PRASASTI DADYA BANDESA MANIK MAS UNGASAN TERJEMAHAN BAHASA INDONESIA
Dadya Bandesa Manik Mas Kanginan Ungasan memiliki Prasasti yang aslinya disalin dalam bahawa Bali dan Kawi selanjurnya diterjemahkan kedalam bahasa indonesia agar mudah dimengerti.
Prasasti ini diterjemahkan oleh A.A. Geria dari Petak Gianyar dengan terjemahannya sebagai berikut :
Semoga tidak ada halangan dan berhasil. Sembah sujud hamba ke hadapan para leluhur, beliau yang telah paham akan saripati Hyang Ratna Ongkara Mantram, suci lahir-bathin hingga disebut Sang Yogiswara.
Semoga beliau memberkati hamba untuk menceritakan perihal terdahulu yang amat suci. Bebas hamba dari kesalahan, kekeliruan, segala mala pataka serta dimaafkan oleh beliau untuk keselamatan dan panjang umur seluruh keluarga hingga keturunan kelak, semoga sejahtera.
Tersebutlah zaman dahulu, keadaan dunia masih kosong bagaikan perahu yang terombang-ambing yakni di tanah Bali dan Selaparang, sirna semua yang ada di jagat Bali ini.
Adapun ceritanya: semula ada empat gunung bernama Gunung Catur Loka Pala, yakni : di timur adalah Gunung Lempuyang, di selatan ada Gunung Andakasa, di sisi utara adalah Gunung Manghu, di sisi barat ada Gunung Watukaru.
Demikian keberadaan gunung itu, yang pada hakikatnya sebagai kunci penguat jagat Bali sejak zaman dulu. Itu sebabnya terasa sulit Hyang Hari Bawana (Wisnu) menjaga Bali ini.
Bersedihlah Hyang Tri Nayana menyaksikan Bali ini bagaikan pralaya (kiamat). Segera berupaya mencabut puncak Gunung Mahameru, Hyang Badhawang Nala sebagai dasar gunung, Hyang Ananta Boga dan Hyang Basuki sebagai talinya, Hyang Naga Taksaka menerbangkan hingga di Bali dan Selaparang. Itu sebabnya ada Gunung Agung dan Gunung Rinjani.
Hampir sama dengan perihal ketika para dewata memutar Gunung Mandara di lautan susu (Ksirà rnawa). Demikian cerita kedua pulau itu (Bali, Lombok).
Entah berapa lamanya, bertepatan pada wuku Prangbakat sasih kadasa (Panca Indra Bhumi) bernama Anggara Kasih Prangbakat, sasih kadasa bertemu purnama, tahun Candra sangkala : Sukita Pawaka Mastaka Witangsi, satuannya (rah) 3, puluhannya (tenggek) 1, atau Wesakyam Ghni Bhudara (Isaka ..13), meletus Tohlangkir (Gunung Agung), muncullah Bhatara Tri Purusa, yakni : Bhatara Hyang Aghni Jaya berstana di Pura Lempuyang, Bhatara Putra Jaya yang juga bergelar Bhatara Hyang Mahadewa berstana di Pura Besakih, dan Bhatari Hyang Dewi Danuh beristana di Pura Ulun Danu Batur.
Ada lagi putra Hyang Pasupati, ditugaskan menjaga jagat Bali bergelar Sang Hyang Tri Purusa, seperti Bhatara Hyang Tugu berstana di Gunung Andakasa, Bhatara Hyang Tumuwuh berstana di Gunung Watukaru, Bhatara Hyang Manik Gumawang di Gunung Bratan, dan Bhatara Hyang Manik Galang (Corong) di Pejeng.
Entah berapa lama beliau berstana di Sad Kahyangan dan disembah jagat Bali, ceritakan kini pada siwa kuje Julung Mrik yang bernama Anggara Kliwon Julungwangi, Sadara marga uttara badrawada, bernama sasih Karo, ketika Hyang Surya bergerak ke utara, bertepatan pada sukla pawaka bhudara, yakni pananggal ke-13 (tahun Candra Sangkala: swanita kala bhumi sirsaya janma) bernama rah (satuan) 8, tenggek (puluhan) 1 (Naga wulan witangsu Udaning Jagadhitaya) atau tahun Isaka 18.
Ketika itu Bhatara Hyang Aghni Jaya dan Bhatara Hyang Putra Jaya beryoga dan meletuslah Hyang Tohlangkir (Gunung Agung) mengeluarkan lahar api membasmi segala yang dilaluinya. Kemudian menjadi sungai yang dinamai Lwah Embah Ghni hingga kini.
