KEJAWEN DAN ISLAM
Rupanya banyak yang belum paham. Kejawen itu bukan agama.
Tapi kaweruh, ilmu Hidup, yang mengajarkan jalan hidup mulai awal hingga akhir, Sangkan Paraning Dumadi adalah ajaran agar manusia paham dari mana kita berasal dan apa yang harus kita lakukan sebagai tugas kita serta kemana kita hendak menuju nantinya.
Ngelmu kaweruhnya :
1. Memayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi).
2. Memayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga).
Semua itu ditujukan agar terjadi keselarasan antar sesama mahluk di semesta. Konsep ketuhanan Kejawen sudah mengenal Sang Hyang Tunggal, Gusti Kang Durmading Djagad, Sing Ngecet Lombok, yang tak ada duanya.
Manunggaling Kawula Gusti, sekata dengan Gusti Kang Durmading Djagad (Gusti Allah) dan bahwa kita adalah bagian dari Gusti Allah itu sendiri.
Ajaran ini sudah ada sejak dulu melekat , mengakar, menjiwa, mendarah daging, sejak orang Jawa ini ada. Walaupun tidak di akui sebagai agama, sebagian dari pengamal kaweruh ini di jadikan dalam sebuah wadah Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa oleh Pemerintah pada waktu itu. Karena ajarannya universal, maka agama apapun yang datang di terima dengan baik.
Jadi jangan heran jika melihat orang Jawa berblankon beribadah di masjid, gereja, vihara, kuil, pura, acara-acara hajatan dan undangan lain.
Kata kuncinya kejawen adalah kaweruh bisa di pelajari oleh siapapun.
DHARMA KEJAWEN
Menurut sudut pandang sesungguhnya Kejawen itu bukanlah agama. Tetapi perilaku yang dituntun oleh Budi Pekerti dalam tindakan kehidupan nyata sehari-hari. Didalam Kejawen yang dibahas bukan run down gladi tata cara ritualisme keagamaan, namun bagaimana memahami Tuhan Sang Pencipta itu sendiri dan menerapkannya dalam perilaku nyata sebagai wujud penghormatan kepada sang pencipta dan seluruh alam semestanya.
Kita ambil contoh dalam pemahaman agama Hindu,
Kalau kita sempat membaca karya sastra gubahan Nusantara yang bernafaskan agama Hindu, contohnya : Mahabarata, Bhagawat Gita, Arjuna Wiwaha dll, disana muncul banyak tokoh yang tidak pernah ada dalam pakem alur cerita aslinya India (Hindustan). Contohnya Punokawan dan Pendawa. Melalui tokoh imajiner Kejawen tersebut telah disampaikan sudut pemaknaan baru tentang ajaran agama yang terselip didalam cerita, mereka seakan-akan menjadi penterjemah bahasa agama yang rumit menjadi bahasa lokal yang cair dan mudah dimengerti. Tidak lupa mereka memberikan contoh pelaksanaan suatu perilaku yang baik menurut agama dan adat (disinilah dominan pendidikan moral, kesopanan dan kesantunan di tekankan). Dengan adanya beberapa tambahan pemaknaan baru tersebut, maka diharapkan umat lebih memahami cara praktek keagamaan dengan lebih santun dan khusuk. Belum lagi banyak juga struktur kedewaan yang muncul dalam struktur Kejawen dan tidak pernah ada bila dilihat pada struktur agama Hindu maupun sastra India.
Bisa digambarkan :
1. Dewi Sri adalah dewi pertanian,
2. Dewa Maruta adalah penguasa angin,
3. Hyang Antaboga adalah pengusaha bawah bumi.
Hal yang sama terjadi ketika agama ISLAM melakukan asimilasi budaya dengan KEJAWEN, maka ada pakem baru dimunculkan Sunan KALIJAGA dengan menciptakan cerita JAMUS KALIMASADA (Jimat yang berupa Kalimat Syahadat), yang jelas2 sulit dirunut secara logika hubungan cerita antara keluarga PANDAWA dengan ISLAM, tetapi itu mungkin dilakukan di JAWA ini setelah para filsuf adat dan ulama keagamaan berhasil menemukan sudut pandang yang sama atas arti sebuah lelaku pemujaan kepada TUHAN YANG MAHA ESA.
