KISAH KIDUNG HARSAWIJAYA
Raja Narasingha dari Singhasari beserta Śrī Pramiśwarī-nya (isteri pertama dan ratu) dianugerahi seorang putera yang diberi nama Harṣawijaya. Ia menjadi dewasa dan memperlihatkan sifat-sifat yang pantas dimiliki seorang pangeran, rupawan, cerdas dan gagah berani, serta unggul dalam setiap cabang seni. Putera-putera pejabat-pejabat tinggi di kraton dibesarkan bersama Harṣawijaya, dan menjadi teman-temannya sehari-hari, seperti misalnya Lawe, Nambi, Sora, Pĕḍang, Dangdi, Gajah Pagon dan Lembu Pĕtĕng (pupuh 1 bait 1-10).
Sang raja menjadi sakit parah. Ketika kematian makin mendekat, raja meminta kepada mantri-mantri untuk memberitahukan kepada saudara sepupunya, Kṛtanāgara, bahwa ia diangkat sebagai ahli waris (sementara) takhta kerajaan dan sekaligus sebagai pengasuh bagi puteranya yang kini menjadi yatim. Kalau anak itu sudah cukup dewasa ia dapat mengambil alih pemerintahan. Deskripsi mengenai keesokan hari sesudah Narasingha beserta isterinya (yang mengikuti sang suami) meninggal. Di bawah pemerintahan raja yang baru keadaan kerajaan mundur. Patih, kepala para brahmin dan pejabat-pejabat tinggi lainnya mengundurkan diri karena mereka tidak setuju dengan cara Kṛtanāgara mempergunakan kekuasaannya (1.11-30).
Ketika Harṣawijaya telah mencapai usia dewasa dan cukup berumur untuk dinobatkan menjadi raja (abhiṣeka), Kṛtanāgara memutuskan agar kedua puterinya sendiri Puṣpawatī dan Puṣparaśmi diberikan kepada putera mahkota sebagai isteri, ia sendiri akan mengundurkan diri sebagai seorang pertapa (bagawan). Anĕngah, sang patih, mengusulkan agar diadakan suatu ekspedisi ke Malayu dan memaksa raja negeri itu untuk menyerahkan kedua puterinya, Dara Pĕṭak dan Dara Jingga, kepada Harṣawijaya, untuk dijadikan mahādewī (isteri yang sederajat dengan permaisuri), (dan dengan demikian menggenapi angka empat bagi isteri-isterinya). Oleh Raganata, bekas patih, sang raja diperingatkan, bahwa Jayakatwang, raja Kaḍiri (Daha) dan vasalnya, sudah cukup lama tidak menghadap untuk berbakti dan kiranya kurang bijaksana bila kraton tidak dilindungi oleh pasukan-pasukan, tetapi peringatan-peringatan Raganata diabaikan. Raja disertai sang pangeran menuju bagian keputrian, di sana sang permaisuri dan isteri-isteri lainnya bersama kedua puterinya sedang mengadakan latihan gamĕlan. Mereka diberitahu mengenai keputusan yang telah diambil dalam rapat. Rupanya sang pangeran telah jatuh cinta kepada kedua calon isterinya. Kedua puteri malu-malu ketika raja mengajak mereka agar diberi pencerahan oleh Harṣawijaya dan supaya mereka mempersembahkan sebungkus sirih dan pinang kepadanya sebagai imbalan bagi segala jerih payahnya (1.31-79).
