SERAT SABDATAMA
R.Ng. Ronggowarsito
Gambuh
1.
Rasaning
tyas kayungyun, Angayomi lukitaning kalbu, Gambir wana kalawan hening ing ati,
Kabekta kudu pitutur, Sumingkiring reh tyas mirong. Hati serasa kuat berhasrat,
merengkuh kata hati nurani, dengan keheningan kalbu, ingin menyampaikan
nasehat, melenyapkan kotoran dalam hati.
2.
Den
samya amituhu, Ing sajroning Jaman Kala Bendu, Yogya samyanyenyuda hardaning
ati, Kang anuntun mring pakewuh, Uwohing panggawe awon. Perhatikanlah, di zaman
Kala Bendu, seyogyanya meredam gejolak nafsu, yang berakibat salah kaprah,
“buah karya” perbuatan hina.
3.
Ngajapa
tyas rahayu, Ngayomana sasameng tumuwuh, Wahanane ngendhakke angkara klindhih,
Ngendhangken pakarti dudu, Dinulu luwar tibeng doh. Tumbuhkanlah kesucian hati,
Melindungi terhadap sesama, Dengan jalan meredam nafsu angkara, Menyingkirkan
perilaku batin yang nista, Agar terbuang jauh dari kehidupanmu.
4.
Beda
kang ngaji mumpung, Nir waspada rubedane tutut, Kakinthilan manggon anggung
atut wuri, Tyas riwut ruwet dahuru, Korup sinerung agoroh. Lain halnya yang aji
mumpung, Hilangnya kewaspadaan, godaan selalu datang, Menjadi beban langkah
kehidupan, Hati senantiasa gundah dan gelisah, Hidupnya larut dalam kedustaan.
5.
Ilang
budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani,
Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh, Lenyap kebudayaannya. Hilanglah
kemuliaan akhlaknya, tiada lagi kebaikan, selalu buruk sangka, Apa yang dipikir
serba membahayakan, Sumpah dan janjinya tiada yang percaya, Akhirnya menanggung
malu sendiri, Lenyaplah keluhuran budinya.
6.
Rong
asta wus katekuk, Kari ura-ura kang pakantuk, Dandanggula lagu palaran sayekti,
Ngleluri para leluhur, Abot ing sih swami karo. Kedua tangan terlipat (di
dada), Tinggalah bersenandung dengan merdu, Dandang gula palaran tentunya,
Mengenang jasa para leluhur, Beratnya perjuangan hidup ini, (yang mengabaikan
bingung sendiri).
7.
Galak
gangsuling tembung, Ki Pujangga panggupitanipun, Rangu-rangu pamanguning reh
harjanti, Tinanggap prana tumambuh, Katenta nawung prihatos. Istilahnya, Ki
Pujangga sebisanya berkarya yang terbaik, diselami dengan niat yang suci, terus
menerus dalam “laku” prihatin.
8.
Wartine
para jamhur, Pamawasing warsita datan wus, Wahanane apan owah angowahi, Yeku
sanKita pakewuh, Ewuh aya kang linakon. Menurut pendapat para ahli, Telaah
Warsita tak pernah usai, walau caranya berubah-merubah, Jadinya semakin
bingung, Bingung apa yang hendak lakukan.
9.
Sidining
Kala Bendu, Kita ndadra hardaning tyas limut, Nora kena sinirep limpating budi,
Lamun durung mangsanipun, Malah sumuke angradon. Hukuman di zaman Kala Bendu,
Nafsu angkara murka kian tak terkendali, Budi mulia tak mampu meredamnya lagi,
Bila belum saatnya datang ampunan Tuhan, Suasana panas terasa membara.
10.
Ing
antara sapangu, Pangungaking kahanan wus mirud, Morat-marit panguripaning
sesami, Sirna katentremanipun, Wong udrasa sak anggon-anggon. Dalam suatu kurun
waktu, Keadaan semakin kacau, Penghidupan manusia kian morat-marit,
Ketenteraman telah sirna, Suara rintihan dan gerutu di mana-mana.
