KISAH Panji Asmara Bangun
Pesta Perkawinan
Raja membicakan dengan permaisurinya perkawinan panji yang akan dating, Panji yang selama ini tidak mau kawin. Karena itu raja agak heran juga mendengar pemberitahuan Prasanta, yang sementara itu sudah datang kepadanya.
Diadakan persiapan untuk perkawinan. Diadakan pesta besar. Malam hari orang pun tidur. Sri berniat buat sementara tidak akan menerima Panji, sebab Sri belum menjelma kembali. Ia pun tidur.
Panji yang lupa, bahwa ia baru saja kawin, tidur seorang diri dalam pavilium dalam taman. Nila Prabangsa, ketika datang pada ibunya Madu-keliku, diganggu oleh ibunya itu, katanya ia ketinggalan jauh oleh Panji. Sebab Panji sudah beristri. Prabangsa marah dicabutnya cerisnya dan ia pergi ke ruang wanita untuk membunuh Panji. Tatkala sampai di tempat tidur Sri, dilihatnya dua orang dibawah selimut. Dikiranya mereka itu Panji dan kekasihnya, lalu ditikamnya keduanya. Tapi mereka adalah Sri dan Unon. Gempar dalam keraton. Waktu dalam sekarat Sri masih sempat minum. Panji berbisik dalam telinga keduanya, supaya mereka menjelma kembali, masing-masing dalam Puteri Kadiri dan Puteri Urawan. Kedua perempuan itu meninggal tidak lama kemudian. Panji tak henti-hentinya menangisi kekasihnya yang sudah pergi. Tatkala orang bersedia-sedia hendak membuat janji untuknya, api unggun untuk membakar mayatnya sudah siap.
Sebelum panji menaruh mayat Sri kedalam api, mayatnya itu hilang dalam tanggannya tanpa bekas.
Saat ini diceritakan tentang raja Daha. Ia mempunyai tiga orang istri, yang tua bernama dewi Rago, yang kedua : Bentari, yang ketiga : Lara-sih. Ketiga-tiganya sedang mengandung. Bentari memfitnah Rago. Katanya, Rago tidak setia dalam perkawinannya. Raja percaya saja dan Rago dikirim ke tempat yang sunyi. Disana Rago melahirkan seorang anak perempuan. Tapi tatkala ia terhantar lemah karena melahirkan itu, Bentari dengan tidak setahunya menukar anak itu dengan seekor anak Anjing. Ketika raja mendengar hal itu, ia dating untuk membuktikan sendiri dan tatkala ia melihat Anjing itu, ia memperpanjang masa hukuman Rago buat masa yang tidak ditentukan. Rago yang tidak tahu apa kesalahannya, menyerah saja kepada nasibnya.
Pun raja Urawan mendapat anak, mula-mula seorang anak perempuan bernama Wadal-wredi alias Retna Cindaga. Setelah itu seorang lagi anak perempuan, yaitu penjelmaan kembali Unon, bernama Kumudaningrat, yang menderita penyakit beser (yaitu sering buang air kecil, tapi sedikit-sedikit). Kemudian seorang anak laki-laki, Arya Panjangkringan alias Sinjang-laga, yang banyak cacat tubuhnya, seperti dagunya terlalu pendek, pincang dan sebagainya.
Raja Singasari pun mendapat seorang anak perempuan, bernama Mertasari. Mengenai penjelmaan kembali Sri, yaitu puteri yang ditukar dengan Anjing, anak itu hanyut disungai, dibungkus dengan tikar. Pada suatu tempat ia terkait, dan ditemukan oleh seorang lurah Bantrang, yang mempunyai firasat, bahwa anak itu bukan anak sembarang anak, tapi anak raja. Dibawanya anak itu pulang dan diserahkannya kepada istrinya, yang amat girang, karena ia sendiri tidak mempunyai anak. Laksana oleh suatu keajaiban keluarlah kini dari buah dada perempuan Bantrang yang sudah agak tua, air susu yang diberikannya kepada Nyi Bantrang segala yang perlu untuk memelihara anak itu.
Pada isteri-isterinya yang lain pun raja Kadiri mendapat anak: Tami-ajeng, keduanya puteri, yang terkecil adalah seorang anak laki-laki, bernama Prabu-sekar. Kedua puteri itu sudah dewasa.
Pangeran Jenggala Manik tak terhibur hatinya mengingat kekasihnya yang sudah meninggal. Berkali-kali ia dianjurkan oleh orangtuanya untuk kawin, tapi ia tetap menolak. Saat ini Kili-suci dikirim oleh kakanya untuk mendesak Panji supaya kawin, yaitu dengan puteri Kadiri, Tami-aji yang amat elok parasnya.
Pesanggrahan
Tambak Baya
Panji terus bersedih hati di taman mengingat penjelmaan Sri. Doyok dan Prasanta berlucu-lucu tidak pada tempatnya diantara mereka sendiri. Saat ini Prasanta bercerita tentang pengalaman isteri Raja Kadiri yang tertua kepada Panji. Panji menganggap pemberitahuan itu sungguh-sungguh dan ingat akan berbagai kemungkinan.
Jalayana raja seberang tiba di pantai Jawa dengan angkatan lautnya. Mereka mendiami Pasanggrahan Tambak Baya. Dalam suatu rapat umum, patih memberitahukan kepada raja, bahwa puteri raja Kadiri bernama Mindaka, sudah dikawinkan dengan sang Panji, tapi perkawinan itu tidak baik jadinya: penganten laki-laki tidak suka pada penganten perempuan. Raja segera menyuruh susun sepucuk surat untuk menyunting penganten perempuan itu. Dua orang raja taklukan membawa surat itu kepada raja Kadiri. Sambil menunggu balasan, sang raja bersenang-senang dalam hutan yang dekat dengan berburu.
Raja Kadiri bersedia menerima tamu, patih menceritakan kepadanya tentang kedatangan Jajalalana. Para utusan yang membawa surat diberitahukan kedatangannya dan diminta masuk. Disusun surat balasan, persiapan-persiapan dilakukan untuk menghadapi perang. Raja kembali kekeraton dan memberitahu tentang maksud Jajalalana. Putrinya sang mempelai ketika ditanya apakah mau kawin dengan Jajalalana, menjawab bahwa ia tidak mau.
Saat ini diceritakan penjelmaan tentang Sri. Ia mempunyai seorang saudara pria bernama Jaka-bodo. Sri menyuruh saudaranya ini ke pasar menjual sebuah Sumping (perhiasan telinga berkembang) seharga 1000 rupiah. Jaka-bodo berangkat ke pasar membawa Sumping, tiap orang yang melihatnya ingin membelinya, tapi harganya terlalu mahal. Orang berkerumun doyok berlucu-lucu lagi. Panji tertarik perhatiannya dan disuruh panggil orang yang menjual sumping itu. Setelah ia melihat penjual Sumping itu ia merasa terhibur. Dibelinya Sumping itu dan senantiasa ia teringat kepada pembuatnya. Bagaimanakah konon rupanya? Esok paginya Panji bersama Punakawannya (pelayan-pelayannya) pergi ke hutan untuk berburu.
Raja Temon menunggu dengan tak sabar saudaranya pulang, akhirnya ia dating dengan uang, hasil penjualan Sumping. Sementara ia menceritakan kepada Wara Temon, bagaimana terjadinya jual beli, datanglah Gajah-gumanglar hendak memaksakan kemauannya. Tapi kali ini ditolak dengan janji-janji. Temon makin mengharapkan kedatangan Panji.
Esok paginya Nyi Bantrang dan suaminya pergi ke pasar. Panji yang mengembara ke dalam hutan, kehausan, ia pergi ke sebuah desa untuk minum dan dengan demikian tiba di rumah Temon, Temon keluar dengan air dalam Pinggan emas. Panji jatuh pingsan. Temon dipanggil lagi keluar untuk membikin siuman kembali. Hal ini dilakukan dengan sirih yang dimamahnya.
