhan Kanoman Surabaya, halaman 49-50 oleh Raden Panji Ario Makmur, Surabaya 01 Agustus 1966, Sawunggaling tercatat sebagai putra Tumenggung Surengrana putra ke 4 Hanggawangsa putra Lanang Dangiran. Ada juga yang menganggap Sawunggaling putra Djangrana II yang meninggal di Lawean, kakak Jayapuspita. Menurut pendapat ini Sawunggaling terhitung keponakan Jayapuspita yang sama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Sawunggaling bagaimanapun adalah tokoh legendaris semi-historis yang sulit untuk diidentifikasi sosoknya dalam historiografi Surabaya tetapi hadir dalam pikiran masyarakat terutama lewat tradisi tutur. Sejarah yang tercecer mewakili semangat perlawanan rakyat Surabaya yang luput dari sejarah resmi.
Alkisah, pada pertengahan tahun 1686. Rombongan Adipati Surabaya Jayengrana ll putra Hanggawangsa sedang berkuda berkeliling daerah Kadipaten dan singgah di Desa Lidah Wetan. Waktu itu kawasan ini masih berupa hutan dan daerah rawa-rawa yang tidak begitu jauh dengan aliran sungai Kali Brantas.
Saat tiba di desa Lidah Wetan itu, sang Adipati berhenti di depan rumah Kepala Desa Lidah Wetan, Wangsadrana. Adipati Jayengrana yang didampingi penasehat kadipaten Surabaya ARYA SURADIREJA masuk dan beristirahat di rumah kepala desa itu. Sedangkan pengawalnya tetap berada di luar.
Saat jamuan makan siang, Adipati Jayengrana dan Arya Suradireja dilayani anak semata wayang kepala desa bernama Rara Blengoh yang berusia 19 tahun. Melihat kecantikan Rara Blengoh hati sang Adipati telah ditinggal mati isterinya selama 4 tahun yang lalu kembali bergelora.
Kegelisahan hati sang adipati ditangkap oleh Wangsadrana dan Arya Suradireja. Singkat cerita, sang Adipati melamar sang gadis. Rara Blengoh merasa terkejut dan bingung untuk menjawabnya. Namun setelah diberi pengertian akan status Adipati yang sudah empat tahun menduda, Rara Blengoh menerima pinangan itu.
Setelah ditentukan waktunya, upacara pernikahan pun diselenggarakan di desa Lidah Wetan dan sengaja tidak dilaksanakan di Kadipaten Surabaya, untuk menjaga hati dan perasaan lima putera Jayengrana yaitu Raden Mas Sawungkarna (9 tahun), Raden Mas Sawungsari (7 tahun), Raden Mas Jaya Puspita (6 tahun) dan dua anak bungsu lahir kembar, Raden Mas Suradirana dan Raden Mas Umbulsangga (4 tahun).
Setelah pernikahan dan resmi menjadi isteri Raden Mas Jayengrana, Rara Blengoh mendapat gelar kehormatan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Namun, sang adipati tetap tidak membawa isterinya ke kadipaten. Justru sang Adipati lah yang sering menginap di rumah kepala desa Lidah Wetan itu. Dan dari cinta keduanya terlahirlah seorang anak yang bernama Jaka Berek yang kemudian dikenal dengan Sawunggaling pada 1687.
Zaman itu, keadaan situasi membuat kesibukan Jayengrana ll sebagai Adipati Surabaya luar biasa. Inilah yang membuat sang adipati tidak sempat lagi mendatangi isterinya di desa Lidah Wetan, karena situasi yang cukup gawat dampak dari pemberontakan Untung Surapati terhadap Belanda.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, usia putra Jayengrana ll, Jaka Berek pun meningkat remaja. Pertengahan tahun 1704, saat Jaka Berek memasuki usia 17 tahun, ia meminta izin kepada ibunya, untuk menemui sang ayah di kadipaten Surabaya. Melihat kesungguhan hati si anak, maka kakeknya Wangsadrana berusaha meningkatkan ilmu dan kemampuan beladirinya serta sopan-santun kerajaan.