Pasukan yang akan melakukan ekspedisi ke Malayu bertolak dari Tuban. Wīrarāja, seorang pejabat di bawah pemerintahan Narasingha, tetapi oleh Kṛtanāgara disingkirkan dari kraton dan dijadikan adipati di Madura, ingin membalas dendam dan kini melihat kesempatan yang baik, karena Singhasari tidak dijaga pasukan-pasukan. Ia mengutus puteranya Wirondaya ke Kaḍiri untuk menghasut
Jayakatwang agar ia memberontak. Jayakatwang minta nasihat patihnya yang mengingatkan bahwa ayahnya merupakan raja terakhir di Kaḍiri, tetapi kemudian dikalahkan dan dijadikan bawahan pendahulu Kṛtanāgara, sang patih memberi nasihat supaya Jayakatwang jangan melewatkan kesempatan ini dan merebut kembali kemerdekaannya serta menghukum Singhasari untuk segala penghinaan yang ditimpakan kepada wangśa Kaḍiri. Diputuskan agar dua pasukan akan turut berperang, yang satu akan mengikuti rute ke utara diiringi sebanyak mungkin keramaian sehingga diketahui oleh umum, sedangkan yang lain secara diam-diam dan tersembunyi akan melintasi hutan-hutan di selatan. Dalam sebuah mimpi, ratu Singhasari diberitahu mengenai malapetaka yang akan datang, hanya Harṣawijaya yang akan dapat meloloskan diri. Raja mengira bahwa mimpi itu ada berkaitan dengan ekspedisi ke Malayu dan ia memerintahkan kepada para pendeta untuk melakukan upacara-upacara yang tepat guna menghalau bahaya. Datanglah laporan dari Madura yang menyebut-nyebut bahaya yang datang dari pihak Jayakatwang. Kṛtanāgara tidak mau percaya akan berita tadi dan oleh patihnya ia didukung dalam rasa aman yang palsu, tetapi tiba-tiba ia dikejutkan oleh pengungsi-pengungsi dari utara yang membanjiri ibu tota Mereka membawa berita bahwa pasukan Daha mendekati ibu kota. Harṣawijaya berangkat bersama sebuah rombongan kecil untuk menghadang mereka, tetapi mengingat usianya yang masih muda dan kurangnya pengalaman, maka Kṛtanāgara mengutus patihnya bersama sisa pasukan, menyusul Harṣawijaya. Pasukan Daha yang kedua menunggu di tempat persembunyiannya, menantikan saat ini, lalu menyerang kraton.
Terjadilah pertempuran sengit yang akhirnya juga menewaskan raja. Patih bersama pasukannya yang cepat-cepat kembali ketika menerima kabar mengenai keadaan yang gawat itu, dimusnahkan. Dalam pada itu Harṣawijaya telah mengalahkan pasukan Daha yang datang dari utara. Ia kembali dan dengan berani sekali berusaha untuk merebut kembali kraton, tetapi ia terpaksa melarikan diri, dan dikejar oleh Mundarang, patih Daha. Di sebuah sawah mereka mengadu kekuatan dan ketika hampir saja Harṣawijaya terkena oleh tombak lawannya, ia menyepakkan air sawah yang keruh itu ke muka si patih, sehingga untuk sementara dia tak dapat melihat apa-apa. Teman-teman Harsawijaya pun dapat menghalau musuh yang mengejar mereka. Pasukan-pasukan Daha mengundurkan diri ke Singhasari (2.47-81).
Dalam suatu serbuan mendadak di tengah malam Harṣawijaya menemukan salah seorang puteri raja, yaitu yang sulung, tetapi yang bungsu ditahan dan dibawa ke Daha oleh pihak musuh. Karena sadar bahwa keadaan tidak memberikan harapan lagi, maka mereka memutuskan untuk melarikan diri. Waktu meninggalkan Singhasari teman-teman Harṣawijaya melindungi perjalanan mereka, tetapi seorang kawan, yaitu Gajah Pagon, terluka. Dalam keadaan yang sangat menyedihkan mereka mengembara di hutan-hutan dekat pantai utara, tetapi akhirnya mereka sampai di pertapaan Śāntasmṛti, kepala para brahmin waktu ayah Harṣawijaya masih memerintah. Mereka disambut dengan ramah sekali. Atas nasihat sang pertapa mereka menyeberang ke Madura untuk minta bantuan Wīrarāja (2.82-126).
Setelah pemberontakan berhasil, Jayakatwang menguasai seluruh pulau Jawa. Puteri bungsu Kṛtanāgara yang dibawa ke Daha bersama para tawanan lainnya diperlakukannya sebagai anak kandungnya sendiri (2.127-146).
