KISAH Kurawa Lahir
Kisah
ini menceritakan Dewi Gendari melahirkan segumpal daging yang kemudian pecah
menjadi seratus potong dan diruwat oleh Bagawan Abyasa menjadi seratus Kurawa.
Juga diceritakan lahirnya Raden Bima, putra kedua Parabu Pandu yang terbungkus
dan diletakkan di Hutan Mandalasana. Kisah ditutup dengan awal persahabatan
antara Prabu Pandu dengan Prabu Tremboko, serta lahirnya Raden Arimba dan Dewi
Arimbi. Kelak Dewi Arimbi akan menjadi jodoh Raden Bima. Kisah ini saya olah
dengan sumber utama dari kitab Mahabharata karya Resi Wyasa, dengan memasukkan
unsur-unsur cerita pedalangan Jawa, serta beberapa dari Serat Pustakaraja Purwa
(Surakarta) karya Raden Ngabehi Ranggawarsita.
SEKILAS Kisah Kelahiran Pandawa dan Korawa
Setelah
menyerahkan tahta kerajaan kepada kakaknya Drestarastra yang buta, Pandu dan
kedua istrinya hidup mengasingkan diri di hutan.
Sementara
itu di Hastinapura, tak lama setelah Drestarasta naik tahta, Ratu Gandari
istrinya hamil anak pertama mereka. Lengkap sudah kebahagiaan Raja Drestarasta
dan istrinya. Seluruh keluarga istana ikut senang dan tak sabar menunggu
kelahiran bayi tersebut. Namun setelah usia kandungan Dewi Gandari melewati
Sembilan bulan belum ada tanda-tanda bayi itu akan lahir.
Hutan
tempat pandu dan kedua istrinya tinggal begitu damai dan indah namun hati dan
pikiran Pandu tak seindah alam di sana. Ia sering murung karena mengingat nasib
buruk yang menimpanya. Sesuai dengan tradisi jaman itu seorang yang tak
berputra sama dengan hidup sia-sia dan kelak akan menjadi penghuni neraka.
Suatu
hari Pandu duduk bersama kedua istrinya dan berkata: Wahai istriku, betapa
sia-sianya hidup ku ini. Dan karena dosaku maka kalian juga harus menanggung
akibatnya. Sungguh percuma kita hidup dan menikah tapi tak punya keturunan.
Dewi Madri tak mampu berkata ia hanya bisa menangis dan meratapi nasib
buruknya.
Lalu
Dewi Kunti pun berkata: Wahai suamiku, ada satu rahasia yang hamba simpan
selama ini. Saat hamba masih remaja, Resi Durwasa memberikan hamba sebuah
mantra yang bisa memanggil Dewa manapun dan menganugrahi putra.
Mendengar
cerita Dewi Kunti Pandu merasa mendapatkan angin segar dan tanpa menunggu lebih
lama lagi meminta Dewi Kunti segera memakai mantra tersebut. Lalu Dewi Kunti
pun menyiapkan dirinya dan merafal mantra sakti yang telah diberikan oleh Resi
Durwasa.
Pertama
Dewi Kunti memanggil Dewa Yama maka seketika itupula Sang Dewa muncul dan
menganugrahi seorang bayi yang diberi Nama Yudhistira. Yudhistira kelak akan
menjadi raja yang bijaksana dan terkenal berwatak jujur. Kabar akan kelahiran Yudishtira
pun sampai ditelinga Dewi Gandari sehingga membuatnya iri dan juga sedih karena
anaknya belum juga lahir padahal usia kandungannya sudah lewat.
Mengingat
usia kandungan Dewi Gandari yang tidak normal Raja Drestarasta mulai khwatir.
Ia tak mau keturunan adiknya Pandu mengambil alih tahta hastina. Karena kecewa
terhadap kandungan Dewi Gandari , Raja Drestarasta menjalin hubungn gelap
dengan seorang pelayan di istana.
Dewi
Gandri yang mulai frustasi lalu memukul kandungannya dan membuat air ketubannya
pecah dan yang lahir hanyalah segumpal daging. Berbagai pertanda buruk pun
terjadi seperti angin kencang, hujan lebat dan semua binatang buas mengeluarkan
suara mengerikan. Widura yang mengerti dengan tanda-tanda buruk tersebut
memperingatkan Raja Drestarasta untuk segera membuang daging yang dilahirkan
oleh Dewi Gandari. Namun Raja Drestarasta tak mau mengikuti nasihat Widura.
Lalu Raja Drestarasta meminta bantuan Resi Abyasa yang sakti dan bijaksana.
Melalui
petujuk Resi Abyasa, daging tersebut dipotong-potong menjadi seratus bagian dan
ditanam di dalam pot. Setelah beberapa waktu pot dibuka dan ajaib potongan
daging tersebut menjadi bayi-bayi yang memiliki wajah menyeramkan. Keseratus
bayi itu disebut dengan Korawa. Yang paling tua bernama Duryudana. Yang kelak
menjadi penyebab utama pecahnya perang Barathayudha karena sifatnya yang tamak.
