SONTOLOYO
Sontoloyo adalah sebutan bagi pemilik pekerjaan sebagai pengembala Itik atau Bebek atau disebut juga Tukang Angon Bebek di Pulau Jawa. Seorang sontoloyo biasanya mengembala beratus ekor bebek dengan cara berpindah mengikuti musim panen padi di daerah pesawahan untuk menggembalakan bebeknya.
Sontoloyo itu adalah orang yang menggiring bebek.
Makna miring / negatifnya semacam sindiran adalah :
Sontoloyo (konyol), tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian).
Kata Sontoloyo biasa digunakan untuk mengekspresikan sesuatu yang tidak beres, lucu atau dirasa konyol. Sontoloyo artine sedingaeh dewek, ngawur sak karepmu dewe, sak udele dewe, , ora manut pranatan contone ora ngormati tuan rumah, sontoloyo niku konyol oranggenah, ngawur, bodoh konyol.
SONTOLOYO DALAM DUNIA PERPOLITIKAN
Sebetulnya ini dimulai dari urusan politik, yang sebetulnya setiap lima tahun pasti ada. Dipakailah yang namanya cara-cara politik yang tidak beradab, yang tidak beretika, yang tidak bertata krama Indonesia. Cara-cara politik adu domba, cara-cara politik yang memfitnah, menciptakan opini-opini hoaxs, cara- cara politik yang memecah belah hanya untuk merebut sebuah kursi sebuah kekuasaan konstitusi, menghalalkan segala cara, hingga lebih ekstrimnya kudeta terhadap pemerintahan yang syah. Sontoloyo sendiri, jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai konyol, tidak beres, bodoh (dipakai sebagai kata makian). Kata Sontoloyo memiliki arti lain dalam bahasa Jawa, ternyata makna kata sontoloyo jauh dari unsur negatif seperti yang selama ini kita kenal. Dalam bahasa Jawa, sontoloyo merupakan sebutan bagi orang yang menggembalakan itik atau bebek.
ARTIKEL SONTOLOYO
Sukarno pernah menulis artikel berjudul Islam Sontoloyo pada 1940. Kata sontoloyo pada waktu ramai menuai pro dan kontra saat ini di dunia serba teknologi online diperbincangkan di media sosial. Dilema ini mengingatkan pada tulisan Soekarno berjudul Islam Sontoloyo di Majalah Pandji Islam pada 1940. Tulisan itu lahir setelah Sukarno membaca berita kriminal di surat kabar Pemandangan, 8 April 1940. Berita itu tentang seorang guru agama yang dijebloskan ke penjara karena memperkosa salah seorang muridnya. Melalui tulisannya, Sukarno menegaskan bahwa guru agama itu sontoloyo, bukan Islamnya yang sontoloyo. Jadi perlu di garis bawahi bahwa orang (oknum) ini membuat citra Islam agama yang suci.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sontoloyo artinya konyol, tidak beres, bodoh. Mengenai asal usulnya, menurut Ivan Lanin menerangkan, saya belum menemukan sumber yang sahih, tetapi konon kata ini mulai dipakai sebagai kata makian (kasar) pada sekitar 1935 sebagai pelesetan dari kontol loyo (kontol = alat kelamin laki-laki, loyo = lemah sekali). Ini menggambarkan pengendalian iman dan nafsu seseorang.
Dalam rujukan lain yang mengatakan sontoloyo berarti gembala bebek dalam bahasa Jawa. Berdasarkan hal ini, ada yang beranggapan bahwa arti kata ini sebagai kata makian tercetus saat kesal menunggu sang gembala mengangon bebeknya dengan lamban.
Sementara itu, Philip Yampolsky dalam Music on Dutch East Indies Radio in 1938: Representations Unity, Disunity, and The Modern, mencatat bahwa Koesbini menyanyikan lagu keroncong berjudul Sontolojo di radio NIROM Surabaya pada 1938.
Menurut Philip, sontolojo mungkin terkait dengan Jawa Timur. Sebab, sebuah komposisi gamelan Jawa Timur dengan judul ini diperdengarkan tiga kali pada 1938 dalam siaran musik gamelan Jawa Timur oleh NIROM, sanggar studio Surabaya (klenengan dari Studio Nirom meloeloe gending2 Djawa Timoer).
Soekarno, selain dikenal sebagai Sang Proklamator, Presiden Pertama RI dan berbagai gelar yang disandangnya kemudian, juga merupakan seorang pemikir dan intelektual Islam. Pikiran-pikirannya tentang pembaruan pemikitan Islam sangat berharga bagi khazanah pemikiran Islam di Indonesia. Dan beberapa tulisan lain yang ada dalam buku ini, merupakan pikiran-pikirannya yang paling ekstrim dalam menggugat cara berpikir umat Islam Indonesia. Tulisan itu tidak saja menggemparkan dunia Islam Indonesia ketika itu, tapi bahkan telah menimbulkan polemik dengan tokoh-tokoh Islam, terutama dengan M. Natsir yang berlangsung sepanjang tahun 1930 - 1935. Polemik dengan M. Natsir tersebut diakui sebagai polemik yang nyaris belum ada tandingan bobotnya dala sejarah polemik di Indonesia.
Soekarno, presiden pertama RI. Beliau tak tanggung-tanggung. Dia membubuhkan kata itu di samping nama agama. Pada 1940, Soekarno menulis artikel di Majalah Pandji Islam berjudul Islam Sontolojo. Jelas kontroversi. Tapi apa yang ada dalam benak Sorkarno hingga terbersit kata sontoloyo kala itu?
