Sesaji Rajasuya
(KISAH PANDAWA BUANG)
Rajasuya adalah sebuah upacara yang diselenggarakan oleh Para Raja pada zaman India Kuno .
Upacara tersebut sangat
terkenal, selayaknya upacara Aswamedha. Rajasuya maupun Aswamedha sama-sama
merupakan upacara yang hanya bisa dilakukan apabila seorang Raja merasa cukup kuat
untuk menjadi penguasa.
Seperti Aswamedha, selama persiapan
upacara Rajasuya, para jendral patih, saudara, atau ksatria yang masih
sekerabat) melakukan kampanye militer dengan menaklukkan daerah-daerah
(kerajaan) di sekitar mereka, sekaligus mengambil upeti dari kerajaan yang
berhasil ditaklukkannya. Raja yang kalah harus bersedia untuk memberikan upeti
dan mau menghadiri penyelenggaraan upacara.
Terdapat perbedaan antara upacara
Aswamedha dengan Rajasuya. Pada saat upacara Aswamedha, kampanye militer
dilakukan dengan melepaskan seekor kuda lalu para prajurit mengikuti kuda
tersebut dan daerah yang dilalui kuda tersebut ditaklukkan, sedangkan dalam
upacara Rajasuya, kuda tidak diperlukan. Para prajurit menaklukkan kerajaan
sekitar sesuai dengan apa yang sudah mereka rencanakan.
Upacara Rajasuya yang terkenal
diselenggarakan Rajasuya yang diselenggarakan oleh Yudistira, putera tertua
Pandu di antara para Pandawa. Hal tersebut dijelaskan dengan detail dalam kitab
Mahābhārata.
Kisah ini menceritakan tentang upacara
Sesaji Rajasuya yang diadakan oleh para Pandawa, serta kematian Prabu
Jarasanda, musuh bebuyutan Prabu Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber kitab
Mahabhrata jilid Sabhaparwa, yang dipadukan dengan buku tuntunan pedalangan
lakon Sesaji Rajasuya karya Ki Sarwanto, dengan perubahan seperlunya.
ADANYA BERITA TENTANG
PENANGKAPAN PARA RAJA
Di Kerajaan Dwarawati, Prabu Kresna
Wasudewa dihadap Raden Setyaka, Arya Setyaki, dan Patih Udawa. Dalam pertemuan
itu hadir pula sang kakak, yaitu Prabu Baladewa dari Kerajaan Mandura bersama
Patih Pragota dan Arya Prabawa.
Prabu Baladewa datang membawa kabar bahwa
kedua paman, yaitu Prabu Bismaka raja Kumbina dan Prabu Setyajit raja Lesanpura
telah ditangkap oleh dua orang raja dari tanah seberang, bernama Prabu Hamsa
dan Prabu Dimbaka. Prabu Baladewa mendapat berita ini dari laporan Raden
Rukmaka (putra Prabu Bismaka) yang juga meminta bantuan untuk membebaskan
mereka berdua. Prabu Baladewa berangkat mengejar, tetapi ia kehilangan jejak
dan terpaksa berbelok menuju Kerajaan Dwarawati untuk merundingkan masalah ini
dengan Prabu Kresna.
Arya Setyaki terkejut mendengar berita
bahwa ayahnya (Prabu Setyajit) telah ditangkap orang tak dikenal. Ia pun mohon
izin kepada Prabu Kresna untuk mengejar kedua musuh bernama Prabu Hamsa dan
Prabu Dimbaka tersebut. Prabu Kresna melarang Arya Setyaki berangkat karena ia
mendapat firasat bahwa sebentar lagi kedua musuh itu akan datang menyerang
Kerajaan Dwarawati.
Prabu Baladewa bertanya siapa sebenarnya dua raja itu dan mengapa mereka menangkap Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit ?
Prabu Kresna mengatakan bahwa kedua raja itu hanyalah suruhan belaka. Saat ini ada dua orang raja lain yang hendak mengadakan upacara agung, yaitu Prabu Puntadewa yang berniat mengadakan Sesaji Rajasuya, serta Prabu Jarasanda yang hendak mengadakan Sesaji Kalalodra.
Bedanya, Sesaji Rajasuya harus dihadiri
paling sedikit seratus orang raja, sedangkan Sesaji Kalalodra harus menyembelih
seratus orang raja sebagai kurban.
Prabu Jarasanda adalah raja Kerajaan
Magada yang beribukota di Giribajra. Menurut penerawangan Prabu Kresna, saat
ini Prabu Jarasanda telah menyekap 97 orang raja, termasuk Prabu Bismaka dan
Prabu Setyajit. Untuk menggenapi seratus, Prabu Jarasanda berniat menangkap
Prabu Baladewa, Prabu Kresna, dan Prabu Puntadewa. Adapun dua raja bernama
Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka adalah bawahan Prabu Jarasanda yang ditugaskan
untuk menangkapi para raja calon kurban.
