Kisah dan Sekilas Ajaran Setia Hati (SH)
Setia Hati atau SH sebenarnya sejak mula-mula didirikan oleh Eyang Ki Ngabehi Surodiwiryo pada tahun 1903 itu bukanlah merujuk pada konsepsi perguruan pencak silat, akan tetapi lebih merujuk sebagai sistematika olah kebatinan.
Dan olah pencak silat yang ada di dalamnya itu hanya merupakan bagian pelajaran kecil yang menjadi kurikulum SH di tingkatan paling awal. Jadi sebagai sistematika olah kebatinan, tentu saja ajaran SH yang ditularkan oleh Eyang Suro itu berupaya untuk menuntun para saudara SH agar menempuh sebuah 'laku' atau perjalanan batin, dan untuk memulainya, saudara SH itu harus melalui tahapan Input (kecer/penerimaan ke-SH-an), Proses (latihan serta laku batin), dan lalu Output (pengamalan di dalam kehidupan).
Meski sepenuhnya menyadari bahwa apa yang dimaksud dengan Setia Hati itu sesungguhnya adalah pelajaran kebatinan tingkat kasepuhan, dan ilmu yang merupakan kebatinan tingkat kasepuhan seperti itu tentu saja 'pithukon lelakone' atau penebusan keilmuannya tidak akan pernah mudah dan murah.
Tetapi meski demikian niat saya untuk menapaki keilmuan Setia Hati itu tidak akan pernah surut, karena terinspirasi untuk menauladani perjalanan batin Eyang Ki Ngabehi Surodiwiryo itulah, di ruang batin ini, juga selalu ada "krenteg" kuat untuk menyesap tuntunan ilmu luhur kebatinan untuk mengetahui asal muasal dan tujuan hidup atau Sangkan Paraning Dumadi dalam terminologi kebatinan Jawa.
Sebab dalam mengarungi hidup ini saya rasa tidaklah cukup jika hanya sebatas mendasarkan diri pada disiplin ilmu yang lebih berorientasi pada "intelektualitas" seperti yang didapat dari bangku sekolah dasar hingga jenjang perkuliahan itu.
Dengan berderet gelar kesarjanaan akademik dan berbagai titel kecendekiawanan tanpa pernah menyelami ilmu batin dan kebatinan, rasa-rasanya juga belum utuh untuk menjadi manusia yang sebenar-benarnya manusia, atau setidaknya manusia yang belum komplit dalam memberdayakan segenap potensi kemanusiaannya. Sebab dimensi kecerdasan yang ada di dalam diri manusia itu tidak hanya terbatas pada dimensi kecerdasan intelektual (IQ) melainkan ada juga aspek dimensi kecerdasan batin (SQ).
Dari perenungan akan hal itulah saya sempat berfikir, saya sebagai pemuda yang dilahirkan di kawasan eks karesidenan Madiun Jawa Timur ini, mungkin adalah sebuah kerugian yang besar jika saya tidak berkesempatan nyantrik bab keilmuan Setia Hati di salah satu perguruan trah SH. Akan tetapi setelah saya renung-renungi kembali, ternyata toh sekalipun seseorang telah “sah” masuk menjadi “Saudara SH’’, tetapi jika sama sekali tidak memahami tujuan dan sasaran dari SH itu sendiri, saya rasa juga akan tetap sama mengalami sebuah kerugian yang besar.
Sehingga tidak heran banyak yang masuk perguruan SH bukan malah menjadi pribadi yang suka laku batin, santun, dan ‘semanak’ pada masyarakat luas, tetapi alih-alih malah menjadi arogan dan ‘ita itu’ menonjolkan ke-aku-an, bahkan juga terhadap sesama saudara SH sendiri. Sasaran dan orientasi SH dari Eyang Suro yang bertujuan: "mengolah raga dan mengolah batin untuk mencapai keluhuran budi, guna mendapatkan kesempurnaan hidup lahir dan batin" itu, seakan visi misi yang sebegitu luhur itu sama sekali tidak terimplementasi dalam diri orang-orang yang mengaku sebagai kadhang SH.
Memang jika dilihat secara permukaan, keilmuan SH dari Eyang Suro dan yang dianut perguruan-perguruan trah SH pada dasarnya tidaklah jauh berbeda dengan perguruan-perguruan pencak silat yang lain, yang juga mengajarkan tendangan, pukulan, permainan senjata, pernafasan, dan lain sebagainya. Akan tetapi sesungguhnya ajaran SH adalah "khas" dan "eksklusif", bukan seperti perguruan-perguruan pencak silat pada umumnya yang semata hanya memberi pelajaran olah keprajuritan “ragawi” pencak silat dan olah supranatural saja, sisi mendasar yang menjadi ciri khas perguruan SH adalah memberi tuntunan pelajaran "batin" dalam bentuk wirid-wirid atau laku-laku spiritual yang universal.
