HUBUNGAN KERAJAAN PANJALU GALUH (SUNDA/CIAMIS) DAN KERAJAAN PANJALU KADHIRI (VERSI 1)
Panjalu ialah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak pada ketinggian 731 mdpl dan berada kaki Gunung Sawal, (1764 mdpl) Jawa Barat. Posisi Panjalu dikelilingi sang benteng alamiah berupa rangkaian pegunungan, dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh Gunung Sawal yang memisahkannya beserta daerah Galuh, bagian baratnya dibentengi sang Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas beserta Kerajaan Sumedang Larang sedangkan pada sisi utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi batas Kabupaten Ciamis beserta Majalengka yang dahulu adalah batas Panjalu beserta Kerajaan Talaga.
Secara geografis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai beserta tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu berbatasan beserta Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon pada sebelah utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan beserta Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482), daerah selatannya berbatasan beserta Kerajaan Galuh, sedangkan pada sebelah barat berbatasan beserta Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sumedang Larang.
Panjalu berasal dari kata Jalu (Sunda) yang berarti jantan, jago, maskulin, gentleman. Kata panjalu berkonotasi beserta kata-kata seperti jagoan, jawara, pendekar, warrior, pejuang, ahli olah perang), dan knight (kesatria, perwira).
Konon nama ini disandang sebab Panjalu pernah diperintah sang seorang ratu bernama Ratu Permanadewi. Mengingat sterotip atau asumsi generik tabiat orang Panjalu sampai sekarang pada mata orang Sunda pada umumnya, atau dibandingkan beserta tabiat orang Sunda pada umumnya, orang Panjalu dikenal lebih keras, militan maupun disegani sebab konon memiliki banyak ilmu kanuragan warisan dari nenek moyang mereka, sang karenanya arti kata Panjalu yang pertama sepertinya lebih mendekati kesesuaian.
Menurut Munoz (2006) Kerajaan Panjalu Ciamis (Jawa Barat) ialah penerus Kerajaan Panjalu Kediri (Jawa Timur) sebab sehabis Maharaja Kertajaya Raja Panjalu Kediri terakhir tewas pada tangan Ken Angrok (Ken Arok) pada tahun 1222, sisa-sisa famili dan pengikut Maharaja Kertajaya itu melarikan diri ke daerah Panjalu Ciamis. Itulah sebabnya ke 2 kerajaan ini mempunyai nama yang sama dan Kerajaan Panjalu Ciamis ialah penerus peradaban Panjalu Kediri.
Nama Panjalu sendiri mulai dikenal saat daerah itu berada dibawah pemerintahan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang, sebelumnya daerah Panjalu lebih dikenal beserta sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Istilah Kabuyutan identik beserta daerah Kabataraan yaitu daerah yang memiliki kewenangan keagamaan (Hindu) seperti Kabuyutan Galunggung atau Kabataraan Galunggung.
Kabuyutan ialah suatu tempat atau daerah yang dianggap kudus dan umumnya terletak pada lokasi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya, umumnya pada bekas daerah Kabuyutan maupun ditemukan situs-situs megalitik (batu-batuan purba) peninggalan masa prasejarah.
Pendiri Kerajaan Panjalu ialah Batara Tesnajati yang petilasannya terdapat pada Karantenan Gunung Sawal. Mengingat gelar Batara yang disandangnya, maka kemungkinan besar pada awal berdirinya Panjalu ialah suatu daerah Kabataraan sama halnya beserta Kabataraan Galunggung yang didirikan sang Batara Semplak Waja putera dari Sang Wretikandayun (670-702), pendiri Kerajaan Galuh.
Daerah Kabataraan ialah tahta kudus yang lebih menitikberatkan pada bidang kebatinan, keagamaan atau spiritual, beserta demikian seorang Batara selain berperan sebagai Raja maupun berperan sebagai Brahmana atau Resiguru. Seorang Batara pada Kemaharajaan Sunda mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dan krusial sebab beliau mempunyai satu kekuasaan istimewa yaitu kekuasaan untuk mengabhiseka atau mentahbiskan atau menginisiasi penobatan seorang Maharaja yang naik tahta Sunda.