Prabu Baladewa terkejut dirinya menjadi
sasaran. Prabu Kresna menjelaskan bahwa Prabu Jarasanda menyimpan dendam kepada
keluarga Mandura. Prabu Jarasanda adalah menantu Prabu Gorawangsa raja Guargra,
yaitu raja raksasa yang pernah menyamar sebagai Prabu Basudewa (ayah Prabu
Baladewa dan Prabu Kresna) dan menghamili Dewi Mahira. Dari hubungan tersebut
lahir Prabu Kangsa yang bersahabat dengan Prabu Jarasanda. Ketika dulu Prabu
Kangsa tewas dibunuh Prabu Kresna dan Prabu Baladewa semasa muda, hal ini tentu
saja membuat Prabu Jarasanda sakit hati. Itu sebabnya Prabu Jarasanda ingin
menjadikan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa sebagai kurban sesaji, serta
digenapi pula dengan Prabu Puntadewa. Adapun dendam kepada para Pandawa adalah
karena mereka putra Prabu Pandu, yang mana Prabu Pandu dulu pernah mengalahkan
Prabu Jarasanda di masa muda.
Prabu Baladewa lega mendengar bahwa Prabu
Hamsa dan Prabu Dimbaka selaku utusan Prabu Jarasanda akan datang untuk
menangkap dirinya. Itu artinya ia tidak perlu susah payah mencari mereka
berdua. Prabu Kresna justru menyerahkan masalah ini kepada Prabu Baladewa
karena dirinya akan berangkat menuju Kerajaan Amarta, membantu para Pandawa
mempersiapkan Sesaji Rajasuya. Apabila Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka bisa
dikalahkan, maka Prabu Baladewa diminta untuk segera menyusul ke Kerajaan Amarta.
Prabu Baladewa heran dirinya datang untuk
merundingkan masalah ini bersama Prabu Kresna, tapi sekarang justru hendak
ditinggal pergi ke Kerajaan Amarta. Namun, ia paham watak adiknya sehingga
tidak perlu berdebat lagi. Prabu Kresna pun membubarkan pertemuan, dan ia
memerintahkan Arya Setyaki serta Patih Udawa untuk membantu Prabu Baladewa
menghadapi musuh.
PRABU BALADEWA MENUMPAS PRABU
HAMSA DAN PRABU DIMBAKA
Prabu Baladewa mempersiapkan pasukan
Dwarawati dan Mandura. Sesuai dugaan Prabu Kresna, ternyata benar pasukan
Magada datang menyerang di bawah pimpinan Prabu Hamsa dan Prabu Dimbaka. Kedua
raja ini datang untuk menangkap Prabu Kresna.
Namun, Prabu Baladewa sudah bersiaga
didampingi Arya Setyaki dan Patih Udawa. Pertempuran sengit pun terjadi. Prabu
Hamsa dan Prabu Dimbaka ternyata sulit dibunuh. Apabila Prabu Hamsa mati, maka
ia akan hidup kembali setelah mayatnya dilangkahi oleh Prabu Dimbaka.
Sebaliknya, Prabu Dimbaka apabila mati juga hidup kembali setelah mayatnya
dilangkahi Prabu Hamsa.
Prabu Baladewa tidak kekurangan akal. Ia
pun menghunus dua pusaka sekaligus, yaitu Nanggala di tangan kanan dan Alugora
di tangan kiri. Kedua pusaka ini masing-masing dihantamkan ke kepala Prabu
Hamsa dan Prabu Dimbaka yang menyerang bersama-sama. Kedua raja itu pun tewas
untuk selamanya.
PRABU KRESNA MENINJAU PERSIAPAN
SESAJI RAJASUYA
Sementara itu, Prabu Kresna telah tiba di
Kerajaan Amarta, disambut Prabu Puntadewa dan para Pandawa lainnya. Setelah
saling bertanya kabar, Prabu Kresna pun menanyakan bagaimana persiapan Sesaji
Rajasuya. Prabu Puntadewa balik bertanya, apa saja yang harus disediakan para
Pandawa dalam mengadakan upacara tersebut.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa Sesaji
Rajasuya adalah upacara yang dilakukan oleh seorang raja dalam rangka mensyukuri
berkah atas negaranya yang telah berdiri. Dalam hal ini, Prabu Puntadewa sangat
berhak mengadakan upacara tersebut, karena ia menjadi raja atas usahanya
sendiri membuka negara Amarta mulai dari awal. Adapun raja lainnya seperti
Prabu Baladewa dan Prabu Duryudana tidak bisa mengadakan Sesaji Rajasuya karena
mereka menjadi raja karena warisan dari orang tua. Sementara itu, Prabu Kresna
yang menjadi raja setelah mengalahkan Prabu Yudakala Kresna juga tidak bisa
mengadakan upacara ini karena Kerajaan Dwarawati sudah lebih dulu ada dan
tinggal meneruskan saja.
