KEJAWEN SUDUT PANDANGAN PRO & KONTRA
Kejawen
adalah kepercayaan masyarakat suku Jawa. Menurut naskah-naskah kuno, Kejawen
lebih berupa seni, budaya, tradisi, sikap, ritual, dan filosofi masyarakat Jawa
yang tidak terlepas dari spiritualitas suku Jawa. Namun secara umum, Kejawen
merupakan sebuah kebudayaan yang mengajarkan tentang tata krama atau aturan
dalam berkehidupan yang baik.
Orang
Jawa yang percaya dengan Kejawen relatif taat dengan agamanya. Mereka tetap
melaksanakan perintah dan larangan agama yang mereka anut dengan menjaga diri
sebagai orang pribumi. Pada dasarnya Kejawen merupakan ajaran filsafat yang
mendorong manusia untuk tetap taat dengan Tuhannya.
Memahami Kejawen secara Utuh
Kejawen
merupakan peleburan antara Islam dan kepercayaan dari budaya tradisional Jawa
yang telah melekat sejak ratusan tahun di masyarakat Jawa. Layaknya setiap
kepercayaan, kejawen juga memiliki banyak nilai dan ajaran kebaikan yang perlu
diamalkan penganutnya. Pada masyarakat Indonesia awam, pemahaman akan kejawen
kerap tak utuh. Tidak jarang kejawen hanya dipahami sebagai aliran dan kegiatan
yang berbau mistis, klenik, dan bersifat gaib. Kesalahpahaman itu yang mungkin
ingin diluruskan oleh penulis Iman Budhi Santosa melalui buku teranyarnya,
Spiritualisme Jawa. Dalam buku ini, Iman, yang sebelumnya menulis
Nasihat-Nasihat Hidup Orang Jawa, mencoba untuk menghadirkan secara lebih
lengkap fakta-fakta tentang nilai, ajaran, hingga kepercayaan batin orang Jawa
sejak masa Hindu-Buddha hingga masuknya Islam. Terdapat empat bagian dalam buku
ini yang mengangkat beragam tema, mulai kepercayaan, sejarah, hingga
nasihat-nasihat hidup yang selama berabad-abad lamanya dipegang oleh masyarakat
Jawa. Bagian pertama buku membahas mengenai pandangan dan kepercayaan orang
Jawa tentang keselamatan dalam hidup. Ajakan untuk selalu hidup dalam kebaikan
demi mendapat keselamatan telah lama digaungkan melalui nasihat hingga
peribahasa. “Kehidupan orang Jawa boleh dikata penuh dengan angger-angger dan
wewaler, aturan dan larangan, yang tujuan utamanya tiada lain ialah untuk
mengatur perilaku individu dan masyarakat agar memperoleh, ketenteraman, dan
keselamatan hidup dunia dan akhirat,” halaman 17. Dalam bagian ini juga dibahas
nilai-nilai dan ajaran yang ada di masyarakat Jawa tentang berbagai hal. Mulai
tradisi saat terjadi kematian, ajaran untuk hidup bertetangga, adab mengadakan
acara, hingga beberapa pandangan orang Jawa tentang hal-hal yang ada dalam
kehidupan. Salah satunya terhadap alam. “Dengan demikian jelas bahwa membangun
keselarasan (harmoni) dengan alam lingkungan tempat tinggal ialah cara orang
Jawa menemukan ketenteraman hidup seperti dinasihatkan oleh para leluhur di
Jawa bahwa manusia harus pandai-pandai memayu hayuning bawana. Dengan berbuat baik
kepada alam, alam pun akan memberikan berkah manfaatnya kepada manusia,”
halaman 34. Pada bagian kedua, penulis membahas dan memberikan pandangannya
tentang penggolongan orang Jawa yang dicetuskan oleh Clifford Geertz. Ia
mengklasifikasikan orang Jawa menjadi tiga golongan: santri, abangan, dan
priayi. “Seharusnya perlu dimunculkan pula golongan masyarakat Jawa yang
bernama ‘rakyat jelata’ sebagai dikotomi priayi. Dalam kebudayaan Jawa,
golongan ini disebut kawula alit (rakyat kecil/rakyat jelata), dan dalam dunia
pewayangan lazim dinamai kaum pidak pedarakan (hina dina),” halaman 89.