Berkat yoga Bhatara Hyang Putra Jaya lahirlah putranya yang tertua bernama Bhatara Ghana.
Adiknya bernama Bhatari Manik Ghni. Berkat yoga Bhatara Hyang Ghni Jaya lahir putranya empat orang, yakni Sanghyang Sri Mahadewa bergelar Mpu Witta Dharma, Sanghyang Sidhi Mantra yang sangat sakti, Sang Kulputih, serta yang terbungsu bernama Ratu Sakti menjadi raja di Madura. Berkat yoga Mpu Witta Dharma, lahir seorang putra bernama Mpu Bajra Satwa, bergelar Mpu Wira Dharma.
Adapun adiknya bernama Mpu Dwijendra bergelar Mpu Raja Kretta. Ceritakan berkat yoga yang dilakukan Mpu Dwijendra, lahir empat orang putra, yakni (1) Mpu Gagak Aking, (2) Mpu Bubuk Sah, (3) Mpu Brahma Wisesa, dan (4) Mpu Lingga Nata.
Hentikan beliau yang demikian itu, ceritakan berkat yoga beliau Mpu Bajra Satwa yang bergelar Mpu Wira Dharma, lahir seorang putra bernama Mpu Tanuhun yang juga bernama Mpu Lampitha. Adapun dari yoganya Mpu Tanuhun lahir lima orang putra, yakni :
(1) Sang Brahmana Pandita,
(2) Mpu Sumeru,
(3) Mpu Ghana,
(4) Mpu Kuturan, dan
(5) Mpu Baradah.
Kelimanya disebut panca pandita atau panca tirta dan panca dewata. Semuanya menghadap Bhatara Gana dan Bhatari Manik Ghni yang berada di Gunung Sumeru seraya melakukan yoga semadi menghadap anugrah Bhatara Hyang Pasupati.
Ada kata bhisama Bhatara Hyang Pasupati kepada Bhatara Hyang Panca Tirta sebagai berikut.
“Oh cucuku sekalian, dengarkanlah baik-baik, jangan lupa terhadap perilaku seorang pendeta, yang taat akan tutur kamoksan dan kebenaran aksara jika begini mestinya begini, jika begitu mestinya begitu. Yang terpenting anugrah beliau, adalah segala ilmu yang tersurat dalam Sanghyang Manu, Tri Kaya Parisudha, dan Tatwa Dyatmika.
Kemudian jika ada keturunanmu, sampaikan juga bhisamaku ini, untuk mengingatkan perilaku seorang pendeta utama.
Jika ada keturunanku melanggar, tidak hirau isi lontar (lepihan), ia bukan keturunanmu. Semoga ia kalah dan turun wangsanya”.
Demikian anugrah serta bhisama Bhatara Hyang Pasupati kepada Panca Pandita, sepi bagaikan diperciki tirta amerta kamandalu setelah merasuk ke ubun-ubunnya.
Hentikan dan diganti ceritanya, tersebutlah entah berapa lamanya Sang Panca Pandita berada di bumi Jawa. Ceritakan kini telah berada di jagat Bali. Sang Brahmana Pandita memperistri putri Bhatari Manik Ghni, hingga bergelar Mpu Ghni Jaya Sakti.
Kemudian berputra tujuh orang yang disebut Sapta Rsi, yakni :
(1) Mpu Ketek,
(2) Mpu Kananda,
(3) Mpu Wiradnyana,
(4) Mpu Wita Dharma,
(5) Mpu Ragarunting,
(6) Mpu Prateka, dan
(7) Mpu Dangka.
Adapun Mpu Ghni Jaya Sakti datang ke tanah Bali pada Kamis Umanis Dunggulan, tahun Isaka 928, mendirikan parhyangan di Lempuyang Madya. Sementara Mpu Sumeru datang ke tanah Bali pada Jumat Kliwon Pujut, purnama Kaulu, tahun Isaka 921 berstana di Besakih.
Adapun Mpu Gana turun ke tanah Bali pada Senin Kliwon Kuningan, tahun Isaka 923, berstana di Gelgel. Adapun Mpu Kuturan datang ke tanah Bali pada Rabu Kliwon Pahang tanggal 6 Isaka 923 berstana di Silayukti Padangbai.
Mpu Baradah tidak ikut datang ke Bali, beliau berstana di Lemah Tulis Pajarakan sebagai pendeta oleh sang prabu di kerajaan Kediri (Jawa).