Panji dan Temon masuk bersama-sama. Para Punakawan duduk di pintu. Bantrang dan istrinya kembali dari pasar. Prasanta menenangkan hatinya, katanya sang pangeran sedang di dalam bersama anaknya. Dalam pertemuan Panji dengan Bantrang, Bantarang menceritakan pengalaman-pengalaman Temon. Selanjutnya Bantrang jiga menceritakan tentang Gajah-gumanglar. Panji berjanji akan membinasakannya kalau dia datang lagi. Baru saja Panji habis bicara, muncullah Gajah, berseru dari jauh supaya Temon menyongsongnya. Menyusul perkelahian antara dia dan Panji, dalam perkelahian itu tentu saja Gajah kalah. Gajah mati kena panah.
Saat ini Temon dibawa sang pangeran ke kota. Prasanta disuruh berjalan dahulu untuk memberitahukan, bahwa puteri raja yang hanyut dahulu sudah ditemukan kembali. Suatu rombongan yang besar menjemput sang puteri. Waktu bertemu, Kili-suci memeluk sang puteri. Dimulailah perjalanan panjang ke kota. Kanjeng sinuhun raja mengenali puterinya dan bertanya kepada Bantrang bagaimana jalannya peristiwa. Bantrang bercerita. Untuk memeriksa kebenaran cerita Bantrang. Sri Ratu Rago yang dihukum, dipanggil dan ditanyai. Tapi ia tidak ingat suatu apa, karena waktu ia dalam keadaan pingsan. Saat ini seorang anak kecil berumur 4 tahun disuruh menceritakan kejadian yang sesungguhnya. Anak bayi itu menceritakannya dan semua yang hadir senang. Kemudian anak itu meminta kepada sang raja menghukum isterinya yang jahat, jika tidak maka para dewa akan marah kepada kanjeng sinuhun. Mendengar kata-kata itu raja Kadiri marah kepada isterinya yang kedua, hendak ditikamnya isterinya itu.
Narada tiba-tiba muncul dan menahan raja berbuat demikian, katanya segala itu terjadi karena kemauan para dewa. Pun kelahiran Sekar-taji adalah kemauan para dewa. (Temon setelah dikenali) ikut pula membantu dalam kejadian yang menyedihkan dengan sang puteri. Setelah para Punakawan berlucu-lucu, narada menghilang lagi. Diadakan pesta besar. Kemudian menyusul perang besar yang berakhir dengan kematian Jajalalana. (suatu kejadian yang selalu kita dapati dalam kisah Panji) akhir naskah Brandes No. 150.
HASIL perjuangan
Ketika Raja Kadiri duduk di Sitinggil. Panji datang mempersembahkan kepala raja seberang yang dipenggal. Kepala raja itu kemudian dipertontonkan di atas tiang. Banyak harta rampasan yang dibagi-bagikan kepada orang banyak.
Dalam pada itu tibalah para pangeran dari Jenggala Manik. Disebutkan nama-nama mereka. Mereka itu membawa bermacam-macam kendaraan yang akan dipergunakan Panji dan anak buahnya, karena raja Jenggala Manik ingin melihat Panji kembali. Tapi para Pangeran harus istirahat sebentar.
Sang puteri dalam keraton bertanya kpada dayang-dayangnya, bagaimana akhir pertempuran. Dijawab : Panji menang. Sang puteri dating kepada Panji. Panji berkasih-kasihan. Sadulumur hendak berkasih-kasihan pula seperti Panji, dipanggilnya seorang emban dan hendak diperkosanya.
Esok paginya Panji hendak bersiap-siap pulang ke Jenggala Manik. Bersama isterinya ia pamitan kepada raja. Serombongan besar rakyat jelata bergerak menuju jurusan Jenggala Manik, dimana raja sudah duduk menunggu diluar, dikelilingi oleh para pembesar. Setelah mendengan berita bahwa Panji dalam perjalanan, sang raja berangkat menyongsongnya. Setelah bertemu, mereka kembali ke paseban dan masuk ke dalam keraton. Seri ratu menyambut puterinya dengan isterinya. Kili-suci pun hadir.
Pada suatu hari, tatkala raja sedang duduk diluar, diperintahkannya Panji pergi ke kakeknya, raja Keling. Untuk itu banyak kapal disediakan. Setelah selesai semua, sang raja mengantarkan puteranya bersama anak buahnya ke pelabuhan, Panji naik kapal beserta isterinya. Setelah sampai di laut luas kapal terserang badai.
Para penumpang kacau balau. Kapal-kapal cerai-berai, bahkan terpisah. Candrakirana terdampar di Bali, sedangkan Panji hanyuk ke tanah Dayak. Di Jenggala Manik tersiar kabar, bahwa Panji beserta anak buahnya tenggelam ke dalam laut. Orang berduka cita di Jenggala Manik.
Narada datang kepada Panji dan menghiburnya. Orang suci itu menyuruh Panji memakai nama lain, yaitu Jayakusuma dan mengabdikan diri pada raja Urawan, ia harus mengatakan ia orang Dayak, Narada menghilang.
Panji member nama Jayaleksana kepada Punta, Jaya Sentika kepada Kertala dan Juda-pati kepada Pamade. Kebetulanketiga saudaranya itu tidak terpisah dari Panji. Atas usul Jayasantika mereka mula-mula akan menakhlukkan kerajaan Cemara. Rencana itu mereka laksanakan. Raja Cemara sedang duduk di Paseban, dikelilingi oleh para pembesar. Sekonyong-konyong dating orang mengamuk. Setelah bertengkar mulut, mulailah perkelahian.
Raja Cemara menyerah kepada Panji. Seorang saudaranya perempuan diserahkannya kepada Panji. Putri itu bernama Sureng-rana. Malam hari Panji berkasih-kasihan dengan isterinya yang baru.
RAJA BALI Bejo
Sengara
Raja Bali bernama Bejo-sengara. Ia ingin beroleh putera. Ia berdoa kepada dewa-dewa. Dalam mimpinya ia mendapat isyarat dari dewa-dewa supaya pergi ke hutan, disana ia akan memperoleh anak pria, yang boleh diambilnya sebagai anak. Setelah ia bangun, diperintahnya kepada patih untuk mengumpulkan orang, yang akan mengiringnya kedalam hutan. Mereka sampai di hutan.
Candra-kirana yang seorang diri dalam hutan, banyak menemui bahaya. Binatang-binatang mengormatinya dan tidak ada yang mengganggunya. Ia mengaduh, didalam hati ia meminta tolong kepada Panji. Akhirnya ia berusaha bermeditasi. Karenanya para dewa jadi gelisah, keinderaan geger oleh dianya.
Para dewa dibawah pimpinan Narada, meminta nasehat Batara Guru. Batara Guru memerintahkan kepada Narada unyuk segera turun menemui Candra-kirana. Narada dating kepadanya dan menghiburnya. Orag keramat itu merobahnya menjadi seorang pria dan diberinys nama Raden jaya-lengkara.
Buah dadanya itu selamanya harus dipercayakan kepada pohon Cangkring. Dan rambutnya kepada pohon Waringin. Ia juga akan menjadi Raja Bali. Dan apabila kemudian Bali kalah perang, ia akan menemukan Panji kembali. Narada menghilang.
Raja Bejo-sengara ketika berburu, melihat pemuda yang elok dari jauh. Ia mendekatinya dan memeluknya. Segera ia memerintahkan supaya pulang ke keraton. Sesampai di keraton raja itu menanyakan pemuda itu namanya dan sebagainya.
Pemuda itu mrnjawab : Jajalengkara, ayah dan ibu saya sudah meninggal, burung merak menjaga saya supaya jangan kedinginan, kidang dan rusa member saya susu”. Sang raja jatuh kasihan kepadanya. Ia diangkatnya jadi anaknya. Apabila raja masuk taman kepuntren. Diperkenalkannya anak angkatnya itu kepada sang ratu. Sekalian wanita dalam tamansari kepuntren jatuh cinta pada anak muda itu.
Ragil Kuning (onengan) kesasar kedalam sebuah gua di gunung Canawi. Ia seorang diri dan tidak berani meninggalkan tempat persembunyiannya. Dari tempat tersembunyi muncul didepannya Batara Bayu, yang menanyakan apa keinginannya. Dijawabnya bahwa ia ingin bertemu kembali saudaranya, dewa itu menyuruhnya bersabar dan merubahnya menjadi seorang pemuda. Rambutnya harus dipercayakan pada pohon bibis dan buah dadanya pada pohon kapok. Selanjutnya ia harus mengabdikan diri pada Raja Bali. Setelah ia mempelajari ajian Bayu pitu dan kumajan dari dewa itu, ia pun diberi nama Kuda-jajasmara. Ia akan bertemu dengan saudaranya setelah perang Bali.