Syarat lainnya adalah, Sesaji Rajasuya
harus dipimpin oleh tujuh orang brahmana agung berilmu tinggi, serta disaksikan
paling sedikit seratus orang raja dari berbagai negeri. Selain itu, Prabu Puntadewa
harus menghilangkan nyawa seorang raja angkara murka. Prabu Puntadewa menyimak
dengan seksama. Untuk syarat yang pertama ia telah mengutus para putra Pandawa
untuk menjemput para brahmana agung, terutama Bagawan Abyasa dan Resiwara
Bisma. Adapun syarat terakhir yang membuat Prabu Puntadewa agak keberatan.
Menurutnya, upacara Sesaji Rajasuya lebih baik dibatalkan daripada harus
mengorbankan nyawa orang lain.
Prabu Kresna pun bercerita bahwa saat ini
Prabu Jarasanda raja Magada telah menyekap 97 orang raja untuk ia sembelih
dalam upacara Sesaji Kalalodra. Namun, upacara tersebut tidak bisa diadakan
apabila jumlah raja yang dikumpulkan belum mencapai angka seratus. Rencananya,
tiga raja yang akan digunakan sebagai penutup adalah Prabu Baladewa, Prabu Kresna,
dan Prabu Puntadewa.
Prabu Puntadewa tidak takut apabila
dirinya ditangkap dan disembelih Prabu Jarasanda. Namun, yang ia khawatirkan
adalah nasib 97 orang raja yang saat ini menjadi tawanan. Bagaimanapun juga
mereka harus dibebaskan. Prabu Kresna menjelaskan bahwa paman mereka, yaitu
Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit termasuk yang berada dalam tawanan tersebut.
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna marah mendengarnya. Mereka pun memohon izin
kepada Prabu Puntadewa untuk membunuh Prabu Jarasanda dan membebaskan semua
raja yang saat ini ditawan.
Prabu Puntadewa menimbang-nimbang.
Akhirnya, ia pun setuju membunuh Prabu Jarasanda demi untuk membebaskan 97
orang raja yang menjadi tawanan. Namun, ia memerintahkan Arya Wrekodara dan
Raden Arjuna agar membunuh Prabu Jarasanda saja, tidak perlu menumpahkan darah
orang lain. Mereka lalu bertanya kepada Prabu Kresna bagaimana cara yang harus
ditempuh. Prabu Kresna berkata bahwa Prabu Jarasanda meskipun kejam dan bengis,
namun ia sangat alim dalam beragama dan menghormati kaum pendeta. Oleh sebab
itu, Prabu Kresna mengajak Arya Wrekodara dan Raden Arjuna untuk menyamar
sebagai pendeta saat mendatangi Kerajaan Magada nanti.
Setelah dirasa cukup, Prabu Kresna, Arya
Wrekodara, Raden Arjuna pun mohon pamit berangkat. Prabu Puntadewa merestui
kedua adiknya, dan meminta Prabu Kresna untuk melindungi mereka.
RADEN ABIMANYU MENGHADAP BAGAWAN
ABYASA
Sementara itu di Gunung Saptaarga, Raden
Abimanyu disertai para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong menghadap
sang kakek buyut, yaitu Bagawan Abyasa. Kedatangannya ialah untuk menjalankan
perintah Prabu Puntadewa memohon bantuan memimpin upacara Sesaji Rajasuya.
Bagawan Abyasa menyatakan bersedia dan mereka lalu berangkat bersama-sama.
Di tengah perjalanan, Raden Abimanyu dan
rombongannya berpapasan dengan para raksasa pengikut Prabu Hamsa dan Prabu
Dimbaka yang kocar-kacir setelah raja mereka tewas. Para raksasa itu pun
menyerang Raden Abimanyu sebagai pelampiasan. Raden Abimanyu dengan tangkas
menghadapi mereka semua. Satu persatu raksasa pun berguguran. Namun demikian,
jumlah raksasa yang menyerangnya terlalu banyak.
Pada saat itulah muncul Arya Gatutkaca
bersama Resiwara Bisma di tempat itu. Arya Gatutkaca segera membantu Raden
Abimanyu menumpas habis semua raksasa tersebut tanpa sisa.