Hentikan yang demikian, kini ceritakan sang Sapta Rsi telah mempunyai keturunan, seperti tersurat dalam lepihan (lontar),
Adapun kini disebutkan Mpu Witta Dharma, putra keempat dari Mpu Ghni Jaya mempersunting putri Mpu Darmaja bernama Dewi Darmika.
Datang ke Bali dan menetap di Lempuyang Madya berbakti dan memelihara parhyangan Bhatara Kawitan Hyang Abra Sinuhun.
Kemudian berkat keutamaan yoganya, muncul tirta Tunggang (tirta utama) dari kemaluannya sebagai tirta pangentas orang mati. Entah berapa lama fase grehasta yang dijalaninya, lalu melahirkan seorang putra diberi nama Mpu Bajra Sandi Wira Dharma. Adapun Mpu Bajra Sandi Wira Dharma sebagai suami putri Mpu Siwa Gandu yang bernama Dewi Giri Nata melahirkan tiga putra laki, yang tertua Mpu Lampitha, yang menengah Mpu Adnyana atau bergelar Mpu Pananda, dan terbungsu adalah Mpu Pastika. Adapun Mpu Pastika dan Mpu Pananda dijadikan murid oleh Mpu Kuturan. Keduanya tiada pernah kawin (sukla brahmacari), turut di Silayukti Padang. Sedangkan Mpu Lampitha dijadikan suami oleh Ni Ayu Subrata melahirkan seorang putra bernama Mpu Dwijaksara.
Adapun Mpu Dwijaksara berputra Mpu Jiwaksara, yang kemudian bernama Ki Patih Wulung.
Ceritakan kini pada tahun Saka 1246, zaman pemerintahan Sri Aji Tapa Wulung di Bali pulina bergelar Sri Aji Gajah Waktra dan Sri Aji Gajah Wahana nama lain beliau.
Sebagai patih agung adalah Kriyan Pasung Grigis keturunan Sanghyang Sidhi Mantra Sakti dan Kriyan Kebo Iwa sebagai adipati, didampingi oleh para mantri lainnya seperti Ki Patih Wulung, Ki Wudug Basur, Ki Kala Gemet, Ki Tumenggung serta empat mantri andalan, yakni Ki Tunjung Tutur di Karangasem, Ki Tunjung Biru di Tenganan, Ki Kopang di Seraya, Ki Bwahan di Batur, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Tambiak di Badung, Ki Girik Mana di Buleleng, dan Ki Ularan di Kalopaksa. Demikian banyak bala mantri yang memperkuat raja dalam memegang tapuk pemerintahan di Bali Pulina. Entah berapa lama beliau memerintah, kemudian beliau melaksanakan yajna Eka Dasa Rudra di Besakih didamping oleh Sang Sapta Rsi.
Tak disebutkan keagungan yajna, kini setelah yajna usai negeri menjadi tentram karena kebijakan beliau memerintah. Rasa bahagia di dunia seakan mengalir. Itu sebabnya beliau diberi gelar Sri Aji Dalem Asta Sura Bumi Banten. Demikian sejarahnya seperti tersurat dalam lepihan (lontar).
Kembali kini ceritakan tentang Mpu Dwijaksara yang datang ke Bali tahun Saka 1265. Atas permohonan Mahapatih Gajah Mada untuk menata jagat Bali setelah kekalahan raja Sri Aji Dalem Bedahulu oleh Majapahit dan tidak ada yang memerintah di jagat Bali. Setibanya di tanah Bali segera membangun parhyangan di Gelgel bernama Pura Panganggihan Batur Gelgel. Disebutkan bahwa beliau punya seorang putra bernama Mpu Jiwaksara dan bergelar Ki Patih Wulung.
Kemudian beliau beristrikan Ni Ayu Swara Reka, menurunkan dua orang putra yang tertua bernama I Gusti Smaranata dan adiknya bernama I Gusti Bandesa Manik. Adapun I Gusti Smaranata beristrikan Ni Ayu Rudini menurunkan seorang putra bernama I Gusti Rare Angon. Adapun Ki Gusti Bandesa Manik beristrikan Ni Luh Ayu Manik Hyang menurunkan Ni Luh Ayu Made Manikan dan dijadikan istri oleh Ki Gusti Rare Angon.