11.
Kemang
isarat lebur, Bubar tanpa daya kabarubuh, Paribasan tidhem tandhaning dumadi,
Begjane ula dahulu, Cangkem silite angaplok. Segala pertanda kehancuran,
seolah-olah hati dikuasai ketakutan, Yang beruntung adalah ular berkepala dua,
Kepala dan pantatnya dapat mencaplok.
12.
Ndhungkari
gunung-gunung, Kang geneng-geneng padha jinugrug, Parandene tan ana kang
nanggulangi, Wedi kalamun sinembur, Upase lir wedang umob. Gunung-gunung
digempur, Yang kokoh berdiri diruntuhkan, Namun tiada yang berani mencegah,
Takut jika “disembur” (bisa ular), Bisa ular bagaikan air mendidih.
13.
Kalonganing
kaluwung, Prabanira kuning abang biru, Sumurupa iku mung soroting warih,
Wewarahe para Rasul, Dudu jatining Hyang Manon. Lengkungan warna-warni pelangi,
Yang berwarna kuning, merah, biru, Hanyalah cahaya pantulan air, Menurut ajaran
rasul, bukanlah Tuhan yang sebenarnya.
14.
Supaya
pada emut, Amawasa benjang jroning tahun, Windu kuning kono ana wewe putih,
Gegamane tebu wulung, Arsa angrebaseng wedhon. Agar menjadi eling, Kelak bila
sudah menginjak tahun, “windu kuning” akan ada “wewe putih” (istri gendruwo
berkulit putih), bersenjatakan tebu hitam, akan menghancurkan wedhon (hantu
pocongan). (Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).
15.
Rasa wes karasuk, Kesuk lawan kala mangsanipun,
Kawisesa kawasanira Hyang Widhi, Cahyaning wahyu tumelung, Tulus tan kena
tinegor. Petunjuk telah merasuk dalam batin, Bila telah tiba waktunya, Atas
kehendak Tuhan YME, Cahaya anugerah akan turun, Sungguh tak bisa dielakkan.
16.
Karkating tyas katuju, Jibar-jibur adus banyu
wayu, Yuwanane turun-temurun tan enting, Liyan praja samyu sayuk, Keringan
saenggon-enggon. Kehendak dan segala asa dalam hati, “Mengguyur badan dengan
air basi” (penuh prihatin), Demi keselamatan anak turun semua, Dengan Negara
lain penuh kedamaian, (Bangsa) dihormati di manapun.
17.
Tatune
kabeh tuntum, Lelarane waluya sadarum, Tyas prihatin ginantun suka mrepeki,
Wong ngantuk anemu kethuk, Isine dinar sabokor. Luka dan derita telah sirna,
Penyakitnya hilang datanglah anugrah, Keprihatinan berganti menjadi suka cita,
Ibarat orang ngantuk memperoleh kethuk (gong kecil), yang isinya emas sebesar
bokor.
18.
Amung
padha tinumpuk, Nora ana rusuh colong jupuk, Raja kaya cinancangan aneng nyawi,
Tan ono nganggo tinunggu, Parandene tan cinolong.Rejeki mudah didapat di
mana-mana, Tiada lagi kerusuhan, pencurian dan kehilangan, Ibaratnya hewan
piaraan diikat di luar, Tanpa dijaga keamanannya, Namun tak ada yang
mencurinya.
19.
Diraning
durta katut, Anglakoni ing panggawe runtut, Tyase katrem kayoman hayuning budi,
Budyarja marjayaneng limut, Amawas pangesthi awon. Yang semula gemar berbuat
angkara, Lalu berubah ikut menjadi baik, Hatinya larut ke dalam suasana
keluhuran budi, Kebaikan telah menyirnakan keburukan.
20.
Ninggal
pakarti dudu, Pradapaning parentah ginugu, Mring pakaryan saregep tetep
nastiti, Ngisor ndhuwur tyase jumbuh, Tan ana wahon winahon. Orang berbondong
meninggalkan perbuatan tercela, Segala perintah baik dipatuhi, Bekerja dengan
rajin dan teliti, (Kelas) “bawah” & (kelas) “atas” hatinya bersatu, Tiada
lagi sikap saling mencela.
