AGUNO MALING SAKTI
(MALING GENTIRI, BONCOLONO)
Maling Sakti (Aguno) merupakan sebuah cerita tutur yang di beritakan secara turu temurun oleh pendahulu kita. Maling Sakti (Aguno) banyak sekali versinya, diantaranya adalah versi Maling Aguno yang berbuat baik untuk membantu atau menbela kaum yang lemah dengan versi Maling Aguno yang berbuat menyimpang yaitu menculik putri-putri cantik. Banyak sekali versi nama tokoh Maling Sakti (Aguno) ini, di daerah Karisidenan Kediri menyebut tokoh ini dengan nama Maling Gentiri dan Adapula di daerah lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah hanya menyebut tokoh ini dengan Maling Aguno saja. Selain itu kisah Maling juga terdapat dalam relief teras ke dua di candi induk Penataran.
1. Versi Maling Gentiri Budiman.
Maling Gentiri merupakan sosok tokoh yang disukai oleh kalangan orang miskin, namun dibenci para konglomerat jaman dulu. Mereka berupaya sekuat tenaga agar Maling Gentiri bisa diakhiri. Merekapun menjadikan Maling Gentiri sebagai buronan nomor satu di wilayah Kediri dan sekitarnya. Tetapi dengan kesaktian Maling Gentiri membuat para konglomerat kewalahan dan putus asa, karena Maling Gentiri berkali-kali tertangkap, tidak pernah bisa dihabisi. Menurut kisahnya Maling Gentiri memiliki Ilmu Ajian Pancasona (mirip kisah Rahwana dan kisah dalam Angling Darma versi televisi swasta). Ilmu ini sebuah ilmu kadigdayan yang memungkinkan pemiliknya hidup kembali meski berkali-kali dibunuh, asal raganya tetap menyatu dan darahnya tidak menyentuh tanah. Dengan usaha yang selalu gagal, maka para konglomerat bersekongkol untuk menamatkan riwayat Maling Gentiri, akhirnya menemukan titik kelemahan sang pendekar. Ketika Maling Gentiri tertangkap untuk kesekian kalinya, tubuh pencuri budiman itu lalu dipotong-potong dan dikubur terpisah di beberapa tempat, bagian kepalanya itulah,yang diyakini dikubur di lapangan Ringin Sirah, yang terletak di dekat mall Sri Ratu, Kota Kediri. Ada yang menyebutkan bahwa kyai Gentiri tidak lain adalah Ki Boncolono yang bagian tubuhnya dimakamkan di Bukit Maskumambang, Kediri. Adapun kisah Ki Boncolono dari penuturan warga merupakan tokoh legenda yang dimana hidup di jaman penjajahan Belanda. Masyarakat Kediri hidup dalam kemiskinan dan ketertindasan. Perkonomian dikuasai oleh Belanda dan diperlakukan pajak yang tinggi. Hasil buminya selalu dirampas jika tidak mau bayar pajak . Untuk makan saja mereka harus membeli kepada Belanda. Hal ini lah menggugah hati Ki Boncolono. Dia marah melihat kelakuan Belanda tersebut akan ketidak adilannya. Dengan kesaktiannya dibantu oleh Tumenggung Mojoroto dan Tumenggung Poncolono beserta murid-muridnya yang tentu saja sakti-sakti, dia merampok harta para pejabat Belanda. Hasilnya dia bagikan kepada rakyat jelata. Belanda merasa geram dan marah, segala upaya mereka lakukan untuk meringkus Ki Boncolono. Tetapi usahanya selalu gagal. Setiap terkepung, Ki Boncolono hanya merapatkan diri pada salah satu tiang atau tembok atau pohon dan hilanglah dia. Biarpun ditembak dibunuh dan diapapun juga Ki Boncolono tidak bisa mati, dia bisa hidup lagi ketika tubuhnya menyentuh tanah. Belanda akhirnya putus asa dan mengadakan sayembara dengan hadiah yang sangat besar untuk menangkap atau membunuh Ki Boncolono. Beberapa orang yang tahu kelemahan ilmu Ki Boncolono mendatangai Belanda. Mereka memberi tahu bahwa Ki Boncolono harus dipenggal, kepala dan