Ceritakan I Gusti Bandesa Mas sebagai Bandesa di desa Mas tahun Saka 1257, menetap di Taman Pule. Kemudian menurunkan tiga orang, yang tertua bernama I Gusti Bandesa Mas, yang menengah bernama Ni Luh Made Manikan, dan terbungsu bernama Ni Luh Nyoman Manikan. Adapun I Gusti Rare Angon, dari istri beliau I Gusti Bandesa Manik melahirkan tiga orang putra, yakni :
(1) I Gusti Pasek Gelgel,
(2) I Gusti Pasek Denpasar, dan
(3) I Gusti Pasek Tangkas. Lagi I Gusti Rare Angon yang istrinya dari Tohjiwa berputrakan tiga orang, yakni :
(1) I Gusti Pasek Tohjiwa,
(2) I Gusti Pasek Nongan, dan
(3) I Gusti Pasek Prateka. Enam orang putra dari Gusti Rare Angon dan tujuh hingga I Gusti Bandesa Mas menjadikan sebutan Pasek Sanak Pitu di dunia ini.
Adapun I Gusti Bandesa Mas menurunkan tiga orang putra, yang tertua bernama Pangeran Bandesa Mas di Banjar Tarukan, Taman Pule Desa Mas Gianyar, yang menengah Bandesa Mas di Desa Gading Wani Jembrana, dan terbungsu Bandesa Mas di Desa Mundeh Kaba-Kaba Tabanan.
Hentikan lagi cerita itu, kini ceritakan ketika pemerintahan Sri Aji Dalem Waturenggong pada tahun Saka 1382 sebagai raja Bali. Beliau sakti mandraguna, gunawan penegak dharma dan bijaksana, seorang raja yang disegani rakyat sehingga banyak negeri tetangga tunduk kepada raja, seperti Sasak, Sumbawa, Bone, Blambangan, dan Puger. Tetapi negeri Pasuruan belum kalah olehnya. Itu sebabnya raja mengadakan rapat besar mengundang para bahudanda mantri seperti Rakyan Patandakan, Manginte, Batan Jeruk, Panyarikan Dauh Bale Agung, Gusti Jelantik, Sanak Pitu Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa Mas berikut punggawa dan prajuru, disaksikan oleh purahita Siwa-Budha.
Karena teringat akan yang terdahulu, adanya duta baginda raja menyerang Sri Aji Pasuruan yang dipimpin Arya Patih Ularan, Arya Kuta Waringin, Arya Manguri, Arya Delancang, dan Arya Muda. Ada lagi tentang masalah pada diri Pangeran Pasek dan Pangeran Bandesa, yang zaman dulu sebagai senapati perang oleh Dalem Cili Kresna Kapakisan. Tak disebutkan perihal duta perang di Pasuruan, akhirnya kalah Sri Aji Pasuruan, namun tetap tidak mau diajak ke Bali. Betapa marah Patih Ularan segera dipenggal kepala Sri Aji Pasuruan dan dibawa ke Bali, berikut seluruh kekayaan istana dihaturkan kepada raja Bali, sebagai bukti beliau telah mengalahkan negeri Pasuruan.
Setibanya Ki Patih Ularan dan kedua Pangeran seperti Pangeran Pasek Gelgel dan Pangeran Bandesa di balairung, lalu bersujud kepada Dalem seraya berkata : “hamba mohon maaf sebagai abdimu, kini telah berhasil mengalahkan negeri Pasuruan, seperti Sri Aji Pasuruan, telah dipenggal kepalanya olehku, ini hamba serahkan kepada paduka”.
Pangeran Bandesa juga berkata: “Oh paduka, hamba telah hancurkan istana Pasuruan yang dilapisi permata, dan kini telah mampu hamba raih sebagai bukti mengalahkan kerajaan Sri Aji Pasuruan”. Ketika Kriyan Ularan dan Pangeran Bandesa mengatakan semua itu, raja terdiam bisu bagaikan tertindih gunung mendengarkannya.
Wajah beliau merah bagaikan api menyala karena sangat marahnya. Segera turun dari kursi langsung masuk istana dan menutup pintu. Ada terdengar kata-kata beliau: “ Hai kamu Kriyan Ularan, ada bisama/putusanku kepadamu, kini kamu tak bisa menghadap aku, karena dosamu yang amat berat terhadap kakakku Sri Aji Pasuruan. Ini ada pemberianku padamu, rakyat dua ratus orang, sawah dua ratus sikut. Pergilah kamu dari sekarang.