21.
Ngratani
sapraja agung, Keh sarjana sujana ing kewuh, Nora kewran mring caraka agal
alit, Pulih duk jaman rumuhun, Tyase teteg teguh tanggon. Kebaikan menerangi
seluruh negeri, Banyak ilmuwan, Tidak takut pada pembesar maupun orang kecil,
Kembali seperti zaman dahulu, Sikapnya tidak ragu, teguh, tidak plin plan.
Serat Sabda Tama dalam Kehidupan
Bagi
masyarakat Jawa, Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito adalah seorang sastrawan
dan pujangga besar, yang karya-karyanya hingga hari ini masih tetap dikagumi,
bahkan dipercaya kebenaran kandungan isinya.
Sepanjang
hidupnya (1802 - 1873 M), pujangga yang hidup pada masa kejayaan Keraton
Surakarta tersebut telah menghasilkan puluhan karya atau serat bernilai dan
berestetika tinggi. Karya-karyanya itu sampai hari ini diakui sebagai warisan
ajaran kehidupan yang sangat berharga.
Cobalah
simak salah satu karya besarnya yang berjudul Serat Sabda Tama. Bait demi bait
di dalam Serat Sabda Tama ini syarat dengan petunjuk dan petuah dalam menjalani
kehidupan, agar manusia tidak tergelincir dan masuk ke dalam kubangan kehidupan
yang salah. “Sabda” berarti ucapan, petunjuk atau juga petuah. Sedang “Tama” berarti utama, berharga, dan penting.
Jadi “Sabda Utama” bisa diartikan sebagai ucapan atau petunjuk yang utama.
Zaman
Kala Bendu adalah zaman serba tak menentu, zaman yang penuh kesulitan.
Karenanya, di zaman yang seperti ini siapapun juga sebaiknya berusaha
mengurangi hawa nafsunya dalam mengejar hal-hal sifatnya hanya untuk keuntungan
pribadi tapi merugikan orang lain. Para pemimpin, para pejabat, para politikus,
apalagi wakil-wakil rakyat di parlemen, tak hanya memikirkan dirinya sendiri,
keluarganya, kelompok atau partainya saja, tapi juga memikirkan nasib rakyat
secara menyeluruh.
Siapapun
juga, tak peduli apa statusnya, bisa pejabat, eksekutif, anggota legislatif,
politikus, pedagang, atau hanya rakyat biasa, semestinya dalam menjalani
kehidupan sehari-hari haruslah tetap berkomitmen untuk melakukan hal-hal yang
baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan bersama. Yang kuat bisa melindungi yang
lemah. Yang kaya bisa membantu yang miskin. Dan, pemerintah atau aparat negara,
sesuai tugasnya yang diatur Undang-undang haruslah dapat memberikan
perlindungan dan pengayoman kepada rakyat. Bukan justru sebaliknya, melakukan
hal-hal yang merugikan dan menyengsarakan rakyat.
Akan
tetapi bagi siapa saja yang dalam kehidupannya sehari-hari menerapkan perilaku
‘aji mumpung’, perilaku memanfaatkan kesempatan dan kedudukan, melakukan
hal-hal yang memanfaatkan kedudukan, kewenangan dan kekuasaan, maka
kehidupannya akan selalu kacau, tak pernah tenang dan tenteram, dan penuh
kebohongan. Akibatnya, hari-harinya pun akan dilalui dengan perbuatan-perbuatan
yang merugikan dan justru bisa berbahaya bagi kehidupannya nanti. Dan, ketika
perilakunya nanti diketahui, maka akan jatuhlah martabat dan kehormatannya.
Orang-orang pun tak lagi mau mendengar kata-katanya, karena dianggap hanya
penuh kebohongan.