Menurut sumber sejarah Kerajaan Galunggung, para Batara yang pernah bertahta pada Galunggung ialah Batara Semplak Waja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang. Berdasarkan keterangan Prasasti Geger Hanjuang, Batari Hyang dinobatkan sebagai penguasa Galunggung pada tanggal 21 Agustus 1111 M atau 13 Bhadrapada 1033 Caka. Kabataraan Galunggung ialah cikal bakal Kerajaan Galunggung yang dikemudian hari menjadi Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya). Besar kemungkinan sehabis berakhirnya periode kabataraan pada Galunggung itu kekuasaan kabataraan pada Kemaharajaan Sunda dipegang sang Batara Tesnajati dari Karantenan Gunung Sawal Panjalu.
Adapun para batara yang pernah bertahta pada Karantenan Gunung Sawal ialah Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Pada masa kekuasaan Prabu Sanghyang Rangga Gumilang atau Sanghyang Rangga Sakti putera Batara Karimun Putih, Panjalu berubah dari kabataraan menjadi sebuah daerah kerajaan. Diperkirakan kekuasaan kabataraan Sunda kala itu dilanjutkan sang Batara Prabu Guru Aji Putih pada Gunung Tembong Agung, Prabu Guru Aji Putih ialah seorang tokoh yang menjadi perintis Kerajaan Sumedang Larang.
Prabu Guru Aji Putih digantikan sang puteranya yang bernama Prabu Resi Tajimalela, dari sumber sejarah Sumedang Larang, Prabu Resi Tajimalela hidup sezaman beserta Maharaja Sunda yang bernama Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Prabu Resi Tajimalela digantikan sang puteranya yang bernama Prabu Resi Lembu Agung, kemudian Prabu Resi Lembu Agung digantikan sang adiknya yang bernama Prabu Gajah Agung yang berkedudukan pada Ciguling. Dibawah pemerintahan Prabu Gajah Agung, Sumedang Larang bertransisi dari daerah kabataraan menjadi kerajaan.
Kekuasaan kabataraan pada Kemaharajaan Sunda kemudian dilanjutkan sang Batara Gunung Picung yang menjadi cikal bakal Kerajaan Talaga (Majalengka). Batara Gunung Picung ialah putera Suryadewata, sedangkan Suryadewata ialah putera bungsu dari Maharaja Sunda yang bernama Ajiguna Linggawisesa (1333-1340), Batara Gunung Picung digantikan sang puteranya yang bernama Pandita Prabu Darmasuci, sedangkan Pandita Prabu Darmasuci kemudian digantikan sang puteranya yang bernama Begawan Garasiang. Begawan Garasiang digantikan sang adiknya sebagai Raja Talaga yang bernama Sunan Talaga Manggung dan sejak itu pemerintahan Talaga digelar selaku kerajaan.
Kemaharajaan Sunda ialah suatu kerajaan yang adalah penyatuan 2 kerajaan besar pada Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu Kerajaan Sunda yang didirikan Maharaja Tarusbawa (669-723) dan terletak pada sebelah barat Sungai Citarum serta Kerajaan Galuh yang didirikan Sang Wretikandayun (670-702) dan terletak pada sebelah timur Sungai Citarum. Kerajaan Sunda dan Galuh ialah pecahan dari Kerajaan Tarumanagara (358-669), kemudian ke 2 kerajaan tersebut dipersatukan kembali dibawah satu mahkota Maharaja Sunda sang cicit Wretikandayun bernama Sanjaya (723-732).