Di Madura Harṣawijaya menantikan saat yang tepat, ia dibantu Wīrarāja dalam merencanakan kembalinya. Kepada Wīrarāja ia berjanji akan memberikan separuh kerajaannya sebagai anugerah atas bantuannya yang tak terhingga itu. Atas nasihat Wīrarāja, Harṣawijaya memutuskan untuk pergi ke Daha dan mencoba apakah Jayakatwang berbaik hati kepadanya. Ia mendarat di Canggu di pantai utara bersama puteri raja dan segenap pengikutnya. Rangga Lawe diutus untuk memberitahukan kepada raja mengenai kedatangan mereka. Setelah mengadakan konsultasi dengan para mantri yang pendapatnya berbeda-beda, raja memutuskan untuk mengabulkan permohonan Harṣawijaya, taman sari Bagenda dipilih sebagai tempat kediaman tamu agung dari Singhasari. Seketika raja dan para mantri terpesona oleh penampilan Harṣawijaya yang rupawan dan kelakuannya yang selaras dengan kedudukannya sebagai putera mahkota, tetapi para brahmin meramalkan, bahwa orang yang nampak sebagai inkarnas Wiṣṇu ditakdirkan menjadi raja. Segera rombongan yang baru datang merasa betah dan disukai oleh umum. Tetapi sang puteri merasa sedih bila teringat, bahwa adiknya hidup tak jauh dari sana namun terpisah daripadanya (3.1-80).
Pasukan Singhasari pulang dari ekspedisinya dan membawa ke dua puteri dari Malayu. Mereka mendarat di Canggu dan setelah mendengar apa yang terjadi, menawarkan jasa mereka kepada Harṣawijaya dan menyatakan kesediaannya untuk bertempur baginya. Keesokan harinya dirayakan pesta tahunan Galangan. Sang pangeran akan ke kraton untuk bersembah sujud kepada raja yang mempermaklumkan kehendaknya, agar pesta ini dirayakan dengan suatu pertandingan. Para kṣatriya Daha akan melawan para kṣatriya dari Singhasari. Pesta dimulai pada hari bulan purnama dalam bulan Asuji. Deskripsi panjang mengenai tokoh-tokoh yang hadir di balairung. Puṣparaśmi, puteri kedua dari Singhasari beserta Ratna Keśari, puteri Jayakatwang laksana Suprabhā dan Tilottamā. Rombongan Singhasari tiba dengan suatu arakan yang beraneka warna, Puṣpawatī dan kedua puteri dari Malayu naik kereta, sedangkan putera mahkota naik seekor gajah. Barang-barang yang mereka bawa dari Malayu dipersembahkan kepada raja yang berkenan menerima sembah sujud mereka. Puṣparaśmi tidak dapat menahan air mata ketika melihat kakaknya. Dalam pertandingan yang menyusul para prajurit dari Singhasari ternyata lebih kuat daripada rekan-rekan mereka dari Daha (3.80-4.49).
Taman sari Bagenda terlalu sempit untuk sekian banyak tamu. Agar masalah ini dapat dipecahkan secara efektif, maka raja atas nasihat patihnya memutuskan, agar Harṣawijaya bersama anak buahnya akan bermukim di Trik, sebidang tanah penuh hutan, di tepi sungai dan tak jauh dari Daha. Keesokan hari mereka berangkat dan segera mulai membersihkan hutan. Wīrarāja diberitahu pleh puteranya, Wirondaya, bagaimana keadaan telah berubah, lalu datang dengan orang-orang Madura untuk membantu Harṣawijaya. Pemukiman baru ini dinamakan Majapahit, karena buah-buah maja yang tumbuh di sana pahit rasanya. Segera tempatnya diperluas dan Harṣawijaya memperoleh izin untuk menetap di sana untuk selamanya. Jayakatwang sadar akan bahaya yang mengancamnya dari sana, tetapi menerima nasibnya secara tabah, “karena dalam hidup ini nasib untung dan malang silih berganti dan tak ada sesuatu pun yang lestari”. Wīrarāja pulang ke Madura (4.50-68).