Setelah dianggap matang, Jaka Berek diizinkan berangkat ke kadipaten dengan berjalan kaki menyusuri pinggir anak sungai Kali Brantas, yakni Kali Surabaya, sampai ke Kalimas. Di tengah perjalanan ketika melewati jalan desa sekitar Gunungsari. Seekor kuda lewat dengan membawa seorang laki-laki berkulit putih dalam keadaan pingsan di punggungnya.
Kuda itu berhenti tatkala melihat Jaka Berek. Seolah-olah minta tolong, kuda itu menghampiri Jaka Berek. Tidak menunggu lama, Jaka Berek mengangkat tubuh laki-laki berhidung mancung itu ke bawah pohon. Kemudian Jaka Berek memberi minum dan membaca mantera yang pernah diajarkan kakeknya. Tak lama kemudian bule itu siuman.
Dia berterimakasih kepada jaka Berek yang sudah membantunya. Kedua anak muda yang berbeda ini berkenalan. "Nama saya Van Jannsen", kata anak muda itu dengan Bahasa Jawa. Jaka Berek terkejut, ternyata Belanda ini sudah belajar Bahasa Jawa di Semarang.
Van Jannsen, ternyata perwira muda yang sedang mengikuti tugas militer dari negaranya. Menurut Van Jannsen, dia bersama tiga temannya diutus ke Surabaya untuk menemui Adipati Jayengrana. Tetapi, saat berada di sekitar Lamongan, mereka diserang warga setempat. Mereka dikeroyok, namun Van Jannsen berhasil menyelamatkan diri dengan keadaan yang sangat payah.
Setelah saling bersalaman, Van Jannsen pamit untuk meneruskan perjalannya menuju Kadipaten Surabaya dengan menunggang kuda. Tidak lama kemudian, Jaka Berek juga berjalan menyusuri sungai Kali Surabaya. Ia berjalan terus sesuai petunjuk, berjalan menyusuri sungai Kalimas.
Jaka Berek akhirnya sampai juga di Alun-alun Contong, tidak jauh dari kadipaten. Di sana ia duduk-duduk dengan melepaskan lelah sembari memberi makan ayam jago yang dibawanya dari rumah. Ayam jago itu diberi nama si Galing atau Cinde Puspita.
Sesaat setelahnya Jaka Berek diketahui dan diinterogasi oleh petugas keamanan Kadipaten. Ketika diinterogasi itu, Jaka Berek menyatakan dia berasal dari Lidah Wetan. Kakeknya Wangsadrana mantan kepala desa di sana dan ibunya bernama Rara Blengoh dan juga dikenal dengan nama Raden Ayu Dewi Sangkrah. Maksud kedatangannya ke Surabaya untuk mencari ayahnya yang bekerja di kadipaten.
Akhirnya petugas keamanan melapor kepada staf ahli kadipaten Arya Suradireja. Melihat pancaran sinar dari wajah Jaka Berek, Arya Suradireja terhenyak. Ia teringat kepada peristiwa di Lidah Wetan 19 tahun yang silam. Ia melihat bayangan wajah kepala desa Wangsadrana dan gadis bernama Rara Blengoh.
Tanpa berpikir panjang, Arya Suradireja melapor kepada Adipati Djangrana yang sedang memimpin rapat di pendapa kadipaten. Sang Adipati terkejut dan juga terharu saat melihat seorang anak muda tampan di depannya. Jaka Berek dibawa ke dalam kamar kerja Adipati diiringi oleh Arya Suradireja. Dari dialog singkat di kamar pribadi sang adipati itu, diyakini bahwa Jaka Berek adalah anak kandung Raden Mas Jayengrana.
Tanpa basa-basi, Jaka Berek diajak ke pendapa kadipaten yang sedang ramai dengan pejabat kadipaten. Jayengrana menyatakan kegembiraannya pada hari itu, karena dipertemukan dengan anak bungsunya, bernama Jaka Berek. Semua yang hadir terkejut. Anak-anak Djangrana, serta-merta protes. Sawungkarna memperlihatkan kemarahan kepada ayahnya.
Secara kasar Sawungkarna menantang Sawunggaling untuk menguji kesaktiannya di alun-alun Kadipaten. Sawunggaling hanya diam. Dengan merunduk dia berfikir untuk tidak melayani. Namun batinnya berkata dan seolah-olah menerima bisikan dari kakeknya Wangsadrana.