Sementara
itu di hutan Dewi Kunti kembali merafal mantranya untuk mendapatkan anak yang
kedua. Kali ini Dewi Kunti memanggil Dewa Bayu yang kuat dan ia pun dianugrahi
seorang putra yang diberi nama Bhima. Kelahk ia akan menjadi ksatria yang
paling kuat.
Ditahun
berikutnya Dewi Kunti memanggil Dewa Indra dan ia mendapakan anak yang ketiga
dan diberi nama Arjuna. Ia menjadi kesatria yang tampan dan memiliki kemampuan
memanah yang tak tertandingi. Setelah memiliki tiga orang putra Dewi Kunti
kemudian mengajarkan mantra yang ia miliki kepada Dewi Madri.
Dewi
Madri lalu memanggil Dewa Aswin and berikan putra kembar yang rupawan yang
diberi nama Nakula dan Sahadewa. Dengan demikian Pandu memiliki 5 putra yang
disebut dengan Pandawa.
Pandawa
dibesarkan di dalam hutan yang indah bersama alam dan para Resi. Walaupun hidup
sederhana tapi keluarga mereka sangat bahagia. Sementara itu Korawa Lahir dan
besar di istana megah. Mereka selalu dimanja oleh kedua orang tuanya dan juga
pamannya Sengkuni. Selain seratus orang Korawa Raja Drestarasta juga mempunyai
seorang putra yang bernama Yuyutsu yang lahir dari seorang pelayan istana.
Selain itu Dewi Gandari juga melahirkan seorang putri bernama Dursala.
Kisah Lahirnya Kurawa
Destarastra (saat istrinya hamil belum menjadi raja bahkan prabu pandu masih hidup) merasa sangat bersedih hati, lebih-lebih isterinya yaitu dewi gendari. kesedihan mereka disebabkan kandungan dewi gendari yang telah mencapai usia tiga tahun lamanya. walau telah mencapai 1000 hari lebih, melampaaui batas kenormalan usia hamil, akan tetapi belum juga ada tanda-tanda akan melahirkan si jabang bayi.
Selama
mengandung angan-angan dewi gendari tak pernah lepas dari rasa dendam dan sakit
hati kepada prabu pandudewanata,a mbisi untuk menumpas keturunan sang pandu
sebagai pelampiasand endam sakit hatinya selalu tak pernah lupa diucapkan dalam
permohonan doa dewi gendari kepada dewata. aan tetapi saat itu belum juga ada
dampak terkabulnya doa permintaan isteri adipati negara hastinapura ini. pagi,
siang, sore hingga malamhari, hatinya senantiasa dirundung perasaan resah
gelisah; gundah gulana; dan bahkan hampir putus asa, mengingat antara apa yang
menjadi cita-cita dendam hatinya, maupun ingat akan kandungannya yang telah
melampaui kenormalan itu, sama sekali belum membawa hasil seperti apa yang
diharapkannya. pendek kata selama masa kehamilan, dewi gendari tak pernah ada
rasa ketentraman di hati puteri yang berasal dari plasajenar ini. apa lagi
setelah mengetahui dewi kunti, permaisuri prabu pandu telah melahirkan
puteranya yang pertama, y ang diberi nama raden puntadewa atau juga disebut
raden wijakangka. bahkan dewi kunti kini telah dan hampir melahirkan puteranya
yang kedua. kecemasan serta seribu satu macam perasaan gelisah dan tidak enak
terkandung dalam hati dewi gendari ini semakin menjadi-jadi.
Ketiada
menentuan perasaan hati dewi gendari yang sedang berbadan dua itu,
mengakibatkan tubuhnya terasa gerah dan tidak betah tinggal dalam bangsal
kaputren,. dewi gendari kemudian melangkahkan kakinya, dengan langkah-langkah
gontai menuruni tangga pualam di bangsalnya menulusuri jlan setapak diantara
hijaunya rerumputan, menuju ke tamans ari kerajaan hastinapura yang luas dan
asri, diikuti oleh empat orang emban sebagai abdi pengiringnya. kala itu surya
telah condong ke barat, saat dewi beserta empat orang abdinya menulusuri jalan
setapak yang terbuat dari pualam, diantara semerbak harum aneka bunga, serta
rimbunnya pohon buah-buahan yang menghiasi taman kerajaan, gerbang-gerbang
sebagai batas bagian-bagian taman yang luas itu telah dilewati dewi gendari, pandangan
matanya yang sayu lurus memandang ke depan seakan-akn tak peduli dengan segala
keindahan taman di sekelilingnya. tak lama kemudian dewi gendari telah melalui
gerbang taman yang ke tujuh dan merupakan bagian taman yang tekrahir. dalam
bagian taman ini berisi aneka macam binatang buas maupun jinak serta beragam
unggas sebaga hiasannya, tak ubahnya seperti isi kebun binatang layaknya namun
tampat terawat bersih dan rapi. di tengah petamanan margasatwa ini terdapat
sebuah kolam besar yang terbuat dari batu pualam dengan dihiasi kelompok bunga
teratai nan mekar dengan indahnya. ikan-ikan yang berwarna-warni berlari
berpasangan berkejar-kejaran d bawah warna biru jernihnya air. tanpa
sepengetahuan dewi gendari bahwa kedatangannya di taman satwa itu, telah membuat
seluruh binatang buas yang ada di taman menjadi beringas, sementara binatang
yang jinak serta unggas seperti gelisah dan ketakutan,semua ini merupakan
firasat buruk.