Dihadirkan pula pembahasan dengan lebih detail mengenai sejarah penggolongan
orang Jawa tersebut. Mulai masa jauh sebelum kemerdekaan atau sejak masih
hidupnya kerajaan-kerajaan di Jawa hingga era modern saat ini. Sebagai bagian
yang khas dari kebudayaan Jawa, penulis juga tak lupa menyertakan nilai-nilai
dan ajaran yang tertuang dalam beberapa serat. Di antaranya Serat Waraiswara,
Serat Sasanasunu, Serat Bratasunu, Serat Wedhatama, dan Serat Nitisruti.
Penjabaran isi serat dan nilai-nilai ajaran luhur yang terkandung di dalamnya
dihadirkan penulis dalam bahasa yang sederhana, juga dihadirkan contoh atau
cuplikan isi serat yang membahas mengenai ajaran-ajaran tersebut. Tak lupa juga
disertakan info mengenai sejarah dan latar belakang setiap serat tersebut.
Dengan begitu, pembaca juga sekaligus akan mendapatkan informasi dan
pengetahuan mengenai serat-serat yang ada di Jawa serta para penulis atau
penemunya. Dari serat-serat itu dimunculkan beberapa nilai tentang perilaku
yang hingga saat ini masih banyak menjadi pedoman hidup orang Jawa. Di
antaranya tentang keseimbangan dunia dan akhirat, memelihara akal, adab mencari
nafkah, berpenampilan, hingga tata cara mengeluarkan pendapat. Beberapa
peribahasa dan petikan penting yang termuat di serat-serat tersebut juga turut
ditampilkan. Salah satunya dari Serat Wedhatama. “Ngelmu iku kalakone kanthi
laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budaya pengkese dur
angkara. (Ilmu itu dijalankan dengan perbuatan, dimulai dengan kemauan. Kemauan
adalah penguat, budi setia penghancur kemurkaan),” halaman 127. Bagi penggemar
peribahasa, di bagian ini penulis juga menghadirkan puluhan peribahasa Jawa
yang dirangkum dari berbagai serat-serta yang diwariskan melalui tradisi lisan
orang-orang Jawa. Peribahasa-peribahasa tersebut ditampilkan berkelompok sesuai
dengan tema nasihat yang terkandung. Tak hanya itu, juga terdapat perjelasan
lebih detail mengenai sejarah, pemaknaan, dan jenis-jenis peribahasa dalam
ranah bahasa dan susatra Jawa. Disebutkan bahwa peribahasa atau yang dalam
bahasa Jawa disebut unen-unen, terbagi menjadi enam kelompok, yakni paribasan,
bebasan, saloka, pepindhan, sanepa, dan isbat. Masing-masing memiliki ciri khas
dan tema nasihat yang berbeda-beda. Semuanya dijelaskan dengan singkat, tetapi
padat dan informatif oleh penulis. Pada bagian ketiga, penulis membahas
mengenai akar spiritualisme Jawa. Termasuk faktor-faktor yang membentuk kejawen
hingga saat ini. Di antaranya pandangan hidup yang terus tumbuh dan berkembang
sejak masih dipegangnya kepercayaan lama animisme dan dinamisme, hingga
kemudian masuknya agama-agama di Indonesia. Tak lupa juga pengaruh pergerakan
ideologi-ideologi lain, sosial, budaya, dan dinamika kehidupan lainnya. “Karena
itulah, siapa pun yang pernah berkenalan, berkomunitas, atau tinggal cukup lama
bersama orang Jawa sehingga tahu benar mengenai ‘lambe atine’, umumnya akan
memberikan semacam pangalembana (sanjungan) dengan jujur ketika menilai karakter
mereka, bahwa orang Jawa itu religius, ramah, terbuka, sopan, lentur, mudah
bersahabat, dan senantiasa menghormati orang lain,” halaman 188. Rohani Di
bagian ketiga ini penulis menghadirkan informasi lebih lengkap mengenai
perjalanan masuknya agama-agama di Jawa. Mulai masa kepercayaan sebelum
Hindu-Buddha, masa Hindu-Buddha, hingga masuknya Islam sekitar abad XIII di
tanah Jawa. Penulis mengungkapkan bahwa kepercayaan lama animisme dan
dinamisme, serta agama Hindu, Buddha, dan Islam merupakan yang paling memiliki
pengaruh kuat di kehidupan orang Jawa. Sementara itu, Kristen, Katolik, dan
Konghucu, kurang memberikan pengaruh signifikan terhadap adat tradisi Jawa
karena pemeluknya relatif kecil. Pada bagian keempat atau terakhir dalam buku,
penulis membahas mengenai hubungan kepercayaan lokal dengan agama-agama yang
berkembang di Jawa. Hubungan yang akhirnya memunculkan pandangan rohani atau
kebatinan orang Jawa yang disebut kejawen. Hubungan antara hal-hal tersebut
yang kemudian menjadi pedoman hidup orang Jawa hingga saat ini. Sebagai
kesimpulan, penulis membahas mengenai kejawen sebagai spiritualisme yang secara
tersirat dan tersurat lebih mendekati filsafat-filsafat khas Jawa. Dalam
kejawen, terdapat berbagai ajaran filsafat dengan sumber yang berbeda-beda atau
tidak bersifat homogen. Meski membahas hal-hal yang tidak sederhana, pemaparan
yang disajikan dalam buku ini secara umum mudah dicerna. Penulis yang telah
tutup usia pada Desember 2020, menghadirkan informasi bernuansa sejarah dan
filsafat dengan gaya bahasa tulis populer. Melalui berbagai pemaparan, contoh,
dan pendapatnya dalam buku ini, Iman Budhi Santosa cukup berhasil menyampaikan
informasi yang utuh tentang spiritualisme Jawa, tentang kejawen dan berbagai
nilai, unsur pembentuk, dan pemaknaan di dalamnya, bahwa kejawen ialah bagian
dari filsafat hidup orang Jawa yang tak melulu berisi soal klenik, mistis, dan
hal-hal gaib. “Dengan filsafat kejawennya itu, orang Jawa justru telah berhasil
memayu hayuning bawana sehingga jutaan orang merasa aman, nyaman, dan tenteram
hidup di Jawa selama ini,” halaman 6. (M-2)
Kearifan Lokal yang Selalu Dicurigai
Ajaran
kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak
lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda,
Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan
teologi asing, karena kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya
membangun kesan bahwa budaya Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya,
bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan
sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru”
yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut
pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan tersebut sangat efektif
karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik
asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain
itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap
kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan
contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat
itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa.
Hal itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan
contoh perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab
yang selingkuh, kyai yang menghamili santrinya, dst.
Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sebagai berikut :
Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada.
Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
Tradisi : dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan. Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.
Kejawen
: berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia
dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan
tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan
cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yg luhur,
“pendatang baru” menganggap ajaran kejawen sebagai biangnya kemusyrikan,
kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya,
manusia Jawa yang sudah “kejawan” ilang jawane, justru mempuyai andil besar
dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli
nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai
masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi
penerus tahta kerajaan.
Ajaran Tentang Budi Pekerti, Menggapai Manusia Sejati
Dalam
khasanah referensi kebudayaan Jawa dikenal berbagai literatur sastra yang
mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk,
serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat,
tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang
disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya;
pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang
memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau
penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.
Pendidikan
moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi
pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala
sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan
seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari
kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang
berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak
dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian
lah makna dari ajaran Kejawen yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah
jelas pemahaman terhadap konsepsi
pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan
kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia
menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai
luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka
wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi
telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk
mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.
Dua Ancaman Besar dalam Ajaran Kejawen
Dalam
ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap
kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah
kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa
nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang
muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas
pamrihnya.
Dalam
perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena
menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir
maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang
memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut
kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga
manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi
pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia
semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak
ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan
NAFSU
Hawa
nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk
akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan,
main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi. Untuk meredam
nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa
brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.
Tapa brata ; sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa
hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni
lauwamah, amarah, supiyah.
Tapa ngrame; adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama
tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.
Tapa mendhem; adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka
pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal
kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita
sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal
kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua
kejahatan yg pernah dilakukannya.
Tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.
PAMRIH
Pamrih
merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya
mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan
kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu
mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial
lingkungannya. Pamrih juga akan
menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara
mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan
membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca
mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani
(mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi,
dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga
manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh
sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai
“kemanunggalan” kawula gusti.
Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya.
Untuk
itu penting Sabdalangit kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga
bentuk nafsu dalam perspektif KEJAWEN :
1.
Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama, yakni; nafsu
golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
2.
Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu
golek benere dhewe.
3.
Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu
golek butuhe dhewe. Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji
mumpung. Misalnya mumpung berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli
dengan nasib orang lain yang tertindas.
Untuk
menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga
dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama,
perilaku hidup yang utama.
Sembah
merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur
(tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara
terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab
Wedhatama (weda = perilaku, tama = utama) mengemukakan sistematika yang runtut
dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah
raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan
nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah,
nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut
catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan
mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan
Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.