Sabbe Sankhara Anicca, Samvegacitta
Umat Budha menyampaikan berita duka cita dengan ucapan Sabbe sankhara anicca dan diikuti samvegacitta.
Semua mahluk hidup akan meninggal dunia. Jika umat Muslim mengungkapkan kalimat duka cita dengan innalillahiwainnailaihirojiun, dan umat Kristiani mengungkapkan 'Turut berduka cita dan meninggal dengan tenang (Rest in Peace).
Duka cita
Dukacita berarti kesedihan (hati) atau kesusahan (hati). Sedangkan kata berdukacita diartikan sebagai bersedih hati atau bersusah hati.
Sedangkan belasungkawa berarti pernyataan turut berdukacita. Sedangkan kata berbelasungkawa diartikan sebagai ikut menyatakan turut berdukacita.
Arti dukacita tersebut merujuk kepada hati yang merasa susah, sedih, dan merana karena kehilangan. Kata dukacita biasanya merujuk kepada kehilangan yang besar, khususnya karena kematian.
Biasanya kehilangan karena kematian orang-orang yang kita cintai, atau dekat dengan kita, atau kita kenal, dapat menimbulkan kesedihan hati. Tidak jarang pula menimbulkan tangis pilu. Kehilangan karena kematian ini bahkan bisa menggoncangkan batin hingga waktu yang lama.
Di kala duka datang dan menyelimuti diri seseorang maka orang-orang terdekat atau yang mengenal dia, biasanya akan berupaya untuk menguatkan orang tersebut. Cara-cara penguatan yang bisa dilakukan, misalnya melalui kehadiran di dekat orang yang sedang berduka dan/atau dengan pernyataan turut berduka cita.
Dengan simpati dan kepedulian yang ditunjukkan, diharapkan dapat menguatkan. Alhasil, orang yang sedang berduka bisa menjadi lebih tabah dan sabar dalam menghadapi kehilangan yang sedang dihadapinya.
Bagi umat Buddha. Masih ada yang menyampaikan turut berdukacita kepada umat Buddha lainnya yang sedang mengalami kehilangan karena kematian.
Namun sebagian umat Buddha lainnya sudah memiliki pengertian yang lebih baik. Mereka umumnya mengucapkan “Sabbe sankhara anicca” kepada sesama umat Buddha, untuk menyatakan simpati dan kepedulian atas kehilangan yang disebabkan oleh kematian.
Apa perbedaan antara menyampaikan ucapan “Turut berdukacita” dengan “Sabbe sankhara anicca”, kepada orang lain yang sedang mengalami kehilangan karena kematian, menurut pandangan agama Buddha adalah sebagai berikut :
Berdukacita, apalagi yang sangat berat dan dalam, menunjukkan keterikatan yang kuat dengan orang yang meninggal. Semakin seseorang terikat, semakin menderita dirinya saat keterikatan tersebut harus dilepas.
Umat Buddha menyampaikan berita duka cita dengan menuliskan Sabbe sankhara anicca dan diikuti samvegacitta.
Mengutip berbagai sumber, Sabbe Sankhara Anicca bukanlah kalimat ungkapan duka cita yang bisa disampaikan kepada orang-orang. Kalimat ini berbeda dengan ungkapan 'turut berduka cita.'
Sabbe sankhara annica adalah bagian dari eskatologi Buddha, salah satu ajaran dasar agama tersebut tentang ketidakkekalan. Dengan kata lain tak ada satu pun di dunia ini yang abadi atau kekal.
Dalam Dhammapada 277 dituliskan bahwa :
"Sabbe sankhara anicca`ti, yada pannaya passati, atha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiya."
Artinya :
Segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur adalah tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.
Sehingga Sabbe sankhara annica ini memilikii arti segala sesuatu selalu berubah dan tidak kekal.
Ucapan Dukacita yang Tulus
Mengutip Samaggi Phala, samvegacitta adalah kepentingan mengungkapkan rasa empati kepada kerabat dan kenalan sesama umat Buddha yang sedang berada dalam suasana duka.
Samvegacitta merupakan pikiran disertai hal-hal batiniah yang kuat muncul sebagai tanggapan atas kejadian menggugah hati, mengarah ke perenungan pada pengetahuan kebenaran alamiah, misalnya pada saat kejadian orang yang dicintai atau dihormati meninggal dunia.
Dalam kitab suci Dhammapada syair 210 dan 214, Buddha mengatakan :
“Jangan terikat pada apa yang dicintai, ataupun pada yang dibenci. Berpisah dengan yang dicintai itu menyakitkan, begitu pula jika berkumpul dengan yang dibenci.”
“Dari keterikatan timbul kesedihan, dari keterikatan timbul ketakutan; baginya yang telah terbebas dari keterikatan, tak ada lagi kesedihan dan ketakutan.”
Jika kita mengucapkan “turut berdukacita”, apalagi “turut berdukacita yang sedalam-dalamnya”, sebenarnya malah akan menambah duka karena kehilangan yang dirasakan oleh orang tersebut. Alhasil, dia dapat semakin terbenam dalam kesedihan dan merasa semakin menderita.
“Sabbe sankhara anicca” merupakan salah satu dari “Tiga Corak Umum Kehidupan” (Tilakkhana) yang merupakan intisari ajaran Buddha. Tiga corak atau ciri tersebut menandai berbagai hal yang ada di dunia dan kehidupan ini.
“Sabbe sankhara anicca” terdiri dari tiga kata, yakni “sabbe” yang berarti “semua, seluruh”, ”sankhara” yang berarti “yang berkondisi”, dan “anicca” yang berarti “tidak kekal, berubah”. “Sabbe sankhara anicca” mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang berkondisi, yang terbentuk dari perpaduan unsur, yang saling bergantungan adalah tidak kekal, akan berubah adanya.