tubuhnya harus terpisah dan dikuburkan pada tempat yang terpisahkan oleh sungai. Akhirnya setelah membuat rencana dengan bantuan pendekar pribumi, Belanda melaksanakannya dengan cermat. Akhirnya Ki Boncolono tertangkap dan dibunuh. Sebelum dia hidup lagi, tubuhnya dipotong jadi dua. Bagian bawahnya di kubur di bukit Maskumambang. Sedangkan bagian atasnya (kepalanya) di kubur di "Ringin Sirah", desa Banjaran. Kalau bukit Maskumambang terletak di barat sungai Brantas, maka Ringin Sirah terletak di timur sungai Brantas. Dipuncak bukit Maskumambang selain makamnya Ki Boncolono terdapat juga dua buah makam lagi yaitu makamnya Tumenggung Mojoroto dan makamnya Tumenggung Poncolono. Hal ini tidak berbeda juga dalam kisah masayarakat di Desa Kawengan, Kecamatan Jepon, Daerah Blora, Jawa Tengah. Kisahnya bahwa Gentiri adalah putra dari Kyai Ageng Pancuran yang saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi, suka menolong kepada oorang yang sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya. Akhirnya Gentiri suka mencuri (maling) namun bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain yang sedang kesusahan. Maling Gentiri dijuluki Ratu Adil yang dianggap sebagai tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hukum dia tinggalkan, hingga akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Ds. Kawengan, Kecamatan Jepon. Kisah Maling Gentiri (Ki Boncolono) ini di Kalangan Masyarakat Dukuh Kawedusan, Desa Kawedusan, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar disebut dengan Maling Aguno (Sakti) saja yang juga memiliki sifat kearifan terhadap masyarakat yang lemah. Hal ini mengingatkan akan kisah dari Sunan Kalijaga sebelum menjadi Wali, Dimana telah menjarah pangan di Kadipaten Tuban, tempat ayahnya berkuasa guna untuk dibagikan kepada masyarakat yang lemah dan membutuhkan dan Kisah dari Si Pitung dari Batavia (Jakarta).
Boncolono
Maling Sakti dari Kediri, Kepala dan Jasad Dimakamkan Terpisah.
Mbah Boncolono menjadi salah satu tokoh legenda di Kediri, Jawa Timur. Ia memiliki kesaktian, dan ilmunya tersebut dipergunakan untuk menolong kaum lemah pada masa penjajahan Belanda dulu.
Mbah Boncolono selalu mendermakan hartanya yang didapat dari kolonial Belanda untuk diberikan kepada rakyat miskin. Karena sepak terjangnya itulah masyarakat menyebutnya dengan nama panggilan Maling Gentiri.
Bagi warga lokal Kediri dia adalah pahlawan, ini kan cerita turun temurun masyarakat yang diyakini kebenarannya pada masa penjajahan Belanda dulu,” tutur Nur Muhyar Kepala Disbudparpora Kota Kediri.
Tidak jelas pada periode tahun berapa Mbah Boncolono tewas di tangan Belanda. Dalam cerita rakyat, Mbah Boncolono tewas terbunuh dengan kepala terpenggal. Selanjutnya tubuh dan kepalanya pun dikuburkan secara terpisah.
Bagian kepala dimakamkan di lingkungan Ringin Sirah, lokasinya yang sekarang terletak di pusat kota, di belakang gedung pusat perbelanjaan. Persisnya di perempatan jalan, antara jalan Hayam Wuruk – Jalan Joyo Boyo Kota Kediri.
Pengambilan nama Ringin Sirah karena lokasinya terdapat pohon ringin berdiri kokoh begitu besar, serta istilah sirah dalam bahasa Jawa artinya kepala. Konon diyakini cerita dari turun temurun kepala Mbah Boncolono dikubur di sana.
Sementara untuk jasad tubuhnya disemayamkan di dataran tinggi, tepatnya di atas bukit (Gunung Mas Kumambang). Lokasinya masuk ke dalam kawasan wisata Selomangkleng.
