KITAB KUNO NUSANTARA
Indonesia adalah negara yang sangat hebat di masa lalu, bahkan sejak masa kerajaan-kerajaan kuno masih berdiri. Salah satu bukti kehebatan itu bisa dilihat dari beberapa peninggalan berupa bangunan candi yang masih berdiri kokoh dan megah.
Selain itu terdapat pula peninggalan yang tidak ternilai harganya, berupa kitab Kuno Nusantara yang menjadi karya sastra hebat kala itu. Karya sastra ini ada karena peradaban saat itu sangat besar. Budaya baca tulis menjadi sesuatu yang penting hingga karya sastra tak ubahnya harta berharga.
Saat ini sastra di Indonesia bisa terbilang mulai merangkak, kadang mati suri mendadak. Penyebabnya adalah minat baca dan tulis manusia Indonesia zaman sekarang sangat rendah. Atau bisa dibilang tak ada sama sekali.
Di era sekarang, kitab-kitab itu menjadi sumber penulisan sejarah Indonesia yang berkisah mengenai orang-orang hebat serta peradaban-peradaban besar Nusantara. Berikut ini beberapa kitab kuno di Nusantara yang sering dijadikan sebagai sumber dalam penulisan sejarah.
KITAB KUNO BUKTI KEHEBATAN NUSANTARA.
Indonesia adalah sebuah negara yang besar kaya dan hebat pada jaman dulu. Beberapa peninggalan bersejarah menjadi bukti dari kebesaran sebuah negara pada saat itu. Salah satu peninggalan bersejarah yang menceritakan kisah tersebut adalah ditemukannya beberapa karya sastra atau kitab yang menjadi barang berharga. Mengetahui isi dari kitab tersebut membuat kita terperangah bahwa ternyata negara Indonesia pernah menjadi negara yang sangat besar.
1. Kitab Arjuna Wiwaha
Kita mulai dengan kitab yang pertama, Arjuna Wiwaha adalah sebuah karya sastra kuno yang dibuat dan digubah pertama kali pada abad ke-11 masehi.
Seorang empu bernama Kanwa menulisnya saat masa pemerintahan Prabu Airlangga yang menguasai Jawa Timur sekitar tahun 1019-1042.
Sastra ini menjadi pusaka berharga karena menjadi bukti peradaban manusia zaman dahulu yang ternyata sudah maju. Bahkan mengenal baca tulis meski hanya kalangan tertentu saja. Kitab yang lagi-lagi berupa kakawin ini berisi syair mengenai perjuangan Arjuna.
Sebuah tokoh pewayangan yang sangat hebat. Dikisahkan Arjuna sedang bertapa di Gunung Mahameru. Dewa mengujinya dengan mengirim tujuh bidadari yang sangat cantik. Bidadari itu disuruh menggodanya, namun Arjuna lulus godaan. Akhirnya Arjuna disuruh melawan raksasa yang mengamuk di kayangan. Karena berhasil ia boleh mengawini tujuh bidadari yang menggodanya tadi.
2. Kitab Sutasoma
Seperti yang kita ketahui, Kitab Sutasoma adalah sebuah kakawin atau syair Jawa Kuno yang berisi banyak bait. Orang yang yang menggubah kitab ini hingga terkenal sampai sekarang adalah Empu Tantular.
Ia disuruh oleh Hayam Wuruk yang saat itu masih menjadi raja. Kitab ini berisi banyak sekali hal hebat yang masih dipakai sampai sekarang. Anyway, tahukah anda jika semboyan negara kita ini diambil dari kitab yang dibuat pada abad ke-14 itu? Ya, Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda tapi tetap satu jua adalah petikan bait dari kitab ini. Karya sastra ini juga berisi banyak sekali pelajaran yang berharga.
Salah satunya ada mengajarkan toleransi beragama. Sesuatu yang saat ini sudah mulai luntur. Jika kitab ini masih diajarkan sampai sekarang, mungkin Indonesia akan jadi negara yang damai. Tak ada perpecahan seperti yang sekarang terjadi.
3. Kitab NegaraKertagama.
Urutan ketiga dalam kitab kuno adalah Negarakertagama yang memiliki arti Negara dengan tradisi (agama) yang suci. Kitab ini pertama kali ditemukan di tahun 1894 di istana Raja Lombok.