Untuk waktu cukup lama hubungan antara Daha dan Majapahit terjalin dengan baik. Kemudian Harṣawijaya memutuskan, bahwa saatnya telah tiba untuk melaksanakan rencananya. la berunding dengan para sekutunya, sebagian besar di antara mereka setuju kalau diadakan serangan terbuka, namun mereka mengikuti saran Rangga Lawe untuk minta nasihat Wīrarāja dahulu. Dia mengusulkan suatu rencana lain. Ia akan minta sahabatnya, raja Tatar, untuk membantunya menyerang Daha, sebagai umpan ditawarkan kepadanya anak Jayakatwang, Ratna Keśari. Harṣawijaya setuju. Sambil menantikan kedatangan pasukan Madura serta sekutu mereka dari Tatar, pernikahannya dengan Puṣpawatī dirayakan (4.69-111).
Ketika mendengar bahwa raja Tatar mendarat di Canggu, Jayakatwang menganggap kewajibannya sebagai seorang kṣatriya agar jangan menghindari pertempuran, biarpun ia tidak meragukan hasilnya. Menurut keputusan ilahi (Sang Hyang Widhi) saatnya telah tiba, agar kekuasaan terhadap pulau Jawa beralih dari Kaḍiri (Daha) ke Majapahit. Ia memberitahukan kepada para wanita dan puteri di kraton bagaimana keadaannya, dan bahwa ia bertekad untuk gugur dalam pertempuran. Semuanya, termasuk Puṣparaśmi, memperlihatkan rasa marahnya karena sikap Harṣawijaya yang tak kenal terima kasih dan yang mengkhianati pelindungnya (5.1-20).
Di Majapahit Harṣawijaya sedang berbincang-bincang dengan Puṣpawatī (yang mengusulkan, agar ia menikahi kedua puteri dari Malayu juga), ketika kedatangan patih dari Tatar dilaporkan. Patih tersebut memberitahukan, bahwa raja serta pasukannya berkemah di sebelah utara ladang Bobot Sari. Janji mengenai puteri Daha diteguhkan dan dicapai kata sepakat, bahwa ketiga pasukan (yaitu dari Majapahit, Madura dan Tatar) akan menuju Bobot Sari sehingga tempat itu akan didekati dari tiga sudut, dan mereka akan berjumpa di sana. Semangat para prajurit Majapahit berkobar-kobar dan sepanjang malam mereka makan dan minum, sementara Harṣawijaya tidur bersama Dara Pĕṭak dulu, kemudian dengan Dara Jingga. Setelah berpamitan dengan Puṣpawatī ia menuju Bobot Sari sebagai panglima tentara Majapahit (5.21-63).
Setelah ketiga tentara menempati posisinya masing masing, tentara musuh pun nampak. Jayakatwang bersama para mantri tua tidak ambil bagian dalam pertempuran yang menyusul. Biarpun bertempur dengan gagah berani namun pasukan-pasukan Daha dikalahkan di tiga front. Muncullah Jayakatwang yang duduk di atas seekor gajah, ia siap menghadapi maut dalam pertandingan dengan Harṣawijaya. Para prajurit Majapahit segan mengangkat senjata melawan sang raja, dan Harṣawijaya pun bimbang ketika akhirnya berhadapan muka dengan raja yang pernah menjadi sahabat dan pelindungnya. Kemudian, sambil tetap duduk di atas gajahnya, sang raja melakukan samādhi dan tiba-tiba lenyap di angkasa. Semua yang hadir dan menyaksikan akhir hidup seorang raja yang sungguh-sungguh agung, kagum akan peristiwa yang gaib itu. la disusul oleh para mantri yang bertempur sampai mati (5.64-135).
Atas nasihat Wīrarāja, Harṣawijaya minta para prajurit Tatar agar mengundurkan diri dahulu ke perkemahannya, sementara ia mengurus perabuan para kṣatriya yang gugur. Kemudian ia menuju ke Daha untuk melindungi para penghuni keputrian.
Rupanya semua bunuh diri setelah mendengar berita tentang kematian sang raja, kecuali Puṣparaśmi yang dicegah oleh sang ratu dan Ratna Keśari. Harṣawijaya memerintahkan beberapa pengawal untuk mengantar sang puteri ke Majapahit, sedangkan ia sendiri menuju Bobot Sari. Desas-desus mengenai sang puteri yang dibawa ke Majapahit itu telah didengar raja Tatar pula, yang mengutus patihnya untuk menuntut apa yang telah dijanjikan kepadanya. Harṣawijaya tetap diam dan merasa malu karena ia dituduh telah melanggar janjinya, tetapi Wīrarāja menerangkan, bahwa sang puteri telah merenggut nyawanya sendiri. Utusan Tatar kembali ke rajanya dengan berita tersebut, tetapi kekecewaan raja Tatar berubah menjadi kemarahan, ketika desas-desus tadi ternyata benar. Ia bertekad untuk merebut sang puteri dengan kekerasan (5.136-6.9).