Perkelahian satu lawan satu antara Sawungkarna dengan Jaka Berek berlangsung seru. Akibat kemarahan Sawungkarna yang memuncak, ia lepas kendali. Dan dalam sekejap, saat Sawungkarna lengah, Jaka Berek berhasil menangkap tubuh Sawungkarna dan mengunci gerakannya.
Melihat kesaktian Jaka Berek dan khawatir anak-anaknya cedera, Adipati memberi isyarat agar perkelahian itu dihentikan. Semua yang melihat pun kagum atas kesaktian Jaka Berek. Mereka semua kemudian diajak ke pendapa kadipaten. Hanya Sawungkarna yang tidak mau, saudara tirinya yang lain menyalami Berek sebagai tanda pernyataan bersaudara.
Sore harinya, di pendapa Kadipaten Surabaya diselenggarakan acara pengangkatan secara resmi Jaka Berek menjadi putera ke 6 Adipati Jayengrana. Empat saudara tirinya ikut menyaksikan, kecuali Sawungkarna. Pada upacara di sore hari itu, secara resmi Jaka Berek mendapat kehormatan menggunakan nama Sawunggaling.
Setelah selesai menangani masalah Untung Suropati dan Amangkurat lll di Pasuruan, pada pertengahan 1715, Adipati Jayengrana yang merasa sudah tua, di usia 70 tahun mengirim surat kepada Susuhunan Pakubuwana I di Surakarta. meminta pertimbangan siapa calon penggantinya sebagai Adipati Surabaya.
Setelah membaca surat dari Adipati Surabaya itu, Susuhunan Pakubuwana I berunding dengan patihnya Raden Mas Nerangkusuma. Akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan sayembara berupa lomba memanah dengan panah pusaka kerajaan bernama Gendhewa Sakti.
Siapa yang berhasil memenangkan lomba ini, akan diangkat menggantikan Adipati Jayengrana selaku penguasa di Surabaya. Tidak hanya itu, sang pemenang juga berhak menjadi menantu Susuhunan Pakubuwana I, mempersunting Bendara Raden Ayu (BRA) Pembayun, putri sulung penguasa keraton Kartasura.
Pada tanggal 17 Agustus 1715, lomba memanah dengan menggunakan pusaka kerajaan Mataram yang bernama, Gendhewa Sakti siap dilaksanakan. Dalam suatu upacara yang diikuti 30 peserta yang berasal dari 17 kadipaten di tanah Jawa. Mereka adalah putera para adipati yang masih bujangan, termasuk putra Adipati Jayengrana.
Setelah 25 peserta maju dan berupaya melaksanakan lomba, semuanya gagal. Tibalah giliran putera-putera Adipati Jayengrana, dimulai dari yang bungsu, Raden Mas Umbulsangga, Raden Mas Suradirana, Raden Mas Jaya Puspita, Raden Mas Sawungsari, dan yang terakhir Raden Mas Sawungkarna. Semuanya pun gagal.
Sawunggaling yang datang kemudian mendaftar pada giliran kedua. Dengan tenang pemuda yang menyamar dengan sebuah topeng dan mengaku bernama Pangeran Menak Ludra itu maju ketengah dengan memberi hormat kemudian mengangkat busur dan memegang anak panah lalu menarik tali busur, anak panah dilepas dan tepat mengenai tali pengikat cindhe puspita.
Kain selendang warna merah-putih itu melayang ditiup angin dan jatuh persis di pangkuan Menak Ludra. Tepuk tangan dan sorak-sorai membahana memuji keterampilan anak muda yang mengaku dari Ujung Blambangan, Banyuwangi itu.
Pemuda yang mengaku Pangeran Menak Ludra itu berdiri dan dengan langkah tegap ia mendekati panggung kehormatan. Sesampainya di depan para tamu istimewa yang duduk di panggung kehormatan, anak muda yang mengaku bernama Menak Ludra itu membuka topengnya.