Konon kisahnya untuk mengalahkan kesaktian Maling Gentiri, tubuhnya harus dipisahkan. Sebab jika tidak Maling Gentiri itu dipercaya akan hidup kembali.
Meski begitu Mbah Boncolono dianggap gugur sebagai kesatria dalam membela rakyat kecil. Khususnya di Kediri.
Cagar budaya makam Mbah Boncolono
Makam Mbah Boncolo masuk dalam kategori situs cagar budaya. Makamnya yang berada di kawasan lokasi wisata Selomangkleng, hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki menuju ke atas, hingga beberapa kilometer.
Tempat pemakamanya dinamakan Astana Boncolono. Di Astana Boncolono ada tiga makam yang disemayamkan di sana selain Mbah Boncolo. Dua di antaranya adalah jasad Tumenggung Mojoroto dan Poncolono.
Mereka ini bertiga saudara seperguruan.
2. Versi Maling Gentiri Penculik Putri.
Disekitar Muria yaitu pantai utara daerah Jepara, Tayu, Pati, Juana, Kudus dan lereng-lereng Gunung Muria terdapat cerita rakyat tentang Maling Gentiri atau Maling Aguna. Adapun kisah ceritanya secara singkat sebagai berikut. Pada suatu hari di rumah Ki Ageng Ngerang diadakan syukuran. Tamu dari jauh dan dekat telah datang. Ki Ageng Ngerang sebagai orang yang paling dituakan karena kearifan, kepandaiannya, sehingga banyak yang hadir dalam perjamuan tersebut. Terutama para muridnya Sunan Ngerang, antara lain termasuk Sunan Kudus, Sunan Muria, Adipati Parthak Warak dari Pulau Mandalika Jepara, Kapa dan adiknya Gentiri dan lain-lainnya. Ketika anak Ki Ageng Ngerang, Roroyono bersama adiknya, Roro Pujiwati ke luar untuk menghidangkan minuman dan makanan, banyak tamu yang hadir terpesona dan memuji keduanya. Adipati Pathak Warak tak bisa menahan nafsu, melihat gadis jelita. Akhirnya dia berbicara dengan Roroyono akan maksud untuk memilikinya, namun Roroyono tidak mengindahkan akan maksud pembicaraan Adipati Pathak Warak karena tidak memiliki sopan santun terhadap wanita. Pada malam itu juga Roroyono diculik oleh Adipati Phatak Warak ketika semua tamu pulang. Roroyono dibawa menuju hutan belantara. dibawa lari ke Pulau Mandalika. Keesokan harinya gemparlah rumah Ki Ageng, semua sibuk mencari keberadaan Dewi Roroyono, namun tidak menunaikan hasil. Akhirnya Ki Ageng mengumumkan sayembara, barang siapa yang dapat merebut kembali puterinya dari tangan Patak Warak, dan membawa kembali Dewi Roroyono ke Ngerang, bila lelaki akan nikahkan dengan Roroyono, bila perempuan akan dijadikan saudara. Setelah sayembara diumumkan, semua muridnya Sunan Ngerang terdiam tidak ada yang berani tunjuk jari, mengajukan diri. Mereka tidak berani melawan Adipati Patak Warak kecuali Sunan Muria. Pada saat Sunan Muria menuju ke arah utara, selang beberapa saat kemudian Kapa dan Gentiri menyusul Sunan Muria. Dalam pembicaran tersebut terjadilah kesepakatan, bahwa Kapa dan Gentirilah yang akan menunaikan tugas, menjalani sayembara merebut Roroyono ke Mandaliko. Adapun bila nanti berhasil dalam tugas yang berhak memiliki Dewi Roroyono adalah kanjeng Sunan Muria. Kesepakatan tersebut disepakati ketiga murid Ki Ageng Ngerang. Hal ini disepakati karena Kapa dan Gentiri adalah muritnya Sunan Ngerang yang termuda. Dan keduanya bersedia berbuat demikian karena menghormati Sunan Muria, sebagai murid yang senior, berwibawa dan terhormat dimata masyarakat. Berangkatlah Kapa dan Gentiri menyeberang Ke Pulau Mandaliko. Sementara Sunan Muria kembali ke padepokan Muria Ia Pasrah dan mempercayakan penuh nasib Dewi Roroyono kepada keduanya. Dari kejauhan Kapa dan Gentiri diawasi oleh Anak buah Patak Warak, mereka melaporkan bahwa dua orang yang mencurigakan memasuki kawasan Pulau