Putera Sena atau Bratasenawa (709-716) Raja Galuh ketiga ini sebelumnya bergelar Rakeyan Jamri dan sehabis menjadi menantu Maharaja Sunda Tarusbawa diangkat menjadi penguasa Kerajaan Sunda bergelar Sang Harisdarma. Sang Harisdarma sehabis berhasil menyatukan Galuh beserta Sunda bergelar Sanjaya. Berdasarkan peninggalan sejarah seperti prasasti dan naskah kuno, bunda kota Kerajaan Sunda berada pada daerah yang sekarang menjadi kota Bogor yaitu Pakwan Pajajaran, sedangkan bunda kota Kerajaan Galuh ialah yang sekarang menjadi kota Ciamis, tepatnya pada Kawali. Namun demikian, banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut kumpulan ke 2 kerajaan ini beserta nama Kerajaan Sunda saja atau tepatnya Kemaharajaan Sunda dan penduduknya sampai sekarang dikenal sebagai sebagai orang Sunda.
Panjalu ialah keliru satu kerajaan daerah yang termasuk dalam kekuasaan Kemaharajaan Sunda sebab daerah Kemaharajaan Sunda sejak masa Sanjaya (723-732) sampai beserta Sri Baduga Maharaja (1482-1521) ialah seluruh Jawa Barat termasuk Provinsi Banten dan DKI Jakarta serta bagian barat Provinsi Jawa Tengah, yaitu mulai dari Ujung Kulon pada sebelah barat sampai ke Sungai Cipamali (Kali Brebes) dan Sungai Ciserayu (Kali Serayu) pada sebelah timur.
Menurut Naskah Wangsakerta, daerah Kemaharajaan Sunda maupun meliputi Provinsi Lampung sekarang sebagai hasil dari pernikahan antar penguasa daerah itu, keliru satunya ialah Niskala Wastu Kancana (1371-1475) yang menikahi Nay Rara Sarkati puteri penguasa Lampung, dan dari pernikahan itu melahirkan Sang Haliwungan yang naik tahta Pakwan Pajajaran (Sunda) sebagai Prabu Susuktunggal (1475-1482), sedangkan dari Nay Ratna Mayangsari puteri sulung Hyang Bunisora (1357-1371), Niskala Wastu Kancana berputera Ningrat Kancana yang naik tahta Kawali (Galuh) sebagai Prabu Dewa Niskala (1475-1482).
LOKASI KERAJAAN PANJALU
Lokasi Kerajaan Panjalu yang berbatasan langsung beserta Kawali dan Galuh maupun memperlihatkan keterkaitan yang erat beserta Kemaharajaan Sunda ada empat daerah yang pernah menjadi ibukota Sunda yaitu: Galuh, Parahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Kerajaan-kerajaan lain yang menjadi bagian dari Kemaharajaan Sunda ialah: Cirebon Larang, Cirebon Girang, Sindangbarang, Sukapura, Kidanglamatan, Galuh, Astuna Tajeknasing, Sumedang Larang, Ujung Muhara, Ajong Kidul, Kamuning Gading, Pancakaki, Tanjung Singguru, Nusa Kalapa, Banten Girang dan Ujung Kulon.
Selain itu Sunda maupun memiliki daerah-daerah pelabuhan yang dikepalai sang seorang Syahbandar yaitu Bantam (Banten), Pontang (Puntang), Chegujde (Cigede), Tanggerang, Kalapa (Sunda Kalapa), dan Chimanuk (Cimanuk). Kaitan lain yang menarik antara Kemaharajaan Sunda beserta Kerajaan Panjalu ialah bahwa didasarkan catatan sejarah Sunda, Hyang Bunisora digantikan sang keponakan sekaligus menantunya yaitu Niskala Wastu Kancana yang sehabis mangkat dipusarakan pada Nusa Larang, sementara dari Babad Panjalu tokoh yang dipusarakan pada Nusa Larang ialah Prabu Rahyang Kancana putera dari Prabu Sanghyang Borosngora.
Ada dugaan Sanghyang Borosngora yang menjadi Raja Panjalu ialah Hyang Bunisora Suradipati, beliau ialah saudara termuda Maharaja Linggabuana yang gugur pada palagan Bubat melawan tentara Majapahit pada tahun 1357. Hyang Bunisora menjabat sebagai Mangkubumi Suradipati mewakili keponakannya yaitu Niskala Wastu Kancana yang baru berusia 9 tahun atas tahta Kawali . Hyang Bunisora maupun dikenal sebagai Prabu Kuda Lelean dan Batara Guru pada Jampang sebab menjadi seorang petapa atau resi yang mumpuni pada Jampang (Sukabumi). Tentunya perlu penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan ini.