Tulisan itu lahir dari keprihatinan Sukarno terhadap orang yang melakukan perbuatan jahanam dengan dalil agama. Dalam suratkabar Pemandangan, 8 April 1940, Sukarno membaca berita kriminal yang bikin hatinya getir. “Seorang guru agama dijebloskan ke dalam bui tahanan karena memperkosa salah seorang muridnya yang masih gadis kecil,” demikian isi berita itu.
Menyitir warta Pemandangan tadi, Sukarno menuturkan modus operandi si guru cabul. Kepada murid-muridnya, sang guru mengaku pernah berbicara dengan Nabi Muhammad SAW. Dia mengajarkan untuk berzikir sejak magrib hingga subuh supaya dosa-dosa diampuni. Laki-laki dan perempuan wajib dipisah karena belum muhrim. Di sinilah akal bulus sang guru. Agar murid perempuan bisa diajar, mereka harus dinikahi terlebih dahulu. Karena sudah halal dan sah, demikianlah gadis-gadis malang itu dipikat dan dirusak oleh si guru bejat.
“Sungguh kalau reportase di suratkabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah disini kita melihat Islam Sontoloyo. Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh,” kata Sukarno dalam artikel “Islam Sontolojo” yang termuat dalam kumpulan tulisannya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I.
Menurut Sukarno esensi beragama adalah ketaatan terhadap Allah. Ini dinyatakan dengan akhlak yang murni sejalan dengan syariat ketuhanan yang sejati. Dia mengkritik pemeluk Islam masa itu yang kebanyakan hidup dalam kitab fiqih belaka.
“Tidak, justru Islam terlalu menganggap fiqh itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa atau kita tidak mau tahu bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah,” jelas Sukarno masih dalam “Islam Sontolojo”
Setelah dipublikasi, reaksi pembaca dapat ditebak. Polemik datang dari sana-sini. Cerca dan cibir menerpa Sukarno, terutama dari mereka yang merasa agamanya dihina karena bersanding dengan umpatan.
“Wah, ditampar saya! Pertama saya dikatakan, mengatakan atau memaksudkan bahwa Islam itu adalah agama sontoloyo,” kata Sukarno bertahun-tahun kemudian ketika berpidato di hadapan para mahasiswa HMI di Istana Bogor, 18 Desember 1965 yang dihimpun Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965--Pelengkap Nawaksara.
Soekarno menerangkan kembali arti Islam Sontoloyo yang dia maksud dalam artikel Pandji Islam. Dia merujuk pada oknum yang menyimpang, bukan agamanya.“Saya terangkan dalam artikel itu banyak sekali orang yang menyebutkan dirinya Islam, tetapi dia sebetulnya itu sontoloyo,” ujar Soekarno.
“Sekarang syukur alhamdulillah orang mengerti," katanya lagi, Yang saya maksudkan ialah bahwa Islam itu agama tidak beku, yang beku ialah manusia-manusianya.
Lagu yang dibawakan oleh The Melody Band itu bisa jadi secara musikal terkait dengan melodi Jawa Timur (atau ke Jawa Tengah Ladrang Sontoloyo), atau bisa saja hanya meminjam judul. Perhatikan bahwa dalam siaran lain oleh The Melody Band, Koesbini menyanyikan Krontjong Gembala Sontolojo, yang mungkin adalah lagu yang sama dengan Sontolojo, ditulis Philip termuat dalam Sonic Modernities in the Malay World.
Philip menyebut Ladrang Sontoloyo ladrang adalah salah satu bentuk komposisi karawitan. Ladrang Sontoloyo, menurut Ensiklopedi Wayang Indonesia : Jilid 1, diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana V yang hanya bertakhta tiga tahun. Jadi, sejauh ini sumber tertua yang menyebut kata sontoloyo berasal dari tahun 1820-1823.
Sumber lain, dalam Bahasa dan Budaja Vol. 1-3 (1952), disebutkan kemungkinan akar kata sontoloyo : ada sebuah kata yang belum tahu bagaimana bentuknya yang asli, ialah nama gending Sontolojo dengan kalimat permulaan Sontolojo, angon bebek ilang loro.
SONTOLOYO
Ojo nglokro koyo sontoloyo
Yen ngono yen ngono kowe kebacut bodho
Ojo nglokro koyo sontoloyo
Yen ngono yen ngono kowe kebacut bodho
Jo sontoloyo jo sontoloyo
Tumandang makaryo pamrihe ojo rekoso
Solae eseme sontoloyo
Sepi pamrih doyan gawe
Ojo nglokro koyo sontoloyo
Yen ngono yen ngono kowe kebacut bodho
Ojo nglokro koyo sontoloyo
Yen ngono yen ngono kowe kebacut bodho
Jo sontoloyo jo sontoloyo
Tumandang makaryo pamrihe ojo rekoso
Solae eseme sontoloyo
Sepi pamrih doyan gawe
SONTOLOYO
Sontoloyo = nglokro atau dapat diartikan kurang bergairah atau juga kurang bersemangat. Itulah perilaku/sifat tindakan manusia yang dinilai kurang baik. Oleh karena itu marilah kehidupan ini hilangkan perilaku/sifat dan tindakan, penuhi kehidupan ini dengan penuh semangat, optimis, percaya diri, kendatipun sudah berusia senja.
Dalam tembang atau lelagon jawa ini, mengajak kita untuk tidak sontoloyo, tidak nglokro.
“ojo nglokro koyo sontoloyo, yen ngono yen ngono kowe kebajut ngono. Jo sontoloyo jo sontoloyo, tumandang makaryo pamrihi ojo rekoso….”
Imajiner Nuswantoro