Mandaliko. Kedatangan kedua orang tersebut membuat Patak Warak curiga. Pada malam hari, Kapa mendengar suara merintih dari rumah Patak warak bagian belakang. Ia membangunkan adiknya untuk segera menyelidiki arah suara tersebut. Dari celah-celah tembok bambu mereka melihat Roroyono yang sedang disekap di kamar belakang. Patak Warak mencoba merayu Roroyono agar mau dijadikan istri, ia memberontak melepaskan tangan kekar Patak warak. Jeritan minta tolong itulah yang membuat Gentiri tergerak hatinya untuk mendobrak pintu dan menyambar tubuh Roroyono dibawa kabur. Sementara Kapa menghadapi Patak Warak. Mereka berdua bertempur di belakang rumah, sementara Gentiri yang menggendong Roroyono berlari masuk hutan. Kapa lari mengejar Gentiri, di pinggir laut, akhirnya ketemu di pelabuhan penyebrangan. mereka melihat perahu yang ditumpangi saudagar bernama Lodhang Datuk. Ia meminta bantuan agar boleh ikut naik parahu menuju ke Pulau Jawa. Lodhang Datuk menyuruh anak buahnya membawa mereka bertiga ke Pulau Jawa, sementara ia menghadapi Patak warak dengan perahu kecil. Akhirnya Patak Warak tewas. Kemudiaan Lodang Datuk menyusul menuju Pulau Sprapat. Maka berhasilah Kapa dan Gentiri membawa kembali sang Dewi Roroyono ke Ngerang. Untuk menghargai jasa dari Maling Kapa dan Maling Gentiri, mereka mendapat hadiah dari Ki Ageng Ngerang, berupa wilayah di Buntar, yang mana keduanya orang itu menjadi penguasa tanah tersebut. sedangkan Dewi Roroyono jadi diambil istri Sunan Muria. Setelah beberapa hari kemudian Perasaan Gentiri dipenuhi dengan bunga hati dan perasaanya sekarang hanyalah Dewi Roroyono. Kisah cinta gayung bersambut antara Gentiri dengan Roroyono,namun keadaanlah yang membuat lain. Ia harus rela melepas Roroyono kepada Sunan Muria. Siang malam selalu terbayang wajah cantik Roroyono, sehingga mengganggu tidurnya disetiap malam dan mengganggu kerja disetiap saat. Gentiri tak mampu membendung rasa rindunya kepada Roroyono, ia akan merebut Roroyono dari Sunan Muria. Ketika tengah malam Gentri mengendap-endap memasuki taman kaputren. Roroyono terbangun dan mereka bertemu sambil menggemgam jemari dua insan yang tengah dilanda asmara. Namun Roroyono akhirnya menyadari perbuatannya tersebut. Namun Gentiri melarikan Roroyono, namun baru keluar pintu kaputren ia dipergoki oleh Pengawal kaputren Sunan Muria. Terjadilah perang tanding, Gentiri dikroyok oleh ratusan murid-murid Sunan Muria. Tewaslah Gintiri di padepokan Muria. Berita kematian maling (pencuri) berkerodok yang ketangkap di Padepokan Muria. Ia mati diadili oleh massa, setelah dibuka cadarnya ternyata Gentiri murid dari Ki Ageng Ngerang. Hal ini membuat Maling Kapa berang, Gentiri adalah adik seperguruan dan adik kandung Kapa, ia tidak terima bila adiknya diperlakukan seperti itu. Kisah tersebut di sebagian besar masyarakat Jawa telah mengenalnya diantaranya kisah cerita rakyat dari daerah Lumajang, yaitu kisah Maling Aguna yang menculik seorang putri bangsawan masa Majapahit. Masyarakat setempat menyebutnya Kedhong Putri. Kisah ini di ilhami dari temuan situs yang berupa reruntuhan bangunan candi dan yoni yaitu Situs Candi Kedhong Putri di Desa Sumberejo dan terletak di areal persawahan, masuk Desa Kloposawit, Kecamatan Candipuro. Sedangkan tempat Maling Aguna juga terletak di wilayah Candipuro yang dimana terdapat situs Goa Maling Aguna di Desa Sumberjo, Kecamatan Candipuro. Goa Maling Aguna berada di kawasan selatan Lumajang yang dilengkapi pemandian putri yang merupakan kompleks kaputren yang sekarang disebut Pemandian Tirtowono di Perum Perhutani Desa Jarit Kec. Candipuro.