Itulah KEJAWEN : Perilaku BUDI PEKERTI YANG LUHUR yang ditujukan kepada TUHAN dan ALAM SEMESTA beserta isinya.
Seseorang yang lebih muda akan membungkukan badan ketika melewati yang lebih tua, berbicara lirih tanpa memandang mata lawan bicaranya yang lebih tua, senantiasa melakukan tirakat adat dan keagamaan bagi anak keturunan sekalipun mereka belum dilahirkan, mampu bekerjasama dengan semua mahluk di alam semesta berdasarkan kesantunan dan banyak lagi.
Dalam SERAT SABDO PALON, sempat diplintir banyak pihak. Ketika sang SABDO PALON berkata bahwa suatu saat akan membangunkan kembali agama BUDI, ada yang menterjemahkan itu HINDU, itu BUDHA dan sebagainya. Padahal yang dimaksud adalah JIWA KEJAWEN ini yang berupa BUDI PEKERTI LUHUR.
Sedangkan agama yang sudah anda peluk yakinilah dengan sempurna, sebab KEJAWEN bukanlah agama tetapi roh atau jiwa dari perilaku hidup yang ditempa lewat perilaku adat dan sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud SABDO PALON dan NOYO GENGGONG tentang rusaknya agama adalah suatu kondisi ketika umat LEBIH TAKUT KEPADA PERILAKU AGAMA sehingga justru melupakan TUHAN itu sendiri yang seharusnya menjadi tujuan utama yang melahirkan keberadaan agama. Maka di saat itulah perlu revitalisasi moral besar-besaran dilingkungan agama, untuk kembali menomor satukan pemujaan kepada TUHAN dan bukannya pada lambang-lambang agama atau golongan.
KEJAWEN
Kejawèn adalah pandangan hidup orang Jawa yang menekankan pada ketentraman batin, keselarasan, keseimbangan, sikap menerima terhadap semua peristiwa yang terjadi, sambil menempatkan individu dibawah masyarakat dan alam semesta.
AJARAN KEJAWEN
Isi dari ajaran Kejawèn adalah nilai nilai luhur, ètika dan spiritualitas yang terinspirasi dari tradisi masyarakat Jawa yg secara turun temurun mewarisi kekayaan, pengetahuan dan kebudayaan Kejawèn ini.
Secara umum masyarakat Jawa diajarkan untuk menjalani hidup dengan mengikuti :
a). TÔTÔ URIP atau tata hidup, yang bermakna bahwa dalam kehidupannya seseorang harus merencanakannya dengan baik agar tercapai apa yang dicita-citakannya.
b). TÔTÔ KRÔMÔ, yang bermakna bahwa seseorang harus memiliki perilaku sopan santun dan unggah ungguh dalam hidup bermasyarakat.
c). TÔTÔ LAKU, yang bermakna bahwa dalam setiap langkah kehidupannya seseorang harus memperhitungkannya dengan cermat.
Untuk memperoleh hidup yang bahagia dunia akhirat dengan jalan Kejawèn, maka seseorang harus mampu memahami jagad gedé (alam semesta) dan jagad cilik (diri pribadi).
Setelah mampu memahami kedua jagad itu, maka harus mampu pula untuk menyatukannya agar diperoleh keselarasan hidup.
Konsep filosofi ini diwujudkan dalam 5 hal, yaitu :
1). MANUNGGALÉ KAWULÔ GUSTI (bersatunya manusia dengan Sang Pencipta), yang diwujudkan dalam bentuk melenyapkan egoisme dan ke-akuan sehingga akan tercapai hidup yang menghidupi (urip yô nguripi).
Berikut 4 jalan mistik atau laku batin yang harus dilalui :
a). PANEKUNG, artinya semèdi secara khusyuk dan tak tergoda oleh apapun.
b). DAYANA, artinya tekad kuat lahir bathin untuk sampai kepada Tuhan.
c). SUMARAH /SUMÈLÈH, artinya tidak mengharap apapun terkecuali haknya.
d). PARAMITA, artinya kehidupan lahir batin yang menuju kesempurnaan, yaitu sikap legôwô (ikhlas), susilô (sopan), waspôdô (hati2), tepô slirô (mawas diri) dan wicaksônô (bijaksana).