Di Majapahit Puṣpawatī, dengan didampingi Dara Pĕṭak, bersiap-siap untuk menyambut sang pemenang dengan upacara kebesaran. la harus menghibur hati Dara Jingga yang merana karena terpisah dari ayahnya, beserta adiknya Puṣparaśmi yang masih berdukacita karena kehilangan kawan-kawan, sang ratu beserta puteri Daha. Tibalah Harṣawijaya. Sebelum memasuki kraton ia harus memperhatikan dulu keadaan negara serta membicarakan tindakan-tindakan yang harus diambil guna menghadapi situasi yang gawat, akibat perselisihan dengan raja Tatar. la tidak bersedia menyerahkan Puṣparaśmi, tunangannya sejak mereka masih tinggal di Singhasari, ia lebih suka mati mempertahankan haknya atas Puṣparaśmi. Pasukan-pasukan disiagakan, kemudian ia menjumpai kedua puteri dan pernikahan dengan Puṣparaśmi dirayakan. Ketika pasukan-pasukan Tatar terdengar mendekat, Harṣawijaya menjelaskan kepada Puṣparaśmi, apa yang mereka kehendaki. Ia bertanya apakah sang puteri lebih suka menjadi isteri raja Tatar, tetapi usul ini ditolaknya dengan marah (6.10-59).
Dengan suara gaduh pasukan-pasukan Tatar memasuki Majapahit sambil memekik, agar sang puteri segera diserahkan. Menyusullah pertempuran sengit, tetapi para penyerbu dikalahkan dan raja mereka pun ditewaskan. Setelah jenazah-jenazah diperabukan, dikirimlah utusan-utusan kepada mpu Śāntasmṛti di Gunung Himagiri, ia diundang untuk melakukan upacara pensucian serta menobatkan Harṣawijaya menjadi raja (abhiṣeka). Baru selang satu bulan sang brahmin tiba. Pada upacara abhiṣeka yang dilangsungkan pada tanggal 15 bulan Kārttika, raja diberi nama penobatan Kṛtarajasa. Śāntasmṛti menolak untuk tetap tinggal di Majapahit tetapi mengusulkan murid kesayangannya Widyajñana sebagai penggantinya. Setelah memberikan pelajaran terakhir mengenai kewajiban seorang raja, ia berangkat. Sahabat-sahabat Harṣawijaya diangkat menjadi pejabat-pejabat tinggi di kerajaan Majapahit. Rangga Lawe menjadi Patih Amangkubumi, Nambi menjadi Dĕmung, Sora menjadi Tumĕnggung Di bawah pemerintahan Kṛtarajasa kerajaan bertambah sejahtera dan pulau-pulau lain pun (nūsântara). Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Koci, Gurun, Wandan, Tañjungpura, Dompo, Palembang dan Makasar disebut-sebut di sini mengakuinya sebagai atasan mereka (6.60-119).
Kidung Harsawijaya sebagai kidung historis
P.J Zoetmulder menyebutkan jika kidung Harsawijaya termasuk dalam kidung historis. Penggolongan ini karena Kidung Harsawijaya seperti ketiga kidung lainnya yaitu, Rangga Lawe, Sorandaka dan Sunda bahannya diambil dari tradisi historis mengenai kerajaan Majapahit. Ruang lingkup kidung Harsawijaya adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan jatuhnya kerajaan Singhasari serta didirikannya kerajaan baru yang untuk sebagian meneruskan kerajaan sebelumnya.Sekalipun jika ditinjau dari aspek substansial, maka akan terlihat sejumlah perbedaan yang signifikan antara Kidung ini dengan sejumlah karya sastra lain Negarakertagama sebagai sumber utama dalam sejarah Majapahit atau bahkan dengan sumber lain yang lebih kuat misalnya Prasasti Kudadu.