Aku harap kamu menuju Patemon sebelah selatan bukit (Singaraja). Jangan kamu menghadap aku. Dan kamu Pangeran Bandesa, karena telah mengambil permata mas manik di gapura Pasuruan, mulai sekarang kamu bernama Pangeran Bandesa Manik Mas hingga keturunanmu seterusnya. Tidak kena hukuman mati, jika dosa sangat berat harus diusir. Jika salah usir wajib dimaafkan. Sekarang juga pikiranku padamu Pangeran Pasek Gelgel, karena kamu masih satu berkat Kriyan Patih Ulung dulu, senantiasa berbakti padaku. Aku beri rakyat sama-sama seratus orang, sawah masing-masing seratus wit, dan ladang seratus wit, wajib diterima olehmu sekeluarga hingga keturunanmu”. Demikian kata Dalem tersurat dalam lepihan.
Kemudian Pasek Gelgel dan Bandesa Manik Mas membangun rumah di Sweca Lingga Pura (Klungkung) bernama Jero Kuta sebelah selatan Puri Agung, diperkuat oleh dua ratus orang rakyat bersama Pangeran Mas sebagai pemuka Desa Gelgel atas perintah Sri Aji. Sangat utama dan berkembang keturunannya, didampingi oleh para mantri, dibantu para pemuka desa, seperti : I Gusti Agung, I Gusti Nginte, I Gusti Jelantik, I Gusti Pinatih, I Gusti Panyarikan Dauh Bale Agung, I Gusti Lanang Jungutan, I Gusti Tapa Lare, I Gusti Kaler, I Gusti Lod, I Gusti Pangyasan, dan I Gusti Batan Jeruk.
Itulah seluruh arya di Gelgel dan para pangeran, yakni : I Gede Pasek Gelgel, I Gede Bandesa Manik Mas, I Gede Dangka, I Gede Gaduh, I Gede Ngukuhin, I Gede Tangkas Kori Agung, I Gede Kubayan, I Gede Mregan, dan I Gede Abyan Tubuh.
Lagi ada pangeran dari predana (wanita) Sri Aji, seperti I Gede Salahin, I Gede Cawu, I Gede Moning, I Gede Lurah. Dan ada pangeran keturanan Sri Aji dari Dalem Tarukan, seperti Gede Sekar, Gede Pulasari, Gede Belayu, Gede Babalan, Gede Bandem, dan Gede Dangin.
Demikian banyak satria (pangeran) dan pemuka masyarakat yang ada di Gelgel.
Hentikan dan diganti ceritanya. Kini tersebutlah Danghyang Nirartha, seorang pendeta utama datang ke tanah Bali pada tahun Saka 1411 bersama istri dan putra-putranya, yakni :
(1) Ida Ayu Swabawa,
(2) Ida Kuluwan,
(3) Ida Lor,
(4) Ida Wetan,
(5) Ida Rai Istri,
(6) Ida Tlaga,
(7) Ida Nyoman Kaniten.
Adapun Danghyang Nirartha menaiki waluh kele / waluh pahit, istri dan putra-putranya menaiki perahu bocor. Karena kesaktiannya segera sampai di Bali, istirahat di bawah pohon ancak. Kemudian didirikan parhyangan bernama Pura Ancak.
Ada bisama/putusannya kepada keturunannya, tidak boleh makan waluh seterusnya.
Dikisahkan ke arah timur perjalanan Danghyang Nirartha, tiba-tiba bertemu dengan seekor naga menganga bagaikan goa. Masuklah beliau, dan ada telaga berisi bunga tunjung sedang mekar, ada yang putih, merah dan hitam.
Lalu dipetik bunga itu. Baru keluar dari perut naga, sirnalah naga itu, menyeramkan dan berubah-ubah wajah Danghyang Nirartha, terkadang merah, hitam, dan putih silih berganti. Itu sebabnya pucat istri dan para putranya melihat sang rsi.
Kemudian terlihat istrinya Sri Patni Kiniten demikian juga putra-putranya. Tetapi Ida Ayu Swabawa terlihat paling akhir dalam keadaan pingsan, karena diperdaya oleh orang desa di Pagametan. Lalu marah sang Rsi seraya mengutuk orang Desa Pagametan menjadi wong samar bernama wong Sumedang berikut desanya disirnakan. Demikian kisahnya.
Adapun Ida Ayu Swabawa sirna sebagai dewa wong Sumedang, berstana di Pura Dalem Mlanting disembah sebagai Dewa Pasar. Dan beliau Patni Kaniten sirna di Pulaki menjadi Bhatara Dalem Pulaki.