2). MEMAYU HAYUNING BAWÔNÔ (menjaga kehidupan yg penuh keindahan di bumi), yang dilakukan dg dan utk memberikan rasa tenteram, tidak menjajah dan terjajah, nyaman serta mengedepankan prinsip kemanusiaan (semua harus dihormati tanpa melihat status dan pangkat derajatnya).
3). SEPI ING PAMRIH RAMÉ ING GAWÉ (berbuat kebaikan kpd sesama yg tanpa mengharap imbalan tp dg dasar ketulus ikhlasan).
4). SANGKAN PARANING DUMADI (memahami darimana kita ini berasal, dan kemana nantinya kita akan kembali).
5). BUDI LUHUR (berakhlak mulia).
Demikianlah sekilas tentang "APA ITU KEJAWÈN" dan "APA ISI AJARAN KEJAWÈN",.
Semoga bisa bermanfaat bagi teman2ku semua.
Rahayu. rahayuu.. rahayuuu...
KEJAWEN VERSI LAIN
Belajar ilmu yg diajarkan oleh para
Leluhur Jawa sangatlah membutuh
kan Daya nalar, pikir dan Rahsa.
Sebab ilmu Kapitayan atau bab
Kejawen banyak ragam macamnya :
1. Sangkan Paraning Dumadi.
2. Sangkan Paraning Pati.
3. Manunggaling kawula mring Gusti.
4. Sedulur papat kalima Pancer.
5. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
6. Eling lan Waspadha.
7. Cakra Manggilingan.
Masing masing mempunyai jabaran dan wedaran yang dalam dan jeru :
1. Kejawen adalah ageman.
2. Ageman adalah pegangan.
3. Pegangan Hidup.
4. Hidup dalam kehidupan di alam kasunyatan.
Angger angger atau aturan dan peraturan Kejawen adalah Baku.
Pakem yg tidak dapat diubah dan
ditambahi. Meski angger anggernya merupakan aturan yg tak tertulis (Maca tanpo tinulis).
Apabila dilanggar maka si individulah yang menerima akibatnya.
Karena KARMA pasti berlaku.
Ngunduh wohing pakarti yaitu semua perbuatan yg dilakukan pasti akan berdampak.
Orang Jawa menyakini adanya :
1. Hukum imbal balik.
2. Hukum sebab akibat.
Di Kejawen terdapat beragam aliran
yang hingga sekarang masih eksis :
1. Ajaran Abangan.
2. Ajaran Sapta Darma.
3. Penghayat Kapribaden.
4. Ajaran Darmo Gandhul.
5. Ajaran Gatoloco.
Semua ajaran dan aliran Kejawen
mengajarkan satu tujuan Manunggaling kawula mring Gusti.
Bagaimana Tata Laku dan Lelaku
agar bisa me-Manunggalkan diri dg
Sang Maha Suci.
Kejawen adalah ilmu atau ajaran yang Adhi Luhung tinggalan leluhur Jawa.
Yang mengedepankan :
1. Tulung tinulung.
2. Welas asih
3. Tepa salira.
4. Andhap asor.
SEJARAH KEJAWEN
Kejawen Merupakan ajaran Islam Tassawuf yang berbalut ajaran Jawa Budha.
Kêjawen baru muncul pasca-Majapahit dan diprakarsai oleh Wali Sanga, terutama oleh Kangjêng Susuhunan ing Ngampeldênta dan Kangjêng Susuhunan ing Kalijaga, oleh karenanya Kêjawen sangat beraroma Islam Tassawuf.
Ajaran-ajaran Kêjawen tidak terbatas pada ajaran mistik atau spiritualitas belaka. Ajaran Kêjawen bahkan juga mengajarkan ilmu-ilmu gaib (kesaktian, pengasihan, penumbalan, ajimat, doa, dll.) dan ilmu petung (semacam Feng Shui) yang juga sangat berorama Islam Tassawuf.
Ajaran Kêjawen ditulis dalam bahasa Jawa Baru dan naskah-naskahnya hampir seluruhnya masih tersimpan rapi di Keraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, Pakualaman, dan Kacirebonan.
Kemunculan Kêjawen tak lebih adalah sebuah metode dakwah Islam yang dirancang sedemikian rupa oleh Kangjeng Sunan Ampel.