Bila
manusia tak kunjung memperbaiki perilaku hidupnya, maka di zaman Kala Bendu
yang penuh kesulitan itu justru akan bertambah menyiksa. Tak hanya itu,
perbuatan angkara murka dan kesewenang-wenangan semakin merajalela. Dan,
perbuatan-perbuatan baik pun nyaris tak terlihat. Bahkan, kadang kala sulit
membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang jahat. Itu semua
terjadi karena perilaku jahat atau buruk telah mendominasi tingkah laku
manusia.
Empat
bait dari 21 bait Serat Sabda Tama ini sudah cukup memberikan gambaran betapa
karya besar Ronggowarsito ini syarat dengan petunjuk atau petuah berharga untuk
siapapun bila ingin berhasil dan berarti dalam kehidupan. Berarti tidak saja
bagi kehidupannya sendiri, tapi juga berarti bagi kehidupan orang lain.
Kehidupan lahiriah dan batiniah. Kehidupan yang lebih luas dan mensemesta.
SERAT SABDATAMA AJI MUMPUNG
Semua
orang pasti tahu apa yang disebut aji mumpung, yaitu gambaran orang yang
memanfaatkan kesempatan untuk kebutuhannya sendiri. Dalam bahasa sekarang kurang lebihnya
dikatakan sebagai orang yang menyalahgunakan
wewenang untuk kepentingan pribadi.
Bila
jaman edan sudah ada pada jaman Ranggawarsita (tersurat dan sersirat di Serat
Kalatidha dan Serat Sabda Tama jaman kala bendu).
12
bait Serat Kalatidha karya Ronggowarsito adalah :
I
Mangkya
darajating praja kawuryan wus sunya-ruri rurah pangrehing ukara karana tanpa
palupi. Ponang parameng-kawi kawileting tyas malatkung kongas kasudranira
tidhem tandhaning dumadi. Hardayengrat dening karoban rubeda.
Artinya
: Sekarang derajat negara terlihat telah suram pelaksanaan undang-undang sudah
rusak karena tanpa teladan. Kini, Sang Pujangga hatinya diliputi rasa sedih,
prihatin tampak jelas kehina-dinannya amat suram tanda-tanda kehidupan. Akibat
kesukaran duniawi, bertubi-tubi kebanjiran bencana.
II
Ratune ratu utama patihe patih linuwih pra nayaka tyas
raharja panekare becik-becik parandene tan dadi paliyasing kalabendu Malah
sangkin andadra rubeda kang ngreribedi. Beda-beda hardane wong sanagara.
Artinya : Raja
yang tengah berkuasa adalah raja utama, perdana menterinya pun seorang yang
terpilih para menteri juga bercita-cita menyejahterakan rakyat. Pegawai
aparatnya pun baik-baik, meski demikian tidak menjadi penolak atas zaman
terkutuk ini. Malahan keadaan semakin menjadi-jadi berbagai rintangan yang
mengganggu. Berbeda-beda perbuatan angkara orang seluruh negara.
III
Katatangi tangisira sira sang parameng kawi kawileting
tyas duhtita kataman ing reh wirangi dening upaya sandi sumaruna anarawang
panglipur manuhara met pamrih melik pakolih temah suh-ha ing karsa tanpa
weweka.
Artinya: Daripada menangis sedih, bangkitlah wahai
Sang Pujangga meski diliputi penuh duka cita mendapatkan rasa malu atas
berbagai fitnahan orang. Mereka yang mendekatimu bergaul, menghibur, seolah
membuat enak hatimu, padahal bermaksud memperoleh keuntungan, sehingga merusak
cita-cita luhur, karena tanpa kehati-hatianmu.
IV
Dhasar karoban pawarta babaratan ujar lamis pinudya
dadya pangarsa wekasan malah kawuri. Yen pinikir sayekti pedah apa aneng ngayun
andhedher kaluputan siniraman banyu lali. Lamun tuwuh dadi kekembanging beka.
Artinya :
Dasarnya terbetik berbagai berita, kabar angin yang berujar munafik Sang
Pujangga hendak diangkat menjadi pemuka, akhirnya malahan berada di belakang.
