NGUTHIK-UTHIK MACAN TURU (Ngugah Macan Turu)
Pepatah Jawa di atas secara harfiah berarti mengutak-utik (mengusili) macan tidur.
Macan tidur adalah macan yang sedang istirahat. Jadi, dalam keadaan demikian macan tersebut tidak kelihatan galak atau garang lagi. Kalau macan itu memang benar-benar tidur tentu tidak membahayakan binatang atau makhluk lain di sekitarnya. Akan tetapi jika macan tidur ini kemudian dengan sengaja dikutak-kutik, maka akan bangun dan marahlah macan tersebut. Macan yang marah tentu akan sangat berbahaya bagi siapa pun yang ada di dekatnya. Nguthak-uthik macan turu sama artinya dengan membangkitkan kemarahan macan. Mengganggu ketenangan macan. Hal demikian sama artinya dengan membangkitkan kemarahan macan.
Pepatah ini sebenarnya ingin menggambarkan perilaku seseorang yang dengan sengaja ataupun tidak telah membangkitkan kembali kemarahan seseorang yang selama ini sudah padam. Dapat juga terjadi bahwa orang tersebut sebelumnya mungkin belum pernah marah kepadanya namun karena perilaku seseorang tersebut sangat tidak mengenakkan bagi lawan dialog atau bicaranya, maka lawan bicara itu akan meledakkan kemarahannya.
AJA NGUTHIK-UTHIK MACAM TURU
Tegese aja ngungkad-ungkad watak wantune wong ala. Mujudake pepeling aja seneng ngganggu pawongan kang duwe aten-aten ala, brangasan, cengkiling, lan sapanunggalane.
Wong-wong ing tanah Jawa marabi macan iku raja wana (ratune alas). Mesthi wae gwlar ratu ing kene mujudake pepindhan. Dudu sejatining ratu kaya dene ratuning manungsa kang berbudi bawa leksana, nanging mung dipadhakake ratu jalaran kuwasa lan diwedeni. Pangarep kaya ngono kena diarani lumrah jalaran macam pancen kewan galak, diwedeni sato wana uga manungsa.
mula saka iku, pawongan kang duwe watak galak, brangasan, kejem, cengkiling, tegelan, golek menange dhewe, seneng ngumbar kanepson, umume banjur dipadhakake macan. Mula becike yen "wong kang kaya macan" mau lagi enak kepenak uripe (kayadene macan turu) aja diuthik-uthik, disaru siku, dikileni, dikagetake, sing marakake watak wantune mubal. Awit yen nganti ora kalegan atine, bisa wae malah seling surup banjur ngamuk. Lha yen nganti kaya ngono tudhone saparipolahe bakal ndrawasi liyan.
Artinya :
Jangan mengganggu harimau tidur. Ini merupakan nasihat agar kita tidak suka mengganggu orang yang memiliki tabiat buruk, gampang marah, liar, dan sebagainya.
Di Jawa, harimau digelari raja hutan (raja wana). Tentu saja penyebutan raja merupakan kiasan kiasan atau padanan. Bukan raja yang sesungguhnya yang arif bijaksana dan mampu memimpin dengan baik, tetapi sekadar disamakan karena antara raja dan harimau sama-sama berkuasa dan ditakuti. Anggapan seperti itu sangat wajar sebab harimau memang binatang buas, ditakuti baik oleh binatang lain maupun manusia.
Dengan demikian, orang yang berkarakter kejam, berangasan, sok kuasa, liar, dan mau menang sendiri, senang mengumbar hawa nafsu, lazim disamakan dengan harimau. "Orang yang seperti harimau" sedang nyaman, tenteram, dan asik dalam dunianya sendiri, lebih baik jangan diusik sedikitpun, agar tidak sampai marah. Jika sampai merasa terganggu, dikhawatirkan sifat buruknya muncul secara mendadak sehingga membuat kekacauan dan keributan di mana-mana. Jika sudah demikian, segala sepak terjangnya akan dapat membahayakan orang lain.