Saat ini ia harus mengabdikan diri pada Raja Bali, Bayu menghilang. Jajasmara memulai perjalanan. Sadulumur dan Prasanta mencari tuannya kemana-mana. Setelah tujuh hari berjalan, mereka tidak menemukan kampung sebuahpun. Sadulumur bercerita tentang mimpinya memukul isterinya.akhirnya mereka melihat dari jauh sebuah pertapaan dan mereka menuju kesitu. Pertapaan itu terletak di lereng gunung yang bernama Danaraja. Pertapaan itu sendiri bernama Ganawisnu. Mereka diterima dengan baik oleh sang pertapa. Ia sudah mengetahui segala hal yang sudah terjadi. Kedua tamu itu mendapat nama lain dari sang pertapa dan mereka harus mengabdikan diri pada Raja Bali. Untuk makanan dalam perjalanan mereka diberi dua kerucut nasi yang besar. Mereka meninggalkan pertapaan.
Setelah Raja Bali wafat, digantikan oleh putera (angkatnya) yang baik sekali sebagai raja. Raja muda yang baru itu menerima para pembesarnya. Upacara-upacara dibawa oleh orang-orang yang cacat badannya.
Jajasmara tiba di istana Raja Jajalengkara. Ia diakui oleh raja sebagai adiknya dan diangkat sebagai kepala pasukan taruna. Tidak lama kemudian datang ki Agung dan Kicau, demikianlah nama samarannya Sadulumur dan Prasanta, menemui raja. Mereka diterima dengan baik dan masing-masing diangkat jadi Bupati gedong dan Panglima.
Jaja-kusuma (Panji) masih berada di cemara. Ia pergi kepada kakanya sang raja, hendak pamitan untuk melaksanakan perintah para dewa. Sang raja memberinya izin. Perahu-perahu disiapkan. Panji dan isterinya beserta pengiringnya diantarkan orang ke pelabuhan. Kapal-kapal Panji berangkat ke laut, tidak diceritakan perjalannya, Panji tiba di Kerajaan Urawan (Bauwarna), dimana sang raja sedang dihadap oleh para pembesar, antara lain patih Jaja-singa, Tumenggung Bancak Saputra dan Rangga Sawung-galing. Dalam pada itu, Panjipun sampai dan menghadap raja, raja terkejut, karena tamunya itu mirip sekali dengan putera mahkota Jangagala, tapi ia tidak percaya akan persangkaannya.
Sementara itu Raja Jenggala Manik sudah mendengar berita, bahwa puteranya dan anak buahnya mendapat kecelakaan di laut. Orang tidak tahu apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Puteranya yang sulung Braja-nata dan Lempung-karas mendapat perintah untuk mencari Panji.
Tapi kedua bersaudara itu terpisah. Brajanata sampai di pegunungan Wilis, dimana ia melakukan tapa. Tempat kediamannya disebut andong asmara. Ia sendiri memakai nama lain, yaitu Wasi Turiga-nata.pelayannya yang dijadikan pembantu bernama Kartiraga. Karena tapanya, ia menjadi pelihat. Lempung-karas menemukan jalannya sendiri, dikawal oleh kedua pelayannya bernama paras dan paron. Siang malam ia berjalan masuk ke hutan keluar hutan. Setelah berjalan setengah bulan. Ia sampai di beberapa kampung di kerajaan Patani. Ia beristirahat di bawah sebatang pohon, kakinya diurut oleh pelayan-pelayannya. Karena angin sejuk, ia tertidur sejenak dan bermimpi, bahwa ia bertemu dengan puteri Raja Patani, Puteri itu bernama Bintaro. Waktu ia bangun, dipeluknya salah seorang pelayannya, yang amat terkejut oleh perbuatannya itu. Saat ini barulah ia tahu, bahwa ia bermimpi. Disuruhnya tanyakan kepada seorang petani, dimana mereka saat ini. Petani itu menjawab di Patani, ibukota hanya tinggal sehari lagi perjalanan. Lempung-karas bermaksud hendak pergi ke kota, tapi lebih dulu ia mengganti nama, yaitu Astra-miruda. Puteri Patani pun mendapat mimpi yang sama. Dilukiskan kecantikannya. Kepada orang tuanya ia bercerita tentang mimpinya dan disuruhnya cari orang yang dilihat dalam mimpinya itu. Sang patih diperintahkan untuk itu. Tidak jauh dari luar kota ditemukannya orang yang dicarinya itu.
Sang pangeran dengan kedua anak buahnya dibawa oleh sang patih menghadap raja. Setelah asal usulnya dan sebagainya, ia dibawa ke keraton dimana ia bertemu sang Puteri. Perkawinan dilangsungkan.
Hari malam. Adegan dalam kamar. Paras mencoba menggoda seorang emban. Emban berkata bahwa Paras masih anak-anak, dijawab oleh Paras : Dimana Pakepung (pengepunga Surakarta ketika pemerintahan Inggris) aku sudah setahun.
Menak Agung
Saat ini diceritakan tentang raja Bali yang amat berkuasa dan memerintah negerinya dengan baik sekali. Pada suatu kali, ia hendak bersenang-senang dengan berburu. Untuk itu disuruhnya panggil orang-orang besarnya. Menak Agung dan Cau (Sadulumur dan Prasanta) harus mempersiapkan segala sesuatu untuk perburuan. Suatu rombongan besar bergerak menuju hutan, tempat berburu. Perburuan pun dimulai. Banyak perburuan binatang ditangkap.
Sementara sang raja berdiri dibawah payung dekat pohon Tangguli, seekor ular datang mendekatinya, sebesar pohon Tal. Karena ketakutan, orang-orang pada lari kucar-kacir. Sang raja tinggal seorang diri dan dilihatnya ular itu semakin mendekat. Tapi baru saja ular itu sampai di tempat raja, Jaja-asmara pun datang berlari-lari, dipegangnya kepala binatang itu dan diputarnya sehingga putus dalam sekejap, sekalian yang melihatnya terheran-heran. Sang raja menghadiahinya kerajaan Linjangan, dengan hak memakai gelar adipati.
Setelah banyak binatang perburuan terkumpul, diberilah tanda untuk pulang. Sang raja segera tiba di pagelaran (beranda muka)keraton, dimana dibicarakan lagi untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan yang berdekatan (syair 24-26 ada bagian-bagian yang rusak, sehingga tidak dapat dimengerti). Mula-mula direncanakan akan menaklukkan kerajaan Balambangan, setelah itu Tuban dan seterusnya. Sang raja menyetujui rencana itu. Segera orang-orang dikumpulkan untuk bersiap-siap mencari perjalanan penaklukan itu.
Jaja-asmara berangkat dengan tentara yang besar ke Balambangan. Dengan cepat mereka menyeberangi selat Bangawan (Bali) dan mengadakan pertahanan di pelabuhan.
Raja Balambangan duduk dihadap oleh para pembesarnya. Sang Patih, Nila Bangsa memberitahukan tentang kedatangan musuh. Ditulis surat pada Wirasaba dan Sandi-waringin. Dalam pada itu tentara Balambangan dikerahkan. Pertempuran dimulai.
Pertempuran dilanjutkan, raja Balambangan tewas. Keraton diduduki oleh Jaja-asmara. Yang masih hidup menyerah. Seorang keponakan raja yang tewas, diangkat menjadi raja oleh Jaja-asmara. Raja baru ini harus menghadap raja Bali, dengan membawa upeti sebagai bukti penyerahan. Raja-raja Wirasaban Sandipura dan Sandi-waringin harus melakukan demikian pula. Dikirimsurat edaran ke Bupati lain di Bang Wetan, mengatakan bahwa barangsiapa tidak menyerahkan diri akan dibinasakan.
Setelah menerima pemberitahuan itu para bupati Bang Wetan memutuskan untuk menyerahkan diri kepada Bali. Mereka membawa upeti dan menyerahkan puteri-puterinya kepada raja Bali. Jaja-asmara setelah mendapat kemenangan pulang ke Bali.