Makam maling Gentiri ada di Blora
Makam maling Gentiri terletak di Desa Kawengan kecamatan Jepon + 12 Km kearah timur dari kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut buku karya Sartono Dirjo (tahun 1984) serta buku tradisional Blora karya Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (tahun 1996) serta hasil dari cerita rakyat, Gentiri adalah anak dari Kyai Ageng Pancuran yang pada saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi (sakti mondroguo), suka menolong kepada orang yang sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya. Namun dia suka mencuri (maling) bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain yang sedang kesusahan. Maling gentiri dujuluki Ratu Adil yang dianggak sebagai tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hokum dia tinggalakan dan akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Desa Kawengan Kecamatan Jepon. Karena jasa-jasanya banyak masyarakat setempat atau dari daerah lain yang dating ke makam tersebut karena masih dianggap keramat (Karomah) baik berziarah maupun tujuan tertentu.
Makam Maling Genthiri yang terletak di Desa Kawengan Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Jawa Tengah.
Perjuangan menolong rakyat miskin dan menderita dengan cara mengambil harta benda bangsawan tamak dan kikir, tidak hanya ada di film ataupun kisah fiksi.
Masyarakat Kabupaten Blora, Jawa Tengah, percaya karena kisah seperti itu ada di daerahnya, yakni kisah perjuangan Maling Genthiri atau sebagian menyebutnya Maling Kenthiri.
Makam Maling Genthiri terletak di Desa Kawengan Kecamatan Jepon. Kisah heroiknya membantu orang miskin dan menderita senantiasa dikenang oleh masyarakat.
Menurut cerita bahwa Mbah Genthiri dianggap loyal terhadap warga kurang mampu. Selain itu Mbah Genthiri juga dijuluki ratu adil yang dianggap sebagai tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari kemiskinan.
Dalam sepak terjangnya, Mbah Genthiri suka menolong dengan cara maling atau mencuri harta bangsawan serta saudagar yang tamak dan kikir. Hasil maling tersebut kemudian dibagikan ke anak yatim ataupun warga yang serba kekurangan.
Untuk mengenang jasa jasa Mbah Genthiri, baik masyarakat setempat atau dari luar kota kerap datang ke makam setiap malam Jumat untuk mendoakan.
Dibalik kisah heroik Mbah Genthiri, ternyata Desa ini juga memiliki pantangan yang senantiasa di patuhi warga setempat, yakni menanam pohon talas. Hal tersebut dikarenakan saat Mbah Genthiri dalam berjuang, sempat berlari dan terjerat batang batang talas, hingga jatuh dan menghembuskan nafas terakhir.
Masyarakat percaya jika pantangan tersebut dilanggar, bisa menimbulkan sakit atau musibah lain.
Sebagai bentuk penghormatan, sedekah bumi Desa Kawengan senantiasa diadakan di kawasan makam Mbah Genthiri.
Tradisi leluhur Sedekah Bumi yang digelar setahun sekali tiap hari Kamis Kliwon tersebut, senantiasa menyajikan tayub sebagai hiburan wajib. Dilengkapi 15 gunungan berisi makanan dan buah buahan, usai didoakan, akan diperebutkan oleh masyarakat setempat.