Sementara itu sumber lain dari luar wacana kaitan Panjalu beserta Sunda yakni dari Wawacan Sajarah Galuh memapaparkan bahwa sehabis runtuhnya Pajajaran, maka putera-puteri raja dan warga Pajajaran itu melarikan diri ke Panjalu, Kawali, dan Kuningan. Pendiri Kerajaan Kahuripan ialah Airlangga atau tak jarang pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, beserta gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa.
Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa. Airlangga memiliki 2 orang saudara termuda, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah beserta putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) pada Watan, bunda kota Kerajaan Medang.
Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu beliau berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai pada Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim dikenal sebagai Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah keliru satu nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah 3 tahun hidup pada hutan, Airlangga didatangi utusan warga yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas pada dekat Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).
Menurut Prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), bunda kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang). Menurut Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai beserta naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama maupun menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat pada Daha. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, daerah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, sebab sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Mula-mula yang dilakukan Airlangga ialah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang adalah musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini menghasilkan Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan sang Airlangga ialah Raja Hasin.
Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa. Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan sang Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun bunda kota baru pada Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.
Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian tewas dibunuh rakyatnya sendiri. Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya pada muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga maupun menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diubahsuaikan dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari. Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta.
Menurut Serat Calon Arang beliau kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan dari Babad Tanah Jawi beliau bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat diandalkan ialah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga ialah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Menurut cerita warga, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan menentukan hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama orisinal putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) ialah Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian galau menentukan pengganti sebab ke 2 putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya maupun putra raja Bali, maka beliau pun berniat menempatkan keliru satu putranya pada pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.
Fakta sejarah memperlihatkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan saudara termuda yang lain yaitu Anak Wungsu. Airlangga terpaksa membagi 2 daerah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi memutuskan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah 2 kerajaan baru. Kerajaan barat dikenal sebagai Panjalu atau Kadiri berpusat pada kota baru, yaitu Daha, diperintah sang Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat pada kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah sang Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, beliau sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi pada antara ke 2 tanggal tersebut. Tidak diketahui beserta sempurna kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan pada tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai beserta liputan prasasti Sumengka ialah Candi Belahan pada lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai 2 dewi.
Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga ialah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga beserta 2 istrinya, yaitu bunda Sri Samarawijaya dan bunda Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui beserta sempurna apakah tahun itu ialah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
Maharaja Jayabhaya ialah Raja Kadiri yang memerintah lebih kurang tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya ialah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa maupun dikenal sebagai prasasti Ngantang, terdapat slogan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dimuntahkan sebagai piagam pengesahan pemberian untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya ialah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali beserta Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah sang Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157. Sri Maharaja Kertajaya ialah raja terakhir Kadiri yang memerintah lebih kurang tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, beliau dikalahkan sang Ken Arok dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.
Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun sehabis zaman Kadiri. Bukti sejarah eksistensi tokoh Kertajaya ialah beserta ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya ialah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Dalam Pararaton, Kertajaya dikenal sebagai beserta nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya beliau menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja impian itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian beserta cara duduk pada atas sebatang tombak yang berdiri. Para pendeta menentukan berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu pada Tumapel. Ken Arok kemudian mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya sanggup dikalahkan sang Siwa.
Mendengar hal itu, Ken Arok pun dengan gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan berkiprah memimpin pasukan menyerang Kadiri. Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (saudara termuda Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman tewas pada tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.
Nagarakretagama maupun mengisahkan secara singkat liputan kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat tuhan). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya ialah alam dewata. Kiranya yang dimaksud ialah Kertajaya bersembunyi pada dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (akhirat). Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari).
Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel. Berita tersebut tidak sesuai beserta naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang berkata kalau penguasa Kadiri sehabis Kertajaya ialah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang dari prasasti Penanggungan ialah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri sehabis menghancurkan Tumapel tahun 1292.
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya beserta Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama ke 2 kerajaan ini sedikit-banyak memperlihatkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) maupun dikenal sebagai-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).
Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa famili dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya pada Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran pada Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.
Berdasarkan buku Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi pada Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat kudus, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas pada tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang adalah tempat kudus dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.
IBUKOTA PANJALU
Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai beserta perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan ialah : Karantenan Gunung Sawal Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air kudus dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat dipakai sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
DAYEUHLUHUR MAPARAH
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai beserta Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak pada bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon Presiden I RI Ir Soekarno maupun pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan konvoi kemerdekaan RI.
NUSA LARANG
Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang ialah sebuah pulau yang terdapat pada tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai maupun Nusa Gede sebab pada zaman dulu ada maupun pulau yang lebih mini bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada sebab menyatu beserta daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga sang Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani.
DAYEUH NAGASARI CIONAD
Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai beserta pemerintahan Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam daerah Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis. Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, pada Ciomas maupun terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepalai sang seorang Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang daerahnya masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Panjalu.
DAYEUH PANJALU
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai beserta sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal beserta Batara Salapan, yaitu terdiri dari :
1. Sri Manggelong pada Kubang Kelong,
2. Rinduwangi
Sri Manggulang pada Cipalika,
3. Bahara
Kebo Patenggel pada Muhara Cilutung,
4. Hujungtiwu
Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh pada Ranca Gaul,
5. Tengger
Lembu Dulur pada Giut Tenjolaya,
6. Sindangherang
Sang Bukas Tangan pada Citaman,
7. Citatah
Batara Terus Patala pada Ganjar Ciroke,
8. Golat
Sang Ratu Lahuta pada Gajah Agung Cilimus,
9. Banjarangsana
Sri Pakuntilan pada Curug Goong,
10. Maparah
HUBUNGAN KERAJAAN PANJALU KADHIRI DAN PANJALU GALUH /SUNDA/CIAMIS (VERSI 2)
Raja pertama dari Kerajaan Bedahulu Bali dinasti Warmadewa adalah Aji Tabanendra Warmadewa. Raja ini memerintah tahun 955 – 967 M bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi.
Penggantinya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja inilah yang membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul, terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha Warmadewa memerintah sampai tahun 975 M.
Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975 – 983 M. Tidak ada keterangan lain yang dapat diperoleh dari raja ini, kecuali tentang anugerah raja kepada desa Jalah.
Pada tahun 983 M, muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 – 989 M).
Pengganti Sri Wijaya Mahadewi bernama Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta, diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tergores dalam prasasti Jalatunda.
Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal dan dicandikan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya sendirian hingga wafat pada tahun 1011 M. Ia dicandikan di Banuwka. Hal ini disimpulkan dari prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebutkan nama Udayana sendiri. Adapun dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa setelah wafat, Udayana dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka.
Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. Oleh karena itu, yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya adalah Marakata. Setelah naik takhta, Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata PangkajasthanaUttunggadewa. Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga.
KERAJAAN PANJALU KADHIRI DI JAWA TIMUR
Raja Airlangga, Pendiri Kerajaan Kahuripan adalah Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga, yang memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu, Bali dari Wangsa Warmadewa.
Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).
Berdasarkan Babad Arya Gajah Bali A Sri Airlangga memiliki keturunan dua laki-laki utama, yang ketiga putri di luar istana. Putra tertua itu bernama Sri Jayabhaya, dan Sri Jayashaba, lahir dari ibu permaisuri.
Menurut Prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari dari Lwaram, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibukota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibukota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Nama kota ini tercatat dalam Prasasti Cane (1021).
Menurut Prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).
Menurut Prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.
Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.
Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa, Raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Penguasa pertama yang dikalahkan oleh Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa Raja Wuratan, Wijayawarma Raja Wengker, kemudian Panuda Raja Lewa.