Demikian juga putranya yang bernama Ida Rai Istri, ketika mengikuti perjalanan Danghyang Nirartha, lalu sirna di Alas Sepi bernama Suwung, disembah di Pura Griya Tanah Kilat Desa Suwung Badung, bergelar Bhatari Ratu Niyang Sakti.
Ceritakan lagi perjalanan Danghyang Nirartha, lalu tiba di Desa Gading Wani Jembrana, ketika penduduk desa kena gering gerubug tak bisa diobati. Di sanalah Bandesa Mas sebagai bandesa di Gading Wani mohon kepada Rsi agar berkenan mengobati penduduk Desa Gading Wani.
Tak lama dapat disembuhkan oleh kesaktian Danghyang Nirartha. Kemudian Ki Bandesa Mas Gading Wani didwijati oleh Danghyang Nirartha bergelar Ki Dukuh Macan Gading. Sejak itu Danghyang Nirartha diberi gelar Padanda Sakti Bawu Rawuh, juga Danghyang Dwijendra.
Di sana Bandesa Gading Wani menghaturkan putrinya kepada Danghyang Nirartha bernama Ni Jero Patapan, serta dayangnya bernama Ni Berit.
Entah berapa lama Danghyang Nirartha berada di gading Wani, lalu terdengar oleh Bandesa Mas di Desa Mas dan Bandesa Mas di Kaba-Kaba Tabanan akan kesaktian Danghyang Nirartha. Lalu mengutus seorang duta agar sang Rsi berkenan datang ke Desa Mas. Tak disebutkan perjalanan beliau, di tengah jalan dijemput oleh Ki Bandesa Mas di desa Kaba-Kaba. Tetapi beliau tidak berkenan, karena Ki Bandesa Mas Kaba-Kaba memohon di perjalanan.
Namun, ada anugrah beliau berupa Siwa-Lingga agar dipuja oleh penduduk setempat, kemudian didirikan Pura bernama Pura Griya Kawitan Rsi hingga kini. Setelah demikian, lalu Danghyang Nirartha berjalan melewati Badung. Tak dikisahkan.
Kini diceritakan perihal Bandesa Mas sebagai Bandesa di Desa Mas bergelar Bandesa Manik Mas atas anugrah Sri Aji dalem Waturenggong, ketika mengalahkan Sri Aji Pasuruan terdahulu bersama Pangeran Pasek Gelgel dan Arya Ularan. Dikisahkan sekarang Danghyang Nirartha setelah tiba di Desa Mas, dijemput oleh Bandesa Manik Mas, seraya dibuatkan griya (rumah) di Taman Pule Desa Mas. Entah berapa lamanya, lalu didwijati Bandesa manik Mas oleh Danghyang Nirartha. Ketika itu, Bandesa Manik Mas menghaturkan adiknya yang bernama Ni Luh Nyoman Manikan, diganti namanya menjadi Sang Ayu Mas Genitir sebagai istri Danghyang Nirartha. Kemudian menurunkan seorang putra bernama Ida Putu Kidul.
Selanjutnya menurunkan Brahmana Mas di tanah Bali. Dari perkawinan Danghyang Nirartha dengan Jero Patapan, menurunkan seorang putra bernama Ida Wayahan Sangsi, juga bernama Ida Andapan atau Ida Patapan. Juga beristrikan dayangnya yang bernama Ni Berit, menurunkan Ida wayan Temesi atau Ida Bendu sebutan lainnya. Kemudian datang I Gusti Panyarikan Dauh Bale Agung sebagai duta Sri Aji Dalem Waturenggong, agar Danghyang Nirartha berkenan menjadi Bhagawanta atau purahitanya. Itulah sebabnya Danghyang Nirartha sebagai pendetanya sang raja.
Kemudian Sri Aji Dalem mengadakan Yajna Homa, yakni Aghni Hotra, digelar oleh pendeta Siwa-Sogata, yakni Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka. dan didwijati Sri Aji dalem oleh Danghyang Nirartha. Semakin kuat negerinya karena kesaktian sang raja menguasai jagat Bali.
Hentikan sejenak dan diganti ceritanya, Dikisahkan Bandesa Manik Mas di Banjar Tarukan Taman Pule Desa Mas, menurunkan tiga orang putra, yakni :
(1) Bandesa Mas di Taman Pule Desa Mas,
(2) Bandesa Mas di Desa Lod Tunduh,
(3) Bandesa Mas di Desa Mawang Gianyar.