Raja Bauwarna
Saat ini diceritakan tentang Raja Bauwarna. Sudah empat puluh hari lamanya, bahkan dua bulan dia tidakmuncul-muncul. Ia berhasrat sekali hendak menaklukan Bali. Tapi tidak ada yang berani menaklukan tugas itu, karena Bali amat berkuasa. Kini sang Raja keluar dengan segala kemegahan. Para pembesar hadir semua. Disebutkan para pegawai-pegawai. Astra Miruda dan Astra Wijaya. Yang pertama memakai dodot merah pun hadir. Raja bertanya kepada patih Jaja-singa, siapa yang ingin memikul tugas menaklukan Bali. Patih menjawab “Tidak ada, sudah diminta kepada orang Urawan, tidak ada yang berani. Hanya Jaja-kusuma yang belum diminta pendapatnya tentang itu, Pun dengan Astra Mirusa dan Astra Wijaya. Sang raja menyuruh panggil tumenggung untuk berbicara sendiri dengannya.
Tumenggung datang. Kepada raja mempertanyakan keselamatan kerajaan Urawan. Tapi raja hendak menaklukan Bali ( juga disebut Nusa kembangan. Pulau kembang”. Panji berjanji kepada raja akan melaksanakan tugas itu. Astra Miruda dan Astra Wijaya pun berjanji demikian. Raja puas dan mengundurkan diri. Yang tinggal di paseban mempertanyakan soal penghormatan dan gaji tumenggung yang tidak sesuai dengan jasa-jasanya, orang lain yang belum melakukan apa-apa untuk kerajaan, lebih banyak penghasilannya. Percakapan ini tidak diteruskan. Orang pada bubar. Astra Miruda pulang naik kuda dengan bertudung payung, Astra Wijaya pun juga, bahkan meliputi kerisnya dengan punya kainnya (suatu tanda orang pesolek). Tapi Jaja-kusuma berjalan kaki saja dan tidak pula berpayung. Orang yang melihatnya mengira, bahwa ia pasti habis kena marah raja, tapi mengapa? Orang yang mengetahui lalu menceritakan keadaan yang sebenarnya: ia harus menaklukan Bali.
Sureng-rana, puteri Cemara, ia menyesali Panji (dengan banyak menggunakan wangsalan), sambil menangis. Seorang emban menghibur hatinya dan mengusulkan supaya ia menyongsong suaminya “tapi ia diusir seperti kucing dan puteri itu bertambah keras tangisnya.
Jaja-kusuma duduk di pendapanya. Dikelilingi oleh para sentana dalem. Dikatanaknnya bahwa ia mendapat perintah dari raja. Untukmenaklukan Bali. Para sentana dalem berjanji akan menolongnya.
Dalam pada itu datang emban, mengatakan bahwa istrinya sedang menangis dengan sangat. Panji berdiri dan mendatangi istrinya yang masih marah kepadanya. Dipeluknya istrinya itu, tapi ia coba melepaskan diri.
Panji menghibur hatinya. Dimintanya supaya ia tinggal di rumah, apabila ia pergi berperang, tapi istrinya menjawab bahwa ia ingin ikut serta, diapun seorang satria, katanya. Disuruhnya saudaranya mempersiapkan pakaian perangnya. Adegan kamar. Omong-omong para emban.
Patih sekonyong-konyong datang ke tempat kediaman Panji, mengetuk pintu. Terkejut Panjikeluar dari kamarnya, hanya berbaju dalam. Isterinya pun hanya berbaju tidur. Patih tidak berani memandang Pnanji. Dan membalikkan diri. Surengrana menarik kembali suaminya kedalam, dan memberinya pakaianyang pantas pertemuan.
Ketika ditanyakan, patih menjawab bahwa ia diutus oleh sang raja untuk menyerahkan pusaka kerajaan kepada Panji. Dengan jalan demikian ia menguasai kerajaan.
Selanjutnya patih berkata, bahwa raja marah kepada Astra-wijaya. Apa sebabnya ia tidak tahu. Sang patih pulang. Panji bertanya kepada para Kadejan, apakah ada yang mengetahui kenapa raja marah kepada Astra-wijaya. Salah seorang dari mereka, Jaja-sentika, mengatakan bahwa Astra-wijaya disangka memasuki keraton,hal itu sudah dilakkukannya tiga kali dan sekali sang raja sendiri melihatnya. Raja melemparkannya dengan parang tapi tidak kena. Panji tersenyum.
Surengrana berkata, aneh sekali bahwa raja memberi gajah betina kepada orang yang pergi berperang. Bukankah gajah betina itu hanya bisa dipergunakan untuk mengangkut harta rampasan? Panji memujinya atas pemandangannya yang tepat itu. Lalu disuruhnya Astra-miruda datang kepadanya.
Saat ini diceritakan tentang Astra Miruda, kepala mantra anom. Dia berlaku sebagai don juan, wanita-wanita Singasari menjadi korban kenakalannya. Ia senang sekali menyabung ayam dan permainan taruhan yang lain. Para penjudi dimintanya datang kerumahnya untuk bermain. Kekayaan dan perhiasan yang dibawa istrinya dari Patani, segera tandas. Malahan hamba sahajapria dan perempuan digadaikan kepada orang Cina. Kewajibannya diabaikan. Isterinya sedih karena perbuatannya ini, ditambah lagi karena suaminya bersuka-sukaan dengan Puteri Urawan. Ia menyesalkannya. Ia menangis dengan sedih di tempat tidurnya, bantal dan guling dilemparkannya. Seorang emban mencoba, tapi sang puteri berkata : tutp mulutmu, kalau tidak kulempar kepalamu dengan penumbuk sirih ini. Emban ketakutan oleh ancaman itu dan pergi kepada Astra-miruda yang sedangmemegang burung, emban itu menceritakan halnya. Astra-miruda mendapatkan isterinta dan menghibur hatinya. Tapi ia tetap marah kepadanya dan bertanya kemana suaminya itu pergi malam anu dan malam anu. Suaminya menjawab, “Aku pergi ke Pangeran Sinjanglaga”. Dimajukannya kagi beberapa pertanyaa, mengapa Miruda tidak pulang kerumah. Miruda terus memberikan jawaban mengelak. Sang puteri mengemukakan satu pertanyaan lagi: Mengapa kau pulang tidak berbaju hari Jumat?” suaminya menjawab: “Aku berjudi di kampung cina dan kehabisan segala”.
Sekonyong-konyong datang seorang perempuan dari keraton, diutus oleh Puteri Urawan, untuk mengembalikan pakaian Astra-miruda yang ketinggalan karena terburu-buru, bersama sepucuk surat dalam bungkusan kertas dengan kembang. Dalam surat itu sang Puteri mengatakan, bahwa Miruda tidak memegang janji.
Isterinya mengingatkan Miruda, bahwa perbuatan itu bersahaja, tapi Miruda menenangkan hati istrinya.
Serat Nagri
Ngurawan Hubungan Jawa dan Bali
Pagi hari Raja Urawan keluar ke penghadapan. Para pembesarnya hadir semua. Miruda duduk didepan sekali. Tapi Astra Wijaya duduk di pojok, wajahnya suram. Jaya Kusuma duduk disamping Miruda. Raja berkata kepada Jaya Kusuma bahwa ia juga merestuinya. Tatkala ditanyakan, Surengrana menjawab, bahwa ia ikut dengan suaminya. Kemudian Jaya Kusuma berangkat ke Bali, barang, makanan, hadiah dari sang puteri pun ikut dibawa
Sang raja berkata dengan kiasan kepada patih, bahwa ia harus membinasakan Banteng yang merusak keraton, digambarkan rombongan Jaya Kusuma, yang duduk dalam sebuah kereta disamping istrinya.
Perintah kepada Astra Wijaya untuk pergi ke Bali dibatalkan. Ia diharuskan mengiringi tumenggung hingga ke sungai Batil. Hal ini dikatakannya kepada istrinya, yang memberinya peringatan supaya jangan pergi, sebab malam sebelumnya ia bermimpi buruk. Astra Wijaya tidak menurut perkataan istrinya. Istrinya bersedih hati dan hendak menceritakan, tapi ditinggalkan Astra Wijaya berangkat.