3. Versi Maling dari pahatan relief masa Kerajaan Hindhu.
Kisah tersebut mengingatkan akan cerita dari Kresnayana yang menculik Dewi Rukmini, yang dimana Kakawin Kresnâyana ditulis oleh mpu Panuluh pada saat prabu Jayabaya memerintah di Kediri dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi dengan nama lain Kakawin Hariwangsa (Hari: Wisnu dan Wangsa: Silsilah/ keturunan). Kisah-kisah tentang Krsna sangat banyak. Selain kisah Krsna dalam kakawin Hariwangsa, Kakawin Krsnayana, juga masih ada beberapa kakawin tentang cerita Krsna yaitu: Kalayawanantaka (kematian Kalayawana). Dalam lakon pewayangan, cerita Krsnayana lebih dikenal dengan “Narayana Maling". Adapaun cerita singkatnya dari Kakawin Hariwangsa adalah sebagai berikut. Wisnu telah menjelma dalam diri Krsna untuk melindungi dunia dan memusnahkan mahkluk-mahkluk jahat (Bhoma, Kangsa, dan Kalayawana) yang mengganggu para dewa dan hanya dapat dibunuh oleh manusia. Di dunia Krsna menanti Sri permaisurinya yang sangat dicintainya. Narada menampakkan diri dan memberitahukan bahwa Sri telah menjelma pada diri Rukmini., anak Bhismaka raja Kudina dengan permaisurinya Pethukirti, yang tiada lain adalah bibi Krsna. Tetapi ia dilamar oleh raja Cedi yang dibantu oleh saudara sepupunya Jarasandha, raja Karawira. Krsna harus cepat bertindak. Ia memutuskan untuk melarikan Rukmini, tetapi ia harus mendapatkan persetujuannya, namun bila Rukmini menolak maka ia siap menggunakan kekerasan. Untuk memperoleh kepastian itu ia mengutus Priyambada, pembantunya dengan sepucuk surat dan hadiah-hadiah. Sementara itu Rukmini yang merupakan penjelmaan dari Dewi Sri sangat merindukan suaminya Wisnu. Ia khawatir kalau tidak dapat berjumpa lagi dengan suaminya. Dengan ditemani abdinya Kesari, ia meluapkan kesedihannya. Kesari sebenarnya adalah saudara sepupu dari Priyambada. Ketika Kesari bertemu dengan Priyambada, mereka saling membantu untuk mempertemukan kedua sejoli itu. Priyambada menyampaikan sebuah cincin dengan materai Krsna beserta suratnya, lalu menceritakan bagaimana perasaan hati tuannya, Krsna bertekad untuk merebut Rukmini kalau perlu dengan kekuatan. Tetapi Kesari memperingatkan bahwa kekuatan tidak akan membawa kenikmatan, hanya menambah kesusahan. Ia akan berusaha menggerakkan hati tuan putrinya. Kemudian surat itu disampaikan kepada Rukmini, namun Rukmini menolaknya. Tetapi pada akhirnya ia membacanya dan mengetahui keluh kesah Krsna sehingga membuatnya semakin cemas. Dalam pada itu Nardha mengunjungi Jarasandha dan mengungkapkan rencana Krsna, sehingga membuat dia marah. Kemudian ia membujuk Bismaka untuk segera menikahkan Rukmini dengan raja Cedi. Saat purnama penuh dalam bulan Kartika ditetapkan sebagai hari pernikahan. Rukmini putus asa karena dipaksa menikah tanpa didasari rasa cinta. Ia ingin bunuh diri tapi dicegah oleh Kesari dan diingatkan bahwa Krsna telah bertekad berperang asal dapat merebut Rukmini. Priyambada kembali dengan supucuk surat. Ketika mengetahui bahwa pernikahan akan segera dilaksakan, maka Krsna tidak membuang waktu dan bersama Priyambada dan adiknya Prawira ia memacu kereta sepanjang malam. Menjelang fajar mereka telah sampai pada perbatasan kota Kudina, lalu ia bersembunyi di hutan. Secara rahasia Priyambada menemui Kesari dan disampaikan bahwa Krsna akan datang pukul tiga. Persiapan pernikahan berlangsung dengan segala kemeriahan, banyak tamu-tamu yang berdatangan. Rukmini menjadi ketakutan. Ketika malam tiba dan penghuni keraton tidur nyenyak, diam-diam keluar menuju tempat Krsna menunggunya. Kemudia Rukmini bersama Krsna dan Kesari naik kereta. Secepat kilat kereta meluncur meninggakan Kudina. Di keraton terjadi hiruk pikuk saat mengetahui Rukmini telah hilang. Sebuah