Hembusan
angin keras membuyarkan lamunan dewi gendari, mengetahui cuaca buru, dew gendari
mengajak para emban kembali ke kaputren. Langkah dewi gendari semakin
dipercepat karena renai gerimis telah mulai turun, tiba tiba saja dewi gendari
yang sedang mengandung ini tersentak kaget saat mendengar suara harimau mengaum
begitu keras. karena rasa kaget yang teramat sangat tubuh dewi gendari gemetar,
wajauh pucat, tak terasa dewi gendari telah melahirkan di tempat di mana ia
berdiri, yaitu bebrapa jengkal sebelum mencapai gerbang kaputren tempat
tinggalnya. dewi gendari bukan melahirkan bayi sehat dan mungil, melainkan
adalah segumpal daging yang bercampur darah mengental, berwarna mrah
kehitam-hitaman, daging yang baru lahir dari rahim dewi gendari itu
bergerak-gerak serta berdenyut-denyut seakan-akan bernyawa.
setelah
melihat dan mengetahui hal ini, bukan main marah dewi gendari, karena emosinya
gumpalan daging itu diinjak injah hingga terpecah belah, lalu ditendang-tendang
dengan kakinya ke arah yagn tak menentu, pcahans erta serpihan daging yang
dilahirkan dewi gendari tercerai berai berserakan di atas rerumputan taman.
dewi gendari merasa emosi, geram dan marah setelah itu iapun menjerit mengangis
histeris lalu pingsan, lalu dibawa masuk ke kaputren tempat kediamannya.
anehnya, setiap serpihan daging yang berserakan itu besar atau kecil tetap
berdenyut dan bergerak-gerak.
Atas
nasehat begawan abiyasa yang telah datang secara gaib dari pertapaannya,
meminta agar adipati destarasta memerintahkan para badinya untuk menutupi
setiap serpihand aging itu dengan daun ajti. dengan was-was serta perasaan
takut yang tertahan, maka para emban serta beberapa orang prajurit pengajaga
taman melaksanakan tugas ya ng diperintahkan adipatadi destarasta, menutupi
serpihan daging itu dengan daun jati, jumlahnya mencapai 99 keping. bersamaan
dengan kejadian itu, suasana taman di hastinapura berubah menjadi sangat
menyeramkan, binatang buas mengeluarkan suaranya, disusul dengan lolongan
anjing hutan yang berkepanjangan bersahutan, burung hantu, kelelawar, burung
gagak serta binatang malam lainnya. binatang-binatang yang lelolong tak kunjung
berhenti, suasana seram dan menakutkan meliputi hastinapura, banyak para emban
dan prajurit penjaga malam ketakuan, wajahnya pucat, badannya menggigil,
merinding bulu romanya. dewi gendari yang telah siuman dari pingsannya turun
dari tempat peraduannya menuju tempat pemujaan, ia memohon kepada dewa,a gar
cita-citanya untuk berputera banyak, bisa terkabul. tiba-tiba saja batari durga
muncul secara gaib dan memberitahukan, apabila lewat tengah malam mendengar
tangisan bayi di taman, dewi gendari agar cepat-cepat menghampiri bayi tsb,
karena itu adalah puteranya. setelah memberikan pesan batari durgapun
menghilang dari hadapan dewi gendari secara gaib, kembali ke kahyangan di wukir
pidikan.
DEWI GENDARI MELAHIRKAN GUMPALAN DAGING
Dewi
Gendari, istri Adipati Dretarastra di Gajahoya sudah dua tahun mengandung tapi
belum juga melahirkan. Ia sudah meminta sarana kepada Bagawan Abyasa, namun
mertuanya itu hanya memberi nasihat supaya bersabar. Bagawan Abyasa meramalkan
bahwa yang dikandung Dewi Gendari adalah seratus orang anak, maka kehamilannya
pun memakan waktu lebih lama daripada kehamilan wanita lain pada umumnya yang
hanya sembilan bulan.