Setelah tiba disungai Batil, para pengiring pamitan dengan tumenggung. Jaya Kusuma pun pamitan dengan Astra Wijaya. Ia memperingatkan kepada Astra Wijaya supaya patuh kepada raja. Astra Wijaya menangis sambil sujud pada kaki Jaya Kusuma. Jaya Kusuma meneruskan perjalanan.
Astra Wijaya diawasi, orang menunggu menyerang, sampai ia menyeberangi sungai. Astra Wijaya membawa 40 orang anak buah, semua berani-berani dan setia kepadanya. Serangan dari pihak kaum Urawan dimulai, menyusul pertempuran hebat, orang-orang Urawan Kalah. Yang masih hidup lari-lari ke kota untuk menyampaikan kabar kekalahan merka kepada raja. Sang raja marah. Astra Miruda diperintahkan berangkat. Setelah tiba di pertahanan Astra Wijaya, ia memulai serangan. Astra Wijaya luka pada pahanya dan melarikan diri kedalam hutan. Miruda dan anak buahnya kembali ke kota.
Raja Urawan keluar di penghadapan. Sag patih dan Miruda menghadap menyampaikan laporan, bahwa Astra Wijaya kena luka dan melarikan diri ke dalam hutan. Sag raja memerintahkan segala hak milik Astra Wijaya kepada Miruda, disamping itu pula Miruda dijadikan Tumenggung.
Isteri Astra Wijaya melarikan diri hanya dengan seorang dayang-dayang dari kediamannya. Dengan penuh kegirangan Puteri Urawan mendengar, bahwa Miruda mendapat kemenangan yang besar. Astra Wijaya dengan ditolong oleh dua orang pembantu, yang masih setia mendampinginya, meneruskan perjalanan dalam hutan dan sampai di suatu pertapaan di gunung Wilis. Pertapa di situ bernama Wasi Curiganata, mereka mencari perlindungan kepadanya. Setelah beberapa minggu lamanya. Luka Astra Wijaya sembuh.wijaya serasa-rasa mengenali dalam diri Wasi saudaranya (sebenarnya keponakannya) yang bernama Raden Wanasari. Taapi pertapa itu tetap dalam penyamarannya. Atas Nasehat, Astra Wijaya harus menggabungkan diri dengan Jaya Kusuma, yang sedang dalam perjalanan ke Bali. Wasi mengajarinya tugas seorang abdi. Pada suatu hari Astra Wijaya minta ijin untuk pergi. Bertiga mereka meninggalkan pertapaan.
ASTRA Wijaya
Astra Wijaya berjalan di suatu tempat yang bagus pemandangannya, digambarkan tanam-tanaman yang tumbuh disitu. Sambil duduk-duduk, Wijaya teringat pada Puteri Urawan dan kepada isterinya sediri. Mereka meneruskan perjalanan dan sampai di tanah yang datar.
Orang Urawan menyerang Wijaya. Tapi Wijaya dilindungi oleh tenaga-tenaga alam. Tiba-tiba mengamuk badai dan turun hujan. Guntur dan kilat sambung-menyambung. Binatang liar menerkam orang-orang dari Urawan. Semua itu adalah pertolongan dari Wasi curiga. Orang Urawan kocar-kacir. Ketika sampai di sungai Wijaya bertemu dengan isterinya. Setelah bercumbu-cumbuan mereka meneruskan perjalanan mencari Jaya Kusuma.
Saat ini diceritakan tentang raja Bali. Ia amat berkuasa, raja-raja seluruh Bang Wetan membayar upeti kepadanya dan menyerahkan anak gadisnya.
Pada suatu hari ia keluar di penghadapan, dikelilingi oleh orang-orang besarnya: Jaja-asmara, Taju dan Agung. Dilukiskan patih Taju, sifatnya yang serakah dan kekikirannya. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi kanjeng sinuhun raja. Takwil yang diberikan oleh patih Jajasemita tidak memuaskan kanjeng sinuhun.
Kepada Cau dan Agung lalu ditanyakan apa makna mimpi itu. Penjelasan yang diberikan oleh Agung akhirnya memuaskan bagi kanjeng sinuhun. Agung mendapat pujian, Cau iri hati. Untuk menyatakan perasaannya, ia mulai nembang nama burung, dipersambung-sambungkannya menjadi lagu. Saat ini Agung harus berbicara pula tentang sifat utama seorang raja. Agung melakukan yang demikian.
Gubernur pelabuhan datang menghadap tanpa dipanggil dan memberitahukan kepada raja desas-desus, bahawa sebuah tentara besar Urawan sedang dalam perjalanan menuju Bali. Panglimanya Jaja-kusuma, sudah tiba di selat Banyuwangi, tapi belum mempunyai kapal untuk menyeberang. Mungkin mereka akan merampas perahu-perahu.
Kanjeng sinuhun raja menyuruh disiapkan segala sesuatu dan mengundurkan diri ke dalam keraton. Orang pada bubar.
Dalam perjalanannya pulang ke keraton , Kanjeng Sihnuhun Raja lama berhenti di pintu gerbang untuk me;ihat-lihat perhiasannya. Keraton dilukiskan. Kemudian Kanjeng Snuhun menyuruh panggil para isterinya. Isteri-isteri raja berkumpul. Disebutkan nama-nama dan asal-usul mereka, seorang demi seorang. Setelah bberkumpul para isteri itu Tanya-bertanya, siapa yang sudah berkumpul dengan kanjeng sinuhun raja, tidak seorangpun. Para emban kemudian mempertanyakan tentang kenikmatan berkumpul.
Seorang emban yang diutus oleh Kanjeng Sinuhun raja untuk memanggil para puteri muncul dan semua harus datang menghadapraja. Kanjeng Sinuhun bermain musik gamelan dengan para isterinya.
Musik gamelan ditabuh terus. Kemudian Kanjeng sinuhun bersetubuh seorang demi seorang. Tapi kemudian mendapat juga, yaitu bersama sekaligus.
Panji Cerita Asli NUSANTARA
Cerita Panji merupakan cerita asli Indonesia yang berkembang pada masa abad ke-12 Masehi. Tidak hanya dikenal di Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sulawesi, cerita ini berkembang sampai mancanegara antara lain Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Cerita yang berawal dari cerita lisan di Jawa Timur ini telah digubah oleh masyarakat penerimanya ke dalam berbagai bentuk seni lain seperti seni rupa, seni sastra, dan seni pertunjukan.
Secara umum, cerita ini berkisah antara dua tokoh. Raden Panji (Kudawaningpati atau Inu Kertapati) merupakan putera mahkota Kerajaan Jenggala. Galuh Candrakirana (Dewi Sekartaji) yang memiliki arti “putri (yang cantik bagai) sinar bulan” ialah sekar kedhaton (putri kerajaan) Daha atau Kediri. Kedua putra-putri raja ini sudah diperkenalkan satu sama lain oleh orang tua mereka sejak kecil. Namun, dalam berbagai varian ceritanya, perjodohan itu menghadapi berbagai tantangan.
Tema cerita berpusat pada nilai kepahlawanan, keberanian, keteguhan, dan kasih sayang. Tidak hanya antarmanusia, tetapi juga kasih sayang kepada Tuhan.
Kisah ini diyakini merupakan gubahan yang mengacu pada persitiwa, tokoh sejarah, dan budaya yang terjadi di wilayah Jawa bagian Timur pada abad ke-12 Masehi. Cerita Panji memiliki autentisitas karya pujangga pada masa Kerajaan Majapahit dengan latar tempat yang benar-benar ada seperti Jenggala, Kediri, Urawan, dan Gagelang. Merefleksikan kreativitas dan kearifan lokal yang orang Jawa zaman itu menjadikan cerita Panji ditetapkan sebagai Memory of the World (MoW) oleh UNESCO pada 31 Oktober 2017 lalu.
Nilai kesejarahan ini dibalut secara fiksi sehingga cerita ini mudah dinikmati dan mampu berkembang luas di masyarakt. Cerita Panji berkembang seiring dengan tumbuhnya Majapahit di wilayah Nusantara. Tak hanya dikenal di Bali, Lombak, Sumatera, cerita ini pun dikenal sampai Semenanjung Malayu, Kamboja, Thailand dan Myanmar, bahkan diadaptasi ke dalam kearifan lokalnya masing-masing.
