SEMAR
Semar adalah nama tokoh utama dalam punakawan di pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana dari India. Meski demikian, nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut (berbahasa Sanskerta), karena tokoh ini merupakan ciptaan tulen pujangga Jawa.
Semar / Ki Lurah Badranaya / Ki Lurah Nayantaka tubuh pendek, rambut pendek, wajah putih, bokong besar, perut buncitKeistimewaansakti dan bijaksana.
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tetapi bermata sembab.
Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tetapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.
Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.
Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.
Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.
Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putri Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, tetapi tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
SEMAR DALAM WAYANG GOLEK
Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu :
1. Batara Wungkuham.
2. Batara Surya.
3. Batara Candra.
4. Batara Tamburu.
5. Batara Siwah.
6. Batara Kuwera.
7. Batara Yamadipati.
8. Batara Kamajaya.
9. Batara Mahyanti.
10. Batari Darmanastiti
Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.
Pasangan punakawan.
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut
Keris pengantin dengan pegangan Semar.
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, tetapi keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
Semar dalam cerita wayang bisa dijadikan sebagai salah satu contoh guru ideal dalam perannya mendidik karakter para kesatria Pandawa dan anak-anak mereka. Semar ialah sosok populis yang tinggal di dusun yang jauh dari keramaian, tapi kiprahnya membuat seluruh jagat menjadi terang benderang. Dari asal usulnya, ada sejumlah versi. Satu di antaranya bahwa Semar merupakan putra Sanghyang Tunggal dengan Dewi Rekatawati. Awalnya, dari keluarga itu lahirlah sebutir telur yang bercahaya. Telur kemudian dipuja Sanghyang Tunggal dan lalu secara gaib pecah menjadi tiga bagian yang kemudian masing-masing menjelma anak. Yang berasal dari kulit luar atau cangkang dinamai Antaga, dari bagian putih telur (albumen) diberi nama Ismaya, sedangkan yang dari kuning telur diberi nama Manikmaya.Ketika dewasa, Manikmaya menjadi raja di Kahyangan bergelar Shangyang Jagatnata. Antaga dan Ismaya diperintahkan Sangyang Tunggal turun ke marcapada. Antaga bertugas mendampingi kelompok ‘kiri’ atau jahat dengan nama Togog, sedangkan Ismaya bertanggung jawab sebagai pamong golongan ‘kanan’ atau para kesatria dengan nama Semar, yang dikisahkan berusia sangat panjang. Ia pertama kali mengabdi kepada Resi Manumanasa yang merupakan leluhurnya Pandawa. Namun, dalam seni pedalangan, peran Semar banyak diceritakan ketika ia menjadi pamongnya Pandawa di Negara Amarta.Ketika momong para anak cucu Begawan Abiyasa itulah Semar berjasa sangat besar dalam membentuk karakter para ‘ndara’-nya. Tidak gampang memang, ia malah pernah mendapat penghinaan dari ‘anak didiknya’ sendiri. Akan tetapi, itu tidak membuatnya mundur dari misi utamanya, membentuk para kesatria berkarakter luhur dan mulia. Semar hidup di Dusun Klampisireng yang masih berada dalam wilayah Negara Amarta. Ia memiliki tiga anak ‘tiban’ yang bernama Gareng, Petruk, dan Bagong.
Mereka berempat disebut sebagai panakawan.
Dalam pakeliran, biasanya panakawan muncul dalam sesi gara-gara. Ini babak jeda di tengah jalannya cerita pertunjukan wayang.
Di situlah panakawan memberi hiburan serta petuah atau pitutur. Bisa juga menjadi wahana bagi dalang menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat. Memberikan teladan Sesungguhnya posisi sentral Semar bukan pada momen itu. Kemunculannya dalam setiap lakon selalu menjadi sosok penting yang mencerahkan. Ia senantiasa memberikan solusi bagi momongannya yang sedang mendapat masalah atau musibah. Semar tidak pernah absen dari nasihat utamanya, yaitu untuk selalu berserah diri kepada Sang Maha Pencipta.Semar ialah seorang pembimbing.