Apabila dipikir-pikir dengan benar berfaedah apa berada di muka. Menanam
benih-benih kesalahan disirami oleh air kelupaan. Apabila tumbuh berkembang
menjadi kesukaran.
V
Ujaring Panitisastra awawarah asung peling ing jaman
keneng musibat wong ambek jatmika kontit. Mangkono yen niteni. Pedah apa
amituhu pawarta lalawora mundhak angroronta ati. Angur-baya ngiketa cariteng
kuna.
Artinya: Menurut buku Panitisastra memberi ajaran dan
peringatan di dalam zaman yang penuh bencana bahwa orang berjiwa bijak justru
kalah dan berada di belakang. Demikian apabila mau memperhatikan tanda-tanda
zaman. Apakah gunanya kita percaya pada berita-berita kosong justru terasa
semakin menyakitkan hati. Lebih baik menulis cerita-cerita kuno.
VI
Keni kinarya darsana palimbang ala lan becik. Sayekti
akeh kewala lalakon kang dadi tamsil masalahing ngaurip wahanira tinemu temahan
anarima mupus papasthening takdir puluh-puluh anglakoni kaelokan.
Artinya : Hal itu
dapat digunakan sebagai teladan untuk membandingkan hal buruk dan baik.
Tentunya banyak juga lakuan-lakuan yang menjadi contoh tentang masalah-masalah
hidup hingga akhirnya ditemukannya, keadaan tawakal (narima), menyadari akan
ketentuan takdir Tuhan, bagaimana pula hal ini mengalami keanehan.
VII
Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi Melu edan
nora tahan yen tan milu anglakoni boya kaduman melik kaliren wakasanipun.
Dilalah kersa Allah begja-begjaning kang lali luwih begja kang eling lan
waspada.
Artinya: Menghadapi zaman edan keadaan menjadi serba
sulit turut serta edan tidak tahan apabila tidak turut serta melakukan tidak
mendapatkan bagian akhirnya menderita kelaparan. Sudah kehendak Tuhan Allah
betapun bahagianya orang yang lupa lebih berbahagia mereka yang sadar dan
waspada.
VIII
Samono iku babasan padu-paduning kapengin enggih
makoten Man Doplang bener ingkang ngarani nanging sajroning batin sejatine
nyamut-nyamut. Wis tuwa arep apa muhung mahasing ngasepi supayantuk
parimamaning Hyang Suksma.
Artinya :
Demikianlah perumpamaannya padahal mereka menginginkan, bukankah demikian Paman
Doplang?. Benar juga yang menyangkanya, namun di dalam batin sesungguhnya hal
itu masih jauh. Sudah tua mau apalagi, sebaiknya menjauhkan diri dari keramaian
duniawi supaya mendapatkan anugerah kasih Tuhan Yang Maha Esa.
IX
Beda lan kang wus santosa kinarilan ing Hyang Widhi
satiba malanganeya tan susah ngupaya kasil saking mangunah prapti Pangeran
paring pitulung marga samaning titah rupa sabarang pikolih parandene masih
taberi ikhtiyar.
Artinya : Berbeda
bagi mereka yang telah teguh sentosa jiwanya dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa.
Betapapun tingkah laku perbuatannya tidak susah untuk mendapatkan penghasilan
oleh karena dari datangnya pertolongan Tuhan. Tuhan senantiasa memberi petunjuk
dan pertolongan jalannya melalui sesama makhluk berupa segala sesuatu yang
bermanfaat. Meskipun demikian, dia masih tetap tekun rajin berusaha.
X
Sakadare linakonan mung tumindak mara ati angger tan
dadi prakara karana wirayat muni ikhtiyar iku yekti pamilihe reh rahayu sinambi
budi daya kanthi awas lawan eling kang kaesthi antuka parmaning Suksma.