Cerita rakyat popular sepertu Ande-ande Lumut, Keong Emas, dan Golek Kencana juga diyakini merupakan turunan dari cerita Panji. Nilai-nilai universal yang terkandung di dalam kisah Panji dan turunannya ini menjadikannya mudah diterima oleh masyarakat dan hidup dalam beragam media seni. Keragaman inilah yang menjadi kekayaan budaya dan tetap lestari.
JEJAK CERITA PANJI
Relief-relief yang menggambarkan cerita Panji dari abad ke 14 Masehi dijumpai pada candi-candi di Jawa Timur seperti Candi Miri Gambar, Candi Surawana, dan Candi Perwara pada Candi Tegowangi. Relief ini juga ditemukan pada candi-candi di Gunung Penanggungan antara lain Candi Wayang, Candi Gajah, Candi Kendalisada, dan Candi Selokelir.
Di masa Majapahit ini, relief Cerita Panji tidak digambarkan secara lengkap, melainkan hanya beberapa adegan yang dianggap penting atau mewakili seluruh kisahnya. Penggambaran cerita Panji pada relief candi-candi di Jawa Timur dapat dikenali melalui pahatan seorang ksatria dengan penutup kekasih Panji dan beberapa sahabat pengiring (kadeyan) atau punakawan.
Tidak ditemukan naskah Panji dari masa Majapahit. Naskah-naskah yang berisi cerita-cerita seperti Panji Asmorobangun, Panji Semirang, dan sebagainya ditulis ulang jauh sesudah masa periode Majapahit. Naskah panji tertua yang masih ada saat ini adalah naskah Panji Anggraini (Angreni) dari Palembang, Sumatera Selatan.
Istilah Panji yang digunakan sebagai tokoh utama dalam cerita Panji sudah dikenal sejak periode Kediri. Istilah tersebut merupakan nama gelar atau jabatan yang masih berhubungan dengan lingkungan istana yang mengacu kepada tokoh ksatria laki-laki yaitu seorang raja, putra, mahkota, pejabat tinggi kerajaan, kepala daerah, dan pemimpin pasukan. Istilah “panji” atau ‘apanji” atau “mapanji” ini terus digunakan secara umum hingga masa Singhasari dan Majapahit.
Prasasti Banjaran 975 Saka (1053 Masehi) dari periode awal Kediri merupakan prasasti tertua yang menggunakan istilah panji. Prasasti yang masih in situ (di tempat asalnya) ini menyebutkan nama rajanya, yaitu Sri Mapanji Alanjung Ahyes.
Prasasti Hantang 1057 Saka (1135 Masehi) merupakan prasasti dari masa Kadiri yang juga menggunakan istilah panji. Prasasti yang disimpan di Museum Nasional ini menyebutkan nama raja Sri Maharaja Apanji Jayabhaya. Para pejabat kerajaannya menggunakan gelar panji seperti Mapanji Kabandha, Mapanji Mandaha, dan Mapanji Daguna.
Di masa Singhasari, pejabat tinggi kerajaanya juga memakai gelar panji seperti Rakryan Demung Mapanji Wipaksa dan Rakryan Kanuruhan Mapanji Anunda. Kitab Pararaton juga mencatat keturunan Ken Arok yang menggunakan nama panji antara lain Panji Anengah (nama lain Anusapati), Pani Saprang, dan Panji Tohjaya.
Pengembaraan
Cerita Panji
Dibandingkan kisah Mahabharata maupun Ramayana, cerita Panji boleh jadi kurang dikenal masyarakat. Namun, sejumlah bentuk kesenian yang saat ini masih eksis ternyata mengambil inspirasi dari cerita Panji.
Jejak cerita Panji itu bisa dilihat di relief candi, pementasan wayang, hingga dongeng anak-anak suku Jawa, seperti Ande-ande Lumut, Timun Mas dan Keong Mas. Di sejumlah wilayah di Yogyakarta, saat ini masih ada ritual adat untuk menyampaikan rasa syukur maupun menolak malapetaka yang alurnya mengambil inspirasi dari cerita Panji. Meski begitu, tak semua pelaku seni maupun ritual tersebut memahami benang merah yang menghubungkan aktivitas mereka dengan cerita Panji.
Tak sekadar eksis, Lydia Kieven, peneliti budaya Panji dari Jerman, bahkan melihat gejala kebangkitan budaya Panji dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. “Sepertinya sejak 2014 semakin banyak orang bicara tentang Panji,” katanya, saat berbicara dalam diskusi bersama para pelaku budaya Panji di Yogyakarta.
Lydia menyebut rencana dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) untuk mendaftarkan Cerita Panji ke UNESCO, organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan, sebagai warisan memori dunia (memory of the world) menjadi salah satu penanda kebangkitan itu. Dalam upaya memuluskan pendaftaran itu, sejumlah pihak yang selama ini punya perhatian ke budaya Panji menyiapkan berbagai kegiatan mulai dari menggelar seminar, pementasan hingga pendokumentasian. Ini terutama dilakukan oleh para pegiat dan pemerhati cerita Panji di Provinsi Jawa Timur. Di luar itu, sejumlah pemerintah daerah di Jawa Timur kini giat mengangkat budaya Panji sebagai ikon budaya dan pariwisata setempat.
Budaya Panji bisa didefinisikan sebagai beragam bentuk ekspresi seni yang menggunakan cerita Panji sebagai isinya. Dalam bukunya Memahami Budaya Panji, Henri Nurcahyo menyebut bahwa dalam pemahaman umum, cerita Panji berkisar pada kisah percintaan Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati atau Panji Kudawenengpati, putra mahkota kerajaan Jenggala, dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, puteri Raja Panjalu. Bersatunya kedua tokoh sentral dalam cerita tersebut menjadi lambang penyatuan dua kerajaan, sekaligus penyelamatan dua kerajaan itu dari ancaman kehancuran. Dalam perkembangannya kemudian, ada banyak varian cerita Panji dengan alur cerita yang mirip.
Cerita Panji dikenal sebagai cerita yang berkembang di luar istana, dan diperkirakan muncul sebelum era Kerajaan Majapahit. Tak jelas siapa penulisnya. Selain itu, belum ada kesepakatan soal kapan tepatnya kisah ini bermula. Namun, cerita ini dipandang mencapai puncak perkembangannya di era Majapahit.
Dalam buku terbitan 2015 itu, Henri menyebut bahwa cerita Panji disajikan dalam beragam bentuk pertunjukan rakyat, misalnya wayang topeng di Malang, wayang beber di Pacitan, wayang gedog di Kediri, reog di Ponorogo, dan sebagainya. Cerita Panji juga muncul di relief candi, seni rupa, sastra lisan dan sastra tulis.
Lydia mengaku pertama kali menemukan cerita Panji yang terukir sebagai relief candi di Gunung Penanggungan, Jawa Timur, pada 1996 silam. Itu menjadi titik mula pencariannya terhadap cerita Panji. Selama meneliti, ia menemukan relief yang diduga mengandung cerita Panji di sekitar 20 candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Relief candi-candi di Jawa Tengah itu menunjukkan jejak pengembaraan cerita Panji ke wilayah yang lebih luas. Faktanya hari ini, cerita Panji dikenal tidak hanya di Jawa Timur, melainkan juga di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Sumatera hingga ke negara tetangga seperti Thailand, Vietnam hingga Kamboja.
Lydia menyebut teori yang menjelaskan soal pengaruh Kerajaan Majapahit terhadap penyebaran cerita Panji ke Asia Tenggara. Namun, belakangan ia meragukan teori tersebut. Di Thailand, Myanmar, maupun Kamboja, cerita Panji menjadi populer setelah abad ke 18. Salah satu raja di Thailand juga pernah mengarang cerita berdasarkan naskah Panji dari Jawa. “Ada orang Thailand yang menulis tesis soal hubungan Thailand dan Jawa. Raja Thailand sangat menghormati Raja Jawa, makanya dia ambil cerita dari Jawa. Tapi saya tidak tahu apakah itu terjadi di era Majapahit atau setelahnya.
Cerita Panji di negara tetangga biasa disebut sebagai cerita Inau, yang diperkirakan berasal dari nama Inu Kertapati, tokoh sentral dalam Cerita Panji. Pada 2012 silam, ada festival Inau se-Asia Tenggara yang digelar di Thailand.
