BOCAH BAJANG NGGIRING ANGIN, ANAWU BANYU SEGARA, NGON-INGONE KEBO DHUNGKUL, SASISIH SAPI GUMARANG
Bocah Bajang nggiring angin,
anawu banyu segara,
ngon-ingone kebo dhungkul,
sasisih sapi gumarang.
Artinya :
Bocah bajang menggiring angin,
menguras air samudra,
peliharaannya kerbau bodoh,
beriringan dengan sapi gumarang.
Bajang tegesipun : kunthet, cilik, kecenthet, cebol, pendhek, nandhang kakirangan ing pawujudanipun. (bahasa Indonesia = kerdil)
Bocah bajang tegesipun :
1) Laré ingkang kunthet.
2) Laré ingkang rikmanipun gimbal
3) Laré ingkang nandhang cacad lajeng dipunbucal kaliyan tiyang sepuhipun.
Anawu tembung lingga = tawu, tegesipun : ngesat toyanipun (bahasa Indonesia = menguras, mengeringkan)
Kêbo dhungkul, tegesipun :
1) Kebo ingkang ageng lan sungunipun ngantos mlengkung.
2) Kebo bodho.
Sapi gumarang, sapi ingkang agêng sanget. Miturut cariyos sekawit sapi gumarang punika kalebet ama sabin , lajeng dipuntêlukaken Bathara Guru sarana kengkenan Sulanjaya.
Wonten cariyos sanèsipun bab sapi gumarang, ugi gêgayutan kaliyan Dewi Sri (pasabinan).
Jinêman sulukan "bocah bajang" punika kasekaraken ing pathet sanga, pèrangan pungkasan janturan gara, minangka pratandha jumêdhuling ki Lurah Semar.
Rahayu Sagung Dumadi
BOCAH BAJANG NGGIRING ANGIN
Bocah Bajang nggiring angin (Manusia kerdil menggiring angin)
Anawu banyu segara (Menguras air samudera)
ngon-ingone kebo dhungkul (Peliharaannya kerbau bodoh)
sa sisih sapi gumarang (pasangannya sapi bertanduk tajam)
Tembang jineman di atas biasa di nyanyikan untuk mengiringi keluarnya punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) pada saat adegan Goro-Goro
Sederhana memang bait tetembangan di atas, namun sejatinya cukup filosofis. Ya, dalam ketidaksempurnaannya, si Bocah bajang (anak kerdil) mempunyai cita-cita yang kuat untuk menguras samudara seperti pada bait anewu banyu segara.
Ada kebodohan dalam diri si anak bajang yang sekaligus juga mempunyai kepintaran dan keberanian, hal ini digambarkan dalam bait jineman ngon ingone kebo dhungkul, sa sisih sapi gumarang. Kebo dhungkul itu artinya kerbau yang bodoh. Sedangkan pasangannya, sapi pintar yang bertanduk panjang dan cukup mempunyai keberanian.
Itulah gambaran manusia yg serba kerdil, lemah dan cacat tetapi cukup mempunyai keberanian dalam berusaha mencari jati dirinya, mencari Tuhannya. Tembang di atas merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, adoh tanpa wangenan (jauh tak terbatas), cedhak tanpa senggolan (dekat tidak bersentuhan), maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi.
Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat berani serta rasa kerinduannya akan Tuhan di sisi lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri dalam pencariaannya. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.
Bocah Bajang nggiring angin
Anawu banyu segara
Ngon-ingone kebo dhungkul
Sa sisih sapi gumarang
Teks empat baris yang menggambarkan Bocah Bajang (anak yang tidak bisa besar atau cacat) tersebut merupakan salah satu Jineman atau lagu yang selalu dikumandangkan pada pegelaran Wayang Purwa, khusus untuk mengiringi munculnya tokoh Semar pada waktu goro-goro. Hal tersebut tidak secara kebetulan, tetapi merupakan sebuah ekspresi kreatif untuk menyampaikan sesuatu makna yang dianggap penting, melalui lagu Bocah Bajang dan wayang Semar.
Tokoh Semar mempunyai sifat pribadi yang mendua. Ia adalah dewa bernama Batara Ismaya, yang manitis (tinggal dan hidup) pada seorang manusia cebol, berkulit hitam, bernama Ki Semarasanta. Bentuk wayangnya pun dibuat mendua: bagian kepala adalah laki-laki, tetapi payudara dan pantatnya adalah perempuan. Rambutnya dipotong kuncung seperti anak-anak, tetapi sudah memutih seperti orang tua. Bibirnya tersenyum menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan, tetapi matanya selalu basah seperti sedang menangis sedih. Oleh karena serba misteri, tokoh Semar dapat dianggap dewa, dapat pula dianggap manusia. Ya laki-laki, ya perempuan, ya orang tua dan sekaligus kanak-kanak, sedang bersedih tetapi dalam waktu yang sama juga sedang bergembira. Maka tokoh ini diberi nama Semar asal kata samar, yang berarti tidak jelas.
Sebuah dugaan, tokoh Semar dalam Pewayangan merupakan perwujudan dari kerinduan manusia dalam pengembaraannya menyelami yang Ilahi. Dikarenakan Hyang Maha Sempurna itu tidak kelihatan, tidak bisa diraba, jauh tak terbatas, dekat tidak bersentuhan, maka sulitlah untuk menggambarkannya. Oleh karena kekurangannya, kelemahannya dan cacat-cacatnya, manusia hanya dapat menggambarkan ketidakmampuannya menggambarkan yang Ilahi. Maka yang muncul kemudian adalah bentuk yang tidak sempurna. Lahirnya karya yang disengaja tidak sempurnya seperti wayang Ki Semarasanta atau Semar, merupakan sebuah konsep kerendahan hati, penyadaran diri dan keterbukaan pribadi akan kelemahannya, kekurangannya, cacat-cacatnya. Karena dengan sikap tersebut manusia diyakini mampu nglenggahake (menghadirkan dan mendudukkan) yang Maha Sempurna.
Selain tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cebol berkulit hitam yang dimaksudkan untuk nglenggahake kesempurnaan yaitu Bathara Ismaya, di pewayangan juga ada tokoh lain yang dibuat bajang, kerdil, untuk tujuan yang sama yaitu: Sang Hyang Pada Wenang dan Dewa Ruci.
Untuk menandaskan munculnya tokoh Semar atau Ki Semarasanta, manusia cacat yang berpribadi mendua, diiringi dengan lagu Bocah Bajang sedang membawa binatang piaraan yang mempunyai sifat mendua pula. Yaitu Seekor Kerbau, binatang yang bodoh dan tumpul otaknya, menggambarkan kelemahan manusia. Dan seekor Sapi Gumarang, binatang yang cerdas dan mempunyai tanduk sangat tajam, menggambarkan ketajaman manusia akan misteri Ilahi.
Dari paparan tersebut tokoh Semar yang diekspresikan ke dalam bentuk wayang dan tokoh Bocah Bajang yang di ekspresikan ke dalam lagu jineman, mempunyai inti makna yang sama. Ke duanya memberikan gambaran bahwa dalam diri manusia yang serba kekurangan, lemah dan cacat bertahtalah Yang Maha Sempurna
Dalam usahanya mengharmoniskan antara sifat yang serba kurang, lemah dan cacat di satu sisi dan sifat yang serba sempurna di sisi yang lain, manusia membutuhkan perjuangan panjang, sepanjang umur manusia itu sendiri. Seperti Bocah Bajang nggiring angin dan nawu segara.
Imajiner Nuswantoro