Namun,
Adipati Dretarastra sebagai suami sudah hilang kesabarannya dan bertanya itu
yang dikandung Dewi Gendari apa benar bayi ataukah penyakit? Dewi Gendari
sangat tersinggung. Ia pun masuk ke dalam kamar dan memukuli perutnya sendiri
sekeras-kerasnya. Karena terus-menerus dipukuli, janin dalam rahim Dewi Gendari
akhirnya keluar. Namun anehnya, janin tersebut tidak berwujud bayi, melainkan
berwujud segumpal daging berwarna merah yang bisa mengembang dan mengempis
seperti sedang bernapas.
Dewi
Gendari heran bercampur ngeri. Ia pun mengangkat gumpalan daging itu dan
membantingnya ke lantai dengan perasaan sangat kecewa. Daging itu pun hancur
berantakan menjadi potongan-potongan kecil. Dewi Gendari kemudian jatuh
terduduk dan menjerit keras.
Adipati
Dretarastra dan Arya Suman segera masuk ke dalam kamar karena mendengar suara
jeritan. Mereka melihat Dewi Gendari menangis sedih dan bercerita bahwa dirinya
baru saja melahirkan segumpal daging yang kemudian dibantingnya dan kini hancur
berantakan. Arya Suman melihat banyak potongan daging berserakan di lantai yang
semuanya mengembang dan mengempis seperti bernapas. Ia segera mengumpulkan
semua daging-daging kecil tersebut dan setelah dihitung ternyata berjumlah
seratus potong.
Adipati
Dretarastra meminta maaf telah menyinggung perasaan istrinya dan ia pun segera
memanggil tabib untuk merawat Dewi Gendari, serta memerintahkan Arya Suman
untuk melaporkan peristiwa ini kepada Prabu Pandu di istana Hastina. Arya Suman
pun mohon pamit berangkat melaksanakan perintah.
KERAJAAN HASTINA DISERANG PASUKAN RAKSASA PRINGGADANI
Prabu
Pandu di Kerajaan Hastina sedang memimpin pertemuan yang dihadiri Resiwara
Bisma, Raden Yamawidura, Patih Gandamana, Resi Krepa, dan Arya Banduwangka.
Mereka sedang membahas tentang Dewi Gendari yang sudah dua tahun mengandung
tetapi belum juga melahirkan. Prabu Pandu mendapatkan firasat buruk dan ia
berniat mengajak Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura pergi ke Kadipaten
Gajahoya untuk menjenguk Dewi Gendari.
Namun,
belum sempat mereka berangkat, tiba-tiba datang seorang raksasa yang mengaku
bernama Raden Baka, adik Prabu Tremboko dari Kerajaan Pringgadani. Kedatangan
Raden Baka adalah untuk menantang Prabu Pandu demi membalaskan kekalahan
leluhurnya, yaitu Prabu Kuramba dan Prabu Rambana di tangan Resi Manumanasa.
Prabu
Kuramba adalah raja pertama Pringgadani yang pernah mengacau Kahyangan Suralaya
karena ingin memperistri bidadari. Ia akhirnya tewas di tangan Resi Manumanasa
yang saat itu masih bernama Raden Kaniyasa selaku jago para dewa. Sepeninggal
Prabu Kuramba, Kerajaan Pringgadani dipimpin putranya yang bernama Prabu
Rambana. Ia datang menyerang Kerajaan Wirata untuk membalas kematian ayahnya.
Namun, Prabu Rambana ini akhirnya menyerah kalah kepada Raden Kaniyasa dan
menjadi sekutu Prabu Basupati, raja Wirata saat itu. Kerajaan Wirata dan
Pringgadani pun menjadi sahabat turun-temurun, hingga akhirnya kini dipimpin
oleh Prabu Tremboko.
Namun
demikian, Raden Baka masih menyimpan dendam atas kekalahan leluhurnya di tangan
Raden Kaniyasa alias Resi Manumanasa, yang tidak lain adalah leluhur Prabu
Pandu Dewanata. Itulah sebabnya ia pun membawa pasukan Pringgadani untuk
menyerang Kerajaan Hastina, demi membalaskan kekalahan para leluhurnya
tersebut.
Patih
Gandamana maju menjawab tantangan Raden Baka. Ia siap mewakili Prabu Pandu
untuk menjadi lawan Raden Baka. Nanti, jika dirinya tewas, barulah Raden Baka
bisa menghadapi Prabu Pandu secara langsung. Raden Baka pun setuju dan segera
keluar istana untuk mempersiapkan pasukan.
PATIH GANDAMANA MEMUKUL MUNDUR PASUKAN PRINGGADANI
Raden
Baka telah kembali ke induk pasukannya dan bersiap-siaga menghadapi pihak
Hastina. Tidak lama kemudian datanglah Patih Gandamana beserta Arya
Banduwangka, Arya Bargawa, dan Arya Bilawa dengan membawa pasukan Hastina.
Begitu kedua pihak bertemu, meletuslah pertempuran sengit di antara mereka.
Lewat
tengah hari, para raksasa Pringgadani mulai terdesak dan banyak yang tewas.