pasukan diutus untuk mengejar mereka, namun mereka sudah terlalu jauh. Krsna dan Rukmini dengan selamat sampai di Dwarawati dan diarak dengan meriah memasuki kota. Sementara itu Jarasandha mengadakan rapat untuk menundukkan Krsna. Kemudian ia mengutus seorang duta untuk menghadap Pandawa dan memohon kepada Yudistira untuk membantunya. Sebagai pelindung dunia ia berkewajiban menghukum kelicikan Krsna yang telah merampas calon istri raja Cedi. Sebenarnya permintaan ini membuatnya bingung karena ia lebih sayang kepada Krsna daripada nyawanya sendiri. Namun ia tidak dapat menolaknya. Bima marah kepada kakaknya karena membantu Jarasandha yang jahat itu. Priyambada yang ada di Kudina memberitahukan Krsna tentang rencana Jarasandha, lalu mengutus patihnya Udhawa untuk menghadap kepada Pandawa. Namun Yudhistira tidak ingin mengingkari janjinya. Krsna tidak merasa cemas. Yudhistira akan merasa gembira jika ditembus panah Wisnu-Kresna sehingga ia dapat memasuki surga Wisnu. Peperangan tidak dapat dihindari lagi. Jarasandha, para Korawa dan kakak Rukmini yaitu Rahma serta raja Cedi berangkat menuju medan pertempuran. Krsna menggerakkan para Wesni dan Yadu. Barisan musuh telah mengambil posisi. Jarasandha di tengah dengan barisan “hutan”, di sebelah timur adalah barisan Korawa dengan barisan “cakra”, di sebelah barat para Pandawa dengan barisan “Garuda”. Sedangkan Krsna menyusun pasukan dalam bentuk “bulan sabit”. Pertempuran berkobar, pasukan Krsna mengalami kekalahan berat. Krsna melancarkan serangan balasan bersama para Yadu dan panahnya Mrtyusammohana (kebekuan maut) yang menyebarkan kematian dan kehancuran di tengah-tengah musuh. Jarasandha maju dengan gadanya yang ajaib, ia tidak dapat mati selama masih memegangnya. Maka dari itu Krsna pura-pura mundur. Ketika Jarasandha mengangkat gadanya hendak membunuh Krsna, pukulan itu di halau oleh mata bijak Baladewa, sehingga gadanya terlepas dan ia jatuh tersungkur tewas. Bhima berpendapat agar perang segera dihentikan, namun Yudhistira tetap ingin meneruskan karena ketika Jarasandha akan mati, ia meminta pertolongan. Namun ketika Nakula dan Sadewa tewas ditangan Baladewa, Bhima menjadi sangat marah. Yudhistira merasa putus asa sehingga mencari kematiannya di medan pertempuran, untuk mencegah Krsna membius dengan panah Mohananya. Sekarang Arjuna merupakan salah satu Pendawa yang masih hidup dan ia langsung berhadapan dengan Krsna. Keduanya bertempur sengit, namun tiba-tiba mereka menjelma menjadi dewa-dewa. Masing-masing merupakan setengah inkarnasi Narayana (Wisnu), sehingga sebetulnya mereka adalah satu. Ia disembah oleh Yudhistira sebagai dewa segala dewa, Bhrahma, Wisnu, dan Mahaswara bersatu. Yudhistira memohon agar dunia dipulihkan kembali seperti semula, dan yang meninggal dihidupkan kembali. Krsna dan Arjuna kembali menjadi manusia. Air amarta turun dan menghidupkan mereka kembali. Jarasandhalah yang pertama kali menyembah Wisnu dan semenjak itu dia mengikuti ajaran dharma. Setelah itu Wisnu berubah kembali menjadi manusia. Akhirnya Krsna dan Rukmini menikah, hidup bahagia bersama anak-anaknya. Kisah Kresnayana menculik Dewi Rukmini telah terpahatankan di relief di Komplek Candi Penataran tepatnya di Candi Induk, lantai 2. Salah satu bagian adegan dari relief "Narayana Maling" di Candi Induk Penataran Demikianlah kisah cerita para Maling bebargai versi telah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak masa kerajaan-kerajaan Indonesia, khususnya di Jawa. Pada tahun atau abad kemudian kisah cerita ini di gunakan sebagai penyebaran agama Islam melalui pertunjukan pagelaran wayang, hingga kini telah merakyat dan dikenal oleh kalangan masyarakat luas sekaligus sebagai cerita tutur turun temurun.