PEPATAH JAWA NASEHAT DAN AJARAN MASYARAKAT JAWA
Pepatah Jawa atau peribahasa Jawa merupakan salah satu bentuk gaya bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa untuk memberi nasihat, teguran atau sindiran pada orang lain. Bentuk dari pepatah jawa ini berupa kelompok kata yang singkat, padat, namun berisi berbagai norma yang bisa dipetik sebagai pelajaran hidup.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa dahulu, pepatah jawa diturunkan dari generasi ke generasi hanya secara lisan atau gethok tular. Gaya penyampaiannya ada yang dilakukan secara lugas, ada yang menggunakan perbandingan, dan ada pula yang menggunakan perumpamaan. Meski gaya penyampaian berbeda, namun isinya tetap mudah ditangkap oleh pihak yang dinasehati.
Secara umum pepatah jawa dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni Paribasan, Bebasan dan Saloka. Berikut ini ulasannya :
PEPATAH JAWA PARIBASAN
Paribasan adalah pepatah jawa yang terdiri dari rangkaian kata yang penggunaannya tetap tidak boleh diubah dan tidak boleh dialih bahasakan menjadi bahasa krama.
Paribasan disampaikan secara lugas dan jelas, tidak menggunakan pengandaian ataupun perumpamaan dengan obyek lain.
1. Anak polah bapa kepradhah, artinya Tingkah polah anak, orang tua ikut menanggung akibatnya.
2. Becik ketitik ala ketara, artinya Baik ataupun buruk pasti akan ketahuan.
3. Dudu sanak dudu kadang yen mati melu kelangan, artinya meski bukan saudara jika meninggal akan turut merasa kehilangan.
4. Desa mawa cara negara mawa tata, artinya setiap tempat pasti memiliki norma dan aturan yang berbeda.
5. Jer basuki mawa beya, artinya untuk memperoleh kesuksessan membutuhkan modal/biaya.
6. Kaduk wani kurang duga, artinya keberanian yang berlebihan biasanya kurang waspada.
PEPATAH JAWA BEBASAN
Bebasan merupakan pepatah jawa yang terdiri dari rangkaian kata yang bersifat tetap dalam penggunannya, tidak bisa diubah ke bahasa krama atau yang lainnya. Kata dala bebasan ini memiliki makna konotatif, mengandung makna pengandaian. Adapun yang diandaikan adalah keadaan, sifat, watak serta perbuatan seseorang.
1. Urip iku urup (hidup itu nyala), artinya bahwa hidup harus bisa memberi cahaya kebaikan bagi sesama.
2. Ngenteni endoge si blorok (menunggu telurnya si Blorok/ayam), artinya menunggu sesuatu hal yang belum pasti.
3. Ancik-ancik pucuking eri (berdiri di atas ujung duri), artinya sedang dalam ancaman/bahaya.
4. Adhang-adhang tetesing embun (berharap tetesan embun), artinya berharap anugerah Tuhan.
5. Gondhelan poncoting tapih (berpegangan pada ujung kain yang dipakai istri), artinya hidup selalu bergantung pada istri.
6. Nguthik-uthik macan turu (mengganggu harimau tidur), artinya mencari masalah.
7. Nututi kidang lumayu (mengejar kijang lari), artinya mengejar sesuatu yang tidak mungkin bisa diraih.
PEPATAH JAWA SALOKA
Saloka merupakan pepatah jawa yang terdiri dari rangkaian kata yang bersifat tetap dalam penggunannya, tidak bisa diubah ke bahasa krama atau yang lainnya. Kata dala bebasan ini memiliki makna konotatif, mengandung makna pengandaian, namun dalam saloka semua kata dibandingkan/diandaikan dengan obyek lain, yang dipakai sebagai pengandaian bisa binatang maupun benda.
1. Kebo nusu gudel (kerbau menyusu pada anaknya), artinya orang tua yang minta diajari oleh orang yang lebih muda.
2. Kakehan gludug kurang udan (terlalu banyak petir kurang/tidak hujan), artinya terlalu banyak bicara namun tak ada bukti.
3. Cecak nguntal cagak (cicak makan tiang), artinya cita-cita yang tidak mungkin bisa diraih karena tidak sesuai dengan kekuatannya.
4. Asu rebutan balung (anjing berebut tulang), artinya berdebat pada hal yang sepele dan tak ada yang mau mengalah.
5. Mburu uceng kelangan deleg (mengejar ikan kecil kehilangan ikan besar), artinya mengejar barang sedikit tapi kehilangan barang banyak.
6. Baladewa ilang gapite, (wayang kulit baladewa kehilangan penjepit-pegangannya), artinya segala kegalakan, kegagahan, kegarangannya hilang dan tidak berarti lagi.