Tanpa melalui pendekatan ajaran lama yang sudah
berkembang di Jawa maka Islam tidak mungkin bisa diterima di Jawa.
Dengan kata lain Kêjawen adalah ajaran untuk menarik pemeluk agama lama kepada ajaran Islam dengan cara yang halus dan tidak kentara. Dari luar ritual-ritual agama lama dipergunakan sedemikian rupa, namun doadoa yang dipanjatkan telah diganti dengan doa-doa Islami atau setidaknya sudah dimasukkan terminologi Tassawuf Islam.
Tidak hanya sebatas ritual keagamaan, Kêjawenisasi juga dilakukan dalam segala bidang yang menyentuh kehidupan masyarakat Jawa.
Dicatat dalam Sêrat Walisana dan Primbon pribadi yang disimpan oleh K.H.R Mohammad Adnan, gerakan Kêjawenisasi tercatat sebagai berikut :
1. Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa (Susuhunan ing Ngampeldênta handamêl pranataning agama Islam, kanggenipun ing titiyang Jawi).
2. Raja Pandhita di Grêsik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda (Raja Pandhita ing Grêsik amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang bathik,kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing wangunipun kakapaning kuda).
3. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan lauk-pauk, memperbarui alat-alat pertanian, membuat gerabah (Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan, dhadhaharan hutawi ulam-ulaman, kaliyan amewahi parabotipun ing among tani, utawi andamêl garabah).
4. Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan (Kangjêng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirêbon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi pirasat miwah jajampi utawi amewahi dadamêlipun tiyang babad wana).
5. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan (Kangjêng Susuhunan ing Giri andamêl pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi lampahing pawukon sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damêl dalan tiyang Jawi).
6. Sunan Bonang menggajar ilmu suluk, membuat gamelan mengubah irama gamelan (Kangjêng Susuhunan Bonang, andamêl susuluking ngelmi kaliyan amewahi ricikanipun ing gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gêndhing).
7. Sunan Darajat, mengajarkan tata cara membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli (Kangjêng Susuhunan Darajat, amewahi wanguning griya, utawi ingkang karêmbat ing tiyang, tandhu joli sapanunggalanipun).
8. Sunan Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang hingga sistem peradilan yang diperuntukan bagi orang jawan(Kangjêng Susuhunan Kudus amewahi parabotipun bêkakasing pandhe, kaliyan kêmasan, saha andamêl anggêr-anggêripun hingga pangadilan hukum ingkang kenging kalampahan ing titiyang Jawi).
Pada tahap selanjutnya, setelah Kangjêng Sunan Ampel wafat dan Majapahit sudah runtuh (1478), seiring berdirinya Negara Dêmak, para wali berkumpul untuk merumuskan ajaran Islam Jawa atau Kêjawen tersebut.
Ada delapan wali yang merumuskan ajaran Kêjawen dan mewejangkan apa yang disebut pegangan bagi orang Islam Jawa atau Kêjawen, yaitu Wêjangan
Wolung Pangkat (Wejangan Delapan Tingkat) seperti di bawah ini :
1. Susuhunan ing Giri Kadhaton,
mewedar wejangan Wisikan Ananing Dat.
2. Susuhunan ing Tandhês,
mewedar wejangan Wêdharan Wahananing Dat.
3. Susuhunan ing Majagung,
mewedar wejangan Gêlaran Kahananing Dat.
4. Susuhunan ing Benang,
mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Makmur.
5. Susuhunan ing Muryapada,
mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Mukaram.
6. Susuhunan ing Kalinyamat
mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Mukadas.
7. Susuhunan ing Gunungjati,
mewedar wejangan Panêtêp Santosaning Iman.
8. Susuhunan ing Kajênar,
mewedar wejangan Sasahitan.
Kemudian, untuk kedua kalinya ajaran Islam Jawa atau Kêjawen dibabar pada masa akhir Negara Dêmak, tepat menjelang berdirinya Negara Pajang. Ada delapan wali juga yang mewejangkan intisari ilmu tersebut.
Mereka adalah sebagai berikut :
1. Susuhunan ing Giri Parapen, mewedar wejangan Wisikan Ananing Dat.
2. Susuhunan ing Darajat, mewedar wejangan Wêdharan Wahananing Dat.
3. Susuhunan ing Ngatas Angin, mewedar wejangan Gêlaran Kahananing Dat.
4. Susuhunan ing Kalijaga, mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Makmur.
5. Susuhunan ing Têmbayat, setelah mendapat izin dari gurunya Susuhunan ing Kalijaga,
mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Mukaram.