Resiwara Bisma yang melihat Bagawan Abyasa
segera menghampirinya adiknya tersebut (ayah Resiwara Bisma semasa hidupnya
menikah dengan ibu Bagawan Abyasa). Kedua brahmana tua itu pun berpelukan
karena lama tidak bertemu. Arya Gatutkaca ditugasi pergi ke Padepokan Talkanda
untuk menjemput Resiwara Bisma agar membantu pelaksanaan upacara Sesaji
Rajasuya. Resiwara Bisma bersedia, namun ia merasa ilmu Bagawan Abyasa lebih
tinggi daripada dirinya, maka ia menyatakan hanya bertindak sebagai pembantu
saja. Bagawan Abyasa menyebut Resiwara Bisma terlalu merendahkan diri. Mereka
saling tertawa dan kemudian berangkat melanjutkan perjalanan.
MENYUSUP MASUK KE DALAM KOTA
GIRIBAJRA
Giribajra adalah ibu kota Kerajaan Magada.
Kota tersebut memiliki nama demikian karena terlindung oleh Gunung Cetiyaka. Di
puncak gunung terdapat sebuah genderang (tambur) yang bisa berbunyi sendiri
apabila ada orang asing datang. Untuk itu, Prabu Kresna pun memerintahkan Raden
Arjuna agar menghancurkan genderang tersebut.
Raden Arjuna melaksanakan perintah.
Sebelum tambur itu berbunyi, ia lebih dulu melepaskan panah menuju ke puncak
Gunung Cetiyaka. Anak panah itu melesat dan menghancurkan genderang tersebut,
musnah tanpa sisa.
Arya Wrekodara bertanya mengapa ada
genderang yang bisa berbunyi sendiri. Prabu Kresna pun bercerita bahwa raja
Magada terdahulu bernama Prabu Wrehadrata. Meskipun memiliki dua istri, namun
tidak ada seorang pun yang memberinya keturunan. Prabu Wrehadrata semakin tua
dan pergi bertapa, memohon kepada dewata agar bisa memiliki anak. Dewata
mengabulkan permohonannya. Prabu Wrehadrata pun mendapatkan sebutir buah mangga
pertanggajiwa yang jatuh dari langit.
Karena menyayangi kedua istrinya tanpa
pilih kasih, Prabu Wrehadrata membelah dua mangga kahyangan tersebut dan
masing-masing diberikan kepada dua istrinya. Setelah memakan potongan buah
mangga itu, kedua istri pun mengandung dan melahirkan pada hari yang sama.
Namun, masing-masing melahirkan bayi yang hanya sebelah saja.
Prabu Wrehadrata merasa sedih dan membuang
kedua potongan bayi itu ke hutan. Di hutan ada raksasi bernama Nyai Jara yang
menemukan potongan kedua bayi tersebut. Ketika keduanya diangkat dan
didekatkan, ternyata bersatu menjadi bayi utuh yang memiliki nyawa. Nyai Jara
merasa sayang dan menjadikannya sebagai anak angkat.
Bayi tersebut tumbuh menjadi pemuda
bernama Jaka Slewah, karena tubuhnya tercipta dari dua belahan bayi. Ia menjadi
murid Nyai Jara, dan setelah dewasa pergi ke Kerajaan Magada untuk menuntut hak
sebagai putra mahkota. Prabu Wrehadrata tidak percaya bahwa Jaka Slewah adalah
putranya. Mereka pun berperang. Prabu Wrehadrata gugur di tangan anaknya
sendiri, lalu kulitnya dikupas dan dijadikan sebagai genderang. Genderang
tersebut bisa berbunyi sendiri karena meminta ingin disempurnakan rohnya. Jaka
Slewah mendapat akal. Ia pun menaruh genderang tersebut di puncak Gunung
Cetiyaka sebagai pertanda apabila ada orang asing yang datang.
Setelah membunuh ayahnya sendiri, Jaka
Slewah lalu menjadi raja Magada bergelar Prabu Jarasanda, artinya “yang
disatukan oleh Jara”. Kini Prabu Jarasanda berniat mengadakan Sesaji Kalalodra,
yang mana ia mengumpulkan seratus orang raja untuk dikurbankan.
Arya Wrekodara dan Raden Arjuna sangat
geram mendengar kekejaman Prabu Jarasanda. Namun, Prabu Kresna melarang mereka
gegabah. Apabila masuk ke istana Giribajra hendaknya mereka menyamar terlebih
dulu menjadi pendeta, karena Prabu Jarasanda meskipun kejam tetapi sangat
menghormati kaum brahmana. Apabila tidak menyamar, maka mereka akan mudah
dicurigai dan dikepung oleh pasukan Kerajaan Magada.
Arya Wrekodara mengaku tidak takut
menghadapi para prajurit Magada. Prabu Kresna setuju, namun itu artinya
membuang-buang waktu dan tenaga. Lagipula, pesan Prabu Puntadewa hanya Prabu
Jarasanda saja yang boleh dibunuh, yang lainnya tidak boleh. Arya Wrekodara
mematuhi dan mereka bertiga pun segera bertukar busana, menyamar sebagai
pendeta.