Raden Baka sendiri kewalahan menghadapi kesaktian Patih Gandamana. Akhirnya, ia
pun memerintahkan sisa-sisa pasukannya mundur meninggalkan Kerajaan Hastina dan
mengancam kelak akan datang lagi untuk membalas kekalahan.
Setelah
keadaan kembali tenang, Arya Suman datang dan segera melapor kepada Prabu Pandu
bahwa kakaknya, yaitu Dewi Gendari telah melahirkan segumpal daging yang bisa
bernapas. Prabu Pandu sangat terkejut mendengarnya. Ia pun mengajak Resiwara
Bisma dan Raden Yamawidura berangkat menjenguk ke Gajahoya sebagaimana telah
direncanakan tadi. Adapun Patih Gandamana diperintahkan untuk tetap siaga dan
waspada menjaga keamanan Kerajaan Hastina.
RADEN YAMAWIDURA MENJEMPUT BAGAWAN ABYASA
Prabu
Pandu, Resiwara Bisma, Raden Yamawidura, serta Arya Suman telah sampai di
Kadipaten Gajahoya. Adipati Dretarastra yang sedang menunggu di samping tempat
tidur Dewi Gendari, menyambut mereka dan menceritakan apa yang telah terjadi,
bahwa sang istri telah melahirkan segumpal daging yang kini pecah menjadi
seratus potong.
Resiwara
Bisma, Prabu Pandu, dan Raden Yamawidura heran melihat seratus potongan daging
tersebut tampak mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas. Resiwara
Bisma menyarankan agar Adipati Dretarastra meminta bantuan sang ayah untuk
meruwat daging-daging kecil tersebut. Mendengar itu, Prabu Pandu segera memerintahkan
Raden Yamawidura untuk pergi ke Gunung Saptaarga, menjemput Bagawan Abyasa.
Raden
Yamawidura mematuhi dan segera berangkat bersama para panakawan, yaitu Kyai
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong.
BAGAWAN ABYASA BERANGKAT KE KADIPATEN GAJAHOYA
Sesampainya
di Gunung Saptaarga, Raden Yamawidura dan para panakawan segera menghadap
Bagawan Abyasa. Kepada sang ayah, Raden Yamawidura menceritakan tentang kakak
iparnya, yaitu Dewi Gendari yang telah melahirkan segumpal daging yang bisa
bernapas. Daging itu kini pecah menjadi seratus potongan kecil yang
masing-masing tetap mengembang dan mengempis.
Raden
Yamawidura menyampaikan tujuan kedatangannya adalah diutus Prabu Pandu untuk
meminta kesediaan Bagawan Abyasa meruwat keseratus potongan daging tersebut.
Bagawan Abyasa menyatakan bersedia, meskipun dalam hati mendapat firasat bahwa
seratus potong daging tersebut akan berubah menjadi manusia normal, namun
selalu bermusuhan dengan anak-anak Prabu Pandu. Meskipun demikian, Bagawan
Abyasa sebagai orang tua tidak boleh pilih kasih dan harus tetap bersikap adil
terhadap semua keturunannya.
Raden
Yamawidura, Bagawan Abyasa, dan para panakawan lalu berangkat menuju Kadipaten
Gajahoya. Di tengah jalan mereka dihadang para raksasa sisa-sisa pengikut Raden
Baka. Terjadilah pertarungan di mana Raden Yamawidura berhasil menumpas habis
semua penghadang tersebut.
BAGAWAN ABYASA MERUWAT SERATUS POTONG DAGING
Sesampainya
di Kadipaten Gajahoya, Bagawan Abyasa segera bekerja memasukkan seratus
potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari itu masing-masing ke dalam sebuah
periuk. Dengan demikian terdapat seratus periuk yang masing-masing ditutup
dengan selembar daun talas. Bagawan Abyasa lalu mengadakan upacara sesaji dan membaca
mantra di hadapan seratus periuk tersebut.
Setelah
upacara sesaji selesai, Bagawan Abyasa berpesan kepada Adipati Dretarastra agar
menunggui seratus periuk itu selama tiga puluh lima hari. Jika Tuhan Yang
Mahakuasa mengizinkan, maka keseratus potongan daging dalam periuk akan berubah
menjadi bayi normal. Arya Suman menawarkan dirinya saja yang menunggui
periuk-periuk itu, sedangkan Adipati Dretarastra sebaiknya mendampingi Dewi
Gendari yang masih terguncang karena peristiwa ini.
Bagawan
Abyasa mempersilakan Arya Suman jika ingin menunggui seratus periuk tersebut.
Ia lalu berpesan agar kelak anak-anak Adipati Dretarastra yang berjumlah
seratus hendaknya disebut para Kurawa, yang bermakna “anak-anak Kuru”, yaitu
nama Adipati Dretarastra saat masih muda. Sementara itu, Prabu Pandu yang telah
diramalkan mendiang Resi Druwasa akan memiliki lima orang anak, hendaknya
kelima putranya itu disebut para Pandawa, yang bermakna “anak-anak Pandu”.