6. Susuhunan ing Padusan, mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Mukadas.
7. Susuhunan ing Kudus, mewedar wejangan Panêtêp Santosaning Iman.
8. Susuhunan ing Gêsêng, mewedar wejangan Sasahitan.
Seluruh wejangan di atas bersumber dari wejangan Kangjêng Susuhunan ing Ngampeldênta (Ampel) guru para wali di tanah Jawa.
Ketika sampai pada masa Negara Mataram, beliau Sang Nata Ingkang Sinuwun Kangjêng Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma (1613-1645) berkenan menghimpun seluruh wejangan delapan tingkat tadi berikut wejangan tambahannya dengan maksud supaya muktamada (dapat dijadikan acuan) maknanya.
Semua wejangan lantas dijadikan satu. Setelah bersepakat dengan para ahli ngelmu kesempurnaan, atas kehendak beliau, lantas beliau berkenan memutuskan siapa saja yang mendapat izin dan berhak untuk mengajarkan wejangan tersebut.
Mereka adalah sebagai berikut :
1. Panêmbahan Purubaya
2. Panêmbahan Juminah
3. Panêmbahan Ratu Pêkik
4. Panêmbahan Juru Kithing
5. Pangeran ing Kadilangu
6. Pangeran ing Kudus
7. Pangeran ing Kajoran
8. Pangeran ing Têmbayat
9. Pangeran ing Wangga
Wejangan tersebut lantas diterima oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita pada masa Kasunanan Surakarta berdiri abad 19. Dan dikumpulkan dalam sebuah sêrat yang diberi judul Sêrat Wirid Hidayat Jati.
Referensi lebih komplit :
Silakan buka naskah primbon, sêrat, wirid atau suluk Jawa Baru, bisa diteliti dengan benar apa-apa yang tertulis di sana, terutama terkait dengan mantra. Maka akan Anda dapati semuanya tak lebih bermuatan Tassawuf Islam.
Jawadīpa tidak mengajarkan ajaran Jawabuda (Śiwa Buddha) atau Kêjawen, Hindhu, Kristiani
Ajaran Jawadīpa bersumber dari seluruh ajaran lisan turun-temurun di Jawa, ajaran yang tertulis dalam rontal Śiwa Buddha berbahasa Jawa Kawi (Jawa Kuno) dan ajaran yang tertulis dalam Sêrat, Suluk, Wirid, Layang Kêjawen yang berbahasa Jawa Anyar (Baru).
Disisihkan unsur Islam-nya, unsur Buddha-nya, unsur Hindhu-nya, unsur Kristiani-nya atau kalau ada unsur keyakinan Atasangin (baca : impor)-nya, dicari dan dipetani, ditampi dengan teliti mana unsur asli Jawa, maka hasil pemilahan tersebut adalah ajaran Jawadīpa.
SYAHADAT ISLAM KEJAWEN
Syarat untuk menjadi Muslim adalah bersyahadat, melakukan persaksian. Syahadat adalah Rukun Islam pertama yang harus dipenuhi. Tanpa syahadat, kamu belum bisa disebut Muslim. Bagaimana bunyi syahadat itu, persaksian itu ? Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah (Aku bersaksi sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad utusan Allah). Masalah kemudian muncul ketika ada pertanyaan: “Apakah kamu bisa menyaksikan Allah? Apakah Allah bisa dan mungkin disaksikan?” Karena jika tanpa pernah menyaksikan Allah, maka persaksian itu palsu belaka. Untuk itu, kalangan Islam Kejawen mempunyai pemaknaan tersendiri terhadap dua kalimat syahadat. Mereka menerjemahkannya sebagai berikut: “Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune Mukamad iku utusaningsun (Ingsun bersaksi tiada Tuhan selain Ingsun, dan Ingsun bersaksi Muhammad utusan Ingsun).” Bagaimana penjelasannya? Simak uraian berikut :
Dzatullah (Allah Dalam Dzat) tak mungkin bisa disaksikan. Ia senantiasa “laysa kamitslihi syai’un” (tak serupa dengan apa pun). Dalam khazanah Jawa, Dzatullah ini “tan kena kinira, tan kena kinaya ngapa” (tak bisa digambarkan dengan apa pun), yang disebut dengan Suwung, Kekosongan Abadi. Dalam khazanah Hindu Siwa, Dzatullah ini disebut Paramasiwa (Tuhan absolut yang tak bisa diberi sifat apa pun). Kamu tak akan bisa menyaksikan Dzatullah. Kamu tak bisa menggambarkan Suwung itu seperti apa. Dzatullah adalah Suwung, Kekosongan Abadi, Kemutlakan, yang tak bertempat tetapi segala tempat diliputi oleh-Nya. Karena Dzatullah ini Suwung, Kekosongan Abadi, maka Ia pun tak mengenal ruang-waktu. Dan karena Ia tak mengenal ruang-waktu, maka Ia pun tidak mungkin berfirman atau berkata. Kata-kata selalu terjadi di dalam ruang-waktu. Ada yang berkata dan ada yang diberi kata-kata, ada jarak di sana, sementara Dzatullah/Suwung/Paramasiwa belum mengenal jarak.