PRABU JARASANDA MEMARAHI ANAKNYA
Sementara itu di istana Giribajra, Prabu
Jarasanda dihadap putranya yang bernama Raden Jayatsena. Dalam pertemuan itu,
Raden Jayatsena mengajukan permohonan kepada ayahnya supaya para raja yang
berjumlah 97 orang dalam tahanan dibebaskan saja. Raden Jayatsena merasa kasihan
apabila mereka disembelih sebagai kurban dalam Sesaji Kalalodra kelak. Jika
mereka masih ditawan, maka negera mereka masing-masing akan mengalami
kekosongan pemerintahan, dan yang menderita adalah rakyat jelata karena tidak
ada kepastian hukum.
Prabu Jarasanda marah-marah mendengar
ucapan anaknya. Ia menyebut Raden Jayatsena anak kecil tahu apa. Kalau para
raja itu disembelih, tinggal tunjuk saja ahli waris mereka sebagai raja maka
negara tidak akan mengalami kekosongan. Hal semudah ini tidak perlu dipikirkan.
Justru dengan adanya Sesaji Kalalodra maka Kerajaan Magada akan semakin
dilindungi oleh Batara Kala. Adapun Batara Kala adalah dewa penguasa
marabahaya. Apabila sang dewa sudah berkenan dengan upacara yang dilakukan oleh
Prabu Jarasanda, maka Kerajaan Magada tidak akan dilanda marabahaya lagi.
Raden Jayatsena masih saja mempertahankan
pendapatnya. Mengangkat ahli waris sebagai pengganti tidak semudah itu. Apabila
ahli warisnya banyak, maka akan terjadi perebutan takhta dan kekacauan negara.
Lagi-lagi rakyat kecil yang menjadi korban. Prabu Jarasanda tidak peduli. Jika
Raden Jayatsena tetap saja membela para raja tawanan, maka lebih baik pergi
saja dari Kerajaan Magada. Raden Jayatsena tidak berani membantah. Ia pun pamit
mengundurkan diri ke luar istana, takut melihat kemarahan sang ayah.
PRABU KRESNA MENANTANG PRABU
JARASANDA PERANG TANDING
Tidak lama kemudian Prabu Jarasanda
mendapat kabar dari patihnya bahwa ada tiga orang brahmana ingin bertemu. Prabu
Jarasanda selama hidupnya selalu menghormati brahmana. Ia pun bergegas
menyambut mereka dengan penuh tata krama. Ketiga brahmana tersebut mengaku
bernama Resi Kesawa, Resi Balawa, dan Resi Parta.
Resi Kesawa selaku pemimpin rombongan
langsung berterus terang bahwa kedatangan mereka bertiga adalah meminta Prabu
Jarasanda untuk membebaskan para raja yang menjadi tawanan. Untuk apa menambah
dosa, lebih baik hidup rukun dalam persahabatan. Bayangkan apabila kelak
keluarga 97 raja itu bersatu menggempur Prabu Jarasanda, bukankah ini
berbahaya? Prabu Jarasanda tidak peduli, karena jika mereka dikurbankan, maka
Batara Kala akan selalu melindungi Kerajaan Magada. Jangankan diserang seratus
negara, bahkan diserang seribu negara pun Prabu Jarasanda tetap merasa aman
dalam perlindungan Batara Kala.
Resi Kesawa berkata bahwa Batara Kala
adalah dewa juga, dan di atas dewa masih ada Tuhan Yang Mahakuasa. Apabila
Tuhan berkehendak lain, Batara Kala bisa apa? Prabu Jarasanda tersinggung dewa
sesembahannya dihina. Ia mulai curiga pendeta di depannya adalah Prabu Kresna,
musuh bebuyutannya. Resi Kesawa merasa tidak perlu menutupi lagi. Ia pun
berterus terang bahwa dirinya memang Prabu Kresna, sedangkan Resi Balawa adalah
Arya Wrekodara, dan Resi Parta adalah Raden Arjuna.
Prabu Jarasanda senang sekali karena hari
ini ia bisa membunuh Prabu Kresna untuk membalaskan kematian sahabatnya, yaitu
Prabu Kangsa dua puluh tahun yang lalu. Selama ini Prabu Jarasanda tidak
menyerang Kerajaan Dwarawati karena takut pada sekutu Prabu Kresna, yaitu para
Pandawa, mengingat dulu dirinya pernah dikalahkan Prabu Pandu. Namun, kini
Prabu Kresna dan dua Pandawa datang mengantarkan nyawa, maka Prabu Jarasanda
merasa tidak perlu segan-segan lagi.