Adipati Jayengrana yang duduk di samping Susuhunan Pakubuwana I benar-benar terkejut. Begitu juga rombongan dari Surabaya lainnya. “Mohon ampun gusti Patih, hamba sesungguhnya adalah Sawunggaling, putera ramanda Adipati Jayengrana”, katanya terbata-bata menghadap kepada pemimpin upacara Patih Nerang Kusuma.
Antara terkejut bercampur gembira, Adipati Jayengrana menyatakan rasa syukur, karena yang bakal menjadi penggantinya, bukan dari luar Surabaya, tetapi adalah putera dan darah dagingnya sendiri.
Setelah Sawunggaling berada di mimbar utama, Patih Nerang Kusuma mengumumkan, bahwa pengganti Adipati Jayengrana sebagai Adipati Surabaya, adalah Raden Mas Sawunggaling yang kemudian dijodohkan dengan BRA Pembayun.
Pesta pernikahan itu tanggal 17 Agustus 1715 dilangsungkan di keraton Kartasura. Upacara dipimpin Patih Nerang Kusuma dan dihadiri para adipati dan tokoh masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan perwakilan petinggi Kompeni Belanda.
Pada tanggal 20 Agustus 1715, Adipati Surabaya yang baru Raden Mas Sawunggaling dilepas Susuhunan Pakubuwana I dari Kartasura berangkat menuju ke Surabaya. Saat melewati hutan di kawasan Sragen, rombongan Sawunggaling diserang oleh gerombolan perampok Gagak Mataram yang dipimpin Gagak Lodra.
Walaupun kewalahan menghadapi gerombolan yang tidak seimbang dengan rombongan kecil Sawunggaling ini, akhirnya berkat kesaktian Sawunggaling, mereka menang. Perjalanan diteruskan ke Surabaya melewati Magetan, Madiun, Nganjuk, Jombang, Mojokerto, dan akhirnya sampai di keraton Surabaya pada tanggal 23 Agustus 1715.
Sejak hari itu, resmilah Raden Mas Sawunggaling melaksanakan tugasnya sebagai adipati di Kadipaten Surabaya. Pada tanggal 4 Januari 1719, BRA Pembayun melahirkan anak laki-laki. Bayi mungil yang sehat ini atas anugerah dari kakeknya Susuhunan Pakubuwana I, diberi nama Raden Mas Arya Bagus Narendra.
Sebagai seorang adipati, Sawunggaling tetap membina hubungan dengan mertuanya yang menjadi penguasa keraton Kartasura. Saat itu, sikap Susuhunan Pakubuwana I terhadap Belanda sudah berubah. Sejak ayah Sawunggaling dihukum mati karena permintaan Belanda, Pakubuwono I mulai menjaga jarak dengan pihak kompeni Belanda.
Pakubuwono I merasa menyesal telah membiarkan Tumenggung Djangrana, Adipati Surabaya mati dieksekusi Belanda. Saat itu Djangrana yang diundang ke keraton Kartasura ketika melewati bangunan Srimenganti dikeroyok oleh gerombolan berpakaian penjaga keraton atas perintah G.Knol pimpinan pasukan Belanda di Semarang.
Kendati mendapat 25 tikaman, namun Jayengrana masih bertahan hidup, kemudian dibawa ke Desa Lawean. Di sanalah Jayengrana menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ada yang menyatakan, jenazah almarhum dimakamkan di Lawean, ada pula yang menyebut dibawa ke Surabaya.
Peristiwa yang mirip juga dialami Adipati Sawunggaling. Seminggu setelah kelahiran anaknya Raden Mas Arya Bagus Narendra, Adipati Sawunggaling diundang ke keraton Kartasura untuk menghadiri upacara pemberian penghargaan atas keberhasilan Sawunggaling menghentikan pemberontakan Cakraningrat III di Madura.
Walaupun ada rasa curiga dan kejanggalan, setelah berunding dengan staf ahli Kadipaten Surabaya Arya Suradireja, Sawunggaling tetap berangkat ke Kartasura. Di keraton Kartasura Sawunggaling langsung menghadap sang mertua Susuhunan Pakubuwana I dan melaporkan tentang kelahiran anak yang dikandung BRA Pembayun.