Adapun Bandesa Mas di Desa Lod Tunduh Gianyar menurunkan keturunan di Desa Ungasan, Bandesa Mas di Kesiman, Bandesa Mas di Sangeh, Bandesa Mas di Desa Abiansemal, dan Bandesa Mas di Desa Pangastulan Buleleng. Adapun Bandesa Mas di Desa Mawang Gianyar menurunkan Bandesa Mas di desa Wanayu Bedulu, Bandesa Mas di Desa Celuk, Bandesa Mas ring Desa Malinggih, Bandesa Mas di Desa Paguyangan, dan Bandesa Mas di Desa Sanur.
Hentikan cerita itu sejenak, kini ceritakan entah berapa lama Bandesa Manik Mas sebagai pemuka Desa Mas secara bergantian sebagai bandesa di Desa Mas, selalu berbakti kepada junjungan. Dikisahkan sekarang, ketika zaman Sri Agung Anom Sirikan sebagai pemegang kekuasaan Desa Timbul bergelar Sri Aji Dalem Wijaya Tanu Ratna Pangkaja, Dalem Sukawati sebutan lainnya, sekitar tahun Saka 1672-1742, ada rencana Dalem agar Ki Bandesa Manik Mas menghaturkan pustaka leluhur ke Puri Sukawati, seperti Tombak, keris, mirah manawa ratna manik mas. Mungkin telah takdir datangnya kehancuran, Ki Bandesa tidak setuju menyerahkannya karena semua itu adalah pustaka/ senjata andalan sejak dulu. Itu sebabnya, meletus perang maha dahsyat.
Dikisahkan perang mulai berkecamuk, balatentara perang Ki Bandesa Mas telah bersiap-siap. Ada di ladang, persawahan, sebelah selatan Desa Mas, semua siap menunggu kehadiran musuh dari Timbul. Perang sengit saling penggal, berhadapan-hadapan dengan perwira, mengamuk sejadi-jadinya, bunuh-membunuh, karena rasa sayang dan bakti kepada rajanya.
Tak terhitung yang mati dan terluka ibarat perang Baratayuda terdahulu. Demikian juga amukan Kyayi Bandesa Manik Mas, bagikan Abhimaniu yang direbut seratus Korawa di medan laga Kuru Ksetra. Wajar saja, karena banyaknya musuh mengitari, akhirnya balatentara dan Kyayi Bandesa Manik Mas tiada berkutik. Sepeninggal Kyayi Bandesa Manik Mas, maka yang masih hidup dan seluruh keluarganya berlari mencari persembunyian, termasuk seluruh keluarga Brahmana Mas.
Semua nyineb wangsa agar tak diketahui oleh musuh. Ini adalah sebuah bhisama Kyayi Bandesa Manik Mas sebelum kalah di medan laga. Itu sebabnya semua berlari hingga jauh dari Desa Mas, agar tidak dibunuh oleh musuh. Ada yang bersembunyi di Tangkulak, ada di Badulu, ada di Tampaksiring, ada di Tegalalang, Pujungan, ada menuju Buleleng, Bon Dalem, Banyu Atis, Banyuning, Kubu Tambahan, Gitgit, Baturiti, Candi Kuning, Mengwi Kapal, Kaba-Kaba, Jembrana, Negara, Yeh Embang, Badung, Kapisah, Pedungan, ada di Desa Ungasan menetap di Banjar Kangin, ada di Pabangbai, ada di Karangasem, di Klungkung, Nusa Penida, ada di Abianbase, ada di Balahpane, ada di Bukit, dan ada di Desa Dusun (perkampungan) memenuhi jagat Bali. Bagaikan pohon beringin besar banyak rantingnya merasuk ke pertiwi, lebat daunnya, banyak buahnya tiada terhitung. Lama-kelamaan ada angin ribut, entah dari mana asal daun dan buahnya, dan ada burung-burung mencari makanan hingga ke desa-desa. Akhirnya, ada yang kaya dan miskin, ada yang pandai dan bodoh, ada yang masih setia dengan wangsa serta tidak tahu akan sejarah leluhur. Itu semua adalah takdir Tuhan atau titah Sanghyang Para Wisesa, karenanya jangan bersedih, ceritakan perihal kejelekan, karena yang namanya manusia tiada luput akan suka-duka, ibarat roda berputar, walaupun sangat lambat putarannya, itu pasti akan dijumpai oleh manusia di dunia. Untuk menghilangkan kekotoran di dalam diri, mesti dibersihkan dengan kesucian pikiran, Sanghyang Sastra dipakai penuntun agar dapat meraih kebahagiaan dan keselamatan. Karena segala bentuk buta, manusialah yang mampu menjadikan semua itu bersifat suba dan asubakarma. Tiada lain, sifat subakarmalah yang mampu merubah sifat asubakarma, sehingga meraih keselamatan dan panjang umur. Itu sebabnya, janganlah lupa terhadap bhisama Bhatara Kawitan (leluhur) kepada keturanan Bandesa Manik Mas dan wahyu Danghyang Nirartha yang bergelar Danghyang Dwijendra, bahwa keturunan Bandesa Manik Mas dapat memakai sastra utama, yang dijadikan menjaga jiwanya di kemudian hari, baik suka-duka, sekala-niskala, bisa mempelajari tutur tentang perilaku dharma, layaknya seorang pendeta, juga seluruh isi Weda dan ilmu dyatmika, seperti menjalani tapa brata dan yoga semadi. Yang paling utama adalah melakukan olah nafas dalam diri (pranayama sarira).