Artinya : Sekadar
menjalani hidup hanya semata bertindak mengenakkan hati asalkan tidak menjadi
suatu masalah dengan memperhatikan petuah orang tua bahwa ikhtiar itu
sesungguhnya memilih jalan agar selamat sambil terus berusaha disertai dengan
awas dan sadar yang bertujuan agar mendapatkan kasih anugerah Tuhan.
XI
Ya Allah ya Rasulullah kang sipat murah lan asih
mugi-mugi aparinga pitulung ingkang nartani ing alam awal akhir dumunung ing
gesang ulun mangkya sampun awredha ing wekasan kadi pundi mila mugi wontena
pitulung Tuwan.
Artinya: Ya Allah, ya Rasulullah yang bersifat pemurah
dan pengasih semoga berkenan melimpahkan pertolongan yang menyelamatkan di
dunia hingga ke akhirat tempat hidup hamba padahal sekarang (hamba) sudah tua
pada akhirnya nanti bagaimana (terserah), maka semoga ada pertolongan Tuhan.
XII
Sageda sabar santosa mati sajroning ngaurip kalis ing
reh huru-hara murka angkara sumingkir tarlen meleng melatsih sanityaseng tyas
mamatuh badharing sapudhendha antuk wajar sawatawis borong angga suwarga mesi
martaya.
Artinya : Semoga
dapat sabar sentosa laksana mati di dalam hidup terbebas dari segala kerusuhan,
angkara murka, tamak, loba menyingkir semua tiada lain karena berkonsentrasi
diri memohon kasih Tuhan senantiasa melatih hatinya patuh agar dapat
mengurungkan kutukan sehingga mendapatkan sinar terang sekadarnya berserah diri
agar dapat masuk surga yang berisi keabadian.
Maka aji mumpung pun sudah ada pada masa itu, yang disebut sebagai jaman Kalabendu. Disebutkan oleh R Ngabehi Ranggawarsita, dalam Serat Sabdatama, pupuh Gambuh bait ke empat dan lima sebagai berikut :
4.
Beda kang ngaji mumpung, Nir waspada rubedane tutut, kakinthilan manggon
anggung atut wuri, Tyas riwut ruwet dahuru, Korup sinerung anggoroh.
Artinya
: Lain dengan yang ngaji mumpung, hilang kewaspadaan, masalah selalu bersamanya;
Mengikuti terus dari belakang, Hati amat bernafsu, ruwet, tidak tenteram, tidak
setia menyembunyikan dusta
5.
Ilang budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani,
Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh
Artinya
: Hilang tatasusilanya, lemah dan amat sembrono, apa yang dipikirkan berbahaya,
janjinya tidak dipercaya, akhirnya akan mendapat masalah. Disini R Ng
Ranggawarsita mengingatkan orang-orang yang Ngaji-aji mumpung ini, sebagai orang
yang lupa daratan dan kehilangan akal sehatnya. Jiwanya lemah. Tidak ada yang
percaya dan sebenarnya hidupnya juga tidak tenteram. Pada akhirnya ia akan
menuai masalah.
Contoh-contoh aji mumpung :
Mumpung
berkuasa lalu menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, Mumpung
menang, lalu sewenang-wenang kepada yang dikalahkan; Mumpung pandai lalu
memanfaatkan kepandaiannya untuk hal-hal tidak baik; Mumpung masih muda dan
tampan lalu merasa paling hebat; Mumpung kaya lalu sombong dan merendahkan
orang kecil.
Masih
banyak mumpung-mumpung lainnya yang
arahnya memanfaatkan peluang dengan penekanan pada penyalahgunaan, dan
apa yang diperoleh adalah untuk kepentingan diri sendiri. Misalnya mumpung boss
tidak ada maka kita bisa membolos. Walau demikian pengertian “mumpung” yang
baik juga bukannya tidak ada. Dalam
pelajaran management ada kata-kata “Strike while the iron still hot Pukul mumpung
besinya panas (agar mudah dibentuk)
memanfaatkan
kesempatan dengan baik.