Pada tahun 1031 putera Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.
Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita itu akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.
Terakhir, pada tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma Raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036. Membangun Bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman. Memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan. Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041. Memindahkan ibukota dari Kahuripan ke Daha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai Prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan.
Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai Raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan Prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Panjalu atau Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam Prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut. Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal.
Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian.
Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.
MAHARAJA SRI AJI JAYABHAYA
Maharaja Jayabhaya adalah Raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kadiri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).
Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang melawan Janggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kadiri. Kemenangan Jayabhaya atas Janggala ini disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh tahun 1157.
SRI MAHARAJA KERTAJAYA (PRABU DANDANG GENDIS)
Sri Maharaja Kertajaya adalah raja terakhir Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1194-1222. Pada akhir pemerintahannya, ia dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel atau Singhasari, yang menandai berakhirnya masa Kerajaan Kadiri.
Nama Kertajaya terdapat dalam Nagarakretagama (1365) yang dikarang ratusan tahun setelah zaman Kadiri. Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya adalah dengan ditemukannya Prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), Prasasti Palah (1197), dan Prasasti Wates Kulon (1205). Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa.
Dalam Pararaton, Kertajaya disebut dengan nama Prabu Dandhang Gendis. Dikisahkan pada akhir pemerintahannya ia menyatakan ingin disembah para pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja keinginan itu ditolak, meskipun Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan cara duduk di atas sebatang tombak yang berdiri.
Para pendeta memilih berlindung pada Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang menjadi akuwu di Tumapel. Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi raja dan menyatakan Tumapel merdeka, lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis sama sekali tidak takut. Ia mengaku hanya bisa dikalahkan oleh Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Guru (nama lain Siwa) dan bergerak memimpin pasukan menyerang Kadiri.
Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis) dan Gubar Baleman mati di tangan Ken Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.
Nagarakretagama juga mengisahkan secara singkat berita kekalahan Kertajaya tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya melarikan diri dan bersembunyi dalam dewalaya (tempat dewa). Kedua naskah tersebut (Pararaton dan Nagarakretagama) memberitakan tempat pelarian Kertajaya adalah alam dewata. Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya bersembunyi di dalam sebuah candi pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas dan menjadi penghuni alam halus (akhirat)
Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan Tumapel (Singhasari). Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai Bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.
Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah Prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti Penanggungan adalah Bupati Gelang-Gelang yang kemudian menjadi Raja Kadiri setelah menghancurkan Tumapel tahun 1292.
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Panjalu Ciamis sedikitpun tidak ada yang menyebutkan secara gamblang hubungannya dengan Kerajaan Panjalu Kediri, akan tetapi kesamaan nama kedua kerajaan ini sedikit-banyak menunjukkan adanya benang merah antara keduanya, apalagi nama Raja Panjalu Kediri Maharaja Kertajaya (1194-1222) juga disebut-sebut dalam Prasasti Galunggung (1194).
Paul Michel Munoz (2006) mengemukakan bahwa sisa-sisa keluarga dan pengikut Kertajaya (Raja terakhir Dinasti Sanjaya di Jawa Timur) melarikan diri ke daerah Panjalu (Sukapura/Ciamis) pada tahun 1222 untuk menghindari pembantaian Ken Angrok (Ken Arok), pendiri Kerajaan Singhasari/Dinasti Rajasa. Kertajaya sendiri sebagai Raja Kediri terakhir tewas dalam pertempuran di Tumapel melawan pemberontakan Akuwu Tumapel, Ken Angrok.
Berdasarkan kitab Nagarakretagama, Maharaja Kertajaya bersembunyi di Dewalaya (tempat Dewa) atau tempat suci, maka bukan tidak mungkin Maharaja Kertajaya sebenarnya tidak tewas di tangan Ken Arok, melainkan melarikan diri ke Kabataraan Gunung Sawal (Panjalu Ciamis) yang merupakan tempat suci dimana bertahtanya Batara (Dewa) Tesnajati.
Imajiner Nuswantoro