Prabu Kresna menjelaskan bahwa
kedatangannya bukan untuk bertempur besar-besaran, tetapi cukup perang tanding
membunuh satu orang saja, yaitu Prabu Jarasanda. Apabila Prabu Jarasanda mati,
maka 97 raja yang ditawan harus dibebaskan. Sebaliknya, jika Prabu Jarasanda
bisa membunuh salah satu dari Prabu Kresna, Arya Wrekodara, atau Raden Arjuna
dalam perang tanding nanti, maka Sesaji Kalalodra boleh dilanjutkan, bahkan
Prabu Puntadewa dan Prabu Baladewa akan menyerahkan diri sebagai penggenap
jumlah raja yang akan disembelih.
Prabu Jarasanda seorang raja yang pandai
bergulat. Ia merasa terhina jika harus bergulat melawan Prabu Kresna dan Raden
Arjuna yang berbadan kecil. Maka, ia pun memilih Arya Wrekodara sebagai lawan
bertanding. Arya Wrekodara menerima tantangan dengan senang hati, karena sejak
tadi ia berharap dirinya yang dipilih.
PERTANDINGAN ANTARA PRABU
JARASANDA MELAWAN ARYA WREKODARA
Pertandingan antara Prabu Jarasanda dan
Arya Wrekodara pun dimulai. Mereka bertanding di sebuah gelanggang disaksikan
segenap prajurit Magada. Dalam pertandingan itu, tampak bahwa keduanya
sama-sama kuat dan perkasa. Mereka saling menangkap, saling membanting, saling
tendang, dan saling pukul. Tidak bisa dipastikan siapa yang lebih unggul dan
siapa yang akan kalah.
Ketika senja tiba, Prabu Jarasanda
menghentikan pertandingan untuk beristirahat. Ia sudah menyediakan kamar tamu
untuk Prabu Kresna dan rombongannya. Meskipun bermusuhan, tetapi Prabu
Jarasanda tetap menjunjung tinggi tata krama. Ia mengirimkan para pelayannya
untuk memenuhi segala kebutuhan Prabu Kresna, Arya Wrekodara, dan Raden Arjuna.
Arya Wrekodara makan dengan lahap. Ia
tidak takut makanan diracuni karena semasa muda pernah meminum air ajaib
Tirtamanik Rasakunda, sehingga dirinya kebal terhadap segala jenis racun. Hanya
Raden Arjuna yang diam tidak mau makan karena takut terkena racun. Prabu Kresna
menjelaskan bahwa Prabu Jarasanda memang seorang raja angkara murka, tetapi
sangat menjaga harga diri. Prabu Kresna yakin Prabu Jarasanda tidak mungkin
melakukan tindakan rendah layaknya seorang pengecut, misalnya menaruh racun
dalam hidangan. Lagipula, Prabu Kresna memiliki Kembang Wijayakusuma, sehingga
Raden Arjuna tidak perlu merasa khawatir. Setelah mendengar penjelasan
demikian, Raden Arjuna baru berani makan.
CARA MEMBUNUH PRABU JARASANDA
Pagi harinya pertandingan antara Prabu
Jarasanda dan Arya Wrekodara kembali dilanjutkan. Kali ini mereka bertanding
dengan penuh semangat karena badan sama-sama segar. Pertandingan tetap berjalan
alot, hingga senja tiba belum ada yang terlihat siapa pemenangnya.
Malam itu kedua pihak kembali
beristirahat. Esok harinya pertandingan dilanjutkan, dan pada sore harinya
dihentikan. Begitulah yang terjadi hingga beberapa hari. Pada hari ketujuh
Prabu Kresna teringat pada kisah kelahiran Prabu Jarasanda. Ia pun berbisik
kepada Arya Wrekodara bahwa Prabu Jarasanda dulu berasal dari dua belahan bayi,
maka sekarang harus dikembalikan lagi menjadi dua belahan.
Arya Wrekodara paham. Dalam pertandingan
hari itu, ia berusaha menangkap kedua kaki Prabu Jarasanda. Ketika bisa
ditangkap, ia pun menarik kedua kaki tersebut ke dua arah yang berbeda. Prabu
Jarasanda menjerit dan tubuhnya pun terbelah menjadi dua. Namun, sungguh ajaib
kedua tubuh itu bersatu kembali seperti sedia kala.
Arya Wrekodara menoleh ke arah Prabu
Kresna. Prabu Kresna pun mencabut ilalang dan membelahnya menjadi dua, lalu
melemparkannya ke kiri dan ke kanan. Arya Wrekodara paham. Kali ini ia kembali
menangkap kaki Prabu Jarasanda dan membelah tubuhnya menjadi dua. Kedua
potongan itu lalu dilempar jauh-jauh ke kiri dan ke kanan. Namun, sungguh ajaib
keduanya bergerak mendekat dan bersatu lagi, bagaikan tertarik oleh besi
sembrani.