Oleh karena itu bisa dikatakan, SH sesungguhnya adalah lembaga pendidikan “spiritual" yang dikemas dengan wadah seni bela diri pencak silat. Mungkin bisa dipersamakan sebagaimana Sunan Kalijaga yang mengajarkan kerohanian Tasawuf dengan kemasan seni wayang dan syair-syair tembang Jawa, atau dengan pujangga Jawa Ronggowarsito dan pujangga Persia Jalaluddin Rumi yang mengajarkan kerohanian Tasawuf dalam kemasan sastra dan puisi-puisi mistik, dan juga sama halnya dengan Bhikshu Bodhidharma yang mengajarkan kebatinan Zen Buddhisme dengan kemasan seni beladiri kung-funya di daratan China.
Nah, perguruan SH yang dikonsep Ki Ngabehi Surodiwiryo itu sejatinya sama halnya dengan yang dikonsep oleh maestro pendiri kung-fu Bodhidharma (Dharma Taishi) yang juga mengajarkan olah kerohanian/spiritualitas dengan kemasan seni beladiri. Ki Ngabehi Surodiwiryo sendiri, jauh sebelum mendirikan SH adalah seorang yang gigih dalam mempelajari ilmu silat dan ilmu batin. Pada awalnya beliau nyantrik di salah satu pondok pesantren di daerah Jombang, lalu selanjutnya berkelana memperdalam ilmu silat dan ilmu spiritual dari berbagai guru, mulai dari pendekar silat berbagai aliran, suhu kuntao/kung-fu, ahli Tassawuf/guru sufi, hingga ahli kebatinan Jawa (Kejawen) yang ditemuinya di tanah Jawa, Pasundan, Sumatera, dan hingga Aceh. Bahkan sewaktu di tanah Minang Sumatera Barat, beliau juga belajar kebatinan pada guru spiritual Hindu yang bernama I Gusti Nyoman Gempol, dan menemukan titik temu dengan ajaran Tasawuf dari aliran Tarekat Syattariyah yang sebelumnya telah beliau terima.
Nah melihat riwayat pencarian keilmuan dari Ki Ngabehi Surodiwiryo itu, bisa dimengerti jika sesungguhnya SH itu adalah perguruan yang cakupan khazanah keilmuannya sangat luas, sumber keilmuannya dihimpun dari berbagai lintas suku bahkan juga lintas agama. Melihat riwayat Ki Ngabehi Surodiwiryo yang selain getol belajar silat juga begitu getol mendalami ilmu batin/bashirah/hati maka semestinya tidaklah aneh jika Ki Ngabehi Surodiwiryo menamai perguruannya dengan nama Setia Hati, "Hati" sendiri adalah sesuatu makna yang "misteri", "batiniah", dan "dalam" daripada sekadar perwujudan badaniah, penampakan ragawi, dan entitas materialistik. Maka kiranya sudah sangat jelas jika orientasi/sasaran perguruan SH itu kental dengan ajaran kebatinan yang sangat mendalam.
Dari sini seharusnya dapat diambil kesimpulan, sehebat dan sekeramat apapun jurus pencak silat SH sesungguhnya hanyalah "media" mengajarkan ilmu kebatinan dengan bingkai seni beladiri dan simbol-simbol jurus pencak silat. Dan saya pikir, semua itu bisa jadi dengan maksud agar lebih menarik bagi jiwa-jiwa kanoman (muda), dan agar tidak terasa ajaran kasepuhan (tua) tersebut diajarkan.
Tetapi meskipun demikian, olah lahiriah pencak silat dalam SH pun juga semestinya harus dipelajari dan dilatih dengan sungguh-sungguh. Karena bagaimanapun SH menganut prinsip “Gerak Lahir Luluh Oleh Gerak Batin, Gerak Batin Tercermin Oleh Gerak Lahir” dan juga mewarisi falsafah dari Minangkabau yang berbunyi “Lahir Silat Mencari Kawan, Batin Silat Mencari Tuhan”. Juga sama seperti dalam ilustrasi lambang SH, yang antara huruf “S” dan “H” yang “manunggal” saling berkaitan, begitupun ilmu lahir dan ilmu batin di dalam SH juga harus manunggal saling berkaitan.
Inilah kiranya selayang pandang tentang ajaran Setia Hati yang saya pahami, pada esensinya Setia Hati atau SH itu bukanlah ilmu tentang atribut luar yang dipetentang petentengkan untuk kepameran, melainkan SH adalah justru "ilmu cermin" untuk mengenal diri sendiri, sebagai gerbang pembuka untuk mengenal Sang Sangkan Paraning Dumadi, yang tidak lain adalah Tuhan atau Sanghyang Urip itu sendiri. Sungguh kiranya akan sangat “menghina” Eyang Suro, manakala ada orang mengaku kadhang SH tapi suka berbuat brutal, hobi konvoi wor-woran, dan antem-anteman saling lempar batu dengan kadhang SH dari beda organisasi, yang bahkan karenanya sampai menimbulkan kerugian finasial, fisik, dan ketakutan yang mencekam di benak masyarakat non SH. Selain daripada itu, sama halnya akan sangat menghina Eyang Suro manakala implementasi ajaran luhur SH hanya dipatrikan di dalam kaos-kaos narsis, panji-panji yang berkibar dalam acara-acara konser, tugu-tugu yang begitu megah, tetapi sama sekali tidak dipatrikan di dalam “hati/batin”, yang outputnya akan menghasilkan jiwa perwira, jiwa mulia, dan jiwa yang berbudi luhur.
Koleksi artikel Imajiner Nuswantoro