Makam Raja-Raja Mataram di Kotagede
Foto : ilustrasi sampul artikel KRAP J. Eri Ratmanto Dwijonagoro dengan latar belakang gapura makam Kotagede Yogyakarta |
Kompleks Makam Raja Kotagede atau Pasarean Hastana Kitha Ageng adalah kompleks makam bagi raja-raja Mataram Islam pertama beserta para kerabatnya yang dibangun oleh Panembahan Senopati.
Kompleks makam ini berada di sebelah barat Masjid Agung Kotagede yang konon dulunya merupakan tempat yang menjadi cikal bakal keberadaan Kerajaan Mataram Islam.
Lokasi Makam Raja Kotagede ini masuk dalam wilayah Dusun Sayangan, Jagalan, Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Di dalam kompleks makam tersebut disemayamkan beberapa tokoh-tokoh penting dan juga Raja-Raja Mataram Islam pada awal periode berdirinya kerajaan ini.
Komplek Makam Raja Kotagede dikelilingi oleh tembok batu bata, dengan tembok bagian timur menjadi satu dengan tembok Masjid Agung Kotagede.
Untuk mengaksesnya, pintu masuk ke area pemakaman berada di bagian selatan dari halaman masjid.
Sampai saat ini, Makam Raja Kotagede atau Pasarean Hastana Kitha Ageng masih menarik masyarakat untuk datang dan berziarah terutama pada hari-hari tertentu.
Sejarah Makam Raja Kotagede (1)
Sejarah keberadaan Kompleks Makam Raja Kotagede tidak dapat dilepaskan dari berdirinya kerajaan Mataram Islam dan sosok Panembahan Senopati.
Dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, Panembahan Senopati memiliki nama asli Danang Sutowijoyo juga dikenal sebagai Sutawijaya.
Beliau merupakan putra dari Ki Gede Pemanahan, sosok yang telah berhasil membantu Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) untuk membunuh Arya Penangsang.
Atas jasanya, Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah berupa Alas Mentaok sebagai tanah perdikan.
Selanjutnya, Ki Ageng Pemanahan bersama dengan keluarga dan pengikutnya berpindah ke Alas Mentaok dan membangun desa kecil di hutan tersebut.
Pada masa kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan, status wilayah ini hanyalah sebuah kadipaten di Kerajaan Pajang.
Setelah Ki Ageng Pemanahan wafat, Sutawijaya diberi hak oleh Pangeran Benowo untuk melepaskan diri dari kerajaan Pajang dan mendirikan kerajaan Mataram Islam.
Sutawijaya lalu mengangkat dirinya menjadi sultan pertama Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Panembahan Senopati.
Sejarah Makam Raja Mataram Kotagede (2)
Mataram bermula dari tanah perdikan yang diberikan kepada Ki Ageng Pamanahan (putera Ki Ageng Enis, cucu Ki Ageng Sela) oleh Mas Karèbèt atau Jaka Tingkir, Sultan Kasultanan Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya (1549-1582), sebagai balas jasa karena telah membantu Kasultanan Pajang untuk menghadapi perlawanan Arya Penangsang yang berasal dari Jipang. Tanah perdikan yang diberikan Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pamanahan masih berupa hutan yang dikenal dengan nama Alas Mentaok.
Ki Ageng Pemanahan berangkat menuju Alas Mentaok bersama Nyi Ageng Ngenis yang merupakan orang tua Ki Ageng Pemanahan, penasehatnya yang bernama Ki Juru Mertani, puteranya yang bernama Danang Sutawijaya, serta dua orang menantunya yang bernama Raden Dadap Tulis dan Tumenggung Mayang. Mereka mencari Pohon Beringin yang sebelumnya telah ditanam oleh Sunan Kalijaga, setelah ditemukan, akhirnya dipilih tanah di sebelah selatan Pohon Beringin tersebut untuk membangun rumah dan halaman yang akan menjadi tempat tinggal Ki Ageng Pemanahan dan keluarganya. Kurang lebih tujuh tahun Ki Ageng Pemanahan membangun Alas Mentaok yang kemudian disebut sebagai Mataram dengan Kotagede sebagai pusat kekuasaannya.
Rumah dan halaman yang dahulu ditempati oleh Ki Ageng Pemanahan bersama keluarga dan kerabatnya, saat ini berada di dalam Kompleks Makam Raja Mataram Kotagede. Ketika Nyi Ageng Ngenis yang merupakan orang tua Ki Ageng Pemanahan meninggal, Ki Ageng Pemanahan menginginkan untuk dikuburkan di halaman rumah. Demikian pula dengan Ki Ageng Pemanahan, sebelum wafat beliau berpesan kepada puteranya yang bernama Danang Sutawijaya untuk di makamkan di halaman rumah yang dahulu ditempati.
Untuk mendapatkan informasi selengkapnya, silahkan kunjungi Makam Raja Mataram Kotagede dan melakukan pemindaian QR Code pada masing-masing Penanda Keistimewaan yang berada di Makam Raja Mataram Kotagede.
Makam Raja Raja Kotagede
Warisan kemegahan Kerajaan Mataram abad ke-16 Pada abad ke 14, Pulau Jawa berada di bawah kepempinan kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya, Sultan yang memimpin pada saat tersebut memberikan hadiah berupa Alas (hutan) Mentaok dengan area yang cukup luas kepada Ki Gede Pemanahan. Hadiah ini diberikan setelah beliau berhasil menaklukkan musuh kerajaan. Selanjutnya, Ki Gede Pemanahan dengan keluarga dan pengikutnya berpindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya adalah pusat Kerajaan Mataram Hindu pada masa - masa sebelumnya. Beliau membangun desa kecil di hutan tersebut.
Desa berkembang dan setelah Ki Gede Pemanahan wafat serta digantikan oleh putranya yang bernama Senapati Ingalaga, desa berkembang sangat pesat, menjadi pusat kota yang ramai. Kota tersebut dinamakan Kotagede, yang berarti kota besar. Selanjutnya, Senapati membangun benteng yang mengelilingi keraton. Ada 2 (dua) benteng yang dibangun, yaitu benteng dalam (cepuri) dan benteng luar (baluwarti), mengelilingi kota yang mempunyai area 200 Ha. Kotagede juga dilengkapi dengan parit pertahanan yang lebar seperti sungai, mengelilingi benteng luar. Selanjutnya, terjadi peristiwa perebutan kekuasaan di Kesultanan Pajang, setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pajang, pangeran Benawa, berhasil disingkirkan oleh Arya Pangiri. Dengan berbekal bantuan Senapati, pangeran Benawa berusaha merebut kekuasaan kembali. Arya Pangiri pun akhirnya berhasil ditaklukkan namun beliau diampuni oleh Senapati.
Setahun kemudian, Pangeran Benawa meninggal dan Senapati ditunjuk untuk menjadi pemimpin Kesultanan Pajang. Sejak saat itu Senapati dinobatkan menjadi raja pertama Mataram Islam, dengan gelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan Pajang, dengan maksud untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Dengan menjadi raja Mataram Islam, Senapati menentukan pusat kota dan istana pemerintahannya di Kotagede. Panembahan Senapati akhirnya wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian berhasil menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan akhirnya berakhirlah masa Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.
Ada sejumlah peninggalan Kotagede yang sangat menarik, sebagai peninggalan kerajaan Mataram Islam, seperti makam para pendiri kerajaan, Mesjid Kotagede, rumah tradisional berarsitektur Jawa Mataram, hingga sisa reruntuhan benteng. Kompleks makam pendiri kerjaan Mataram berada sekitar 100 meter dari pasar Kotagede, dikelilingi tembok besar dan kokoh. Pintu Gapura memasuki kompleks makam ini masih memiliki ciri arsitektur budaya Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu yang tebal dengan ukiran yang indah dan dijaga oleh sejumlah abdi dalem berbusana adat Jawa. Ada 3 gapura yang harus dilewati sebelum masuk ke bangunan makam. Uniknya, kita diharapkan untuk menggunakan busana adat jawa untuk memasuki area makam. Pengalaman menarik menggunakan busana layaknya abdi dalem kerajaan Jawa kuno. Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam.
Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung diperbolehkan untuk masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat, dengan periode waktu pada pk 08.00 - 16.00. Pengunjung tidak diperbolehkan untuk memotret dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Sejumlah tokoh penting yang dimakamkan di sini adalah Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan anggota keluarganya. Memasuki makam, suasana terkesan sepi dan tenang, serta sangat khusuk. Keluarga kerajaan, baik kraton Yogyakarta maupun Surakarta, masih menjaga kelestarian makam ini dengan sangat baik. Di dalam kompleks makam, kita juga bisa menemui mesjid tertua di kota Yogyakarta, yaitu Mesjid Kotagede. Selain itu, ada sejumlah rumah tradisional Jawa Mataram, yang bisa dilihat di depan kompleks makam. Masih terawat dengan baik dan rumah tradisional ini masih digunakan oleh penduduk setempat sebagai tempat tinggal. Di sebelah barat daya dan tenggara, kita juga bisa menemukan sisa reruntuhan benteng dengan tembok setebal >1 meter. Sementara, untuk melihat sisa parit pertahanan yang mengelilingi benter, kita bisa beranjak ke sebelah timur, selatan, dan barat.
Di samping kompleks makam, kita juga bisa mendapati tempat pemandian. Ada pemandian khusus pria dan wanita. Konon, air untuk pemandian pria diperoleh dari sumber di dalam kompleks makam. Sementara, air untuk pemandian wanita, diperoleh dari sumber pohon beringin di depan gerbang utama. Konon, pohon beringin ini ditanam langsung oleh Sunan Kalijaga dan telah berusia lebih dari 500 tahun. Sangat besar dengan ketinggian lebih dari 30 meter, seakan menjadi penjaga kompleks makam kotagede. Di dalam kompleks pemandian ini, terdapat hal unik bagi masyarakat awam. Kolam pemandian bercampur dengan sejumlah ikan dan ada ikan lele berukuran sangat besar bebas berenang di sini. Ukuran panjang lele 80 - 100 cm membuat kita terpesona. Belum lagi ada lele berwarna putih dengan bercak-bercak hitam, yang relatif langka. Bagi pengunjung yang sekedar berwisata, bisa menikmati cuci muka tangan dan kaki di sumur dekat pemandian. Sangat segar dan airnya bisa langsung diminum.
Berjalan jalan sambil menelusuri sejarah Kotagede akan menambah wawasan kita terhadap sejarah masa lalu kotagede yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Mataram Jawa. Budaya dan sejarah patut dilestarikan karena merupakan asal muasal dari peradaban masyarakat Jawa saat ini. Mengenal kota Yogyakarta tidak akan utuh tanpa berkunjung ke kotagede, pusat kerajaan Mataram masa lalu.
Foto-foto dokumentasi sekitar area Makam Raja-Raja Mataram di Kotagede (Pasarean Hastana Kitha Ageng) Dusun Sayangan, Jagalan, Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, diambil dari sumber Googling untuk pemanis artikel blogger ini. Foto dokumentasi tersebut adalah sebagai berikut :