Setelah 20 tahun melakukan penelitian, Lydia mengaku senang sekaligus was-was melihat kebangkitan cerita Panji saat ini. Ia senang karena dengan semakin dibicarakan, cerita Panji akan makin populer sehingga makin banyak orang yang ingin tahu cerita ini. Namun, ia mengingatkan agar upaya mengangkat cerita Panji tidak melupakan nilai filosofis dan tuntutan yang terkandung di dalamnya. “Jangan sampai ini nanti hanya menjadi tontonan saja. Edukasi sangat penting.
Lydia juga mengingatkan pentingnya upaya mengembangkan cerita Panji dengan melibatkan generasi muda. Jika cerita Panji sebelumnya telah menginspirasi berbagai bentuk seni pertunjukan, maka berbagai media yang saat ini ada juga bisa digunakan. Itu bisa berupa film hingga komik.
Kalanari Theatre Movement, kelompok teater kontemporer di Yogyakarta, adalah salah satu kelompok yang mencoba menggali inspirasi dari cerita Panji. Ibed Surgana Yuga dari Kalanari menuturkan, ia dan rekan-rekannya terbiasa bergerak di wilayah seni kontemporer. Mereka ingin belajar tradisi dan memulainya dengan mempelajari cerita Panji.
Ketika pertama kali menelusuri cerita tersebut, Ibed mengaku kehilangan jejak. Ia dan teman-temannya seperti menemukan cerita yang berhamburan. Pertemuan dengan Lydia Kieven membuat mereka menemukan arah. Pada 2012 mereka mementaskan “Topeng Ruwat” di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Pentas ini menggali nilai ruwatan yang terkandung dalam kisah Panji dan kebudayaan topeng yang ada di Jawa, Indramayu dan Bali.
Lalu pada 2013 Kalanari mementaskan “Panji Ambara Pasir”. Pertunjukan teater ini berkisah tentang migrasi kebudayaan yang berangkat dari studi tentang keberadaan cerita Panji yang lahir di Jawa dan kemudian berkembang ke Asia Tenggara.
Rudy Wiratama, mahasiswa Pengkajian Seni Pertunjukkan UGM yang pernah meneliti perkembangan cerita Panji di Jawa Tengah dan DIY juga melihat gejala kebangkitan cerita Panji. Di satu sisi, menurutnya saat ini jumlah dalang yang memainkan wayang gedog menurun drastis. Ini antara lain dipicu kurang populernya cerita Panji dibanding kisah Ramayana dan Mahabharata, sehingga secara ekonomi memainkan wayang gedog tak lagi menjanjikan. Meski begitu, ia melihat ketertarikan generasi dalang muda saat ini terhadap cerita Panji tengah bangkit.
Seperti Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji yang hidup mengembara sebelum saling menemukan satu sama lain, cerita ini pun mengembara dan terus berkembang.
Cerita Panji
Raden Panji Inu Kertapati (atau Kudawaningpati atau Asmarabangun), seorang pangeran dari Kerajaan Janggala, dan Dewi Sekartaji (atau Galuh Candrakirana), seorang puteri dari Kerajaan Kadiri. Kedua bangsawan tersebut saling mencinta dan cerita-cerita sering kali berakhir dengan persatuan cinta tersebut. Karena cerita-cerita tersebut saling berdiri sendiri dengan banyak variasi atau kembangan, tidak disatukan dalam suatu cerita induk, namun selalu berkisar pada dua tokoh utama tersebut, dapat dikatakan bahwa cerita-cerita Panji merupakan suatu lingkup sastra (literary cycle).
Tema klasik cerita ini terutama terkait dengan petualangan dari dua tokoh utama tersebut, meskipun juga ada yang mengenai perjuangan hidup tokoh lain. Asal-muasal cerita Panji tidak diketahui tetapi jelas memiliki latar belakang era Kerajaan Kadiri, ketika para pujangga mulai merangkai karya sastra dengan cerita yang tidak lagi India-sentris, melainkan bernafaskan kehidupan lokal Jawa. Cerita-cerita Panji mencapai kepopuleran pada era Majapahit, dan mendapat posisi didaktik yang tinggi, sehingga sejumlah candi peninggalan kerajaan ini berhiaskan relief yang mengabadikan tidak hanya epik cerita dari India, seperti Ramayana dan Mahabharata, namun juga kisah-kisah dari lingkup cerita Panji maupun yang sezaman.
Pada masa Majapahit akhir dan setelahnya, cerita-cerita Panji mulai dijadikan karya sastra dalam bentuk puisi maupun prosa berbagai keraton dan dituturkan secara lisan di kalangan umum, sehingga beberapa di antaranya menjadi cerita rakyat populer, seperti cerita Keong Emas, Ande Ande Lumut, Cinde Laras, Enthit, dan Golek Kencana. Berbagai cerita ini lalu menyebar sampai sejumlah kerajaan di Nusantara (Indonesia dan Malaysia), bahkan kemudian sampai ke Siam (Thailand), Khmer (Kamboja), Birma (Myanmar), dan mungkin pula Filipina. Di kawasan Indocina, cerita Panji diadaptasi sesuai dengan situasi setempat. Tokoh Raden Inu Kertapati diadaptasi dalam karya sastra dan drama tari dengan nama yang bervariasi, seperti Inao/à¸ิเหนา (Siam), Inav/Eynao (Khmer), atau E-naung (Birma), sementara Dewi Sekartaji dikenal sebagai Bussaba/Bessaba. Di Sulawesi, ada cerita panji yang ditulis dalam bahasa Makassar, yang disebut Hikayat Cekele (Bahasa Melayu: Cekel).
Sejak tahun 2017, berbagai naskah (manuskrip) cerita Panji telah dimasukkan oleh UNESCO ke dalam Warisan Ingatan Dunia, setelah setahun sebelumnya diajukan oleh berbagai perpustakaan dari Kamboja, Indonesia, Belanda, Malaysia, dan Britania Raya.
Tokoh dalam Cerita
Panji
Penamaan "cerita Panji" didasarkan pada beberapa tokohnya, termasuk tokoh utamanya, yang memakai gelar "Panji". Ini adalah gelar kebangsawanan di Jawa yang sudah dikenal sejak masa Kediri. Istilah tersebut merupakan nama gelar atau jabatan yang masih berhubungan dengan lingkungan istana yang mengacu kepada tokoh ksatria laki-laki yaitu seorang raja, putra, mahkota, pejabat tinggi kerajaan, kepala daerah, dan pemimpin pasukan. Istilah “panji” atau ‘apanji” atau “mapanji” ini terus digunakan secara umum hingga masa Singhasari dan Majapahit. Gelar Raden Panji masih digunakan sampai sekarang di kalangan bangsawan Jawa Timur.
Tokoh-tokoh utama
atau dasar
Raden Panji Inu (atau Ino atau Hino) Kertapati / Panji Asmarabangun / Kuda (atau Cekel) Wanengpati / Ande-ande Lumut / Enthit
Dewi Sekartaji / Galuh Candrakirana
Panji Semirang / Kuda Narawangsa (Dewi Sekartaji dalam penyamaran sebagai lelaki)
Ragil Kuning / Dewi Onengan
Dewi Kili Suci
Prabu Gunung Sari
Klana Sewandana / Klana Tunjung Seta
Tokoh-tokoh pendukung
Panji Sinom Pradapa
Panji Brajanata
Panji Kartala
Panji Handaga
Panji Kalang
Klana Jayapuspita
Lembu Amiluhur
Lembu Amijaya
Wirun
Resi Gatayu
Bremanakanda
Srengginimpuna
Jayalengkara
Panji Kuda Laleyan
Sri Makurung
Kebo Kenanga
Jaka Sumilir
Jatipitutur
Pituturjati
Ujungkelang
Tumenggung Pakencanan
Kudanawarsa
Jaksa Negara
Jaya Kacemba
Jaya Badra
Jaya Singa
Danureja
Sindureja
Klana Maesa Jlamprang
Klana Setubanda
Sarag
Sinjanglaga
Retna Cindaga
Surya Wisesa
Tokoh-tokoh
kembangan
Sri Tanjung
Timun Mas
Lakon Panji
Cerita-cerita dalam Lingkup Panji banyak digunakan dalam berbagai pertunjukan tradisional. Di Jawa, Cerita Panji digunakan dalam pertunjukan Wayang Gedog, wayang orang, dan kethoprak. Di Bali, yang dikenal di sana sebagai "Malat", pertunjukan Arja juga memakai lakon ini. Kisah ini juga menjadi bagian tradisi dari Suku Banjar di Kalimantan Selatan meskipun kini mulai kurang dikenal oleh masyarakat. Di Thailand terdapat seni pertunjukan klasik yang disebut "Inao" (Bahasa Thai:à¸ิเหนา) yang berasal dari nama "Inu"/"Ino". Begitu pula Kamboja yang mengenal lakon ini sebagai "Eynao".