Legenda Ringin Sirah.
Bila pembaca pernah mengunjungi Kota Kediri, pasti pernah melintasi kawasan Ringin Sirah. Kawasan ini terletak di pusat kota, persis di perempatan Jl. Hayam Wuruk - Jl. Joyoboyo. Tepatnya di sebelah selatan Kediri Mall/Sri Ratu. Di lokasi ini, terdapat sebuah lapangan yang cukup luas (kini, lapangan tersebut oleh warga Kota Kediri sering disebut Lapangan Joyoboyo), dan di lapangan itu terdapat pohon beringin dengan ukuran cukup besar (sampai sekarang ini pohon beringinnya masih ada dan bisa dilihat). Meski berada dipusat keramaian, persis di depan Joyoboyo Trade Centre, namun lapangan ini menyimpan sebuah misteri ,terkait legenda Ringin Sirah.
Bukan tanpa sebab kawasan itu bernama Ringin Sirah, karena menurut keyakinan turun-temurun warga kota maupun warga kabupaten Kediri, lapangan itu memang terkait erat dengan sebuah kisah tentang "sirah" atau kepala.
Menurut cerita "wong tuwo-tuwo mbiyen" (orang tua-tua dahulu), di lapangan itulah makam seorang tokoh legendaris Kediri berjuluk "Maling Gentiri". Maling Gentiri memang sosok maling budiman di zaman Kediri kuno. Maling Gentiri merupakan tokoh pencuri yang memiliki kesaktian "sundul langit" alias sakti mandraguna. Tapi karir Maling Gentiri dibidang mencuri, bukan semata-mata demi kepentingannya sendiri, melainkan hasilnya dibagikan pada warga miskin. Ia merampok harta orang kaya, lalu diberikan pada orang "kere" (miskin).
Tentunya kiprah Maling Gentiri ini disukai oleh orang miskin dan dibenci orang kaya (konglomerat) waktu itu. Para konglomerat berupaya sekuat tenaga menangkap hidup-hidup atau mati Maling Gentiri. Merekapun menjadikan Maling Gentiri sebagai buronan yang paling dicari. Akan tetapi kesaktian Maling Gentiri membuat para konglomerat itu "keder" (takut). Karena meskipun Maling Gentiri berkali-kali tertangkap, tidak pernah bisa dibunuh/mati. Maklumlah saja, Maling Gentiri memiliki aji pancasona, sebuah ilmu kadigdayan yang memungkinkan pemiliknya hidup kembali meski berkali-kali dibunuh, dengan syarat raganya tetap menyatu dan darahnya tidak menyentuh tanah.
Singkat cerita, para konglomerat yang ingin menamatkan riwayat Maling Gentiri, akhirnya menemukan titik kelemahan sang pendekar. Ketika Maling Gentiri tertangkap untuk kesekian kalinya, tubuh pencuri budiman itu lalu dipotong-potong dan dikubur terpisah di beberapa tempat untuk menghindari dia hidup kembali. Dan bagian kepalanya itulah, yang diyakini warga Kediri dikubur di kawasan Lapangan Joyoboyo dibawah pohon beringin. Sehingga kawasan ini disebut Ringinsirah. Ringin berarti Pohon Beringin, sedangkan Sirah adalah kepala manusia.
Sampai sekarang ini pun, kawasan itu masih dipercaya sebagai kawasan yang "wingit" (angker). Sehingga meski telah bersentuhan dengan suasana modern lingkungan sekitarnya, tetapi kawasan itu tetap dikeramatkan oleh sebagian warga Kediri dan menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka.
Itulah sedikit cerita Kediri kuno mengenai Ringin Sirah yang mulai asing bagi kita sebagai warga Kediri.