Arya Wrekodara bingung dan kembali menoleh
kepada Prabu Kresna. Kali ini Prabu Kresna mencoba cara lain. Ia melemparkan
potongan ilalang di tangan kiri ke arah kanan, dan melemparkan yang di tangan
kanan ke arah kiri. Arya Wrekodara paham. Ia kembali menangkap kedua kaki Prabu
Jarasanda dan membelah tubuhnya menjadi dua. Kedua potongan itu lalu
dilemparkan menyilang. Belahan tubuh sebelah kiri dilemparkan ke kanan,
sedangkan belahan tubuh kanan dilemparkan ke kiri. Kali ini Prabu Jarasanda
tidak lagi hidup kembali, tetapi mati untuk selamanya.
PRABU KRESNA MEMBEBASKAN PARA
RAJA YANG DITAWAN
Para prajurit Magada takut bercampur marah
melihat raja mereka tewas mengerikan. Raden Jayatsena berduka, tetapi ia
teringat pesan ayahnya untuk menjaga keamanan tiga musuhnya apabila tewas.
Prabu Kresna terkesan pada sikap kesatria Prabu Jarasanda. Ia pun membantu
Raden Jayatsena menyelenggarakan upacara jenazah. Jasad Prabu Jarasanda yang
sudah terbelah hari itu dibakar dalam dua tempat yang terpisah.
Setelah upacara jenazah Prabu Jarasanda
selesai, Raden Jayatsena pun membebaskan 97 orang raja yang ditawan ayahnya.
Mereka semua berterima kasih kepada Prabu Kresna dan kedua Pandawa. Selama
dalam penjara, makan dan minum mereka selalu diperhatikan oleh Prabu Jarasanda.
Itu sebabnya tidak ada raja yang menderita kelaparan, kecuali beberapa orang
yang menolak untuk makan, misalnya Prabu Bismaka dan Prabu Setyajit.
Prabu Kresna kemudian melantik Raden
Jayatsena sebagai raja Magada yang baru. Setelah itu, mereka bersama-sama
berangkat ke Kerajaan Amarta untuk menghadiri Sesaji Rajasuya.
PELAKSANAAN UPACARA SESAJI
RAJASUYA
Prabu Puntadewa merasa bahagia karena
semua persyaratan upacara telah terpenuhi. Para raja dari segala penjuru
berdatangan memenuhi undangannya. Jumlahnya lebih dari seratus orang. Prabu
Kresna dan Prabu Baladewa sudah pasti hadir. Prabu Salya, Prabu Drupada, Prabu
Bismaka, Prabu Setyajit, serta para raja mertua Raden Arjuna juga berdatangan.
Hanya Prabu Matsyapati yang tidak hadir mengingat usianya yang sudah tua,
melainkan diwakili oleh para putranya, yaitu Arya Seta, Arya Utara, dan Arya
Wratsangka.
Prabu Duryudana datang paling akhir
bersama Patih Sangkuni dan Adipati Karna. Para pendeta pun membaca puja mantra
dipimpin tujuh pendeta agung, yaitu Bagawan Abyasa, Resiwara Bisma, Danghyang
Druna, Resi Krepa, Resi Sindupramana, Resi Jayawilapa, dan Resi Sidiwacana.
Dalam upacara tersebut para raja yang telah ditawan Prabu Jarasanda berterima
kasih karena berkat pertolongan Prabu Puntadewa melalui saudara-saudaranya,
mereka bisa terbebas dari maut. Oleh sebab itu, mereka pun sepakat menyebut
Prabu Puntadewa sebagai raja agung bergelar Maharaja Yudistira.
Maharaja Yudistira berkata bahwa semua ini
berkat bantuan dan nasihat dari Prabu Kresna Wasudewa. Baginya, Prabu Kresna
bukan hanya sekadar saudara sepupu, tetapi sudah menjadi dewa pelindung bagi
para Pandawa. Prabu Kresna tidak lain adalah titisan Batara Wisnu yang turun ke
dunia untuk memelihara ketertiban dunia. Oleh sebab itu, Prabu Kresna sangat
layak untuk mendapatkan penghormatan agung dalam upacara ini, dan mulai
sekarang Maharaja Yudistira akan menyebut Prabu Kresna dengan panggilan Sri
Batara Kresna. Para hadirin pun bertepuk tangan setuju. Mereka sepakat ikut
memanggil demikian.
PRABU SISUPALA MEMBUAT KEKACAUAN
Tidak semua raja yang hadir bertepuk
tangan. Ada satu orang yang maju ke depan mengajukan keberatan. Orang itu
adalah Prabu Sisupala raja Cedi. Ia berkata bahwa Prabu Kresna tidak layak
mendapat penghormatan. Menurutnya, Prabu Kresna adalah manusia hina yang semasa
muda pernah menjadi gembala, berteman dengan sapi, pernah jadi begal pula,
merampok, berjudi, menghisap candu, mabuk-mabukan, dan main perempuan. Prabu
Kresna adalah manusia licik penuh tipu daya. Orang seperti dia tidak pantas
mendapat penghormatan, bahkan tidak pantas berada dalam acara ini.