Akan tetapi, Dzatullah ini kemudian beremanasi, mengejawantahkan diri-Nya, menjadi Pluntar Kahuripan (Cahaya Kehidupan). Pluntar Kahuripan ini adalah Pribadi Tertinggi alam semesta, yang dalam filsafat Hindu Siwa disebut Sadasiwa dan dalam Tasawuf disebut Nur Muhammad. Pada tahap ini, Dzatullah sudah turun ke dalam sifat (Allah Dalam Sifat). Ia sudah mempribadi dan mempunyai sifat dan nama, dikenal dengan Asmaul Husna. Nur Muhammad atau Allah Dalam Sifat ini sudah mengenal ruang-waktu, sudah “mampu” berfirman. Pada tahap inilah Allah bisa dan mungkin “disaksikan”. Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad ini pun berada di dalam diri setiap manusia. Orang Kejawen menyebut Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad di dalam diri manusia dengan nama INGSUN, orang Arab menyebutnya dengan nama RUH, orang Hindu menyebutnya dengan nama ATMAN. Ingsun adalah manifestasi pertama dari Dzatullah/Suwung/Paramasiwa. Ingsun ini bersemayam dalam diri setiap manusia. Ingsun di dalam dirimu tidak berbeda dengan Ingsun di dalam diriku. Itu sebabnya dalam beberapa dalil disebut bahwa inti kemanusiaan itu satu; jika kamu membunuh satu manusia, maka kamu sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Karena memang hakikat, inti, kemanusiaan adalah Ingsun yang tunggal dan sama. Apa beda antara Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad dengan Ingsun? Tidak ada. Pluntar Kahuripan/Sadasiwa/Nur Muhammad berada di dalam makrokosmos (alam semesta), Ingsun berada di dalam mikrokosmos (diri manusia). Itu saja. Ibarat air di danau dengan air di cangkir; hakikatnya sama-sama air. Sifat-sifat yang dikandung Allah Dalam Sifat pun dikandung Ingsun. Semua nama mulia Allah dalam Asmaul Husna pun dikandung manusia. Zikir Asmaul Husna sesungguhnya berguna untuk mengaktivasi sifat-sifat mulia Allah di dalam diri kita sendiri. Jika kita membaca “Ya Rahman Ya Rahim (Yang Maha Pengasih dan Penyayang)”, misalnya, itu agar sifat pengasih dan penyayang mengejawantah di dalam diri kita sendiri.
Bagaimana dengan Muhammad dalam syahadat? Muhammad bagi Muslim Kejawen adalah diri kita sendiri. Keberadaan kita di dunia sesungguhnya “mengemban tugas” dari Allah/Ingsun untuk memainkan takdir kita di kehidupan fana ini. Kita semua sejatinya adalah “utusan” Allah/Ingsun. Kanjeng Nabi Muhammad adalah salah satu hamba yang telah jumbuh dengan Allah/Ingsun di dalam dirinya, yang telah mampu memahami cetak biru kehidupannya, sehingga laku spiritual beliau patut diteladani. Dengan demikian, pemaknaan Muslim Kejawen tentang dua kalimat syahadat sudah terjawab, bahwa sesungguhnya Allah yang bisa disaksikan dalam syahadat tak lain adalah Ingsun, Allah yang sudah mempribadi, yang sudah mengenal ruang-waktu; sementara Muhammad dalam syahadat tak lain adalah diri kita sendiri, yang menjadi “utusan” Allah/Ingsun untuk mengemban tugas pribadi kita (swadharma) di kehidupan fana ini.