Adipati
Dretarastra dan Prabu Pandu berterima kasih atas segala bantuan sang ayah.
Bagawan Abyasa lalu undur diri kembali ke Gunung Saptaarga dengan ditemani
Raden Yamawidura dan para panakawan.
LAHIRNYA RADEN BIMA PUTRA KEDUA PRABU PANDU
Tiga
puluh empat hari setelah peristiwa itu, Prabu Pandu berunding dengan kedua istrinya,
yaitu Dewi Kunti dan Dewi Madrim di istana Hastina. Hari itu Raden Puntadewa
(putra pertama Prabu Pandu) telah berusia dua tahun, maka sudah saatnya ia
memiliki seorang adik. Prabu Pandu pun meminta Dewi Kunti untuk mematangkan
benih yang dulu telah ditanam di dalam rahimnya agar menjadi seorang bayi.
Sekitar
tiga tahun yang lalu telah terjadi peristiwa, yaitu Prabu Pandu memanah
sepasang kijang yang sedang kawin di Hutan Pramuwana. Ternyata kedua kijang itu
adalah penjelmaan Resi Kindama dan Rara Dremi. Sebelum tewas, Resi Kindama
sempat mengutuk Prabu Pandu akan bernasib celaka apabila bersetubuh dengan
wanita.
Kutukan
tersebut membuat Prabu Pandu sangat gelisah. Bukan kematian yang membuatnya
takut, tetapi rasa khawatir jangan-jangan selama hidup tidak memiliki
keturunan. Untungnya, pada suatu hari Resi Druwasa datang membawa sarana berupa
buah Mangga Pertanggajiwa. Daging buah mangga dari kahyangan tersebut digunakan
untuk menyerap saripati benih dari dalam tubuh Prabu Pandu. Dewi Kunti dan Dewi
Madrim lalu menelan potongan daging mangga itu agar tertanam di dalam perut
mereka. Dewi Kunti menelan tiga potong, sedangkan Dewi Madrim menelan dua
potong. Sungguh ajaib, potongan-potongan mangga itu tidak ikut keluar bersama
kotoran tetapi mampu menempel di dalam perut mereka berdua. Dengan cara
demikian, Prabu Pandu dapat memiliki keturunan tanpa harus menyentuh kedua
istrinya tersebut.
Prabu
Pandu kemudian meminta Dewi Kunti mengundang dewa kebijaksanaan agar membantu
mematangkan benih di dalam rahimnya. Maka, Dewi Kunti pun mengundang Batara
Darma menggunakan Aji Kunta Wekasing Rasa Cipta Tunggal Tanpa Lawan. Batara
Darma pun hadir dan mematangkan benih Prabu Pandu di dalam rahim Dewi Kunti.
Hanya dalam sehari saja, Dewi Kunti melahirkan bayi tampan yang diberi nama
Raden Puntadewa.
Kini,
Raden Puntadewa telah berusia dua tahun dan Prabu Pandu pun meminta Dewi Kunti
untuk mematangkan benih yang kedua. Ia ingin memiliki putra kedua yang gagah
perkasa agar bisa melindungi kakaknya yang bijaksana dan menjaga keamanan
negara. Maka, Dewi Kunti pun membaca mantra sambil membayangkan sosok Batara
Bayu. Sekejap kemudian datanglah Batara Bayu, seorang dewa yang bertubuh gagah
dan tinggi besar, turun dari kahyangan menemui mereka.
Prabu
Pandu pun memohon kepada Batara Bayu agar mematangkan benihnya yang sudah lama
ditanam dalam rahim Dewi Kunti. Batara Bayu bersedia dan segera mengerahkan
kesaktiannya. Benih Prabu Pandu tersebut disatukannya dengan benih Dewi Kunti.
Seketika Dewi Kunti pun mengandung. Sama seperti yang sebelumnya, Dewi Kunti hanya
mengandung selama satu hari saja dan langsung membesar, siap untuk dilahirkan.
Demikianlah,
Dewi Kunti pun melahirkan seorang bayi pada hari itu juga tanpa kesakitan.
Namun anehnya, bayi itu lahir dalam keadaan terbungkus semacam selaput keras.
Prabu Pandu berusaha merobek bungkus tersebut namun tidak berhasil. Batara Bayu
menjelaskan bahwa Pandawa yang nomor dua ini memang ditakdirkan harus menjalani
tapa brata sejak bayi di dalam bungkusnya. Kelak jika waktunya sudah tiba, akan
ada makhluk yang dikirim dewata untuk membuka bungkus tersebut. Prabu Pandu dan
Dewi Kunti diminta untuk bersabar menunggu meski harus bertahun-tahun lamanya,
karena kelak putra mereka itu akan keluar dari dalam bungkus dalam keadaan
sakti mandraguna dan memiliki keperkasaan di atas rata-rata manusia. Prabu
Pandu pun diminta untuk meletakkan bayi berbungkus tersebut di tengah Hutan
Mandalasana. Setelah berpesan demikian, Batara Bayu lalu terbang kembali ke
kahyangan.