Prabu Baladewa marah-marah mendengar
adiknya dihina. Begitu pula Arya Wrekodara dan Raden Arjuna ingin melabrak
Prabu Sisupala. Namun, mereka dicegah Prabu Kresna. Prabu Baladewa bertanya
mengapa Batara Kresna diam saja. Batara Kresna menjawab, dirinya tidak diam
tetapi sedang menghitung.
Prabu Sisupala tidak takut dan terus
menghina. Ia mengatakan bahwa harusnya Prabu Duryudana raja Hastina yang
mendapat penghormatan mulia, karena ia adalah raja paling kaya di antara para
raja semuanya. Tiba-tiba Batara Kresna menyatakan cukup, karena Prabu Sisupala
sudah berdosa kepadanya lebih dari seratus kali. Prabu Sisupala tidak peduli
dan terus-menerus menghinanya. Batara Kresna mengeluarkan senjata Cakra
Sudarsana dan menerbangkannya ke arah Prabu Sisupala. Raja Cedi itu pun tewas seketika
dengan leher putus.
Prabu Baladewa bertanya mengapa Batara
Kresna harus bertindak menunggu seratus hitungan. Batara Kresna pun bercerita
bahwa Prabu Sisupala adalah bekas muridnya. Dahulu kala ketika masih menjadi
begal, Batara Kresna pernah berkelana hingga ke Kerajaan Cedi. Di sana sang
raja yang bernama Prabu Darmagosa sedang bersedih, karena putranya yang bernama
Raden Sisupala lahir cacat, yaitu memiliki tiga mata, tiga lengan, dan tiga
kaki. Ia mendapatkan ramalan, bahwa orang yang bisa meruwat Raden Sisupala
adalah kelak yang akan mengambil nyawa putranya tersebut. Batara Kresna yang
saat itu bernama Begal Guwenda datang ke istana Cedi dan menggendong bayi Raden
Sisupala. Sungguh ajaib, satu mata, lengan, dan kaki bayi itu lepas sehingga menjadi
bayi normal. Prabu Darmagosa berterima kasih, namun juga memohon agar anaknya
jangan dibunuh. Begal Guwenda mengaku tidak dapat melawan takdir. Namun, ia
berjanji asalkan Raden Sisupala tidak berbuat dosa kepadanya sampai seratus
kali, maka tidak akan dibunuh. Prabu Darmagosa berterima kasih dan menyerahkan
Raden Sisupala agar menjadi murid Begal Guwenda.
Setelah dewasa Prabu Sisupala justru
bersahabat dengan Prabu Jarasanda dan beberapa kali melakukan dosa terhadap
Batara Kresna. Hari ini Batara Kresna menghitung sudah genap seratus kali
bahkan lebih, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak membunuh Prabu
Sisupala.
PRABU DURYUDANA DIPERMALUKAN
DEWI DRUPADI
Upacara Sesaji Rajasuya telah berakhir.
Para tamu satu persatu pamit pulang ke negara masing-masing. Hanya Prabu
Duryudana yang penasaran ingin melihat seperti apa indahnya istana Indraprasta
milik para Pandawa. Konon istana Indraprasta dulu pernah ditambahi bangunan
oleh Batara Wiswakarma dan Ditya Mayasura, yang dilengkapi tipuan ilusi.
Ketika Prabu Duryudana berjalan seorang
diri, ia bertemu panakawan Petruk yang mengingatkannya agar berhati-hati karena
di depan ada kolam air. Prabu Duryudana tidak percaya dan menuduh Petruk hendak
mempermainkannya. Ternyata benar, karpet yang diinjak Prabu Duryudana adalah
kolam. Prabu Duryudana pun tercebur ke dalamnya.
Kebetulan Dewi Drupadi sedang lewat di tempat
itu. Ia pun menyebut Prabu Duryudana buta seperti ayahnya. Prabu Duryudana
sangat marah mendengar cacat ayahnya disinggung. Ia buru-buru merangkak naik
dan pergi meninggalkan tempat tersebut.
Patih Sangkuni datang menyambut Prabu
Duryudana yang basah kuyup. Prabu Duryudana marah dan dendam atas penghinaan
ini. Ia bersumpah harus bisa ganti mempermalukan Dewi Drupadi di depan umum.
Patih Sangkuni menghibur rajanya. Ia pun berjanji akan membantu membalaskan
sakit hati Prabu Duryudana.
Imajiner Nuswantoro