Benar saja, pesta yang seolah-olah memberi penghargaan kepada Adipati Sawunggaling, tidak lain adalah jebakan dari Sawungkarna dan Van Hoogendorf Sebagai tuan rumah hendak meracun Adipati Sawunggaling dengan segelas anggur beracun tetapi gagal karena naluri yang tajam dari Adipati Sawunggaling.
Merasa malu akan kelicikannya, Van Hoogendorf segera berlari masuk ke sebuah ruangan. Di sana ia mengambil pistol dan diarahkan kepada Adipati Sawunggaling. Begitu jari telunjuk Hoogendorf memegang pelatuk, seorang perwira muda Belanda bernama Van Jannsen melompat ke tengah dan peluru pistol Van Hoogendorf menembus dada letnan Van Jannsen. Saat melihat Jannsen terkapar, Van Hoogendorf, kembali mengokang pistolnya.
Bersamaan dengan itu dengan gerak reflek Sawunggaling mencabut keris dan menghunuskan ke dada Van Hoogendorf. Setelah menembus jantung Hoogendorf, keris itu langsung dicabut. Hal yang tidak diduga itu membuat Van Hoogendorf limbung dan terjerembab dekat tubuh Van Jannsen. Para petinggi kompeni Belanda yang hadir berlarian meninggalkan ruangan untuk menyelamatkan diri.
Tidak larut dengan menyaksikan dua jasad tak bernyawa di ruangan itu, Sawunggaling berdiri dan bersama rombongan menuju ke tempat parkir kuda. Tanpa pamit kepada sang mertua, Susuhunan Pakubuwana I, Sawunggaling yang didampingi Arya Suradireja segera meninggalkan Kartasura.
Sesampainya di Surabaya, Adipati Sawunggaling benar-benar menaruh dendam kepada kompeni Belanda. Menyadari, perbuatannya “membunuh” Van Hoogendorf akan berbuntut pada penyerangan Belanda ke Surabaya, Sawunggaling langsung mengatur strategi. Adipati mengumpulkan para pejabat pemerintahan kadipaten Surabaya untuk menghadapi segala kemungkinan.
Benar saja, kematian dua perwira Belanda di Kartasura itu membuat Gubernur Jenderal Belanda di Batavia Hendrik Zwaardeckroom marah besar. Ia langsung mengangkat Pieter Speelman sebagai pengganti Van Hoogendorf. Saat itu juga ia mengeluarkan Surat Perintah untuk menangkap Sawunggaling.
Walaupun berduka, atas mangkatnya Ingkang Sinuwun Susuhunan Pakubuwana I, tanggal 13 Maret 1719, Sawunggaling maupun BRA Pembayun terpaksa tidak bisa menghadiri upacara pemakaman sang mertua.
Pieter Speelman yang ditunjuk menggantikan Van Hoogendorf, mendapat laporan tentang kehebatan Laskar Sawunggaling menumpas anak buahnya di perbatasan Lamongan dan Mojokerto. Salah satu peperangan yang seru terjadi tanggal 10 Februari 1723. Pasukan Belanda yang dikomandani Letnan Bernard van Aken benar-benar terpukul. Kalah telak. Pasukan yang dipimpinnya berhasil terpaksa mundur sampai Bojonegoro dan Tuban.
Apalagi waktu itu, Adipati Sawunggaling berhasil menjalin kerjasama dengan pasukan laut Portugis pimpinan Kapten Laut Francisco Santos Rodriguez yang berada di Laut Jawa. Dalam pertempuran di sekitar pelabuhan Sedayu Gresik, pasukan gabungan Laskar Sawunggaling dengan pasukan Portugis, berhasil mengalahkan armada laut Belanda. Seluruh pasukan Belanda di kapal dinyatakan tewas, kecuali ABK.
Tidak tahan mendengar laporan kekalahan demi kekalahan yang diderita pasukannya dari pembantaian Laskar Sawunggaling, Speelman langsung mengambialih pasukan. Ia memimpin sendiri divisi tempur yang didatangkan dari Eropa, Batavia dan Semarang menyerbu pertahanan Laskar Sawunggaling di Lamongan dan Mojokerto.