Prabu
Pandu dan Dewi Kunti merasa tidak tega meletakkan putra kedua mereka itu di
tengah hutan, namun mau tidak mau perintah dewa harus dilaksanakan. Prabu Pandu
pun memberi nama putra keduanya itu, Raden Bima, yang bermakna “dahsyat
mengerikan”. Ia lalu menggendong bayi berbungkus itu dan membawanya pergi
menuju Hutan Mandalasana.
LAHIRNYA RADEN SUYUDANA PUTRA SULUNG ADIPATI DRETARASTRA
Esok
harinya, tepat tiga puluh lima hari sejak Bagawan Abyasa meruwat seratus
potongan daging yang dilahirkan Dewi Gendari. Hari itu tiba-tiba langit di
Kerajaan Hastina gelap gulita karena tertutup mendung tebal dengan disertai
petir yang menyambar-nyambar. Suasana semakin mencekam karena terdengar pula
suara lolongan anjing hutan yang bersahut-sahutan.
Prabu
Pandu, Resiwara Bisma, dan Raden Yamawidura datang mengunjungi Adipati Dretarastra
di Kadipaten Gajahoya. Hari itu satu periuk telah pecah dan dari dalamnya
keluar seorang bayi laki-laki. Arya Suman segera menggendong bayi tersebut dan
menyerahkannya kepada Dewi Gendari.
Raden
Yamawidura melihat pertanda buruk berupa langit gelap dengan disertai suara
petir bersahutan dan lolongan anjing hutan yang mengiringi lahirnya bayi ini.
Ia yakin kelak si bayi akan menjadi sumber malapetaka dunia. Untuk itu, Raden
Yamawidura menyarankan agar bayi ini segera dibunuh sebelum terlambat.
Arya
Suman menyebut usulan Raden Yamawidura sangat tidak masuk akal. Jika benar
suara petir dan lolongan anjing hutan itu adalah pertanda buruk, belum tentu
semuanya berhubungan dengan lahirnya bayi ini. Dalam satu hari entah ada berapa
bayi yang lahir di Kerajaan Hastina, bisa jadi suara-suara itu berhubungan
dengan salah satu dari mereka. Arya Suman bertanya apakah Raden Yamawidura akan
membunuh semua bayi yang lahir di hari ini demi mencegah peristiwa buruk yang
belum tentu terjadi di masa depan dan mungkin hanya sebatas ramalan saja.
Prabu
Pandu merasa ucapan Arya Suman benar, namun Raden Yamawidura juga tidak salah.
Maka, ia pun menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Adipati Dretarastra selaku
ayah si bayi. Adipati Dretarsatra merasa bimbang. Ia menggendong putra
sulungnya itu dan hendak mencekiknya. Tiba-tiba bayi itu menangis karena
melihat tangan ayahnya bergerak. Adipati Dretarastra sangat gembira ketika
menyadari ternyata anaknya itu tidak buta seperti dirinya. Ia pun menyatakan
tidak akan membunuh bayi tersebut. Bahkan, ia bersumpah akan membunuh siapa
saja yang berani menyakiti putranya.
Karena
Adipati Dretarastra sudah memutuskan demikian, Raden Yamawidura tidak berani
mendesak lagi. Adipati Dretarastra lalu memberi nama putra sulungnya itu, Raden
Suyudana, yang bermakna “unggul dalam perang”. Ini sebagai sindiran bahwa si
anak telah menang atas Raden Yamawidura yang berniat membunuhnya.
LAHIRNYA SEMBILAN PULUH SEMBILAN KURAWA
Demikianlah,
setelah Raden Bima lahir pada hari pertama dan Raden Suyudana lahir pada hari
kedua, Kerajaan Hastina kembali berbahagia atas lahirnya bayi laki-laki pada
hari ketiga yang tercipta dari potongan daging dalam periuk. Bayi laki-laki itu
selalu tertawa-tawa sejak dikeluarkan dari dalam periuk. Adipati Dretarastra pun
memberi nama putra keduanya itu, Raden Dursasana.
Pada
hari berikutnya, kembali lahir seorang bayi laki-laki dalam periuk, yang diberi
nama Raden Surtayu. Kemudian pada esok harinya, lahir lagi bayi laki-laki yang
diberi nama Raden Durmagati.
Demikianlah,
setiap hari lahir bayi laki-laki putra Adipati Dretarastra dan Dewi Gendari
yang tercipta dari potongan daging dalam periuk. Ada yang dalam sehari lahir
satu bayi, ada pula yang langsung lahir dua bayi sekaligus, dan semuanya
berkelamin laki-laki. Hingga pada akhirnya, lahirlah seorang bayi perempuan
sebagai penutup. Adipati Dretarastra memberi nama anak bungsunya itu, Dewi
Dursilawati.