Ia memberikan petunjuk dan mendorong para kesatria agar tidak keluar dari perilaku utama. Itulah yang menjadikan figurnya selalu dirindukan Pandawa.
Meski begitu, dalam suatu lakon, Pandawa pernah melupakannya. Secara konseptual, cara Semar membentuk karakter kesatria Pandawa sejalan dengan moto pendidikan yang ditelurkan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara :
1. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Ing ngarsa sung tuladha artinya di depan saya memberikan teladan. Di sinilah Semar selalu memberikan contoh. Misalnya, semua titah harus percaya kepada kekuasaan yang Maha Agung. Dari aspek spiritual itu, Semar meyakini bahwa semua yang terjadi di dunia adalah kehendak-Nya sehingga hidup mesti dijalani dengan bersyukur. Dalam kehidupan sehari-hari, Semar memberikan contoh tentang kesederhanaan. Hidup tidak perlu ngaya (ambisius). Gentur menjalani laku prihatin untuk meningkat kualitas jiwa. Senantiasa mengasah kepekaan nurani dan bertindak jujur dan bermoral.
2. Ing madya mangun karsa secara umum berarti di tengah keberadaannya mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Dalam hal itu Semar menciptakan suasana yang memungkinkan lingkungannya (momongannya) bergairah mengembangkan diri untuk meraih harapan.Peran itu sering tampak ketika ia mendampingi Arjuna ketika sedang menjalani tapa brata untuk mendapatkan anugerah dari dewa. Misalnya, ketika ia berjuang mendapatkan wahyu Makutha Rama dari Begawan Kesawasidi yang merupakan penyamaran Kresna, titisan Bathara Wisnu. Di situ Semar menciptakan suasana gairah Arjuna menggayuh anugerah dewa.
3. Tut wuri handayani artinya kurang lebih di belakang memberikan dorongan atau semangat. Dalam suatu lakon, Semar pernah memberikan asa yang luar biasa kepada Pandawa yang ketika itu sedang berkabung karena kehilangan pusaka wingit jimat kalimasada. Pandawa didorong untuk mengoreksi diri dengan terus menjalani laku prihatin serta berjuang keras menemukan kembali pusaka tersebut. Itulah yang menjadi asa Pandawa untuk terus berusaha tanpa kenal lelah sebelum tujuan tercapai.Digugu dan ditiru Jadi, model ideal guru membangun karakter dengan konsep ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani ialah dengan memberi teladan atau panutan, mampu menciptakan suasana yang memungkinkan tumbuh berkembangnya pikiran dan mental, serta tidak lelah menggugah semangat dan memberikan dorongan.Dalam konteks itu, kredo bahwa guru itu harus bisa digugu (dipercaya) dan ditiru (diteladani) masih relevan. Maknanya guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik dengan perilaku. Dari sini, guru memang bukan sosok biasa, yakni bak Semar yang merupakan dewa mangejawantah. Itulah yang kemudian memunculkan ungkapan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
FILOSOFI SEMAR
Dunia pewayangan kian luntur tersepuh oleh globalisasi, diikuti oleh sikap terlalu ambisius muda-mudi Indonesia dalam mengikuti perkembangan modernitas. “Modernitas” seharusnya dipahami secara etimologis, bahwa modernitas berkata dasar “modern” yang berarti “baru”. Baru dalam aspek apapun, baru dalam pemikiran apapun, baru dalam pemecahan masalah apapun. Tak terkecuali dengan penyajian wayang dan pemikirannya.
Wayang bukan sekadar bentuk estetis dan artistik, melainkan pula ada pemikiran moderat yang tidak mungkin terlukai nilai-nilainya karena barang remeh-temeh seperti globalisasi. Nilai-nilai itu terinternalisasi oleh masyarakat Jawa dahulu dan mungkin sekarang menjadi sikap hidup yang selalu berporos pada sangkan paraning dumadi atau asal-usul segala sesuatunya tercipta, yaitu Allah SWT.