Perbedaan tersebut meliputi :
1. Silsilah / genealogi dari Harsawijaya
Di dalam Kidung Harsawijaya disebutkan jika Harsawijaya (Raden Wijaya) adalah putra dari Raja Narasingha, pewaris resmi Kerajaan Singhasari. Namun karena dia belum dewasa, maka tahta masih dipegang oleh saudara sepupu dari sang raja yaitu Krtanagara. Penjelasan di atas tentu berbeda dengan sejumlah teks lain tentang siapakah Raden Wijaya. Negarakertagama pupuh 47 menyebut bahwa Radeh Wijaya dalam teks tersebut disebut Dyah Wijaya adalah putra dari Dyah Lembu Tal, cucu dari Narasinghamurti sekaligus menantu dari Krtanegara. Hal ini juga didukung oleh Piagam Kudadu. Piagam pertama yang dikeluarkannya saat sudah menjadi raja. Prasasti ini dikeluarkan pada tahun 1294 Masehi.
2. Jumlah putri Krtanagara
Kidung Harsawijaya menyebutkan bahwa raja Krtanagara hanya memiliki dua putri yaitu Pusparasmi dan Puspawati. Sementara Negarakratagama pupuh 46 menyebutkan jika Krtanegara memiliki 4 putri dengan kesemuanya kemudian dinikahi oleh Wijaya.
3. Jumlah istri Harsawijaya
Tentang perkawinannya dengan putri Krtanegara juga terdapat perbedaan. Kidung Harsawijaya menyebutkan bahwa raja Krtanagara hanya memiliki dua putri yaitu Pusparasmi dan Puspawati. Mereka berdua pula yang menjadi pasangan dari Raden Wijaya. Ditambah dengan pernikahan dengan Dara Petak dan Dara Jingga, dua puteri dari Kerajaan Melayu. Ini sekali lagi berbeda dengan uraian dalam Nagarakertagama, yang menyebutkan bahwa Krtarajasa Jayawardhana (nama abhiseka Raden Wijaya) menikahi empat putri dari Krtanegara yaitu Tribhuwana, Mahadewi, Jayendradewi, dan Gayatri (yang digelari Rajapatni). Pemberitaan ini didukung dengan Piagam Penanggungan (1296) dan piagam yang bertarikh 1305. Selain Keempat putri Krtanegara, itu Raden Wijaya juga menikah dengan putri Indreswari, yang kemudian melahirkan Jayanagara. Indreswari ini diidentifikasi sebagai Dara Petak. Penjelasan pernikahan ini ada di dalam Nagarakertagama, Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama dan Harsawijaya. Namun tidak tertera dalam prasasti manapun. Sementara Dara Jingga tidak diambil istri oleh Raden Wijaya. Dara Jingga diperistri oleh pembesar yang lain.
Slamet Muljana mengidentifikasi jika pembesar ini bernama Adwayabrahma, seorang mahamantri dari kerajaan Singhasari. Dara Jingga di kemudian hari melahirkan seorang putra, yaitu Adityawarman.
Penulisan artikel ini hanya merupakan sebuah telaah singkat terhadap ikhtisar dari Kidung Harsawijaya (yang disarikan oleh P.J Zoetmulder dalam Kalangwan). Nampaknya memang tidak tepat jika Kidung ini dijadikan sumber primer dari sebuah penulisan sejarah. Mungkin lebih tepat jika dijadikan sebagai sumber pembanding. Namun apapun kategorinya, Kidung Harsawijaya termasuk salah satu karya sastra yang cukup menarik dengan tema tradisi historis. Zoetmulder menyebut ada sejumlah kidung yang menggunakan tema historis sebagai substansinya. Mereka adalah Kidung Harsawijaya, Rangga Lawe, Sorandaka, Sunda dan Panji Wijayakrama. Kidung-kidung tersebut dalam substansinya terkadang menyampaikan fakta yang berbeda satu sama lain.
Sumber referensi :
Muljana, Slamet. 2009. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta : LKiS. (Cetakan IV)Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerbit Djambatan.
Koleksi Artikel Imajiner Nuswantoro