Lalu, muncul pertanyaan yang tak kalah besar: Jika Allah yang sudah mempribadi atau Ingsun bisa disaksikan, bagaimana kita bisa menyaksikan-Nya di dalam diri kita? Inilah hal terbesar yang hendak dicapai dalam laku spiritual: jumbuh dengan Ingsun, Allah di dalam diri. Hanya orang yang telah jumbuh dengan Ingsun, Allah di dalam diri, yang tahu jati dirinya. Tetapi tidak semua orang bisa menyaksikan Allah/Ingsun. Perjalanan berat dan panjang untuk bertemu dengan Allah/Ingsun ini dibabar dalam lakon Dewa Ruci yang banyak diyakini dianggit oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, mahaguru para Muslim Kejawen. Lakon Dewa Ruci sesungguhnya berkisah tentang perjalanan spiritual Bima menyelam ke dalam dirinya sendiri, untuk berjumpa dengan Sang Dewa Ruci (nama lain untuk Ingsun/Allah di dalam diri). Ruci bermakna Keutamaan, tetapi dalam paramasastra Jawa, Ruci bisa dimaknai pula dengan Ruh Suci, Ingsun/Allah di dalam diri manusia. Sang Dewa Ruci adalah Sang Guru Sejati dalam diri setiap manusia. Sang naga yang ditempuri Bima di dalam samudra tak lain adalah nafsu Bima sendiri. Tanpa mampu menundukkan sang naga, nafsu di dalam diri, kamu tak akan mampu bertemu dan menyaksikan Sang Dewa Ruci di dalam dirimu. Dan karena Allah dalam diri atau Ingsun tersebut sudah mempribadi, sudah menyandang sifat, sudah mengenal ruang-waktu, maka ketika Bima bertemu dan menyaksikan Sang Dewa Ruci, ia pun bisa bercakap-cakap dengan-Nya. Inilah sesungguhnya yang disebut firman! Sabda utama di relung terdalam jiwa manusia.
Kembali ke pembahasan awal bahwa syarat untuk menjadi Muslim adalah bersyahadat, dan kamu tahu bahwa syahadat itu luar biasa berat, bertemu dan menyaksikan Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci itu luar biasa berat, maka sudah berapa dari kita yang menjadi Muslim dalam makna yang sesungguhnya? Pasti hanya bisa dihitung dengan jari. Tahukah kamu apa arti Muslim? Muslim adalah seseorang yang telah memasrahkan diri sepenuh-penuhnya pada kehendak Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci. Muslim sejati adalah ia yang telah “mati sajroning hurip, hurip sajroning pati” (mati dalam hidup, hidup dalam mati), sebagaimana Bima yang hidup kembali setelah bertemu Sang Dewa Ruci. Karena menjadi Muslim itu sungguh berat, aku pun malu mengaku Muslim, sebab aku belum pernah menyaksikan Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci dalam diriku. Aku belum bisa bersyahadat dengan sungguh-sungguh syahadat. Keislamanku masih berada dalam tanda koma, belum mencapai titik. Maka, mereka yang dengan mudah mengaku Muslim sementara syahadat mereka belum paripurna, lalu dengan sembrono menghakimi orang lain yang tidak sama dengan dirinya sebagai kafir, adalah orang-orang yang kebodohannya sungguh tak tertanggungkan. Semoga Allah/Ingsun/Sang Dewa Ruci memberikan hidayah pada kita semua agar bisa bersyahadat dan menjadi Muslim dalam arti yang sesungguhnya.
Sumber literatur :
1. Induk Ilmu Kejawen (Wirid Hidayat Jati)
2. Suwung (Ajaran Rahasia Leluhur Jawa)
3. Ilmu Jawa Kuno (Jalan untuk Bertemu Sang Guru Sejati)
4. Serat Gatholoco
5. Serat Darmagandhul