Cerita Panji pada
relief candi
Lukisan Bali menggambarkan Pangeran Panji bertemu tiga orang perempuan di hutan.
Relief cerita Panji dapat ditemukan pada beberapa candi di Jawa Timur yang dibangun dalam masa Majapahit. Arkeolog Agus Aris Munandar bahkan mengatakan bahwa cerita Panji merupakan "Kisah Nasional Majapahit" karena seringnya digambarkan pada relief dinding candi di masanya. Candi Penataran di Kabupaten Blitar, candi Mirigambar di Kabupaten Tulungagung, dan candi Surawana di Kabupaten Kediri memiliki relief yang menceritakan tokoh Panji. Ciri khas tokoh Panji dalam penggambaran relief adalah figur pria yang digambarkan memakai tekes penutup kepala serupa blangkon Jawa gaya Sala/Surakarta. Badan bagian atas tokoh tersebut digambarkan tidak mengenakan pakaian, sedangkan bagian bawahnya digambarkan memakai kain yang dilipat-lipat hingga menutupi paha. Beberapa relief atau arca menggambarkan Panji membawa keris yang diselipkan di bagian belakang pinggang, atau ada juga yang digambarkan membawa senjata seperti tanduk kerbau (sebagaimana yang dipahatkan pada Candi Gajah Mungkur di lereng Gunung Penanggungan (Kepurbakalaan (Kep.) XXII) (Bernet Kempers 1959:325-6).
Meskipun demikian, tidak semua tokoh bertekes menggambarkan Panji, karena tokoh Sidapaksa (suami Sri Tanjung dalam cerita Sri Tanjung) yang dipahatkan di Candi Surawana dan Jabung, atau tokoh Sang Satyawan yang dipahatkan pada pendopo teras II kompleks Panataran, serta dua figur pria dalam relief cerita Kuñjarakarna di Candi Jago, juga digambarkan mengenakan tekes.
Lalu bagaimana penggambaran relief tokoh Panji yang dikenal dalam cerita Panji? W.F.Stutterheim (1935) secara gemilang telah berhasil menjelaskan satu panel relief dari daerah Gambyok, Kediri yang nyata-nyata menggambarkan tokoh Panji beserta para pengiringnya. Pendapat Stutterheim tersebut didukung oleh para sarjana lainnya, seperti Poerbatjaraka (1968) dan Satyawati Suleiman (1978).
Penggambaran relief Panji Gambyok tersebut menurut Poerbatjaraka sesuai dengan salah satu episode kisah Panji Semirang, yaitu saat Panji bertemu dengan kekasihnya yang pertama, Martalangu, di dalam hutan (1968:408). Pada panil digambarkan adanya tokoh pria bertopi tekes yang sedang duduk di bagian depan kereta, tokoh itu tidak lain ialah Panji. Sementara tokoh yang duduk di hadapannya di atas tanah ialah Prasanta. Tokoh paling depan di antara empat orang yang berdiri ialah Pangeran Anom, di belakangnya ialah Brajanata, saudara Panji berlainan ibu. la digambarkan tinggi besar dengan rambutnya yang keriting tetapi dibentuk seperti telces. Dua tokoh berikutnya adalah para kudeyan yaitu Punta dan Kertala. Dalam relief digambarkan bahwa keretanya belum dilengkapi kuda, karena sesuai dengan cerita bahwa mereka baru merencanakan akan membawa Martalangu ke kota malam itu. Sementara sikap kedinginan yang ditunjukkan oleh para tokoh adalah sesuai juga dengan cerita, yaitu mereka berada di luar saat malam yang dingin (Poerbatjaraka 1968:408).
Naskah-naskah
Panji
Hingga sekarang tidak ditemukan naskah-naskah Panji berangka tahun dari periode Majapahit, meskipun berbagai relief candi yang didirikan pada masa kerajaan itu mengabadikan cerita-cerita tersebut. Penulisan cerita Panji baru dilakukan jauh setelahnya. Naskah Panji tertua yang tersimpan di Indonesia adalah naskah asal Palembang berjudul Panji Angreni. Naskah ini berangka tahun 1795 TM ini dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional RI.
Perpustakaan Universitas Leiden menyimpan 260 naskah cerita Panji dalam delapan bahasa. The British Library mengoleksi berbagai naskah Panji dalam sejumlah bahasa: terdapat delapan naskah berbahasa Jawa (mulai dari yang bertanggal 1785 M) serta sepuluh naskah berbahasa Melayu yang kebanyakan diperoleh dari daerah Semenanjung yang memiliki tradisi wayang kulit (Kelantan dan Kedah), dengan naskah berangka tahun tertua 1787 M.
Penyebaran Cerita
Panji
Sebagai suatu karya sastra yang berkembang dalam masa Jawa Timur klasik, kisah Panji telah cukup mendapat perhatian para ahli. Ada yang telah membicarakannya dari segi kesusastraannya (Cohen Stuart 1853), dari segi kisah yang mandiri (Roorda 1869), atau diperbandingkan dengan berbagai macam cerita Panji yang telah dikenal (Poerbatjaraka 1968), serta dari berbagai segi yang lainnya lagi'.
Menurut C.C.Berg (1928) masa penyebaran cerita Panji di Nusantara berkisar antara tahun 1277 M (Pamalayu) hingga ± 1400 M. Ditambahkannya bahwa tentunya telah ada cerita Panji dalam bahasa Jawa Kuno dalam masa sebelumnya, kemudian cerita tersebut disalin dalam bahasa Jawa Tengahan dan Bahasa Melayu. Berg (1930) selanjutnya berpendapat bahwa cerita Panji mungkin telah populer di kalangan istana raja-raja Jawa Timur, tetapi terdesak oleh derasnya pengaruh Hinduisme yang datang kemudian. Dalam masa selanjutnya cerita tersebut dapat berkembang dengan bebas dalam lingkungan istana-istana Bali'.
R.M.Ng. Poerbatjaraka membantah pendapat Berg tersebut, berdasarkan alasan bahwa cerita Panji merupakan suatu bentuk revolusi kesusastraan terhadap tradisi lama (India). Berdasarkan relief tokoh Panji dan para pengiringnya yang diketemukan di daerah Gambyok, Kediri, Poerbatjaraka juga menyetujui pendapat W.F. Stutterheim yang menyatakan bahwa relief tersebut dibuat sekitar tahun 1400 M. Akhirnya Poerbatjaraka menyimpulkan bahwa mula timbulnya cerita Panji terjadi dalam zaman keemasan Majapahit (atau dalam masa akhir kejayaan kerajaan tersebut) dan ditulis dalam Bahasa Jawa Tengahan (1968:408–9). Penyebarannya ke luar Jawa terjadi dalam masa yang lebih kemudian lagi dengan cara penuturan lisan.
Hubungan dengan
Sejarah
Cerita di dalam lakon panji berhubungan dengan tokoh-tokoh nyata dalam sejarah Jawa (terutama Jawa Timur). Tokoh Panji Asmarabangun dihubungkan dengan Sri Kamesywara, raja yang memerintah Kediri sekitar tahun 1180 hingga 1190-an. Permaisuri raja ini memiliki nama Sri Kirana adalah puteri dari Jenggala, dan dihubungkan dengan tokoh Candra Kirana. Selain itu ada pula tokoh seperti Dewi Kilisuci yang konon adalah orang yang sama dengan Sanggramawijaya Tunggadewi, puteri mahkota Airlangga yang menolak untuk naik tahta.
Sumber Referensi : Wikipedia