Arti
dari peribahasa ini adalah taking advantage of a good opportunity alias aji
mumpung. Ketika Anda menemui seseorang yang hendak melewatkan kesempatan bagus,
kita bisa mengatakan, strike while the iron is hot, karena kesempatan belum
tentu datang dua kali. memanfaatkan
momentum. Mumpung boss sedang semangat-semangatnya maka proposal kita masukkan.
Tapi kalau proposal itu menghasilkan anggaran dan kita salahgunakan, maka
namanya kembali jadi aji mumpung.
Satu-satunya
mumpung yang paling bagus dan tidak bisa diplintir-plintirkan adalah kata mumpung
gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane yang pernah saya tulis dalam dalam Tembang
Ilir-Ilir.
Filosofi Tembang Lir-ilir
Lagu
Lir-ilir pada zaman Kerajaan Islam masih berkuasa di tanah Jawa sangat populer
dinyanyikan sebagai tembang dolanan dikalangan anak-anak dan masyarakat kala
itu. Tak jarang tembang ini juga dijadikan lantunan seorang ibu yang tengah
‘meninabobokan’ bayinya agar lekas pulas tertidur.
Tembang
ini diciptakan oleh Raden Said atau Sunan Kalijaga sebagain bagian dari media
dakwahnya. Meski berbahasa Jawa namun tembang Lir-ilir menyimpan peranan
penting dalam penyebaran Islam di tanah air. Tembang ini sarat akan makna dan
filosofi bagi kehidupan masyarakat untuk menuju kepada-Nya.
tembang Lir-ilir
Lir-ilir,
lir-ilir
Tandure
wis sumilir
Tak
ijo royo-royo, tak senggo temanten anyar
Bocah
angon, bocah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu
penekno, kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro,
kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono,
jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung
padhang rembulane, mumpung jembar kalangane
Yo
surako surak iyo
Terjemahan :
Bangunlah,
bangunlah
Tanaman
sudah bersemi
Demikian
menghijau bagaikan pengantin baru
Anak
gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu
Biar
licin dan susah tetaplah kau panjatuntuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu,
pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping
Jahitlah,
benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung
bulan bersinar terang, mumpung banyak waktu luang
Ayo
bersoraklah dengan sorakan iya
Filosofi Tembang Lir-ilir
Sebagai
umat Islam bangun dan sadarlah. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat
malas. Diri yang dalam ini dilambangkan dengan tanaman yang mulai bersemi dan
menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman
kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga
besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru.
Cah
angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya dalam jalan yang
benar. Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing dimana buahnya memiliki
gerigi lima buah yang digambarkan lima Rukun Islam. Meskipun licin dan susah
namun umat Islam harus tetap memanjatnya untuk menjalankan Rukun Islam.
Pakaian
yang terkoyak dilambangkan bahwa umat harus selalu memperbaiki imannya agar
kelak siap ketika dipanggil menghadap kehadirat-Nya. Hal terasebut harus
dilakukan ketika kita masih sehat yang dilambangkan dengan terangnya bulan dan
masih mempunyai banyak waktu luang.
Nasihat
Apa yang Terkandung dalam Lagu Daerah Jawa Tengah Lir-Ilir
Lagu
Lir-Ilir merupakan lagu yang mengandung nilai Pendidikan agama.
Nasihat
dalam lagu Lir-Ilir ini adalah bahwa sebagai umat manusia diharapkan bisa
bangun dari kesedihan, menguatkan keyakinan, dan berjuang mendapatkan
kebahagiaan.
Ada
juga yang menyebut bagian awal lagu ini berarti tidak lagi malas, dan
mendekatkan diri pada Tuhan.
Kemudian,
anak gembala yang memanjat belimbing adalah penggambaran perintah ibadah
sembahyang lima waktu dalam agama Islam, yang harus dilakukan sekuat tenaga,
meski ada halangan.
Meskipun
diibaratkan sebagai pakaian yang berlubang, seseorang diharapkan bisa
memperbaiki dirinya untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Kemudian
di akhir lagu ada pesan untuk melakukan hal di atas sebaik-baiknya, selagi
masih diberi kesempatan dan kesehatan.