Adapun anugrah Ida Danghyang Dwijendra kepada seluruh keturunan Bandesa Manik Mas, yaitu : Weda Salambang Geni, Pasupati, Rencana, Suwer Mas seperti Aji Kepatian (kematian), wajib menikmati secara wahya dan dyatmika (sekala-niskala), oleh seluruh keturunan Bandesa Manik Mas sejak dulu atau mulai sekarang. Ada lagi anugrah Pranda Sakti Wawu Rawuh, ketika Bandesa Mas menikmati keberhasilannya di Desa Mas berdasarkan keutamaan dharma dan senantiasa mengikuti perilaku seorang pendeta.
Seluruh rakyat yang ada di Bali Tengah, bersikap baik dan tulus lahir bathin kepada Pangeran Bandesa Manik Mas, ibaratkan Dewa Kusala beliau yang senantiasa berbakti kepada raja Bali (Klungkung), terlebih kepada Ida Pranda Sakti (Danghyang Nirartha) sebagai hadiahnya, maka Bandesa Manik Mas menghaturkan putrinya kepada Ida Pranda Sakti Wawu Rawuh. Menurunkan Ida Putu Kidul yang bergelar Ida Buk Cabe. Itu sebabnya, ada wangsa Brahmana Mas adalah karena istri Danghyang Nirartha adalah putri Bandesa Manik Mas. Sejak itu, Ida Pranda (Danghyang Nirartha) mendirikan Pura untuk para Brahmana di Desa Mas bernama Pura Pule di bagian utama dan stana putra beliau yang bernama Ida Buk Cabe. Itu makanya dipuja oleh para Bandesa Manik Mas. Jika tidak sesuai dengan prasasti ini, tidak akan bahagia selamat, semakin kurang kharismanya. Demikian bhisama Bandesa Manik Mas. (Juga) akan pendek umur, salah perilaku, bingung, tak tahu keluarga, tiada henti halangan hingga keturunan seterusnya. Jangan lupa kalian semua, kata-kataku kepadamu, juga anugrah Danghyang Dwijendra.
Jika ada upacara kematian di kemudian hari, kalian bisa mengikuti sebagaimana tertera di depan (prasasti), antara lain : mantri laksana, bertumpang tujuh, dua warna, sancak, taman, kapas berwarna sembilan, memakai karang gajah, berisi bhoma, memakai ulon Acintya Reka, seluruh upakara selalu yang utama, berisi kajang, klasa, dan memakai tirta tunggang dari Gunung Lempuyang, beralaskan daun pisang ikik, dan bisa kalian memakai segala jenis upakara Nyawa Madya Kebasen (nista, madya, utama). Yang utama memakai uang (kepeng) 16.000, yang madya (menengah) memakai uang 8.000, dan yang nista (terkecil) memakai uang 4.000.
___________
Atas prakarsa Ida Bagus Raka Rusna, pemangku Pura Taman Pule, disusun oleh Ida Pandita Mpu Widya Dharma Siwa Dhaksa, Griya Agung Widya Srama, Banjar Sakih, Desa Guwang Sukawati Gianyar, pada hari Jumat Wage Wayang, Panca Dasi, Sukla Paksa (purnama), sasih Kartika (Kapat) atau sekitar Oktober, candra sangkala: Gangsal =5, Netra =2, Duara =9, tunggal =1, bernama Purnama Kapat, Isaka 1925 (10 Oktober 2003 Masehi).
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro