KISAH SULUK WUJIL
(Mendalami Ajaran Ilmu Suluk Wujil)
Suluk Wujil merupakan karya Sunan Bonang. Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wujil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Dimulai dari kisah seorang Wujil asal Majapahit berguru kepada Sunan Bonang dan tinggal di padepokan desa Bonang, Lasem. Ingin tahu hakikat dan seluk beluk ajaran agama sampai rahasia terdalam. Sepuluh tahun nyantri kepada Sunan Bonang, Wujil merasa yang dia pelajari tidak beranjak dari tatanan lahir tetap saja tentang bentuk luarnya kemudian mengeluh kepada gurunya. Jawaban sang Guru mengungkapkan ketulusan untuk mendidik. Andai uang yang diharapkan tak perlu menjalankan tirakat. Sejumlah tokoh menafsirkan kalimat tersebut bahwa mengajarkan Islam tidak cukup memberikan pengetahuan lahiriah seperti menguasai bahasa dan sastra Arab, Ilmu tafsir dll tetapi dibutuhkan laku spiritual. Bagaimanapun sang Guru dengan kasih sayang membelai rambut kucir Wujil memberikan wejangan untuk membesarkan hati muridnya yang nyaris putus asa. Jika kau harus masuk neraka karena kata-kataku (ajaran) maka aku yg akan menggantikan tempatmu.
Tersebutlah seseorang yang bernama Wujil. berujarlah dia kepada Sang Panembahan Agung, Ratu Wahdat namanya, bersujud pada debu kaki Sang Mahamuni, yang berasrama di Bonang seraya mohon ampun karena ingin diberi keterangan tentang seluk-beluk agama yang terpilih sampai ke rahasia yang sedalam-dalamnya.
Sepuluh tahun Wujil berguru kepada Sang Panembahan Agung, belum mendapatkan ajaran yang penting. adapun asalnya, Wujil berasal dari Maospait sebagai abdi kesayangan raja di Majalangu. tamatlah dipelajari seluruh tata bahasa. kemudian wujil berujar kepada Sang Panembahan Agung yang sangat dihormati dengan mohon ampun.
Sang Wujil sungguh memohon belas kasih dihadapan kaki Sang Jati Wenang menyerahkan hidup-mati. telah makin dikuasai akan semua pelajaran. “sastra arab yang tuan ajarkan, akhirnya pergi sekemauan hati, senantiasa mengikuti kemauan hati. setiap hari bermain topeng, sampai bosan hamba bertingkah laku sebagai badut, dijadikan tumpuan ejekan.”
“ya, Paduka Sang Panembahan Agung, keterangan tentang ajaran rahasia mengenai huruf tunggal menurut paham pangiwa dan panengen karena masih ada dalam tatanan gending, masih dalam tatanan syair. mengingat kedua hal tersebut, tidak membawa hasil senantiasa mengembara meninggalkan cinta dari majapahit, tidak mendapatkan usada.
Oleh karena itu, hamba pergi pada suatu malam untuk mencari rahasia tentang kesatuan, kesempurnaan dalam semua tingkah laku. hamba datangi setiap orang suci, mencari inti sari kehidupan, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir dari utara selatan, terbenamnya matahari dan bulan, tertutupnya mata dan keadaan akhir kematian, titik akhir dari ada dan tiada.
Sang Ratu Wahdat tersenyum. “hai anakmas Wujil, betapa kamu gegabah, berujar yang bukan-bukan, terlalu berani hatimu ingin menagih oleh karena besarnya jasamu yang telah diberikan. tidak layak aku disebut orang suci di dunia, jika menjual ajaran membeli ajaran kitab lebih baik aku jangan di panggil Ahli Wahdat.
Siapa saja menjajakan ajaran, bersikap sombong, seolah-olah segala sesuatu, orang tersebut dapat diibaratkan seperti burung bangau yang sedang bertapa di atas air, diam tidak bergerak, pandangannya tajam, berpura-pura alim melihat mangsanya, seperti telur yang tampak putih di luarnya, di dalam bercampur merah.”
Matahari terbenam, hari berganti malam. sang wujil mengumpulkan kayu untuk api unggun di bawah pertapaan sang wiku, di ujung di tepi laut, yang disebut dukuh bonang serta keadaannya sunyi senyap, gersang tiada tumbuhan, buah-buahan yang dapat dimakan, makanannya hanya berupa riak gelombang laut yang menerjang batu-batu karang yang berbentuk gua yang menyeramkan.
Sang Ratu Wahdat berujar pelan:”hai anakmas Wujil, kemarilah segera”. kemudian dipeganglah kucirnya, seraya di usap-usap, diberi anugerah ajaran rahasia,”Wujil dengarlah kata-kata rahasiaku ini. kalaupun karena kata-kataku ini kamu masuk di neraka, saya sendiri yang akan masuk kedalamnya, bukanlah kamu.”
Segera Wujil menyembah. berujarlah ia kepada Sang guru Yang Sangat Mulia (dengan) sangat berterima kasih. “jangan Paduka, lebih baik hamba sang Wujil yang masuk di neraka, biarlah sang Wujil sendiri.”karena semua sudah saling mengetahui maksudnya, guru dan siswa tidak pernah berselisih paham, keduanya selalu kompak.
“Peringatanku padamu, hai anakmas Wujil, berhati-hatilah dalam hidup di dunia, jangan lengah, sembrono dalam tindakan. hendaknya diketahui benar-benar bahwa kamu bukanlah Kesejatian, Kesejatian tersebut bukanlah kamu. siapa saja mengenal diri, semata-mata Yang Widhi. demikianlah jalan yang sebaik-baiknya.
Perihal keunggulan manusia hendaknya diketahui kesejatian salat, bukan ngisa atau magrib, itu hanya dapat disebut sembahyang. kalaupun disebut salat itu karena kembangnya salat daim dan merupakan sopan santun.
Manakah yang disebut dengan sembahyang yang sebenarnya? sebaiknya jangan menyembah jika tidak diketahui siapa (siapa yang disembah). akibatnya akan direndahkan martabatmu. jika kamu tidak tahu akan yang disembah di dunia ini, (maka kamu) seperti menulup burung, pelurunya disebarkan burungnya tidak akan kena, akhirnya menyembah adam sarpin sembahnya gagal total.”
“Dan manakah yang disebut pujian? meskipun orang-orang memuja malam dan siang, jika tidak disertai petunjuk, tidak akan sempurna tindakan tersebut. jika kamu ingin tahu tentang pujaan, sebaiknya kamu tahu akan keluar, yang menunjukan adanya Yang. masuk keluarnya nafas. sebaiknya kau ketahui juga perihal anasir halus yang empat jumlahnya.
Empat anasir tersebut adalah tanah, api, angin, dan air. dahulu kala ketika Adam diciptakan, (adapun) sifatnya ada empat: kahar,jalal, jamal dan kamil yang mengandung sifat-sifat yang jumlahnya ada delapan. sifatnya dalam badan keluar masuk. jika keluar kemana arahnya, jika masuk kemana arahnya.
Tua muda adalah sifat unsur bumi. sifat tersebut hendaknya diketahui. jika tua dimanakah mudanya, jika muda dimanakah tuanya. adapun unsur api itu bersifat kuat dan lemah. jika kuat dimanakah lemahnya jika lemah dimanakah kuatnya, itu harus diketahui. adalagi unsur angin, sifatnya ada dan tiada. jika tiada dimana adanya jika ada dimana tiadanya. adapun unsur air bersifat mati-hidup. jika hidup dimana matinya jika mati kemana arah hidupnya. akan tersesat bila kamu tidak mengetahuinya.”
“Hendaknya diketahui pedoman hidup adalah mengetahui akan dirinya sendiri dan tidak putus-putus memuji. dimana letaknya yang berdoa dan yang dituju dengan doa, jangan sampai kamu tidak mengetahuinya. adapun karenanya orang yang agung mencari pribadinya sendiri ialah (untuk) mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia.
Hendaknya diketahui hidup yang sejati. tubuh ini seluruhnya bagai sangkar, baiklah diketahui burungnya. akan sengsara jika kamu tidak mengetahuinya, hai Wujil, semua tindakanmu tidak mungkin akan berhasil, jika kamu ingin mengetahuinya, perbaikilah dirimu tinggalah disuatu tempat yang sepi, jangan terpengaruh gebyar dunia.
Jangan jauh-jauh kamu mencari pujangga. pujangga tersebut telah ada dalam dirimu, bahkan seluruh dunia telah ada disini. sebagai penerangannya kresna jati dalam dirimu ini. siang malam perhatikan penglihatanmu, apapun kesunyataannya yang tampak ditubuh semuanya ini adalah dari sifat tingkah laku.”
“akan rusak sebenarnya dirimu karena terjadi oleh kemauanmu, maka yang tidak rusak kini harus kau ketahui. kesempurnaan pengetahuan akan tidak rusak, adanya itu merupakan petunjuk adanya. siapa yang tahu hal itu,(maka adanya itu)menjadi pujiannya, karena jarang yang mengetahui ajaran ini, mendapat anugerah yang besar.
Sebaiknya, kini kamu Wujil, kenalilah dirimu sendiri. benar-benar seperti terlentang badanmu itu. Wujil, jika kamu matikan yang mengenal diri, tindakannya tak bosan mengurung. yang mengurung tubuhnya, yang diperhatikan hanyalah kekurangannya, yang diingat terus menerus.
Wujil, yang mengenal diri sendiri, dia mengenal tuhan. tidak bicara jika tiada rahasia yang diajarkannya, ada lagi yang mendapatkan kesunyatan, benar-benar mencari diri sendiri, kata-katanya tak pernah menyimpang dari kesucian, tak pernah keliru dari tempatnya, demikianlah yang disebut jalan kesucian (lampah).”
“Keadaan Tuhan jelas berbeda (dengan keadaan manusia), jernihkanlah Tuhan itu. ada orang yang mengaku tahu, tetapi perilakunya tidak sesuai, ajaran pengendalian nafsu tidak dipatuhi, mengenyampingkan kehidupan yang saleh, orang yang benar-benar mengetahui, kuat mengendalikan hawa nafsu, siang malam memelihara pengelihatannya, tidak pernah tidur.
Demikianlah dasarnya, hai anak mas Wujil supaya dapat mematikan hawa nafsu. jangan hanya mendengar saja, berbenar-benarlah dalam jalan kesucian, kemauan dan keyakinan, jika keduanya telah masuk dan keluarnya tiada kesulitan seperti halnya memotong seruas bambu pikulan, lain halnya dengan orang yang belum mengerti.
Pengelihatannya terbatas karenanya (dia) tidak tampak karena terlalu tidak berbentuk rupanya, tetapi dia tetap ada. menurut ajaran orang orang yang unggul (dia) tidak memiliki tempat tertentu. bila orang berhenti melihat, malah memiliki pengelihatan sejati yang sempurna. melihat penampilan umum yang nampak sebenarnya, melihat wujud yang sejati.”
“Karena tiada bedanya, hai Wujil, karena tertutup oleh gerakan-gerakan. bedanya bukan berasal dari sumbernya. hai Wujil, jangan kau lupakan bahwa sesudah dibicarakan hal itu, Wujil tidak akan ada habisnya. siang malam dibicarakan orang banyak, kitabnya dapat diumpamakan perkutut yang unggul, yang sering digunakan sebagai pemikat.
Sekalipun dibicarakan siang dan malam, jika tidak disertai ajaran yang unggul, tetap tiada manfaatnya. lebih baik orang diam saja. kalaupun orang hendak membicarakannya, apa yang akan dikatakannya, segala gerak hatinya sebenarnya tampak pada matanya. pancaran matanya (menunjukan bahwa ia telah) menerima inti pengetahuan. sebaiknya tahu akan diam dan bicara.
Sebaiknyalah kamu tahu tentang hakikat diam dan bicara. jika kamu tidak tahu itu, itu tiada gunanya. diamnya tiada isinya. jika berbicara jangan dengan suara keras. burung di pohon kanigara berteriak, demikianlah perumpamaannya, tiada artinya. jika menyangkut perkataan rahasia, hai Wujil jangan berbuat seperti orang yang dapat berbicara. demikian kata orang yang telah sempurna.”
“Apa gunanya rupa yang berjaga dimalam hari, orang yang sudah buta matanya, keduanya tiada manfaatnya. jika tidak dituntun untuk melihat kebenaran yang sebenarnya, bagaimana bisa tahu diri sendiri. aku pernah mendengar bahwa asal kesempurnaan itu karena berbicara, tidak boleh tinggal diam.
Bukan karena diam, bukan karena berbicara, Wujil. hai Wujil, bertanyalah kamu kepada orang yang bertapa. sembah dan pujian sebaiknya kamu ketahui. sembah itu bermacam-macam. kata orang yang unggul orang yang memuji sekejap saja itu banyak pengaruh baik, sama dengan orang yang melakukan sembahyang seratus tahun, jika tahu tujuannya.
Siapa saja sudah tahu sarana, pujiannya terus menerus, tidak mengenal waktu. orang yang unggul lain mengatakan bahwa(pujian seperti itu) sama dengan (sembahyang) selama enam puluh tahun. sudah bebas sempurna raganya, tidak terikat oleh waktu, tingkah lakunya di dalam masjid menjadi contoh, bukan seperti burung bangau.”
“Tidak boleh tidak dipercaya, Wujil, sabda pemimpin cahaya dunia ini. Wujil bertanyalah kini. ada orang memuji dimalam dan disiang hari, amat besar pengaruh baik, asal dilakukan menurut aturan. hal itu sama dengan (sembahyang) dua belas tahun. sebaiknya kamu Wujil melakukan tapa jangan sampai gagal.
Ada lagi orang yang sungkem darma bakti sekejap saja sangat besar pengaruh baik asal tahu petunjuknya. (itu) sama dengan (sembahyang) dua belas tahun. disebut tafakur. jika sedang (dalam keadaan) diam kemana arahnya, tanyaklanlah hal itu. siapa yang akan menerangkan naik turunnya diam dan bicara, itu harus diketahui.
Hai Wujil orang yang diam itu lebih baik. demikianlah sembahyang tanpa terputus tanpa terikat waktu. sempurnalah orang itu, tubuhnya tiada yang tertinggal, bahkan termasuk kotoran dan air kencingnya. inilah perjalanan yang sebenarnya. bergurulah secara jelas, pada yang benar-benar mengetahui (tentang) kebenaran. demikianlah pesan utusan Sang Utusan Yang Unggul.”
“Sebaiknya jangan menyembah wahai kamu Wujil, jika tidak kelihatan nyata. sembah dan pujian tiada gunanya. bila yang disembah itu jelas ada dihadapanmu, (maka kamu) adanya sebagai Tuhan, adamu sendiri tiada. demikianlah yang dinamakan diam pada orang yang memuji, menjadi nyata kemauan purba.
Seterusnya bertanyalah kamu lagi karena jarang orang yang mengerti keadaan yang sebenarnya, yaitu perihal tingkah laku itu, jika tidak dikerjakan, bagaimana akan dapat diselesaikan?yang tidak lupa mengerjakan, itu sudah menunjukan bahwa (dia) mendapat anugerah dari Tuhan. , itu menunjukan dosanya, akan terkena kemalangan dan penderitaan.
Seterusnya, wujil, bertanyalah tentang hakikat niat. jangan hanya terbatas pada gagasan. yang menggagas dan menyebut, bukan hal itu yang disebut niat yang sejati. tidak mudah yang disebut dengan salat, sembah dan pujian itu. jika tidak tahu akan siapa yang menerima tugas, yang mendapat denda dengan hal-hal yang bersifat kasar, yang mendapat denda, hukuman mati,dan hukuman cambuk, maka orang ramai mempertengkarkan giliran.”
“Kebaktian yang unggul tidak mengenal waktu. semua tingkah lakunya demikianlah sembahyangnya. diam dan bicara serta segala gerak tubuhnya, tak urung jadi sembah, sampai pada wudunya pun kotoran dan air kencingnya jadi sembah. demikianlah yang dikatakan niat yang sejati, pujian yang tak putus putusnya.
Hai wujil, niat itu lebih penting dari tingkah laku yang banyak. bukan bahasa maupun suara! niat untuk melakukan tindakan itu, yang terungkap pikirannya. sebenarnya niat itu bukan niatnya, (melainkan) niat untuk melakukan tindakan itu, yang terungkap. niat melakukan sembahyang yang tiada bedanya dengan niat merampas.
Hai wujil karenanya orang menjadi sirik kafir karena dikafirkan oleh aturan, (karena ia) mengandalkan segala kepandaiannya. (yang digunakan untuk) saling meyakinkan, terlalu berpegang teguh pada bunyi kata-katanya. sesudah melakukan sembahyang maghrib, ramai saling bertengkar mulut, akhirnya berganti memukul dengan (menggunakan) bajunya sehingga ikat kepalanya terlepas.”
“Pukul memukul di dalam masjid, akhirnya saling marah bersembahyang sendiri sendiri. demikianlah hasil kesesatan karena memegang teguh bunyi tulisan, tidak mengetahui niat yang sebenarnya. demikianlah akibat dari orang yang bingung, laki laki dan perempuan saling berusaha mencari niat yang sebenarnya, tetapi tidak tahu jalannya.
Sebaiknyalah mengendalikan hawa nafsumu, hai wujil. jika sudah kau ikat, jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kemauan, menuruti kemauan pribadi. itu jalan yang sesat, yang diandalkan pendapat sendiri. yang mengagungkan permainan rebananya, tidak urung jika rebananya dibuang ke atas akan saling melempar.”
Hari mulai siang, matahari telah terbit di ufuk timur, kemudian Sang Ratu Wahdat berujar kepada Wujil untuk diutus.” hai Wujil, kamu kuutus, kemarilah kamu cepat. pergilah ke pondok putri. si Satpada itu, segeralah ia kau suruh kemari.” kemudian sang Wujil berangkat, tibalah di pondok putri.
Berujarlah sang Wujil, wahai Gendhuk, aku diutus mengundang kamu, sang panembahan agung yang mengutus.”
Ken Satpada berujar, “hai Wujil apakah maksudnya? pagi pagi benar dipanggil, cemas hatiku.”
“Tidak tahu maksud tugas ini.” berangkatlah satpada segera, telah diharap harapkan oleh sang panembahan agung.
Satpada berangkat sambil bertanya, “hai Wujil, jangan salah paham. Ki Wujil saya bertanya, apa karenanya kamu mendapat nama Ki Wujil?” Wujil berujar di dalam hati “dia ini orang yang cerdik, pertanyaannya sederhana, di balik kesederhanaan itu menyelipkan sesuatu di belakang.”
“Baiklah saya (akan mengatakan) jika (kamu) tidak tahu. karenanya saya disebut Wujil, karena antara nama dan rupa tiada perbedaannya. saya tidak harus mengulang jalan, enam perkara rasa jati sudah hamba jelajahi, Tuan Putri.”
Si Satpada agak kebingungan, “hai Wujil, anda bukanlah ‘wujil’ seperti orang sekarang ini, melainkan berasal dari wilwatikta.”
Segera Wujil dan Satpada tiba, duduk dihadapan sang Guru, (kemudian) menyembah. Yang Mulia bertanya, “apa kabarmu wahai Satpada. ketika kamu datang kemarin dari Jawana?” satpada berujar, “adapun adik paduka, tuanku, Syekh Malaya, bermain topeng di pati, lamanya 7 tujuh hari.”
Sang Ratu Wahdat berujar, “hai Wujil, segeralah kamu mencari tembang teratai segera.”
Tidak dikisahkan, segeralah ia datang. kembang teratai kemudian ditulisi semua daun kembangnya. di dalamnya diisi dengan ‘kembang rambuyut’ yang dibentuk menjadi sumping ‘surengpati’. “berikanlah kembang teratai ini, Wujil kepada adikku Syekh Malaya.” ini adalah sumping untuk orang bermain wayang, orang yang menari topeng pantas memakainya.” Sang Wujil segera berangkat, mohon diri sambil menyembah, berangkatlah ia ke Pati. tidak dikisahkan di jalan. tibalah ia ditempat yang dituju. bertanyalah ia kepada orang2 di desa, kalau kalau mengetahui pemain gambuh yang sangat terkenal, bernama Syekh Malaya.
Yang ditanya segera menjawab, “benar ada seorang yang bernama Syekh Malaya, kini sedang bermaibn topeng di desa Wasana Kidul, banyak orang yang menonton.” Wujil melanjutkan perjalanan, tidak lama sampailah. Syekh Malaya sudah selesai bermain topeng, Wujil pun berdatang sembah memberikan surat.
Kembang teratai segera diterima, segera dibuka, di dalamnya berisi rakitan ‘surengpati’. Syekh Malaya berujar, “kermarilah kamu hai anakmas Wujil. sangatlah indahnya kembang rambuyut yang dibentukmenjadi sumping ‘surengpati’, dirangkai dengan biji saga dihias dengan kembang melati. sangat sayang Sang panembahan Agung.”
Apakah maknanya ‘Surengpati’, hamba tidak tahu, Gusti”. Syekh Malaya berujar, “Hai Wujil rupanya Sang Panembahan Agung di Murya memiliki maksud begini, segala tindakan mencapai istirahat pada ujung kematian, titik akhir penyerahan.”
Teratai itupun berkali kali dipandangi, dibaca, dicampakan dalam hati tulisan itu beserta segala isi hatinya, dirinya terharu, hancur oleh isi tulisan. banyak kiasannya, maknanya indah dan halus. berulang ulang dibacanya. keindahan tulisan, bunyinya berupa bait kakawin, sebagai nyanyian pada akhir surat.
“Ketika Dimas pergi dari rumah sendiri, beribadat(?), bertapa. aku berbenar benar terhadap kata-kataku ingatanku, pikiranku, wahai dimas. kalau Kakanda tersembunyi, mungkin akan pingsanlah pohon kelapa? sebaliknya kesejahteraanlah yang diingatnya, (untuk) yang sungkem darma bakti berpindah pindah. seperti rumput, tumbuh tumbuhan melata, dan pohonlah sedang aku musim kering yang sangat luar biasa mengharapkan hujan.
Seperti kembang yang penuh sari wahai sahabatku, wahai sahabatku, aku ibarat seekor kumbang yang tidak dapat memeroleh bau wanginya. ada kembang yang penuh dengan sari, kumbang, merintih, ingin mendapatkan tepung sarinya.”
Sesudah selesai membaca, teratai dengan tertegun kembang tersebut diletakkannya, diam termenung dalam hatinya bertanya Wujil bertanya, “apakah karenanya diam tidak berbicara? hamba ingin mengetahui kata-kata yang dirangkai dalam surat tersebut.”
“Isi perkataan dari sesembahan(mu) kepergianku ke Mekkah.”
Seterusnya Wujil segera dibawa pulang. pulanglah mereka ke Dhukuh Pagambiran, janda-janda mengikuti semua, Wujil berjalan di belakang. tidak dikisahkan hal ikhwal di jalan, kemudian sampailah di pondok, sudah mulai menyiapkan makanan, Wujil disuruh makan bersama orang banyak. sesudah makan sisanya dibawa kedalam rumah. kemudian mereka bersama-sama mengunyah sirih.
Ketika matahari terbenam, Syekh Malaya berujar, “ Wujil, besok jika kamu pulang, sampaikan segala yang kukatakan nanti. sebaiknya jangan diperhatikan bentuk perkataan, segala perkataanku ini sebaiknyalah disampaikan. sebaiknyalah terlihat sebagai perkataanmu. jangan sampai terlihat sebagai perkataanku, hai wujil sekuatmu.
Karenanya, Wujil mengapa aku kembali ketika pergi ke Mekkah pulang di Malaka, guru pulang di Pase, karenanya Sang Panembahan Agung Kembali, karena disuruh ke Nusa Jawa, yang menyuruh pulang adalah saudaranya yang bernama Maulana Magribi.”
Hendaknya tahu hidup sejati, ibarat sangkar badan semua, baik mengetahui, rusak jika tidak tahu, hai segala lakumu, itu mustahil jadi, jika kamu hendak tahu, perbaikilah badanmu, tunggulah ditempat sepi, jangan sampai ketahuan.
Jangan jauh memeriksa kawi, kawi itu nyata di badan, semua ada disini, sebagai penglihatan, cinta sejati badan itu, siang malam waspada, penglihatan itu, sebagai barang tanda, yang nyaata pada segalanya, dari sifat perilaku.
Memang rusak badannya, jadinya dengan sekehendaknya, yang tak rusak diketahui, sebagai kesempurnaan mata, yang tak rusak keadaan itu, sebagai sembah semedi, memang jarang yang mengetahui, sangat sepi anugerah.
Jikalau engkau ingin mengetahui alam abadi, engkau harus mengenal alam pribadimu. kalau engkau belum mengetahui alam pribadimu, masih jauhlah alam abadi itu dari dirimu.
Kalau engkau sudah mengetahui alam pribadimu, hendaklah kamu mengajarkannya pada yang belum mengetahui.
Jikalau engkau telah mengetahui alam pribadimu, alam abadi itupun menjadi dekat tanpa menyentuhnya, jauh dari dirimu tanpa ada yang membatasinya.
Jikalau engkau belum mengetahui alam pribadimu tanyakanlah kepada yang telah mengetahuinya.
Jikalau engkau belum menemukan ‘kadang’ (saudara) pribadimu, cobalah mawas dirimu sendiri.
Kadang pribadimu itu tidaklah berbeda dengan dirimu sendiri, suka bekerja.
ISI SULUK WUJIL DAN MAKNANYA
Suluk Wujil merupakan jenis sastra Jawa yang ditulis dalam bentuk tembang, yang berisi 104 bagian (pupuh), bagian (pupuh) yang ke-55, sekar ageng Aswalalita, yang ke-56 mijil, yang lain-lain Dandanggula. Sekar aswalalita tersebut masih sangat jarang digunakan jalan guru-lagunya (iramanya). Hal ini yang membuktikan bahwa suluk ini sangat tua usianya. Gaya bahasa yang dipakainya menggambarkan suatu dialog antara seorang Guru dengan muridnya yang bernama Wujil seorang bajang yang diceritakan sebagai bekas budak dari raja Majapahit, raja yang ke berapa dan yang mana tidak dijelaskan.
Di antara karya Sunan Bonang, mungkin yang paling dikenal adalah suluk Wujil. Namun yang jelas ajaran-ajaran tersebut berkenaan dengan ilmu kesempurnaan atau mistik.Adapun mistik yang hendak diajarkan oleh beliau melalui suluk Wujil ini tidak jauh berbeda dari ajaran-ajaran yang telah dipaparkan dalam Dewaruci.
Teks suluk Wujil ini dapat dijumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil) (majalah Djawa vol. XVIII, 1938).
Sebagai karya zaman peralihan Hindu ke Islam, pentingnya karya Sunan Bonang ini tampak dalam dalam suluk Wujil dengan tegas menggambarkan suasana kehidupan badaya, intelektual dan keagamaan di Jawa pada akhir abad ke-15, yang sedang beralih kepercayaan dari agama Hindu ke agama Islam. Di arena politik peralihan itu ditandai dengan runtuhnya Majapahit, kerajaan besar Hindu terakhir di Jawa, dan bangunnya kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama. Demak didirikan oleh Raden Patah, putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V dari perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit terjadilah perpindahan kegiatan budaya dan intelektual dari sebuah kerajaan Hindu ke sebuah kerajaan Islam dan demikian pula tata nilai kehidupan masyarakat pun berubah. Di lapangan sastra peralihan ini dapat dilihat dengan berhentinya kegiatan sastera Jawa Kuna setelah penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, meninggal dunia pda pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat.
Secara keseluruhan jalan tasawuf merupakan metode-metode untuk mencapai pengetahuan diri dan hakikat wujud tertinggi, melalui apa yang disebut sebagai jalan Cinta dan penyucian diri. Cinta yang dimaksudkan para sufi ialah kecenderungan kuat dari kalbu kepada Yang Esa, karena pengetahuan tentang hakikat ketuhanan hanya dicapai tersingkapnya cahaya penglihatan batin (kasyf) dari dalam kalbu manusia. Tahapan-tahapan jalan tasawuf dimulai dengan‘penyucian diri’, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian.
Pertama, penyucian jiwa atau nafs; kedua, pemurnian kalbu; ketiga, pengosongan pikiran dan ruh dari selain Tuhan. Istilah lain untuk metode penyucian diri ialah mujahadah, yaitu perjuangan batin untuk mengalah hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan buruknya. Hawa nafsu merupakan representasi dari jiwa yang menguasai jasmani manusia (diri jasmani). Hasil dari mujahadah ialah musyahadah dan mukasyafah. Musyahadah ialah mantapnya keadaan hati manusia sehingga dapat memusatkan penglihatannya kepada Yang Satu, sehingga pada akhirnya dapat menyaksikan kehadiran rahasia-Nya dalam hati. Mukasyafah ialah tercapainya kasyf, yaitu tersingkapnya tirai yang menutupi cahaya penglihatan batin di dalam kalbu.
Di bagian-bagian akhir, Ratu Wahdat yang diyakini sebagai Guru juga mengajarkan tentang nafi isbat yang berkaitan dengan kalimat tauhid :
لاَ Ø¥ِÙ„َÙ‡َ Ø¥ِلاَّ اللهُ.
Kalimat ini mempunyai dua bagian. Pertama adalah bagian nafi, yaitu ucapan :
لاَ Ø¥ِÙ„َÙ‡َ
Artinya: Tidak ada Tuhan.
Dan kedua adalah bagian itsbat, yaitu diucapkan :
Ø¥ِلاَّ اللهُ
Artinya: Kecuali Allah SWT Jika kalimat nafi dan itsbat diucapkan oleh seorang yang tidak mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu. Maka artinya adalah penafian dan penolakan terhadap dugaan orang musyrikin yang beranggapan bahwa ada tuhan lain bersama Allah SWT dan menetapkan pengertian tauhid di dalam hati, dan pengertian ini makin bertambah teguh dengan diucapkannya kalimat ini berulang kali.
Dhandanggula
1
// O // Dan warnanen sira ta pun Wujil / matur sira ing sang adinira / Ratu Wahdat pangerane / sumungkem aneng lebu / telapakan Sang Maha Muni / Sang adhekah ing Benang / mangke atur bendu / sawitnya nedha jinarwan / sapratingkahing agama kang sinelir / teka ing rahsa purba //
Tersebutlah seseorang yang bernama Wujil. Dia berujar kepada Sang Panembahan Agung yang bernama Ratu Wahdat. Seraya mohon ampun Ia bersujud di atas debu yang menempel di telapak kaki Sang Mahamuni, yang bertempat tinggal di Benang karena ingin diberi keterangan tentang seluk-beluk agama yang terpilih sampai ke rahasia agama Islam yang sedalam-dalamnya.
2
Sadasa warsa sira pun Wujil / angastu pada sang adinira / tan antuk wara ndikane / ri kawijilanipun / ira Wujil ing Maospait / ameng-amenganira / nateng Majalangu / telas sandining aksara / pun Wujil matur maring Sang adi Gusti / anuhun pangatpada //
Sudah sepuluh tahun Wujil berguru kepada Sang Panembahan Agung, namun selama ini ia belum mendapatkan ajaran yang diinginkannya. Adapun tentang asal-usulnya, Wujil adalah abdi kesayangan raja di Majalangu berasal dari Maospait. Ia telah menamatkan seluruh pelajaran tata bahasa. Kemudian wujil berujar kepada Sang Panembahan Agung yang sangat dihormatinya sambil mohon ampun.
3
Pun Wujil byakteng kang anuhun sih / ing talapakan Sang Jati Wenang / pejah gesang katur mangke / sampun manuh pamuruk / sastra Arab paduka warti / wekasane angladrang / anggeng among kayun / sabran dina raraketan / malah bosen kawula kang angludrugi / ginawe alan-alan //
Hamba Sang Wujil sungguh memohon belas kasih dihadapan telapak kaki Sang Jati Wenang, menyerahkan hidup dan mati. Hamba telah menguasai semua pelajaran sastra arab yang tuan ajarkan. Namun apa yang hamba cari belum kutemukan akhirnya hamba pergi mengembara sekemauan hati. Hamba pergi ke manapun senantiasa mengikuti kemauan hati. Hamba pun rela setiap hari bermain topeng, sampai bosan hamba bertingkah laku sebagai badut dan dijadikan tumpuan ejekan.
4
Ya Pangeran ing Sang adi Gusti / jarwaning wisik aksara tunggal / pangiwa lan panengene / nora na bedanipun / dene maksih atata gendhing / maksih ucap-ucapan / karone puniku / datan pulih anggeng mendra / atilar tresna saka ring Majapahit / nora antuk usada //
Aduhai junjunan Sang Adi Gusti, penjelasan tuan mengenai ajaran rahasia kesatuan yang terdapat dalam aksara tungal (ditafsirkan Schimmel, 1986: 431 sebagai huruf alif pada aksara arab), baik pada waktu sebelum datangnya ajaran Islam maupun pada zaman Islam adalah sama. Antara lain orang masih memperhatikan musik atau nada. Tetapi keduanya tetap hanya dalam kata-kata belaka. Oleh karenanya hamba pergi dari Majapahit dan meninggalkan semua yang hamba cintai karena hamba belum mencapai cita-cita hamba, hamba tidak mendapatkan penawarnya.
5
Ya marma lunga ngikis ing wengi / angulati sarahsyaning tunggal / sampurnaning lampah kabeh / sing pandhita sun dunung / angulati sarining urip / wekasing Jati Wenang / wekasing lor kidul / suruping raditya wulan / reming neta kalawan suruping pati / wekasing ana ora //
Oleh karena itu sesungguhnya pada suatu malam hamba pergi secara diam-diam untuk mencari rahasia yang disebut kesatuan itu, mecari kesempurnaan dalam semua tingkah laku. Hamba menemui tiap-tiap orang suci untuk mencari hakikat hidup, titik akhir dari kekuasaan yang sebenarnya, titik akhir utara dan timur, ke tempat terbenamnya matahari dan bulan untuk selama-lamanya, tertutupnya mata dan hakikat yang sebenarnya daripada mati serta titik akhir dari segala yang ada dan yang tiada.
6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi / hih ra Wujil kapo kamakara / tan samanya mangucape / lewih anuhun bendu / atinira taha nanagih / dening genging swakarya / kang sampun kalebu / tan pandhitane wong dunya / yen adol warta tuku wartaning tulis / angur aja wahdata //
Mendengar penuturan Wujil, Sang Ratu Wahdat tersenyum simpul, Ah Wujil, betapa nakal kamu ini. Kau katakan hal-hal yang tidak lumrah. Kamu terlalu berani, sehingga ingin memperoleh imbalan untuk hal yang telah banyak kau lakukan untukku. Aku tidak layak disebut Maha Yogi atau orang suci, di dunia ini, apabila aku mengharapkan imbalan bagi ajaran yang telah kusampaikan. Kiranya lebih layak jika aku tidak disebut wahdat.
7
Kang adol warta atuku warti / kumisun kaya-kaya weruha / mangke ki andhe-andhene / awarna kadi kuntul / ana tapa sajroning warih / meneng tan kena obah / tingalipun terus / ambek sadu anon mangsa / lir antelu putihe putih ing jawi / ing jro kaworan rakta //
Siapapun yang mengharapkan imbalan dalam mengajarkan tulisan-tulisan, ia hanya memuaskan dirinya sendiri. Seolah-olah ia mengetahui tentang segalanya dengan tepat. Orang semacam itu dapat diibaratkan seperti seekor burung bangau yang bermenung di tepi danau. Si burung berdiam diri tidak bergerak, pandangannya tajam. Ia ibarat sebutir telur yang tampak putih (suci) di luar, tetapi sesungguhnya di dalamnya bercampur kuning.
8
Suruping arka aganti wengi / pun Wujil anuntumaken wreksa / badhiyang aneng dagane / patapane Sang Wiku / ujung tepining wahudadi / aran dhekah ing Benang / saha sunya samun / anggayang tan ana pala / boga anging jraking sagara nempuhi / parang rong asiluman //
Matahari terbenam, hari berganti malam. Sang Wujil mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api unggun di bawah pertapaan Sang Wiku yang terletak di ujung di tepi laut disebuah padukuhan yang disebut Dukuh Bonang. Keadaan di sana sunyi senyap serta gersang tiada tumbuhan atau buah-buahan yang dapat dimakan. Makanannya hanya berupa riak gelombang laut yang menerjang batu-batu karang yang berbentuk gua yang menyeramkan.
9
Sang Ratu Wahdat lingira aris / Hih ra Wujil marengke den enggal / trus den cekel kekucire / sarwi den elus-elus / tiniban sih ing sabda wadi / ra Wujil rungokena / sasmita kateng sun / lamun sira kalebua / ing naraka ingsun dhewek angleboni / aja kang kaya sira //
Mendengar penuturan Wujil, Sang Ratu Wahdat berkata dengan ramah: Hai Wujil, kemarilah segera. Setelah mendekat, maka Wujil pun dipegang kuncungnya sebagai tanda kasih sayang, diusapnya kuncung Wujil. Kemudian Sang Ratu Wahdat mengucapkan kata-kata rahasia: Wujil, dengarkanlah petunjukku. Jika karena kata-kataku ini membuat engkau harus masuk neraka, maka akulah sebagai gurumu yang akan menggantikanmu masuk neraka, bukan kamu yang sebagai muridku.
10
Sigra pun Wujil atur subakti / matur sira ing guru adimulya / sakalangkung panuwune / sampun rekeh pukulun / leheng dasih rekeh pun Wujil / manjinga ing naraka / pun Wujil sawegung / pan sami wruh ing kalinga / guru lan siswa tan asalayah kapti / kapti saekapraya //
Dengan sangat hormat Wujil menyembah seraya mengatakan terima kasihnya kepada Sang Mahayogi. Wujil nerkata : jangan Paduka, lebih baik hamba sang Wujil yang masuk di neraka, biarlah sang Wujil sendiri. karena mereka berdua sudah saling mengetahui maksudnya, maka antara sang guru dengan siswanya itu tidak pernah berselisih paham, keduanya selalu kompak.
11
Pengetisun ing sira ra Wujil / den yatna uripira neng dunya / ywa sumabaraneng gawe / kawruhana den estu / sariranta pan dudu jati / kang jati dudu sira / sing sapa puniku / weruh rekeh ing sarira / mangka sasat wruh sira maring Hyang Widi / iku marga utama //
Aku peringatan kamu, wahai anakmas Wujil, berhati-hatilah dalam menjalankan hidup di dunia, jangan lengah, sembrono dalam tindakan yang kamu lakukan. Dan sadarlah serta yakin, bahwa kau bukanlah Hyang Jati Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Hyang Jati Tunggal bukanlah engkau. Barangsiapa yang mengenal diri sendiri sekarang, seakan-akan ia mengenal Tuhan. Demikianlah jalan yang sebaik-baiknya.
12
Utamane sarira puniki / angawruhana jatining salat / sembah lawan pamujine / jatining salat iku / dudu ngisa tuwin magrib / sembayang aranika / wenange puniku / lamun ora nana salat / pan minangka kekembanging salat da’im / ingaran tatakrama //
Perihal keunggulan manusia hendaknya mengetahui kesejatian shalat, menyembah dan memuji (berdzikir). Shalat yang sebenarnya bukanlah seperti shalat isya atau maghrib. Shalat seperti itu hanya dapat disebut sembahyang, yang dilakukan seolah-olah ia melaksanakan shalat yang sebenarnya tidak ada dan sekedar kembangnya shalat daim (diterjemahkan Husin Al Habsyi, 1990: 110 sebagai khusuk, yang tetap atau yang kekal), yang dinamakan tatakrama.
13
Endi ingaran sembah sejati / aja nembah yen tan katingalan / temahe kasor kulane / yen sira nora weruh / kang sinembah ing dunya iki / kadi anulup kaga / punglune den sawur / manuke mangsa kena’a / awekasan amangeran adam-sarpin / sembahe siya-siya //
Manakah yang disebut dengan sembahyang yang sebenarnya itu? Sebaiknya, kau tidak menyembah atau memuja, jika kau tidak tahu kepada siapa kamu menyembah atau memuja. Hal itu berakibat akan merendahkan martabat dirimu sendiri. Jika kau tidak tahu kepada siapa kau menyembah di dunia ini. Ibaratnya seperti kau menembak burung tanpa dengan bidikan, pelurunya disebarkan kemana-mana sedangkan burungnya tidak mungkin kena. Jadi, jika kau melaksanalan shalat yang demikian pada hakikatnya kau hanya menyembah kepada adam sarpin (diterjemahkan oleh Poerbatjaraka 1938 : 162 sebagai ketiadaan murni) sembahmu menjadi sia-sia.
14
Lan endi kang ingaranan puji / samya amuji dalu lan siyang / yen ora sarta wisike / tan sampurna kang laku / yen sirarsa weruh ing puji / den nyata ing sarira / panjing wetunipun / kang atuduh ananing Hyang / panjing wetuning napas yogya kawruhi / suksma catur prakara //
Dan manakah yang disebut puji (dzikir). Meskipun orang-orang memuji (berdzikir) siang-malam, namun jika ia tidak pernah memperoleh petunjuk dari pemujaannya itu, tidak akan sempurna tindakannya tersebut. Jika kamu ingin mengetahui apa yang disebut dzikir yang sesungguhnya, keluar-masuknya pada dasarnya ada pada diri kamu, yang mengenal adanya Tuhan, maka harus kau ketahui keluar-masuknya hayat, yaitu lewat pernafasan. Sebaiknya kau ketahui juga perihal anasir halus yang empat jumlahnya.
15
Catur prakara anasirneki / bumi geni angin iku toya / samana duk panapele / sipate iku catur / kahar jalal jamal lan kamil / katrapan sipating Hyang / wowolu kehipun / lampahe punang sarira / manjing metu yen metu ndi paraneki / yen manjing ndi pernahnya //
Keempat macam anasir itu adalah : tanah, api, angin, dan air. Dahulu kala ketika Tuhan menciptakan Nabi Adam, Tuhan menggugunakan empat macam anasir yang disebut kahar, jalal, jamal, dan kamal keempatnya mengandung sifat-sifat Tuhan yang jumlahnya ada delapan. Hubungannya dengan jasmani ialah bahwa sifat-sifat dalam badan itu masuk dan keluar. Kamu harus memahami, jikalau keluar, ke mana perginya, dan jika masuk, di manakah tempatnya?
16
Tuwa anom kang anasir bumi / lakune puniku kawruhana / yen atuwa ndi enome / lamun anom puniku / pundi rekeh tuwanireki / anasir geni ika / apes kuwatipun / yen kuwat endi apesnya / lamun apes pundi nggene kuwatneki / tan sampun kasapeksa //
Adapun anasir tanah menimbulkan adanya sifat tua dan muda. Sifat-sifat yang terkandung di dalamnya pun harus kau ketahui pula. Jika tua di manakah mudanya, jika muda di manakah tuanya. Sedangkan unsur api itu bersifat kuat dan lemah. Jika kuat di manakah lemahnya, jika lemah di manakah kuatnya. Semua itu harus kau ketahui.
17
Miwah ta rekeh anasir angin / lakune iku ana lan ora / yen ora pundi anane / lamun ana puniku / aneng endi oranineki / ingkang anasir toya / pejah gesangipun / yen urip pundi patinya / lamun mati ndi parane uripneki / sasar yen ora wruha //
Selanjutnya unsur angin. Sifat-sifat anasir angin mencakup ada dan tiada. Jika tiada, di manakah letaknya ada, jika ada di manakah letaknya tiada. Anasir air memiliki sifat mati dan hidup. Di manakah adanya mati dalam hidup, dan ke manakah perginya hidup pada waktu mati? Kamu akan tersesat jika kamu tidak mengetahuinya.
18
Kawruhana tatalining urip / ingkang aningali ing sarira / kang tan pegat pamujine / endi pinangkanipun / kang amuji lan kang pinuji / sampun ta kasapeksa /marmaning wong agung / padha angluru sarira / dipun nyata ing uripira sejati / uripira neng dunya //
Hendaknya diketahui pula bahwa pedoman hidup adalah mengetahui akan dirinya sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan yang disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat menemukan hidup mereka yang sebenarnya dengan tepat. kehidupan mereka di dunia ini.
19
Dipun weruh ing urip sejati / lir kurungan raraga sadaya / becik den wruhi manuke / rusak yen sira tan wruh / Hih ra Wujil salakuneki / iku mangsa dadiya / yen sira yun weruh / becikana kang sarira / awismaa ing enggon punang asepi / sampun kacakrabawa //
Kau harus mengetahui hidup yang sebenarnya. Tubuh ini seluruhnya bagaikan sangkar. Akan lebih baik jika kau mengenal jenis burungnya. Oh, Wujil, dengan tindakan-tindakan yang selama ini telah kau lakukan, kau akan jatuh sengsara tanpa hasil jika tak kau ketahui. Dan jika kau ingin mengetahui, kau harus membersihkan dirimu. Tinggallah di suatu tempat sunyi, sepi dan jangan menghiraukan keramaian dunia ini.
20
Aja doh dera ngulati kawi / kawi iku nyata ing sarira / punang rat wus aneng kene / kang minangka pandulu / tresna jati sariraneki / siyang dalu den awas / pandulunireku / punapa rekeh pracihna / kang nyateng sarira sakabehe iki / saking sipat pakarya //
Kamu tidak perlu pergi jauh mencari pujangga. Karena pujangga yang sesungguhnya itu telah berada di dalam dirimu sendiri. Bahkan seluruh dunia ini berada di dalam dirimu sendiri. Maka jadikanlah dirimu sebagai penerang cinta sejati, untuk dapat melihat dunia. Arahkanlah wajahmu dengan tajam dan hening kepadanya, baik siang maupun malam, karena sesungguhnya apapun yang tampak ditubuh semuanya ini pada kesunyataannya adalah hasil dari sifat tingkah laku dan perbuatan.
21
Mapan rusak kajatinireki / dadine lawan kaarsanira / kang tan rusak den wruh mangke / sampurnaning pandulu / kang tan rusak anane iki / minangka tuduhing Hyang / sing wruh ing Hyang iku / mangka sembah pujinira / mapan awis kang wruha ujar puniki / dahat sipi nugraha //
Perbuatanmu yang terjadi karena kehendakmu ini, menimbulkan kehancuran. Harus kau ketahui apakah yang tidak mengalami kehancuran, yakni pengetahuan yang sempurnala yang keadaannya tidak mengalami kehancuran. Pengetahuan itu meluas sampai kepada derajat mengenal adanya Tuhan (Ma’rifat). Dengan mengenal Tuhan, maka akan menjadi bekal bagi seseorang untuk menyembah dan memuji-Nya. Namun tidak banyak orang yang mengenal kata itu. Siapa yang mampu mengenal-Nya, ia akan mendapat anugrah yang besar.
22
Sayogyane mangke sira Wujil / den nyata sireng sariranira / yektya angayang temahe / raraganira iku / lamun Wujil dera lalisi / kang nyata ing sarira / solahe den besur / amurang raraganira / kang dadi tingal anging kainaneki / kang den liling nityasa //
Seyogyanya kelak Wujil, kamu harus mengetahui dirimu sendiri. Nafsumu akan terlena jika kamu membalikkan punggung. Mereka yang tahu akan dirinya, hawa nafsunya tidak binal untuk menelusuri jalan yang salah. Oleh karena yang diperhatikan dan yang diingat terus menerus hanyalah kekurangannya.
23
Wujil kawruh ing sariraneki / iya iku nyataning pangeran / tan angling yen tan ana wadine / dene wasitanipun / ana malih kang angyakteni / samya luruh sarira / sabdane tanpa sung / amojok saking susanta / tanpa sung kaliru saking pernah neki / iku kang aran lampah //
Oh, Wujil! Barang siapa yang mengenal diri sendiri, adalah dia yang mengenal tuhan. Dan orang yang mengenal Tuhan tidak sembarang bicara, kecuali jika kata-katanya mempunyai maksud penting. Ada pula orang lain yang berusaha mengenal dirinya, karena kesungguhannya mencari maka ia menemukan dirinya. Mereka tahu, bahwa seseorang tidak boleh terlempar ke luar dari kehalusan, dan merka pun mengetahui bahwa ia tidak boleh memilih tempat yang keliru. Demikianlah yang disebut jalan kesucian (lampah).
24
Pan nyata ananing Hyang aneng sih / ening kasucianing pangeran / ana ngaku kang wruh mangke / laksanane tan anut / raga sastra tan den gugoni / anglalisi subrata / kang sampun yekti wruh / anangkreti punang raga / paningale den wong-wong rahina wengi / tanpa sung agulinga //
Oleh karena itu jelaslah, bahwa keadaan Tuhan (diterjemahkan Poerbatjaraka 1938 : 150 sebagai Tuhan beserta kesucian yang suci berada dalam kecintaan). Tuhan jelas berbeda dengan keadaan manusia, jernihkanlah Tuhan itu. Ada pula orang yang mengaku mengenal Tuhan tetapi perilakunya tidak mengikuti kaidah. Ia tidak patuh terhadap ajaran tentang pengendalian hawa nafsu, mengesampingkan kehidupan yang saleh. Sesungguhnya orang yang mengenal Dia, ia akan mampu mengekang hawa nafsunya. Siang malam ia mengatur indera penglihatannya, dan dicegahnya untuk tidur.
25
Iku tapakane hi ra Wujil / tan bisa sira mateni raga / aja mung angrungu bae / den sayekti ing laku / ayun sarta lawan pandeling / yen karone wus nyata / panjing wetunipun / tan ana pakewuhira / tikeling pikulan saros samineki / beneh kang durung wikan //
Demikianlah, seharusnya yang menjadi dasarnya hai anak mas Wujil supaya dapat mematikan hawa nafsumu, dan jangan hanya dibatasi mendengarkan saja. Bersungguh-sungguhlah dalam kesucian, kehendak dan keyakinanmu. Apabila keduanya telah jelas masuk dan keluarnya, maka kamu tidak akan menemukan kesulitan lagi seperti halnya memotong seruas bambu pikulan, lain halnya dengan orang yang belum mengerti.
26
Kasompokan denira ningali / karane tan katon pan kaliwat / tanpa rah-arah rupane / tuwin si ananipun / mapan wartaning kang utami / yen ta ora enggona / pegat tingalipun / tingal jati kang sampurna / aningali nakirah yakti dumeling / kang sajatining rupa //
Penglitannya tentang hal ini sangat terbatas. Sebabnnya adalah Dia terlalu tidak berbentuk oleh karena Dia tidak tampak oleh orang biasa, tetapi Dia tetap ada. Sesungguhnya menurut ajaran orang-orang yang unggul, Dia tidak mempunyai tempat tertentu. Bagi orang yang berhenti menglihatnya, malah ia akan memiliki penglihatan sejati yang sempurna. Dan ketika dilihatnya wujud itu secara umum, maka akan tampak membayang Wujud yang sejatinya dengan jelas
27
Mapan tan ana bedane Wujil / dening kalindhih solahe ika / bedane tan seng purbane / Wujil sampun tan emut / lamun anggung tinutur Wujil / nora na kawusannya / siyang lawan dalu / den rasani wong akathah / kitabipun upama perkutut adi / asring den karya pikat //
Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya tiada berbeda. Hanya Dia tidak tampak oleh karena tertutupi oleh oleh gerakan-gerakan (dari alam semesta). Jadi bedanya tidak tampak (terletak) pada sumbernya. Jangan kau lupakan selama-lamanya Wujil. Bahwa setelah kita bicarakan tentang hal itu, tidak akan pernah ada habisnya. Siang dan malam banyak orang berbicara mengenai Dia. Kitab-kitab-Nya yang Suci dapat diumpamakan sebagai burung perkutut yang bersuara merdu, yang kerap kali digunakan orang untuk memikat orang lain kepada-Nya.
28
Raosana ing rahina wengi / yen ora lawan wisik utama / mapan ora na gawene / lewih wong meneng iku / yen kumedal lidhahireki / uninipun punapa / pan saosikipun / ing kalbu nyateng aksinya / wedharing netra sara’ widya nampani / meneng muni den wikan //
Walaupun siang dan malam orang membicarakan-Nya, tetapi jika ia belum pernah memperoleh Ajaran Rahasia yang terbaik, tetap saja tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita tutup mulut tentang Dia. Betapapun orang ingin membicarakan-Nya, apa yang akan dibicarakan tentang Dia? Karena sesungguhnya isi hati seseorang yang mengenal-Nya sebenarnya tercermin jelas dalam matanya. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia telah menerima inti pengetahuan. Maka pahamilah arti diam dan bicara.
29
Den wruh suruping meneng lan muni / yen tan wruha iku tanpa pala / sampun tan mesi enenge / yen muni away umung / kokila neng kanigara njrit / puniku saminira / nora tegesipun / yen ujar kang ginedhongan / sira Wujil aja kaya bisa angling / lingira kang sampurnan //
Hendaknya kamu ketahui tentang hakikat diam dan bicara. Jika kau tidak mampu, semuanya tidak ada gunanya. Diamnya tidak ada isinya dan bicara tidak boleh dengan suara keras. Jika tidak demikian, orang berbuat seperti itu dapat diumpamakan seperti burung beo, ia berteriak-teriak tanpa makna di atas pohon kanigara. demikianlah perumpamaannya, tiada artinya. jika menyangkut perkataan rahasia, hai Wujil jangan berbuat seperti orang yang dapat berbicara. demikian kata orang yang telah sempurna.
30
Ndi rupane wong melek ing wengi / sampun kadi andha tingalira / karoneku tanpa gawe / yen ora lan tinuntun / ing paningal ing hakul yakin / paran margane wruha / ing sariranipun / pangrungunisun saking a- / sale sampurna iku kalawan muni / tanpa sung yen menenga //
Bagaimanakah manfaatnya orang yang gemar berjaga malam hari? Sebaliknya kau tidak boleh menutup mata seperti orang yang buta. Kedua-duanya tiada manfaatnya. Apabila seseorang tidak diberi petunjuk untuk melihat kebenaran yang sesungguhnya, bagaimana mungkin bisa mengenal diri sendiri? Aku pernah mendengar bahwa kesempurnaan itu timbul karena berbicara. Oleh karena itu, orang tidak boleh diam.
31
Ora meneng ora muni Wujil / Hih ra Wujil atakona sira / kang ateki-teki kabeh / sembah puji den weruh / sembah akeh warnane malih / lingira sang utama / wong amuji iku / sanalika keh sawabnya / padha lan wong asembayang satus riris / yen weruh parantinya //
Tetapi Wujil, begitu percaya, bukan karena diam ataupun karena berbicara, kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Sebaliknya mengenai hal itu, bertanyalah kepada orang yang bertapa, Wujil. Harus kau ketahui juga, sembah itu bermacam-macam, apakah memuji itu dan apakah shalat itu? Sebab banyak orang yang memuja. Seorang terkemuka mengatakan bahwa orang yang memuji walaupun sekejap saja itu banyak menimbulkan pengaruh baik. Shalat itu pada lahirnya sama dengan sembahyang seratus tahun, asal saja mengetahui saranya.
32
Kang sampun weruh parantineki / pujinipun iku nora pegat / nora kalawan wektune / wong agung lyan amuwus / padha lawan sawidak warsi / pan sampun amardika / purna raganipun / ing wektu tan kabandana / kapradana solahe aneng jro masjid / apindhah manuk baka //
Barangsiapa yang mampu mengarahkan sembahyangnya dengan tepat, ia akan sembahyang secara terus menerus, bahkan pada waktu yang tidak ditentukan. Orang shaleh yang lain mengatakan, bahwa shalat seperti itu sama dengan shalat selama enam puluh tahun. Orang yang bersembahyang dengan cara yang tepat, ia telah bebas, tubuhnya sempurna dan tidak terikat oleh waktu-waktu yang telah ditentukan. Perilakunya di dalam masjid merupakan contoh. Bukan seperti sembahyangnya burung bangau.
33
Tan kena pinaido ra Wujil / wuwusing nayaka dipaning rat / Wujil atakena mangke / ana muji ing dalu / ing rahina gung sawabneki / kalamun kena tata / ing sasaminipun / padha lan rowelas warsa / yogya wenang ra Wujil ataki-taki / sampun tan kapanggiha //
Tidak boleh tidak mempercayai, hai Wujil, kamu harus mempercayai sabda dari Pemimpin Cahaya Dunia ini (Nabi Muhammad saw). Kau bertanyalah tentang hal itu kini. Ada orang yang bersembahyang pada malam hari dan siang hari, hal itu akan memberikan pengaruh baik yang sangat besar, asal saja dilakukan menurut aturan. Shalat seperti itu derajatnya sama dengan shalat zhahir selama dua belas tahun. Untuk mecapai hal seprti itu sebaiknya kamu melakukan tapa, jangan sampai tidak tercapai.
34
Ana malih kang wong angabekti / sanalika gung sawabe ika / yen wikana ing tuduhe / padha rowelas tangsu / ingaranan tafakkur iki / yen meneng ndi parannya / takokena iku / sapa kang atuduh ika / unggah turuning meneng kalawan muni / iku dipun waspada //
Ada juga orang yang hanya sebentar saja melakukan darma bakti, namun pengaruh baiknya (pahalanya) sangat besar, asalkan diarahkan sesuai dengan petunjuknya. Jika sembahyang dilaksanakan dengan sesuai petunjuk maka kebaikannya akan sama dengan melaksanakan shalat dua belas tahun. Sembahyang seperti ini disebut tafakur. Dan selanjutnya kau harus bertanya, ke manakah orang harus mengarahkan batinnya di dalam berdiam diri? Siapa yang akan menerangkan naik turunnya diam dan bicara, itu harus diketahui.
35
Hih ra Wujil ing wong meneng lewih / iku sembayang tanpa pegatan / iku nora na wektune / sampurna ta wong iku / raragane nora na kari / tekeng purisa turas / satuhuning laku / pagurokena den nyata / ing sira sang kawi-man sampurneng jati / wekasing duta tama //
Hai Wujil, bagi manusia, orang yang diam itu lebih baik. Ialah shalat tanpa perantara, tanpa terputus tanpa terikat waktu. Orang seperti itu adalah orang yang sempurna. Dari tubuhnya, termasuk kotoran dan air kencing, tidak tersisa apa-apa lagi. Inilah perilaku yang utama. Maka bergurulah secara jelas, pada sastrawan kawi yang benar-benar mengetahui (tentang) kebenaran, yang mengetahui benar-benar tentang kebenaran. Itulah pesan utusan Sang Utusan Yang Unggul (Nabi Muhammad SAW).
36
Aja nyembah hih sira Wujil / yen iku nora katon sawahnya / sembah puji tanpa gawe / pan kang Sinembah iku / aneng ngarsa wahya dumeling / ananta minangka a- / nanira kang agung / ananing dhawak pan sunya / iya iku enenge ing wong amuji / nyata kang sadya purba //
Sebaiknya janganlah kau menyembah, Wujil, jika tidak tahu kepada siapa kamu menyembah. Karena pemujaanmu dan shalatmu tiada gunanya bila kamu tidak merasakan yang kamu sembah itu seperti hadir di hadapanmu. Tetapi, karena Dia tidak pernah hadir di hadapan siapa pun juga, maka anggaplah kehadiranmu juga kehadiran Yang Maha Agung. Bahkan keadaanmu harus kau anggap tidak ada (fana). Itulah yang dinamakan Diam dari orang-orang yang tengah shalat, yang terbuka sumber kehendaknya menjadi nyata kehendak purba.
37
Lawan atakona sura malih / mapan awis kang sayaktanira / sakwehning punang punggawe / yen tan ingulah iku / pundi rekeh nggene kepanggih / kang aulah tan lepyan / iku wus atuduh / nugrahaning Jati-Wenang / kang tan molah atuduh dosanireki / keneng papa cetraka //
Mengingat tidak setiap orang mengerti keadaan yang sebenarnya, maka selanjutnya bertanyalah kamu lagi mengenai hal berikut, yaitu bagaimana semua tindakan bisa diselesaikan apabila tindakan itu tidak dikerjakan? Bagaimana pula jika melakukan sesuatu, namun tanpa diselesaikan, sedangkan ia tidak melupakan Tuhan? Tindakannya itu telah merupakan tanda, bahwa ia mendapat ampunan dari Yang Maha Kuasa. Siapa yang tidak bertindak untuk menyatakan dosanya, akan ditimpa oleh kemalangan dan kesengsaraan.
38
Lawan malih sira ta ra Wujil / atakona sajanining niyat / aja mungaken ciptane / kang anyipta anebut / dudu iku niyat sejati / ewuh kang aran niyat / sembah puji iku / tan wrung punan pangurakan / kang atampa dhendha kisas lawan jilid / ramya padu giliran //
Selanjutnya, Wujil, bertanyalah tentang hakikat yang murni dari kemauan (niat). Orang tidak boleh terbatas pada gagasan dalam memikirkan sesuatu, baik memikirkan maupun menyebut sesuatu, adalah kemauan yang sejati (niat yang ikhlas). Tidak mudah untuk mengetahui apa yang disebut tidak mudah yang disebut dengan shalat, sembah, dan pujian itu. Pemujaan dan shalat tidak mengenal hal-hal yang kasar, demikian juga tidak benci kepada orang-orang yang didenda, di-qishash dan dihukum jilid (hukuman karena perzinahan), juga kepada orang-orang yang selalu bertengkar.
39
Pangabaktine ikang utami / nora lan waktu sasolahira / punika mangka sembahe / meneng muni punika / sasolahe raganireki / tan simpang dadi sembah / tekeng wulunipun / tinja turas dadi sembah / iku ingaranan niyat kang sejati / puji tanpa pegatan //
Persembahan bagi orang yang utama (sufi, ulama, kaum shalihin) tidak mengenal batas waktu. Semua gerak lakunya adalah demikianlah sembahyangnya. Sikap diam dan bicara serta segala ulah gerak tubuhnya, bahkan bulu romanya, dmikian pula kotoran dan air kencingnya jadi sembah. demikianlah yang dikatakan niat yang sejati, pujian yang tak putus putusnya.
40
Hih ra Wujil niyat iku luwih / saking amale punang akathah / nora basa swara reke / niyating pingil iku / kang gumelar nyananireki / sajatine kang niyat / nora niyatipun / nyataning pingil gumelar / niyating sembahyang nora bedaneki / lan niyat ambebegal //
Hai wujil, niat (kemauan), adalah lebih penting daripada perbuatan umumnya. Sebab kemauan (niat) itu tidak dapat dinyatakan dengan bahasa maupun suara, bukan! Kemauan (niat) untuk berbuat sesuatu merupakan ungkapan suatu pikiran. Kemauan (niat) untuk melakukan perbuatan ialah ungkapan perbuatan itu sendiri. Jadi, kemauan (niat) untuk melakukan sembahyang yang tiada bedanya dengan kemauan (niat) untuk merampok.
41
Hih ra Wujil marmane wong sirik / kufur kinufuraken ing lafal / agunggungan sa-elmune / pijet-pinijet iku / aksarane asru den pidi / sawusing asembayang / magerib punika / rame samya kabarangan / awekasan malik kebyok lan kulambi / dhastar akuleweran //
Hai wujil, oleh karena itu, bagi manusia adalah sesuatu perbuatan syirik (kesesatan), yaitu saling kafir mengkafirkan sesama, punya anggapan bahwa kepandaiannya itu yang terpenting, kepandaian yang oleh orang-orang untuk saling meyakinkan (bahwa dirinya yang paling benar) karenanya orang menjadi sirik kafir karena dikafirkan oleh aturan. karena ia selalu berpegang teguh pada bunyi kata-kata (huruf)-nya. Dan sehabis shalat maghrib orang-orang ramai saling bertengkar mulut. Akhirnya saling pukul dengan (menggunakan) bajunya sehingga ikat kepalanya terlepas.
42
Kepet kinepetaken ing masjid / awekasan padha pepurikan / asembahyang dhewek-dhewek / puniku palanipun / sirik gugon ujaring tulis / tan wruh jatining niyat / palaning wong bingung / lanang wadon padha ngrarah / angulati niyat kang sejati-jati / tan wruh ing dedalannya //
Sorban yang dipakainya itu digunakan untuk pukul memukul di dalam masjid akhirnya saling marah satu sama lain, dan bersembahyang sendiri-sendiri. Demikianlah hasil dari syirik (kesesatan), hasil memegang teguh bunyi tulisan sebab menganggap bahwa kepandaian masing-masing adalah yang terpenting. demikianlah akibat dari orang yang bingung, laki laki dan perempuan saling berusaha mencari niat yang sebenarnya, tetapi tidak tahu jalannya.
43
Aningsetana raganireki / hih ra Wujil yen wus kabandana /aywah’keh ingucap mangke / ujar ngedohken kayun / angiyaken karsa pribadi / iku marganing sasar / nyanane kang den gung / angagungaken trebangan / tan wande yen trebangan den gawe undhi / dadi ababagelan //
Sebaiknyalah mengendalikan hawa nafsumu, hai Wujil. Setelah kau ikat nafsumu, janganlah terlalu banyak bicara. Kata-kata yang kau gunakan untuk terlalu memaksakan kemauan, serta untuk menegaskan bahwa pendapat sendiri yang benar, dapat menyeret ke arah kesesatan, akibat mendewa-dewakan pendapat sendiri. Maka orang itu berbuat tidak lain kecuali bagaikan memainkan rebana yang kemungkinan berakhir rebananya dibuang ke atas dan akan saling melempar rebana.
44
Meh rahina Hyang aruna mijil / tatas wetan ndan Sang Ratu Wahdat / angling pun Wujil kinengken / Haih ra Wujil sun utus / mara sira ta den agelis / mara eng pawadonan / si Satpada iku / aglis kenen marengkeya / pun Wujil mangkat lampahira agelis / prapta mring pawadonan //
Saat itu siang hampir tiba, matahari yang terbit bagian ufuk timur bumi menjadi terang. Kemudian Sang Ratu Wahdat memerintahkan Wujil, Hai Wujil, segeralah kemari, kamu kuutus untuk pergi ke asrama (pondokan) putri dan panggillah Satpada. Cepat-cepat Wujil berangkat, sesampainya di pondok putri.
45
Ling pun Wujil hih manira nini / ingutus angundang mareng tuwan / dening sang adi kang aken / ken Satpada amuwus / Hih ra Wujil punapa wadi / dening enjing ngandikan / maras atiningsun / tan wikan wadining lampah / lah mangkata Satpada dipun agelis / hyun-hyunen kang sinembah //
Berkatalah Wujil kepada Satpada, wahai nona, aku diutus untuk memanggil kamu. Sang Panembahan Agung yang mengutusku. Ken Satpada berujar: Apa maksudnya, pagi-pagi begini memanggil aku? Aku jadi gemetar. Wujil : Aku tidak tahu maksud tugas ini. berangkatlah satpada segera, kedatangannya telah diharap harapkan oleh sang panembahan agung.
46
Mangkat Sartpada den tatakoni / Hih ra Wujil aja salah tampa / Ki Wujil sun atataken / punapa marganipun / oleh aran para Ki Wujil / pun Wujil angling ing tyas / iki wong asemu / patakonipun basaja / wadining basaja anopak ing wuri / liyen sun yen wruhi //
Satpada berangkat sambil bertanya kepada Wujil: hai Wujil, jangan salah paham, mengapa kau dipanggil dengan nama Ki Wujil?. Wujil berfikir di dalam hati, dia ini orang yang cerdik. Pertanyaannya lugu sederhana, tetapi di balik keluguan itu agaknya di balik kesederhanaan itu menyelipkan sesuatu di belakang. Ia menjawab, Baiklah saya (akan mengatakan) jika (kamu) tidak tahu.
47
Karane isun arane Wujil / nenggih kang aran kalawan rupa / datan ana prabedane / tan amindhoni laku / nem prakara rasaning jati / pan wus kajalajahan / dening sun pukulun / pun Satpada ‘smu kemengan / Hih ra Wujil dudu wijile wong mangkin / wijil ing Wilatikta //
Mengapa aku bernama Wujil, begini : bahwa karena antara nama dan rupa tiada perbedaannya. Aku tidak berhenti di tengah jalan karena enam perkara rasa jati sudah hamba jelajahi, Tuan Putri. Wajah Satpada menjadi kemerah-merahan, lalu berkata: Wujil, Anda bukanlah ‘wujil’ seperti orang sekarang ini, melainkan berasal dari Majapahit.
48
Sigra pun Wujil Satpada prapti / alunguh ing ngarsa angabiwada / ingkang sudibya ataken / paran wartanireku / he Satpada duk prapta wingi / sira saking Jawana / pun Satpada matur / Dening rayi pakanira / Seh Malaya angraket wonten ing Pati / lamine sapta dina //
Segera Wujil dan Satpada tiba di hadapan Sang Pertapa. Mereka duduk di hadapan Sang Pertapa kemudian menyembah dan memberi hormat. Yang Mulia bertanya, apa kabarmu wahai Satpada. ketika kamu datang kemarin dari Jawana. Satpada jawab, Ya Paduka, adik Paduka, Seh Malaya (Sunan Kalijaga), bermain topeng di kota Pati selama tujuh hari.
49
Sang Ratu Wahdat angandikani / Hih ra Wujil sira ‘glis ameta / satapatra dipen age / tan kawarna ‘glis rawuh / satapatra mangke tinulis / lawenipun sadaya / ingisen jronipun / rambuyut sinereng laya / aturena satapatra iku Wujil / ing yayi Seh Malaya //
Sang Ratu Wahdat berujar, hai Wujil, segeralah kamu mencari tembang teratai. Wujil pun segera pergi. Tidak dikisahkan, segeralah ia datang. kembang teratai kemudian ditulisi semua daun kembangnya. di dalamnya diisi dengan kembang rambuyut (kembang yang memiliki kesaktian dimana pemiliknya tidak bisa mati yang diwariskan Arjuna kepada putra Parikesit yang bernama Raden Yudhoyono) yang dibentuk menjadi sumping surengpati (semacam hiasan kepala yang diberikan oleh Betari Durga ketika masuk ke dalam ‘bungkus’ Raden Werkudara atau Bima yang saat itu tidak dapat dirobek oleh senjata apapun) berikanlah kembang teratai ini, Wujil kepada adikku Syekh Malaya.
50
Iki susumpinge wong acermin / wong angraket pantes anganggeya / pun Wujil ‘glis mangkat mangke / amit saha wotsantun / lampahira dhateng ing Pati / tan kawarnaeng marga / prapta lampahipun / atataken ing para desa / lamun ana wong anggagambuh linuwih / aran ki Seh Malaya //
Ini adalah anting-anting untuk orang yang bermain sandiwara. Patut dikenakan oleh seorang penari topeng. Sang Wujil segera berangkat, mohon diri sambil menyembah, berangkatlah ia ke Pati. Tidak diceritakan perjalanannya, tibalah ia di tempat yang dituju. Ia bertanya kepada seorang desa, apakah mengetahui adanya pemain gambuh yang luar biasa, namanya Seh Malaya.
51
Kang tinanyan tanggap anauri / singgih wonten aran Seh Malaya / lagya angraket ing mangke / desa Wasana kidul / akeh punang aniningali / pun Wujil lampahira / tan asarag rawuh / Seh Malaya sampun wusan / denya ngraket pun Wujil prapta Wotsari / angaturaken patra //
Orang desa yang ditanya itu segera menjawab: Benar, ada seorang bernama Seh Malaya. Kini ia sedang menari topeng di ujung selatan desa. Banyak orang yang menontonnya. Wujil melanjutkan perjalanannya perlahan-lahan. tidak lama sampailah Ia di tempat Syekh Malaya yang secara kebetulan sudah selesai bermain topeng. Wujil pun menghampiri sambil menyembah dan menyampaikan surat.
52
Satapatra tinampan tumuli / winedhar ing jro mesi kusuma / surengpati panggalange / Seh Malaya amuwus / mara sira ing punang Wujil / dahat dennya murwendah / kang sekar ambuyut / sinurengpati winingan / wohing saga rinawid lawan malathi / langkung sih sang sinembah //
Kembang teratai segera diterima oleh Seh Malaya. Segera dibukanya, dan didapatinya di dalamnya berisi rakitan ‘surengpati’. Syekh Malaya berujar, kermarilah kamu hai anakmas Wujil. sangatlah indahnya kembang rambuyut yang dibentuk menjadi sumping ‘surengpati’, dirangkai dengan biji saga dihias dengan kembang melati. Artinya Sang panembahan Agung sangat sayang kepadaku.
53
Punapa wadhining surengpati / awoh saga kuneng satapatra / ra Wujil paran karsane / pun Wujil awotsantun / matur Gusti nora saweksi / Seh Malaya lingira / Hih ra Wujil semu / ne sang Sinuhun ing Murya / sagawe aso katarateyan Pati / entingning panarima //
Apakah maknanya ‘Surengpati’, hamba tidak tahu, Gusti.? Biji-biji saga dimasukkan di dalam bunga? Apakah yang dikehendaki Gustimu, hai Wujil?. Sambil menyembah, Wujil menjawab, Hamba tidak tahu, Gusti. Syekh Malaya berujar, Hai Wujil rupanya Sang Panembahan Agung di Muria memiliki maksud begini, segala tindakan akan mencapai istirahat pada ujung kematian sebagai titik akhir penyerahan.
54
Punang tarate ingiling-iling / winaca sira sinuksmeng driya / punang thika sawiyose / tyas ruksa angga trenyuh / rujit dening raosing tulis / aglar punang sasmita / wirasan arja ‘lus / winelan-walen winaca / rarasing thika munya padha kakawin / kidung wekasing patra //
Teratai itupun berkali kali dipandangi, tulisan di atas kelopak bunga teratai pun dibaca berulang-ulang, tulisan dibaca serta dicamkan di dalam hati. Isinya mengharukan, hati Seh Malaya tersentuh karena banyaknya kiasan yang terdapat di dalamnya; lagi pula susunan kata-katanya amat halus dan indah. Berulang-ulang dibacanya. keindahan tulisan, bunyinya berupa bait kakawin, sebagai nyanyian pada akhir surat.
ACWALALITA
55
Irika Acwalalita ta sang sumitra ri sedeng /
mahas tekap ikang suwesma siwaya /
taki-taki teng tutur-kwa huningan /
ku masku rari yan kaka katawengan /
pilih alupa ing sepet rari baliknya /
harja katuturnya sewaka tular /
trena lata rupa jar kwari sedheng /
katiga wara dibya nungsung (ing) udan //
Penutup surat itu berbunyi sebagai berikut : Ketika Adinda pergi dari rumah sendiri, beribadat(?), bertapa. aku bersungguh-sungguh terhadap kata-kataku, ingatanku, pikiranku, wahai adinda. kalau Kakanda diibaratkan sedang bersembunyi di pohon kelapa, mungkin akan pingsanlah pohon kelapa? sebaliknya kesejahteraanlah yang diingatnya, (untuk) yang sungkem darma bakti berpindah pindah. seperti rumput, tumbuh tumbuhan melata, dan pohonlah sedangkan aku ibarat musim kering yang sangat luar biasa mengharapkan hujan.
MIJIL
56
Kadi puspita asehen sari / dhuh sumitraningong / iwir bramarengsun tan polih rume / wonten puspita asehen sari / bramara ‘ngrerengih / arsa wruhing santun //
Seperti halnya kembang yang penuh sari wahai sahabatku, wahai sahabatku, aku ibarat seekor kumbang yang yang tidak dapat memperoleh bau wangi dari bunga yang penuh dengan sari. Meskipun ada kembang yang penuh dengan sari, namun kumbang, merintih, ingin mendapatkan tepung sarinya.
DHANDHANGGULA
57
Punang tarate sampun winuning / mangke sinalah punang puspita / meneng anggrahiteng twase / pun Wujil awotsantun / paran marma meneng tanpa ‘ngling / kawula ‘rsa miharsa / wuwus kang minangun / sadalemning walapatra / wiyosing ling kang siniwi ing ki Wujil / donisun maring Mekah //
Sesudah selesai membaca, teratai dengan tertegun kembang tersebut diletakkannya, diam termenung dalam hatinya bertanya Wujil bertanya: apakah karenanya Gusti diam tidak berbicara? Hamba ingin mengetahui kata-kata yang dirangkai dalam surat tersebut. Seh Malaya berkata: Gurumu mengutarakan tentang perjalanan yang kulakukan ke Mekah.
58
Pun Wujil sigra binakta mulih /mantuk sireng dhekeh Pagambiran / punang randha tumut kabeh / pun Wujil tan seng pungkur / tan kawarneng sopana prapti / wus adan kukurenan / pun Wujil ingutus / ananjak pareng akathah / wusing ananjak linorod maring puri / sampun sami anginang.
Selanjutnya Wujil segera dibawa pulang. pulanglah mereka ke Dhukuh Pagambiran. Banyak orang yang telah bercerai, janda, mengikutinya. Wujil berjalan paling belakang. tidak dikisahkan hal ikhwal di jalan, kemudian sampailah di pondok, dan mereka makan siang. Wujil disuruh makan bersama orang banyak. sesudah makan sisanya dibawa kedalam rumah. kemudian mereka bersama-sama mengunyah sirih.
59
Suruping arka Seh Malaya ‘ngling / ra Wujil mbenjang yen sira pulang / matura salingku mangke / sampun rekeh kadulu / dhapur sabda tuturireki / satutur-tuturingwang / den katur punika / dipun katon saking sira / aja katon sabda saking isun Wujil / sakabisaanira //
Ketika matahari terbenam, Seh Malaya berkata: Wujil, besok jika kamu pulang, harus kau sampaikan segala yang kukatakan nanti kepada Gustimu. Sebaiknya jangan diperhatikan bentuk perkataan, segala perkataanku ini sebaiknyalah disampaikan. Sebaiknya buatlah ucapanku ini seolah-olah sebagai perkataanmu. jangan sampai terlihat sebagai perkataanku, hai wujil. Buatlah semampumu.
60
Karaningsun ra Wujil awali / maring Mekah wangsul ing Malaka / guru awangsul ing Pase / marmane kang sinuhun / wangsulira kinen abali / mara ing Nusa Jawa / kang akon awangsul / nenggih pawong-sanakira / pangeran Molana iku Maghribi / kang akon awangsula //
Karenanya, Wujil mengapa aku kembali ketika pergi ke Mekkah pulang di Malaka, sedang Guru besarku kembali pulang di Pase, karenanya Sang Panembahan Agung kembali, karena disuruh ke Nusa Jawa, yang menyuruh pulang adalah saudaranya yang bernama Maulana Magribi.
61
Samana ‘ngling Molana Maghribi / singgih pakanira awangsula / nora’na ing Mekah rekeh / ing Mekah kulon iku / Mekah tiron wastanireki / watu ingkang kinarya / pangadhepanipun / Nabi Ibrahim akarya / Nusa Jawa yen tuwan tinggala kapir / lan tuwan awangsula //
Beginilah kata Maulana Maghribi, Sebaiknya Engkau kembali, sebab apa yang Engkau cari itu tidak ada di Makah. Mekah yang ada di barat itu Mekah tiruan namanya. Benda keramat yang ada di di dalamnya adalah batu, Nabi Ibrahim yang membuatnya. Nusa Jawa jika rngkau tinggalkan, maka tanah air ini menjadi kafir. Oleh karena itu, kembalilah.
62
Nora’na weruh ing Mekah iki / alit mila teka ing awayah / mangsa tekaeng parane / yen ana sangunipun / tekeng Mekah tur dadi Wali / sangunipun alarang / dahat dening ewuh / dudu srepi dudu dinar / sangunipun kang sura legaweng pati / sabar lila ing dunya //
Tidak ada orang yang tahu, di mana Mekah yang sebenarnya, meskipun mereka memulai perjalanannya sejak muda hingga menjadi tua, mereka tidak akan mencapai tujuannya. Apabila orang mempunyai bekal perjalanan yang cukup, ia dapat sampai di Mekah untuk menjadi Wali. Tetapi bekal itu mahal, besar dan sukar diperoleh. Bekal itu bukan berupa uang rupiah atau dinar. Bekal itu adalah keberanian dan kesanggupan untuk mati, kehalusan budi dan keikhlasan dunia.
63
Masjid ing Mekah tulya ngideri / Ka’batullah punika ‘neng tengah / gumantung tanpa cecanthel / dinulu sakung ruhur / langit katon ing ngandhap iki / dinulu saking ngandhap / bumi aneng ruhur / tinon kulon katon wetan / tinon wetan katon kulon iku singgih / tingalnya awalesan //
Mesjid gi Mekah seperti mengelilingi Kabatullah yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa pengait. Dan jika orang melihatnya dari atas, orang akan melihat langit di bawah. Apabila orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihatnya ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur, maka akan terlihat barat. Ini sungguh penglihatan yang terbalik.
64
Tinon Kidul katon lor angrawit / tinon lor katon kidul asineng / pepeloking mrak samine / Ka’batullah puniku / lamun ana sembahyang siji / anging kawrat satunggal / yen roro tetelu / anging samono ambanya / yadyan wong salaksa kawrat iku singgih / tungkep rat pan kawawa //
Jika orang melihat ke selatan, yang tampak ialah utara yang indah. Dan jika melihat ke utara, nampak selatan, gemerlapan seperti mata pada bulu burung merak. Kabatullah itu apabila ada seorang yang bersembahyang maka hanya ada ruangan yang cukup untuk satu orang saja. Jika ada dua orang atau tiga orang, maka ruangan itu juga hanya cukup untuk dua atau tiga orang itu. Akan tetapi jika terdapat sepuluh ribu orang yang bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung mereka itu semua. Itu sungguh. Bahkan seandainya seluruh dunia akan bersembahyang di sana, pun akan tertampung juga.
65
Iku tuturingsun hih ra Wujil / tutur Wujil maring kang sinembah / katona saking awake / aja katon yen isun / yen atakon sang Mahamuni / mature : Sahur sembah / sembah ingkang katur / pun Wujil angabiwada / keras saking ngarsanira santri Wujil / lampahnya garawalan //
Itulah pesaku kepadamu wahai Wujil. Sampaikan kepada Sang Sesembahan, hendaklah tampak dari dirimu sendiri, jangan terlihat sebagai kata-kataku. Dan sekiranya Sang Mahamuni bertanya, sampailan dengan segala hormat bahwa aku hanya menghaturkan sembahku. Kemudian Wujil menyembah, segeralah berlalu dari hadapannya. Santri Wujil berjalan dengan tergesa-gesa.
66
Datang kawarnaeng marga prapti / sang kaya lagya pindha niskala / alinggih majeng mangilen / pun Wujil wruh ing semu / nora matur teka alinggih / prayanti kang sinaptan / pun Wujil wus emut / emut asewakeng nata / akit mila angawuleng sri bupati / nora beda mangkana //
Tidak diceritakan hal ihwal perjalanannya. Dia yang sedang berwujud seperti baka duduk menghadap ke barat. Wujil yang tahu perilakunya tidak berkata apa-apa tetapi langsung duduk. Menanti, itulah yang disukainya. Wujil selalu mengingat aturan bagaimana caranya menghadap raja karena sejak kecil telah mengabdi kepada Sang Raja. Tidaklah berbeda dengan keadaan sekarang.
67
Trehing karsa sinapa ra Wujil / bagya ra Wujil asarag prapta / stutinira matur mangke / saksana ‘glis umatur / tanpa ‘nggosthi sang pinaran ling / atur sembah kewala / sudibya anuhun / sawekase Seh Malaya / kang aksama denira sang Maha Muni / wruh wekasing wasita //
Dengan sungguh-sungguh dalam kehendaknya, disapalah Wujil: Selamatlah engkau, wahai Wujil, yang cepat datang.dengan menghaturkan sembah seketika segera ia berkata : Tidak berkata apa-apa beliau yang dikirimi pesan hanya menghaturkan sembah. Sangat pandai Wujil menjunjung segala pesan Seh Malaya. Dimaafkanlah oleh Sang Mahamuni intisari perkataan itu.
68
Wruhanira iku hih ra Wujil / pawong-sanakku ki Seh Malaya / saking Malaka wangsule / ing garage kadunung / amangun reh amanting ragi / ingaran Kalijaga / nggenira mangun kung / laminipun limang warsa / pinondhongan denira nateng ngawanggi / marganira neng Demak //
Ketahuilah wahai Wujil, bahwa saudaraku Seh Malaya itu, sekembalinya dari Malaka, bertempat tinggal di Garage (Cirebon?). Ia berusaha menjalani penyucian diri di tempat yang bernama Kalijaga. Ia menjalani penyucian diri di sana selama lima tahun. Setelah itu ia diboyong oleh Raja Awanggi. Itulah sebabnya ia berada di Demak.
69
Wonten putrane ilang sasiki / lanang sudi (bya) manggeh ing tapa / angirangi pangan kule / yayah rena anapu / sampun gege maksih taruni / dadya rujit tyasira / marma tibra ‘nglamung / putra lunga tan sjarwa / manah lampus lunga angingkis ing wengi / rena dadya sungkawa //
Ada seorang putranya yang hilang, seorang anak lali-laki yang unggul yang gemar bertapa dengan mengurangi makan dan tidur. Ayah dan ibunnya melunakkannya dengan kata-kata, Janganlah tergesa-gesa. Engkau masih muda. Kata-kata itu justru menyebabkan ia sakit hati, akibatnya ia selalu nampak murung. Sang putra pergi tanpa pesan. Hatinya sedih, pergi secara diam-diam pada tengah malam. Ibunya menjadi sedih.
70
Marmane pawong-sanakku Wujil / asalin tapuk araraketan / wetning tresna ing anake / margane anggambuh / singa desa kang den leboni / tan etang sandhang pangan / wirang tan tinutur / Hih ra Wujil ing agesang / mapan ewuh mati sajroning aurip / awis kang lumabuha //
Itulah sebabnya saudaraku itu, Wujil, mengapa kawanku kemudian mengambil peran yang lain, sebagai penari topeng. Bahwa ia memilih menjadi pemain gambuh, di setiuap desa yang dimasuki tanpa mempedulikan pakaian dan pangan, tak mengingat rasa malu. Wahai Wujil, dalam kehidupan ini sukar untuk mati selagi orang tersebut masih hidup, jarang orang yang dapat mencapainya.
71
Pati patitising angabakti / nora etang Wujil wiwilangan / pan mulih maring jatine / yen ana ketang-ketung / yekti sira tan apapunggih / kalawan kang sinadya / yen sira’rsa temu / sirnakena raganira / yen sira wus atemu akaron kapti / kapti anunggal karsa //
Mati merupakan tujuan yang paling tepat bagi orang yang berbakti, tiada lagi yang diperhitungkan, wahai Wujil, sebab kembali ke asalnya jika kau masih memperhitungkan sesuatu, kau tidak akan menemukan apa yang kau idam-idamkan. Jika kau ingin menemukannya, maka hilangkan dulu nafsu-nafsumu. Jika kau telah menemukannya, maka engkau akan menemukan kesamaan kemauan manunggal dengan kehendak.
72
Tunggal rupa saose namaneki / tunggal rasa saos rupanira / tinunggal sarwi-sarwine / sampune tunggal iku / saha satya pati saurip / larangane tan ana / sandhang pangan iku / sakarsane tunggal karsa / wong sinihan tan kena andum amilih / cihna tinunggal karsa //
Tunggal rupa namun beda nama. Tunggal kehendak berlainan rupanya. Manunggal segalanya. Setelah manunggal serta setia dalam mati dan hidup tiada larangan perihal sandang panagan. Semua kehendaknya manunggal dengan kehendakNya. Orang yang dikasihi tidak diperkenankan untuk memilih dan mambagi, itulah tanda manunggalnya kehendak.
73
Punang kang sinung andum amilih / iya iku wong kang aneng jaba / nora weruh ing jerone / sembahipun den sawur / tan wruh rekeh ing dalem puri / anging warta kewala / kang ketang kadhatun / aja sira umung warta / warta iku anasaraken sajati / yen sira sisip tampa //
Mereka yang masih memilih atau membagi ialah orang yang masih berada di luar, mereka tidak tahu keadaan yang ada di dalamnya. Sembahnya disebarkan tanpa arah sebab mereka tidak tahu keadaan di dalam puri. Hanya mendengar kabar berita saja, maka yang diperhatikan hanya keratonnya saja. Janganlah hanya mendengar beritanya saja karena berita itu sesungguhnya menyesatkan jika kau salah mengerti.
74
Hi Satpada aglis amet cermin / mangkatpun Satpada aglis prapta / punang cermin katur mangke / sang guru lingnya muwus / Sandhakena ing kayu tangi / Wujil Satpada padha / angilowa iku / mangkat karo kang inangyan / pun Satpada angling kaca iki Wujil / ambane andhap sira //
Wahai Satpada, cepat kamu ambil cermin. Si Satpada pergi dan segera kembali. Cermin kemudian dihaturkan . Sang Maha Guru berkata, “Gantungkan cermin ini pada pohon wungu itu. Wahai Wujil dan Satpada, bercerminlah bersma-sama di situ. Berangkatlah keduanya menjalankan perintah itu, Satpada berkata : wujil, Cermin ini lebarnya lebih bdaripada tinggi anda.
75
Kawan kilan ambane kang cermin / paran dene amba punang kaca / ra Wujil lawan dedege / punang Wujil ingutus / angadega hih ra Wujil / sang kinon sampun mangkat / pun Wujil kadulu / kakar sakukuncitira / kadi rare wedana anjeruk wangi / dening sampun atuwa //
Empat jengkal lebarnya cermin ini, meskipun demikian masih lebih lebar cermin ini daripada tinggi badsan Wujil. Wujil kemudian diperintahkan: Berdirilah wahai Wujil di depan Cermin. Yang disuruh telah melakukan perintah. Wujil kelihatan menyenangkan. Kuncirnya tampak seperti anak-anak yang berwajah seperti jeruk wangi karena sudah tua.
76
Pun Satpada angling hih ra Wujil / sira angadeg isun asila / paran dene padha mangke / lir rare yen dinulu / wadanane anjeruk wangi / mesem sang Adigarwa / ra Wujil sireku / amalesa dipun enggal / Uni enjing kawula lagi den sapih / dening pun ra Satpada //
Si Satpada berkata, Wujil, kau berdiri dan aku bersila, tetapi kita sama tingginya. Anda tampak seperti anak-anak jika dilihat, tetapi berwajah penuh keriput seperti jeruk wangi. Sang Guru Besar yang agung tersenyum, Wujil, kau harus membalas, cepat. Wujil berkata, Tadi pagi, baru saja hamba disindir oleh Satpada.
77
Pun Satpada ‘ngling angalesani / guguyone ra Wujil kakarsa / atutug pabanyole / sang sinuhun amuwus / siswa kalih sinungan tuding / ra Wujil awasena / jroning kaca iku / karo sira si Satpada / ling pun Wujil puniki rupa kakalih / tan sah tinunggal karsa //
Satpada berkata sambil mencari alasan untuk menghindar, canda Wujil memang menyenangkan dan lucu lawakannya. Sang Sesembahan, kedua orang murid itu diberi petunjuk, Wujil dan Satpada, perhatikan di dalam cermin itu, demikian pula engkau Satpada. Wujil berkata, di situ ada dua bayangan yang selalu bersatu dalam kehendak.
78
Pun Satpada ‘ngling hih kaki Wujil / karsaningsun lawan karsanira / pun endi rekeh tunggale / sira kalawan isun / mapan jalu kalawan istri / pundi tunggale ika / pun Wujil amuwus / nora beda ing jalu ka- / lawan istri pan sira tinunggal cermin / lir rupa ‘nang papreman //
Satpada berkata, Wahai Wujil, kehendakku dan kehendakmu di manakah bersatunya? Bukankah engkau dan aku adalah wanita dan laki-laki Wujil menyahut, Tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, karena mereka dipersatukan di dalam cermin seperti layaknya di dalam ranjang.
79
Pun Satpada nora wruh tumuli / pundi tunggale gusti kawula / ra Wujil sasar idhepe / pun Wujil glis sumahur / Nora beda jalu myang istri / kang aneng jro pahesan / tunggal rupanipun / lanang wadon yen wus tunggal / ing pahesan tan kocap jalu myang istri / pan iku rasa tunggal //
Satpada tidak segera dapat mengerti bagaimana manunggalnya antara Gusti dengan Kawula. Wujil menyadari pendapatnya keliru. Wujil segera menyahut, Tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan yang berada di dalam cermin satu wujudnya. Lelaki dan wanita jika sudah manunggal di dalam cermin tidak lagi dikatakan laki-laki dan manita karena itu adalah rasa tunggal.
80
Pun Satpada sira aglis aris / kalingane Wujil anjajawat / lir wong awulus rupane / ra Wujil glis sumahur / Nora nyana ujar puniki / pan sira salah tampa / mesem sang sinuhun / lah Wujil sira menenga / awasena rupa kanf aneng jro cermin / teka lunganing rupa //
Perlahan-lahan Satpada berkata, Perkataan Wujil bermaksud menuentuh-nyentuh (dalam hal asmara), seperti orang yang mulus wajahnya. Wujil cepat-cepat menjawab, Tidaklah bermaksud demikian perkataanku ini. Engkau salah paham. Sang Sesembahan tersenyum berkata, Wujil, engkau diamlah, perhatikan bayangan rupa yang ada di dalam cermin, dan lihat datang dan perginya (bayangan itu).
81
Rupa kang aneng sajroning cermin / lamun manjing punendi enggenya / yen lunga endi parane / hih ra Wujil sireku / angerana wurining cermin / ra Satpada ‘wasena / rupa roro iku / rupane si Wujil ika / ingkang ana ing cermin enggene mangkin / Ken Satpada kemengan //
Bayangan yang ada dalam cermin, jika datang di manakah tempatnya dan jika bayangan itu pergi ke mana arahnya? Wahai Wujil, engkau pergilah ke belakang cermin. Satpada, perhatikan kedua bayangan itu, rupa Wujil yang tadi ada di dalam cermin, di manakah kini? Satpada kebingungan.
82
Singgih pukulun rupa sawiji / pun Wujil wonten wurining kaca / nora katingal rupane / kang katingal pukulun / anging rupa kawula singgih / ra Satpada lungaha / anggonana iku / enggone si Wujil ika / Hih ra Wujil, metuwa sira den aglis / dulunen rupanira //
Betul tuanku, hanya ada satu bayangan. Wujil ada di belakang cermin, jadi tidak kelihatan rupanya. Yang terlihat, Tuanku hanya rupa saya saja. Sang Maha Guru berkata : Satpada, Pergilah dan berdirilah di tempat di mana Wujil sekarang berdiri. Kepada Wujil, sang Guru berkata , Wijil, enhkau keluarlah segera lihat rupamu.
83
Rupane pun Wujil den tingali / si Satpada Wujil ana ora / rupane iku samangke / ndan pun Wujil umatur / boten wonten rupaning isteri / anging rupa kahula / punuika pukulun / aneng ngendi si Satpada / ing rupane pun Wujil matur abakti / suhun sembah kahula //
Wujil melihat rupa dirinya di dalam cermin. Sang Maha Guru bertanya, Wujil, di dalam cermin itu sekarang ada tidak rupa Satpada? Kemudian Wujil menjawab, Hamba tidak melihat bayangan seorang wanita dalam cermin, hamba hanya melihat bayangan hamba sendiri. Tuanku. Sang Maha Guru berkata, Di manakah bayangan Satpada? Wujil menjawab, Maafkanlah hamba
84
Pun Wujil matur asahur bakti / panggrahitaning kawula mindha / tunggaling roro karsane / orane ananipun / ananipun oranireki / Sang Guru adi lingira / unggahe lingiku / pun Wujil asahur sembah / tan kena munggah raos kadi uniki / anuhun pangandika.
Wujil datang bersembah, Menurut pendapat seorang dungu seperti hamba, yang dimaksudkan dengan manunggalnya dua kehendak adalah : adanya adalah tidak adannya, dan tidak adanya adalah adanya. Sang Guru Unggul berkata, Bagaimana penjelasannya perkataanmu itu selanjutnya? Wujil menjawab sambil menyembah, tidak dapat dijelaskan lagi arti hal seperti ini. Mohon penjelasan Gusti.
85
Sang Ratu Wahdat lingira aris / hih ra Wujil bener ujanira / samene iku unggahe / LAA ILLAHA puniku / amot Itsbat kalawan Nafi / Jatine ana ora / iku tegesipun / Pangeran asipat ora / ing orane amput awit ananeki / anane’ku nakirah //
Sang Ratu Wahdat berkata perlahan-lahan, Wahai Wujil, benar kata-katamu. Hal ini hanya dapat dijelaskan demikian. Laa iIlaha meliputi Itsbat (konfirmasi) dan Nafi (negasi, penyangkalan), adalah ada dan tidak ada. Itulah artinya : Hakikat dari Tuhan adalah ada dalam ketiadaan, dan di dalam ketiadaan-Nya itu Dia mulailah ada itu. Dan ada-Nya itu terletak di dalam nakirah.
86
Nafi Nakirah lan Nafi Jinis / mapan iku jinising Pangeran / kang Nafi nyateng Itsbate / Nafi lan Itsbat iku / nora pisah pan ora tunggil / Nafi kalawan Itsbat / Nafi karoni pun / Nafi roro winaleran / dining Illa karone tan kena manjing / maring lafal Illa’llah //
Adapun nafi nakirah dan nafi jinis karena menyangkut jenis (wujud) Tuhan. Nafi itu sesungguhnya Itsbat (konfirmasi, pengakuan). Nafi dan Itsbat itu tidak terpisah, dan juga tidak manunggal. Akan tetapi nafi dan itsbat, juga kedua macam nafi (nafi nakirah dan nafi jinis) kedua-duanya dibatasi oleh kata Illa (pengecualian, pembatasan), dan karenanya keduanya tidak dapat masuk kedalam lafazh Illa’llah.
87
Hih ra Wujil kawruhana malih / kang Itsbat iku rekeh den nyata / atuduh marang Mutsbate / dalil kalawan mad-lul / iki rekeh saminireki / ingkang lafal Illa’llah / Mutsbat aranipun / mutlak iku Ismu’llah / tan kena liyanena Pangeran kalih / anging lafal Illa’llah //
Selanjutnya wahai Wujil ketahuilah lagi bahwa yang namanya Itsbat (pengakuan : Ke-ada-anNya) betul-betul harus menunjuk kepada Mutsbat (segala sesuatu yang dianggap Ada), seperti suatu Dalil (petunjuk) terhadap Madlulnya (yang ditunjuk). Rumus Illa’allah dinamakan Mutsbat (yang dianggap ada), yakni secara mutlak merupakan Ismu’llah (nama pribadi Allah). Tuhan lain tidak boleh ditempatkan di samping-Nya. Tidak boleh ada dua Tuhan. Maka lafalnya adalah illallah.
88
Hih ra Wujil eweh ujar iki / mapan eweh rekeh ing panarima / pan eweh lalabuhane / marmane wong puniku / kudon-kudon ujungan liring / sami amijet lafal / tartibe den lembut / bayan mani’ lawan sharaf / Nahwu den gulang-gulang rahina wengi / kawruh kandheg ing lafal //
Baiklah Wujil, pernyataan ini memang sukar, sebab selain susah dipahami, juga sukar untuk dilaksanakan. Itulah yang menyebabkan orang-orang saling bertengkar, karena keinginannya yang keras untuk memaksakan pendapatnya. Mereka saling mempertahankan lafalnya, mengikuti kaidah-kaidah yang haruslah diteliti, bayan mani’, sharaf dan nahwu (tatabahasa). Akan tetapi pengetahuannya terhenti pada hurufnya.
89
Meh sumurup mangke sang hyang rawi / awatara tunggang ing acala / matur pun Wujil ndan linge / Singgih rekeh pukulun / wonten rekeh ngaturi ringgit / wesma ing pananggungan / wastane pun santun / tilikana panggungira / gebogane yen ala Wujil salini / noli konen aleksa //
Matahari hampir tenggelam, kira-kira sudah berada di puncak gunung. Wujil berbicara, maka katanya : Ya Tuanku, Ada seseorang yang akan mementaskan pertunjukan wayang. Ia tinggal di Penanggungan dan bernama si Santun. Sang Pertapa berkata, Lihatlah sebentar pentasnya. Jika batang pisanya tidak dapat digunakan lagi, harus kau ganti, dan sekalian suruhlah ia untuk segera mulai.
90
Mantuk ing gedhong sang mahamuni / sampun atatalu kang awayang / saha nitir gegembinge / tan angangge pupucuk / dhalang Sari tumulya angringgit / angangge Bratayudha / ing kawitanipun / bikseka Sang Nateng Daha / kalaning amuja ‘ngglar palane dadi / ra Aji Jayabaya //
Sang Mahamuni yang agung segera kembali ke dakam rumah, yang mempertunjukan wayang telah dimulai dengan bermain gending, talu serta gembingnya dipukul terus menerus. Tidak dipertunjukkan permainan permulaan. Dalang si Sari telah mulai pertunjukan wayang dengan Lakon Bratayudha yang konon asalnya merupakan penobatan dar Yang Mulia Sang Raja Daha. Tatkala Raja memuja kemudian menguraikan keberhasilannya yang menyebabkan raja itu diberi nama Sang Raja Jayabaya.
91
Panerus tinggal tataning Nabi (tahun 1529) / sasangkala kawitan angripta / babakane pawayange / duk jawata tumurun / sang Narada Janaka nadwu / bagawan parasu kang / tumut ing salaku / laku sang nararya Kresna / sigra mijil saking gedhong kang siniwi / glis Seh Malaya teka //
Tulisan ini digubah pada cendrasengkala Panerus Tinggal Tataning Nabi (tahun Saka 1529 atau tahun 1607 M). Adegan wayang yang dimainkan ialah ketika para dewa turun dari kayangan, mereka adalah Narada, Janaka dan Bagawan Parasurama, yang terus mengikuti perjalanan Sang Raja Kresna sebagai duta dari Pandawa ke Hastina. Segera keluar Sang Sesembahan dari dalam rumah dan Seh Malaya segera datang juga.
92
Sisya kakalih ingkang umiring / ken Lawungsalawe Wanakarta / katur sang adi tekane / ingaturan glis rawuh / sami sira sareng alinggih / ingaturan adhahar / tan arsa sang tamu / sang guru adi awasita / sun pariksa sampun tekeng Mekah yayi / Singgih sampun Pangeran //
Dua orang siswa yang mengiringi adalah, Lawungsalawe dan Wanakarta. Kedatangan Seh Malaya beserta dua orang siswanya diberitahukan kepada Sang Pertapa. mereka dipersilahkan dan segera datang menghadap. Setelah bertemu, mereka duduk bersama. Makanan dihidangkan, akan tetapi tamunya menolak. Sang Maha Guru berkata (setengah menyindir), Seperti kuketahui, Dinda telah pergi ke Mekah, bukan? Jawab Tamu, Benar, paduka, aku telah ke sana.
93
Kahula duk teka’ng Mekah singgih / amangun reh duk ing Kalijaga / ing Mekah liwat rusite / ombaking sagara gung / jukung rekeh kang sun titihi / margane maring Mekah / toyane sumurup / palwa sumurup ing toya / maring bumi pandoman malim tan kari / malim saking jengira //
Aku pergi ke Mekah waktu aku sedang bertapa di Kalijaga. Mekah sukar dicapai; gelombang-gelombang lautan amat besar, dan aku berada di atas perahu. Air dari jalan ke Mekah menggenangi (permukaan laut). Dan perahuku juga masuk kedalam air, bahkan kedalam bumi. Akan tetapi pedoman penunjuk jalan sebagai kompas tidak ketingalan, pedoman penunjuk jalan yang kuperoleh dari Paduka.
94
Sampun liwat saking toya asin / prapteng sagara wedya awalikan / lir rat sangara ombake / gek gra nggurnita guntur / lindhu sayat belah kairing / wukir pating gulimpang / umumbul mring dhuwur / atarung ing awang-awang / surya wulan tan ana cahyanireki / kang lintang sumamburat //
Setelah aku melintasi laut asin, aku sampai di padang pasir, yang ombaknya bergulung-gulung menggelora seakan-akan dunia ini akan kiamat. Guntur pun menggelegar gemuruh laksana gunung berjatuhan, bumi berguncang-guncang, terbelah dan miring; gunung-gunung terguncang jauh dan melayang-layang di udara untuk saling berbenturan di sana. Matahari dan bulan tidak memancarkan cahayanya, sedangkan bintang-bintang bertebarann ke segala penjuru.
95
Duk liwat saking sagara wedhi / sagara geni mangka andungkap / kadi ndaru ombake / sindhung wukir kaguntur / agni rupa muntap lir thathit / kukusnya awalikan / gandhanya mis arung / ambune kadi sundawa / lir walirang sumuking geni awalik / lir gelap sasra laksa //
Setelah aku melewati padang pasir, aku sampai pada lautan api, yang gelombang-gelombangnya seperti meteor (bintang jatuh). Karena angin yang kencang, gunung-gunung terlempar jauh. Gunungan-gunungan api menyala seperti kilatan halilintar. Asapnya beterbangan naik turun, mengeluarkan bau busuk dan tidak sedap seperti mesiu dibakar. Uap api berbau belerang, menggelegar bagaikan seribu, ya selaksa, halilintar bersama-sama.
96
Angin malim saking jengireki / datan sah kacekel aneng tangan / lulusing lampah tekane / liwat saking iriku / dennya ngaji basa alami / ewahing basa Mekah / tan sasaminipun / nora mambu tutulisan / marmanipun wong ngaji akeh kabali / pilih wong wruheng Mekah //
Akan tetapi penunjuk jalan yang hamba terima dari Paduka, kugenggam selalu dalam tanganku, sampai perjalananku dikaruniai keberhasilan. Setelah aku melewati lautan api (aku sampai di Mekah), di mana aku masih harus mempelajari bahasa Arab agak lama. Mempelajari bahasa arab itu sulit tiada bandingnya, karena tidak ada sedikitpun yang mirip tulisan. Itulah sebabnya orang yang mengaji banyak ysng berhenti di tengah jalan. Tidak banyak orang yang mengetahui Mekah.
97
Punang awayang babakanneki / kalane teka ing jajabelan / kinon awusana mangke / Seh Malaya winuwus / sigra mangke ingajak mulih / maring gedhong pasunyan / sisyane tan kantun / lawungsalawe kalawan / wanakarta katiga lawan ra Wujil / sami ababar-babar //
Adapun babak permainan wayang sekarang sudah sampai pada bagian jabelan (minta kembalinya separuh negara). Waktu itu pertunjukan disuruh berhenti. Tersebutlah Seh Malaya segera diajak oleh Sang Pertapa masuk kedalam sanggar pamujan (tempat bersemedi); para siswa juga mengikuti: yaitu Lawungsalawe, Wanakarta dan bertiga dengan si Wujil. Mereka akan bersama-sama bertukar pikiran.
98
Sasampunira sami alinggih / Hih yayi Malaya nedha padha / winicara iki mangke / punang awayang wahu / lalakone punang angringgit / angangge Kresna Duta / semune ki empu / nedha sami winicara / sinemoke Agama Islam puniki / padha turuna sabda //
Setelah semua duduk, Sang Ratu Wahdat berkata, Adinda Malaya, marilah kita membicarakan kembali pertunjukan wayang yang baru saja dimainkan. Lakon yang telah dipilih oleh yang memainkan wayang adalah Kresna Duta (Kresna sebagai utusan). Marilah kita berbicara tentang maksud yang terdalam dari penggubah syair, diambil kiasannya untuk Agama Islam. Keluarkanlah pendapat kalian masing-masing.
99
Seh Malaya sahur sembah angling / datan wikan patemoning basa / arab kalawan jawane / aksara ‘rab pukulun / boten bisa sisya kakalih / tan asawala karsa / ing aturireku / sang Ratu Wahdat lingira / pasemone Nafi Isbat iku yayi / wayang tengen lan kiwa //
Seh Malaya berkata sambil menyembah, Aku tidak dapat menghubungkan bahasa Arab dengan Jawanya. Juga karena kedua muridku tidak mengenal sastra arab. Mereka hanya mengikuti pendapat seperti perkataan Paduka. Sang Ratu Wahdat berkata, Wayang yang ada di sebelah kiri dan kanan merupakan perlambang (ibarat) dari Nafi – Itsbat, Dinda.
100
Kang kiwa puniku maring Nafi / kang tengen puniku maring Itsbat / pandhawa maring Nafine / Itsbat karowa ikut / Itsbat iku pan asal Nafi / Nafi pan asal Itsbat / mutsbat kang den rebut / Kresna kang dadi pahesan / Kresna kaca pahesaning ringgit kalih / kalah menang ing kaca //
Wayang-wayang yang berada di sebelah kiri menunjuk ke Nafi, sedangkan yang di sebelah kanan menunjuk pada Itsbat. Para Pandawa memerankan Nafi, para Korawa memerankan Itsbat. Timbulnya Nafi disebabkan oleh Itsbat, akan tetapi juga sebaliknya timbulnya Itsbat disebabkan oleh Nafi. Sekarang mereka berperang memperebutkan Mutsbat, sedangkan Kresna pegang peranan sebagai cermin dari kedua belah pihak. Menang atau kalah tergantung dari cermin itu.
101
Mulaneku arebat nagari / iya Mutsbat iku kang den rebat / mulane perang dadine / nagara kang den rebat / Korawandra rebut nagari / lan jenenging Pandhawa / iku semunipun / mulane wong asawala / Nafi-Itsbat kang den rebut iku yayi / ing mangke tekeng kina //
Sebabnya mereka memperebutan negara adalah sama dengan perebutan Mutsbat antara Nafi dan Itsbat. Sebabnya terjadi peperangan adalah memperebutkan negara. Raja Korawa melawan golongan Pandawa memperebutkan negara, itulah kiasannya. Maka sejak dahulu hingga sekarang manusia berselisih, nafi dan itsbatlah yang diperebutkan, Dinda.
102
Mapan angeling ujar puniku / nora kena ngukuhi aksara / kang aksara kadadine / dadining nyana iku / nyana nora amung sawiji / nyana awarna-warna / dadine kapahung / akeh anyembah ing nyana / paksa hresthi sarira bisa angaji / ujare nyananira.
Persoalan tersebut memang sangat sukar. Orang tidak boleh berpegang teguh pada aksaranya (huruf, ajaran yang tertulis). Karena lahirnya aksara itu berkat adanya faham (= nyana, gagasan, dugaan). Dan tidak ada satu faham, akan tetapi banyak faham, hal mana menyeret ke arah kesesatan, karena banyak orang yang mendewa-dewakan fahamnya. Orang sudah merasa senang, menyadari bahwa dia sudah dapat mengaji (membaca Al-Qur’an, kitab atau buku lainnya), akan tetapi itu adalah bisikan dari faham kita.
103
Yen sira ‘yun yayi wruhing wadi / ujar iku anduluwa surya / hih yayi paran rupane / sampun ta kakduk semu / padha pisan dennya aningali / atining wuluh wungwang / ilir gigiring punglu / sanepa purusing ayam / kuda ‘ngrap ing pandengan punika yayi / kembang lo tanpa wigar //
Jika ingin mengerti persoalannya, Adinda, lihatlah wajah Dinda sendiri. Bagaimana rupa-bentuknya? Jangan membuat banyak komentar. Dinda harus melihat tengah-tengahnya bambu yang terbuka kedua ujungnya; atau melihat garis punggung peluru; atau melihat anggota rahasia seekor ayam jantan; atau melihat seekor kuda yang berlari kencang, sedangkan binatang itu tetap berdiri di bawah atap; atau melihat bunga Lo, yang tidak pernah layu.
104
Mereneya yayi den agelis / isun kangen yayi maring sira / apepekulan karone / susu adu lan susu / netra karna grana pan sami / suku lan suku padha / Sang Ratu amuwus / maring sira Seh Malaya / padha merem aja ’na winalang ati / sakedhap tekeng Mekah //
Kemarilah segera, Dinda. Aku rindu dan telah menantimu sejak lama. Keduanya saling berpelukan, dada beradu dada, muka beradu muka, hidung beradu hidung, kaki beradu kaki, Kanjeng Sunan Bonang berkata kepada Seh Malaya, Mari kita memejamkan mata dan jangan ada keraguan dalam hatimu. Dan sekonyong-konyong mereka berdua sampai di Mekah.