Semar misalnya. Semar merupakan simbol dari ketuhanan dan kebertuhanan. Artinya, Semar memiliki sifat-sifat ketuhanan sekaligus memiliki nilai-nilai untuk manusia dalam bertuhan. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para ksatria dalam pementasan wiracarita Mahabharata dan Ramayana dari India. Nama “Semar” ini memiliki konsekuensi terhadap kata “samar”, tidak jelas. Nama aslinya adalah Ismaya yang merupakan kebalikan sifat dari adiknya, yaitu Manikmaya (manik=mutiara ; maya =semu). Nama lainnya yaitu Ki Lurah Badranaya (badra/bebadra=membangun dari bawah ; naya=utusan dari atas). Nama tersebut melambangkan bahwa Semar berasal dari dunia ketuhanan sekaligus rakyat jelata. Semar sebagai manusia berasal dari rakyat jelata, hidupnya sangat miskin, tetapi tidak pernah (ingin) terikat dengan hal-hal keduniaan. Yang demikian itu melahirkan konsekuensi bahwa Semar merupakan filsuf sekaligus wali Allah. Dalam interaksinya dengan manusia, Semar selalu berbicara dan menasihati siapapun dengan kualitas sastra yang tinggi, intelektualitas yang dalam, dan spiritualitas yang sejati. Dia selalu taat pada perintah Tuhannya yang dimanifestasikan dengan pembicaraan dan sikap relijiusnya.
Filosofi Semar dapat dikaji dari segi fisik maupun kedudukannya dalam cerita pewayangan. Dari segi fisik, dia bersosok lelaki, tetapi dia memiliki payudara, yang demikian itu menjadi simbol dari pria dan wanita. Wajahnya terlihat keriput, tua, tetapi dia memiliki kuncung sehingga membuatnya terlihat seperti anak-anak. Orang tua yang merupakan ciri kematangan dan anak-anak yang menyimbolkan pikiran jernih menjadi simbol dari tua dan muda. Semar yang merupakan dewa memiliki kekuatan-kekuatan yang tidak akan pernah terkalahkan oleh siapapun yang berani menentangnya : tidak pernah lapar, mengantuk, jatuh cinta, sedih, capai, sakit, kepanasan, dan kedinginan. Artinya, dia tidak pernah terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya. Dia hanya fokus pada peningkatan pribadinya sehingga apapun yang mungkin mengganggunya dapat dikendalikan di bawah kemudi kesadarannya. Kekuatan-kekuatan ini disimbolkan pada fisik Semar dengan kuncung yang berjumlah delapan. Pada bentuk tangannya juga terlihat bahwa tangan yang satu menghadap ke atas dan tangan yang lain menghadap ke bawah sebagai simbol bahwa rezeki yang datang kepada kita agar dimintakan kepada yang ada di atas, tetapi ketika sudah mendapatkannya jangan lupa untuk selalu berbagi kepada yang ada di bawah kita. Berbagi kepada siapapun, dari strata sosial apa pun, dari warna kulit apa pun, yang berkulit putih, coklat, maupun hitam yang merupakan warna kulit Semar. Dalam sunggingan memang Semar berwarna kulit hitam, tetapi hal itu bukan tanpa makna. Warna kulit hitam pada Semar menyimbolkan Bumi. Bumi dengan sikap ikhlasnya, andhap asor, rendah hati, dan tidak sombong disimbolkan dengan warna kulit hitam pada Semar. Bumi (tanah) mengetahui bahwa air, api, angin, hewan, tumbuhan, kebaikan, dan kejahatan sekalipun hidup di dalamnya, tetapi hal tersebut tidak menjadikannya sombong, tinggi hati. Tanah yang selalu diinjak-injak ikhlas menerima itu semua demi makmurnya kehidupan di Bumi.
Ojo dumeh, eling, lan waspada.
Selain filosofi fisiknya, dari segi kedudukan, Semar merupakan dewa yang kamanungsan. Semar merupakan dewa memilki sifat-sifat ketuhanan yang memanusia, yang selalu bersikap seperti sejatinya manusia (andhap asor, rendah hati, dermawan, bijaksana, dll.).