Oleh karena itu, ucapan “Sabbe sankhara anicca” yang ditujukan kepada orang yang sedang mengalami kehilangan karena kematian, bukanlah sebuah ungkapan simpati. Juga sama sekali bukan turut berduka cita.
Kalimat “Sabbe sankhara anicca” tersebut ditujukan untuk mengingatkan, tidak hanya kepada orang yang sedang merasakan kehilangan karena kematian, tetapi juga kepada penutur ucapan tersebut, maupun kepada semua orang.
Pengingat tersebut adalah bahwa semua yang berkondisi, yang terbentuk dari perpaduan unsur, yang saling bergantungan adalah tidak kekal, akan berubah adanya. Manusia yang terdiri dari jasmani dan batin juga tidak akan luput dari corak ketidakkekalan ini.
Dengan pengingat tersebut, diharapkan orang yang sedang kehilangan karena kematian, bisa menjadi tidak terlalu sedih dan berkurang penderitaannya. Diharapkan dia bisa menerima kenyataan yang ada dan melanjutkan kehidupannya dengan baik dan normal.
Tidak jarang pula kita mendengar atau membaca ucapan dukacita di antara sesama umat Buddha yang mengandung kalimat “……. Semoga DIBERIKAN ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi kehilangan ini. …….” Apakah kalimat ini sudah sesuai dengan ajaran Buddha ?
Ketabahan dan kesabaran dalam diri seorang manusia tidaklah bisa diberikan, dihadiahkan, atau dianugerahkan oleh orang atau makhluk lain. Ketabahan dan kesabaran adalah kualitas internal seseorang yang harus DILATIH dalam kehidupan sehari-hari, baru bisa dimiliki oleh orang tersebut.
Artinya jika seorang umat Buddha memberikan ucapan “..….. Semoga DIBERIKAN ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi kehilangan ini. …….”, sama saja dengan memberikan pepesan kosong. Takkan mungkin terjadi karena tidak ada yang bisa memberikan kedua hal itu.
Jika ingin tetap mengucapkannya, sebaiknya kata “DIBERIKAN” diganti menjadi “MEMILIKI”. Alhasil, kalimat yang lebih baik adalah “..….. Semoga MEMILIKI ketabahan dan kesabaran dalam menghadapi kehilangan ini. …….”
Catatan :
Selain itu, sesuai dengan kesepakatan Sangha Theravada Indonesia (STI) di Balikpapan tertanggal 19 Juni 2015, untuk mengungkapkan rasa empati kepada kerabat dan kenalan sesama umat Buddha yang sedang berada dalam suasana kehilangan karena kematian, kalimat yang dapat diucapkan adalah :
“Turut ber-samvegacitta atas kewafatan mendiang Ibu/Bapak/Sudara/Saudari ……. (sebutkan nama yang meninggal), Ibunda/Ayahanda/Putri/Putra/Kakak/Adik dari ……………………….. (sebutkan nama yang sedang berduka), Sugatim va saggam lokam uttarim va upapajjatu.”
Kalimat “Sugatim va saggam lokam uttarim va upapajjatu” berarti “semoga mendiang terlahir di alam surga menyenangkan atau lebih dari itu”.
Samvegacitta merupakan pikiran yang disertai dengan hal-hal batiniah yang kuat. Ini muncul sebagai tanggapan atas kejadian menggugah hati, mengarah ke perenungan pada pengetahuan kebenaran alamiah. Misalnya, pada saat kejadian orang yang dicinta atau dihormat meninggal dunia.
Sebagai salah satu referensi, sewaktu Guru Agung Buddha Parinibbana, para umat awam menangis berderai air mata, dipenuhi dengan kesedihan yang kuat. Adapun para ariyasavaka (orang-orang yang telah mencapai tingkat-tingkat kesucian) memasuki pemikiran yang diwarnai oleh samvega (hal-hal batiniah yang kuat).
Samvega mengacu ke nilai-nilai positif, seperti panna (kebijaksanaan), metta (cinta kasih), karuņa (belas kasihan), upekkha (ketenangseimbangan), dan lain-lain. Nilai-nilai yang terkhusus dalam samvega adalah panna dan upekkha.
Jadi samvegacitta bukanlah pikiran yang berduka atau bersedih. Samvegacitta didasari oleh panna (kebijaksanaan) yang menyadari bahwa segala sesuatu yang berkondisi atau terbentuk dari berbagai unsur adalah tidak kekal adanya, cepat atau lambat akan mengalami perubahan (sabbe sankhara anicca).
Samvegacitta juga didasari oleh upekkha (ketenangseimbangan) di mana batin tetap tenang dan terkendali. Batin tidak menjadi lemah sekalipun situasi dan kondisi kehilangan yang dihadapi sangat kuat atau hebat.
Mulai sekarang, umat Buddha jangan lagi hanya ikut-ikutan mengucapkan “turut berdukacita” di saat kenalannya ada yang mengalami kehilangan karena kematian. Berikanlah ucapan yang lebih tepat semisal “Sabbe sankhara anicca” atau menyampaikan “turut ber-samvegacitta …..….”.
Ucapan yang tepat tidak hanya berguna bagi orang yang sedang merasakan kehilangan, tetapi juga bermanfaat bagi yang mengucapkan, dan orang-orang lainnya. Tentu saja ini harus disertai catatan bahwa semuanya mengerti makna dari apa yang diucapkan tersebut.
Imajiner Nuswantoro
Sumber Referensi :
Dhammacitta.org
Berita online & Wikipedia