Dalam pertempuran sengit itu di pinggir Bengawan Solo, di wilayah Lamongan, Raden Mas Umbulsangga bersama 20 orang pasukannya gugur sebagai pahlawan. Komandan Laskar Sawunggaling diserahkan kepada Raden Mas Suradirana, saudara kembar Raden Mas Umbulsangga.
Namun, dalam pertempuran akhir Maret 1723, Raden Mas Suradirana juga gugur sebagai pahlawan. Ia menghembuskan nafas terakhir saat terkepung musuh dan tubuhnya dihujani puluhan ujung bayonet pasukan Belanda yang haus darah.
Dari hari ke hari pasukan Kompeni Belanda terus bertambah. Pertempuran atara pasukan Kompeni dengan Laskar Sawunggaling semakin gencar. Adipati Sawunggaling yang kehilangan dua saudaranya di medan tempur makin terdesak. Ia berunding dengan staf ahli kadipaten Surabaya Arya Suradireja. Mereka sepakat meninggalkan kadipaten untuk menyelamatkan keluarganya.
Tempat berlindung yang dianggap cukup aman waktu itu adalah Benteng Providentia (benteng miring) di daerah Ujung Surabaya, dekat muara Sungai Kalimas. Adipati Sawunggaling membawa ibundanya Raden Ayu Dewi Sangkrah bersama isterinya Bendara Raden Ayu Pembayun, serta puteranya Raden Mas Arya Bagus Narendra ke Benteng Providentia.
Dalam serangan besar-besar yang dilakukan pasukan Pieter Speelman ke Benteng Providentia, Adipati Sawunggaling yang memimpin sendiri Laskar Sawunggaling terkepung. Di sinilah, akhirnya sang adipati mendapat hadiah “timah panas” dari senapan pasukan Speelman. Anehnya, tubuh Sawunggaling yang sempoyongan “lenyap” saat tersandar di dinding benteng.
Konon beberapa prajurit setia Laskar Sawunggaling sempat menyembunyikan jenazah Sawunggaling, kemudian melarikan jasadnya menuju desa Lidah Wetan. Agar tidak diketahui Belanda, Sang Adipati dimakamkan malam hari di tanah kelahirannya, berdampingan dengan kakeknya Wangsadrana alias Raden Mas Karyosentono.
Paman Arya Suradireja menyelamatkan Raden Ayu Dewi Sangkrah ibunda Sawunggaling beserta BRA Pembayun dan Raden Mas Arya Bagus Narendra yang saat itu berusia empat tahun.
Tatkala BRA Pembayun keluar dari gerbang benteng Providentia sembari mengendong Arya Bagus Narendra menuju kereta kuda, para petinggi Kompeni Belanda yang berbaris di depan benteng sertamerta memberi hormat dengan membuka topinya.
Di antara petinggi kompeni Belanda itu adalah Pieter Speelman yang mengetahui BRA Pembayun adalah puteri almarhum Susuhunan Pakubuwana l.
Konon, ketika diberitahu kalau jasad Sawunggaling sudah dibawa ke Lidah Wetan, Raden Ayu Sangkrah minta diantarkan ke rumahnya di Lidah Wetan. Sedangkan BRA Pembayun bersama Raden Mas Arya Bagus Narendra dibawa ke Kartasura.
Dengan gugurnya Adipati Sawunggaling sebagai pahlawan bangsa di benteng Providentia itu, maka pimpinan pemerintahan Kadipaten Surabaya kosong. Kekuasaan sementara diambilalih oleh pihak Belanda. Tidak berapa lama, Kadipaten Surabaya dipimpin oleh Ki Tumenggung Panatagama.
Perjuangan Sawunggaling sampai titik darah penghabisan itu tidak dilupakan oleh Arek Suroboyo. Ia mewakili ketangguhan budaya Arek menghadapi hegemoni budaya Mataram. Apakah bonek mania sekarang merupakan reinkarnasi Laskar Sawunggaling di masa lalu...?
Sumber referensi :
Sri Nur Raja Agam MH, Tumenggung Raden Mas Ngabehi Sawunggaling, Tokoh Legendaris Surabaya Tempo Dulu.
Imajiner Nuswantoro