Dewa yang kamanungsan itu dimanifestasikan dengan menjadi ponokawan bukan punakawan. Jika pono berarti jernih atau memiliki visi yang jelas dan kawan berarti teman, maka ponokawan berarti teman yang berpikiran jernih dan memiliki visi yang jelas. Semar mampu menjadi teman, kerabat, rekan, atau partner yang senantiasa objektif, kritis, terbuka, dan bervisi jelas terhadap setiap permasalahan yang menimpa temannya. Dapat juga diinterpretasikan bahwa Semar merupakan pemimpin yang merakyat. Antitesis dari Semar adalah Krisna. Krisna merupakan rakyat yang mendewa. Dia lahir dari seorang dewa. Yang demikian ini dapat diinterpretasikan bahwa Krisna merupakan rakyat yang bergaya seperti pemimpin. Tetapi terlepas dari itu semua, kita dapat mengambil hikmah dan kebijaksanaan dari Krisna sekalipun.
Dalam setiap pagelaran wayang yang menampilkan tokoh Semar, sang dalang selalu mengucapkan kalimat berupa sajak dari Semar :
Mbegegeg, ugeg-ugeg, mel-mel, sak dulito, langgeng
Mbegegeg berarti diam.
Ugeg-ugeg berarti bergerak. Mel-mel secara harfiah berarti makan serta secara makna berarti mencari. Sak dulito berarti walaupun sedikit.
Kemudian langgeng berarti kekal atau abadi. Maka sajak tersebut bermakna bahwa daripada kita diam, lebih baik bergerak atau berusaha mencari makan — atau secara maknanya bergerak untuk terus mencari (apapun) walaupun sedikit tetapi itu akan kekal, abadi, baka, tidak mudah retak karena lumut kemunafikan, tidak hitam karena sengatan kemalasan, dan tidak pula putih karena keangkuhan teologis, karena yang demikian adalah hasil jerih payah, kerja keras, dan pikiranmu sendiri. Belajarlah! Belajar dengan terus introspeksi walaupun sedikit, tetapi jika itu adalah hasil jerih payah sendiri, maka yang demikian akan abadi, akan selalu dikenang. Internalisasi nilai ini sangat berdampak besar bagi siapapun yang merenunginya secara mendalam dan berhati-hati. Bagi pelajar yaitu untuk tidak selalu mengeluh, ngresula, dan terlampau banyak berbicara hal-hal yang tidak bermanfaat. Ditambah dengan sikap tidak jujur dalam menuntut ilmu karena hal tersebut dapat mematikan hati hati dalam pengertian teologis berarti akal dan mengikis motivasi. Bagi politisi yaitu untuk selalu menjaga tujuan mulianya dalam menyejahterakan kehidupan masyarakat dengan cara-cara yang halal dan pikiran yang terbuka, objektif, dan kritis.
Memayu hayuning bawono.
Ketika berbicara Semar, berbicara pula ketiga anaknya : Gareng, Petruk, dan Bagong. Singkatnya, ketiga anaknya juga memiliki simbol tersendiri secara utuh. Gareng dengan sikapnya yang selalu skeptis dan terus mempertanyakan apapun menjadi simbol kritisisme. Petruk yang berakar kata Fatruk berasal dari bahasa Arab yang berarti tinggalkanlah menjadi simbol ketidakterikatan pada dunia. Bagong dengan ketidakpatuhannya pada aturan karena selalu membangkang menjadi simbol revolusi.
Semua hal di atas menunjukkan bahwa Jawa memiliki peradaban intelektual, spiritual, dan mentalitas yang cukup menjadikan seorang manusia berakal, berbudi luhur, dan berperilaku mulia. Nilai-nilai luhurnya sebanding dengan rumusan aljabar Al-Khawarizmi. Ketajaman nasihatnya sejalan dengan semangat revolusi Soekarno-Hatta. Serta produk kontemplasinya senada dengan relativitas umum milik Einstein.
Jawa tidak menjadi besar karena kerajaannya. Jawa menjadi besar karena keluhuran budinya.