Kini,
anak-anak Adipati Dretarastra telah genap berjumlah seratus bayi yang semuanya
tercipta dari seratus potongan daging dalam periuk. Keseratus bayi tersebut
disebut dengan istilah Sata Kurawa, atau Kurawa Seratus.
PRABU TREMBOKO MENYERAH KEPADA PRABU PANDU
Prabu
Pandu ikut berbahagia atas kelahiran para keponakannya. Ia pun mengadakan pesta
syukuran di alun alun Kerajaan Hastina, sehingga seluruh rakyat dapat ikut
bersuka ria atas kelahiran para Kurawa tersebut. Hanya Raden Yamawidura saja,
satu-satunya orang yang tidak ikut menghadiri pesta syukuran itu. Ia lebih suka
berkemah di Hutan Mandalasana untuk menunggui Raden Bima, yaitu bayi berbungkus
yang dilahirkan Dewi Kunti beberapa waktu lalu.
Pada
hari ketujuh pesta syukuran di Kerajaan Hastina tiba-tiba keadaan berubah
menjadi kacau karena datangnya serangan pasukan raksasa dari Kerajaan
Pringgadani yang dipimpin langsung oleh Prabu Tremboko. Kedatangan Prabu
Tremboko adalah untuk membalaskan kekalahan adiknya, yaitu Raden Baka di tangan
Patih Gandamana.
Prabu
Pandu segera terjun ke medan pertempuran demi melindungi rakyatnya. Terjadilah
pertarungan antara dirinya melawan raja raksasa Pringgadani tersebut. Dalam
pertarungan itu Prabu Pandu mengerahkan Aji Pangrupak Jagad, di mana ia
berhasil menancapkan tubuh Prabu Tremboko di dalam tanah hingga sebatas dada.
Prabu
Tremboko mengaku kalah dan memohon ampun atas kelancangannya menyerang Kerajaan
Hastina. Ia mengaku ini semua karena hasutan Raden Baka yang ingin membalaskan
kekalahan leluhur Kerajaan Pringgadani. Prabu Pandu melihat sorot mata Prabu
Tremboko memancarkan rasa penyesalan. Ia pun terkesan dan segera membebaskan
raja raksasa bertubuh tinggi besar tersebut.
Tidak
lama kemudian muncul seorang emban raksasa yang datang dari Pringgadani. Emban
raksasa itu mengabarkan bahwa hari ini permaisuri Prabu Tremboko, yaitu Dewi
Hadimba telah melahirkan dua bayi sekaligus, yang satu laki-laki, dan yang
satunya perempuan. Prabu Tremboko sangat bahagia mendengarnya. Ia menyesal
telah menuruti hasutan Raden Baka sehingga berangkat menyerang Kerajaan Hastina
dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua.
Prabu
Pandu ikut berbahagia atas kelahiran putra dan putri Prabu Tremboko. Ia pun
mengajak Prabu Tremboko mengubah permusuhan menjadi persahabatan. Prabu Tremboko
sangat terharu melihat kebaikan hati Prabu Pandu. Ia pun memohon agar diterima
sebagai murid raja Hastina tersebut. Prabu Pandu mengabulkan permintaan Prabu
Tremboko. Namun demikian, ia menyuruh Prabu Tremboko memanggil “kakang” saja,
dan tidak perlu memanggil “guru” kepadanya.
Prabu
Tremboko sangat berterima kasih. Sebagai bukti ketulusannya, ia meminta agar
Prabu Pandu memberikan nama untuk kedua anaknya yang baru lahir. Prabu Pandu
pun memberikan nama yang mirip dengan leluhur Kerajaan Pringgadani, yaitu Prabu
Kuramba. Anak laki-laki Prabu Tremboko hendaknya diberi nama Raden Arimba,
sedangkan yang perempuan hendaknya diberi nama Dewi Arimbi. Prabu Pandu juga
memberikan restu semoga mereka berdua kelak menjadi pribadi-pribadi yang
berbudi luhur, meskipun berwujud raksasa dan raksasi.
Prabu
Tremboko lagi-lagi berterima kasih kepada Prabu Pandu. Ia lalu mohon pamit
kembali ke Kerajaan Pringgadani dan mengundang Prabu Pandu untuk berkunjung ke
sana. Prabu Pandu berjanji kelak pasti akan mengunjungi sahabat barunya
tersebut.
Sementara
itu, Raden Baka yang melihat dari jauh merasa kecewa karena kakaknya kini
bersahabat dengan musuh. Ia pun bertekad tidak mau pulang ke Pringgadani dan
ingin pindah ke negeri lain untuk membangun kekuatan di sana.
Koleksi
Artikel Imajiner Nuswantoro