Seorang peneliti bernama J.L.A Brandes menyelamatkannya sebelum dibakar bersama seluruh buku di perpustakaan kerajaan. Naskah ini adalah naskah tunggal yang berhasil ditemukan dan selamat setelah selesai ditulis pada tahun 1365.
Kitab ini ditulis oleh empu Prapanca yang merupakan nama samaran dari Dang Acarya Nadendra. Seorang bekas pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa.
Kitab yang merupakan syair kuno Jawa atau kakawin ini menceritakan kejayaan Kerajaan Majapahit saat itu.
Salah satu tentang daerah kekuasaan dan juga silsilah keluarga raja. Penemuan kitab ini menjadi bukti jika di masa lalu, Indonesia pernah dikuasai kerajaan hebat dengan tradisi kelas tinggi.
4. La Galigo.
La Galigo adalah karya sastra paling panjang di dunia saat ini. Berisi sekitar 6.000 halaman, dan 300.000 baris teks membuat La Galigo saat dikagumi di dunia.
Karya ini dibuat sekitar abad ke-13 dan ke-15 masehi oleh bangsa Bugis Kuno. Huruf yang digunakan dalam La Galigo masih menggunakan huruf lontara kuno yang tak semua orang bisa membacanya.
La Galigo berisi banyak sekali sajak tentang penciptaan manusia. Selain itu juga cerita mitos hebat yang kadang masih diceritakan turun temurun. La Galigo dipercaya ditulis sebelum epik Mahabarata ditulis di India.
Saat ini sebagian besar manuskrip asli dari La Galigo terselamatkan dan tersimpan rapi di Museum Leiden, Belanda.
5. Serat Centhini.
Kitab kuno yang terakhir adalah Serat Centhini atau dengan nama lain Suluk Tambangraras adalah sebuah karya sastra terbesar dalam kasusastran Jawa Baru.
Di dalam kitab ini banyak sekali tersimpan tradisi, ilmu pengetahuan, dan banyak hal yang saat itu dikhawatirkan akan punah. Adalah Pakubuwana ke-V yang memiliki ide menghimpun segala budaya dan tradisi dari Jawa ini menjadi sebuah serat yang berisi tetembangan.
Diperkirakan serat ini dikerjakan pada pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Pakubuwana ke-V dibantu tiga orang pujangga istana merangkum semua hal agar tidak punah.
Pujangga kerajaan ini disuruh berkelana dan menuliskan semuanya yang berkaitan dengan kebudayaan dan juga tradisi lokal. Saat ini Serat Centhini telah digubah dan dibuat versi modern oleh beberapa orang. Bahkan ada yang membuatnya dalam versi novel trilogi agar mudah dicerna.
Beberapa kitab karya sastra kuno di atas menjelaskan kepada kita bahwa bangsa kita ini benar benar adalah bangsa yang besar dan hebat. Semoga artikel bukti kehebatan Indonesia pada jaman dulu ini dapat menonjolkan semangat kita semua untuk berbuat yang lebih baik lagi
Kitab Negarakretagama.
Kitab kuno di Nusantara yang pertama adalah Nagarakretagama. Kitab Nagarakretagama atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana bisa dikatakan merupakan kakawin Jawa Kuno karya Empu Prapanca yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang paling banyak diteliti. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.L.A. Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi KNIL di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.
Naskah ini selesai ditulis pada bulan September – Oktober, tahun 1365 Masehi, penulisnya menggunakan nama samaran Prapanca, berdasarkan hasil analisis kesejarahan yang telah dilakukan diketahui bahwa penulis naskah ini adalah Dang Acarya Nadendra, bekas pembesar urusan agama Buddha di istana Majapahit.
Kakawin ini menguraikan keadaan di keraton Majapahit dalam masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Kakawin ini bersifat pujasastra, artinya karya sastra menyanjung dan mengagung-agungkan Raja Majapahit Hayam Wuruk, serta kewibawaan kerajaan Majapahit.
Kitab Pararaton.
Kitab kuno di Nusantara yang kedua adalah Serat Pararaton. Kitab atau Serat Pararaton adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama “Pustaka Raja,” yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti “kitab raja-raja.” Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton ini.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222-1292). Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada tahun 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu “Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok,” atau “Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Arok.” Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka atau 1600 Masehi, diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, di mana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua.
Kitab Sutasoma.
Kitab kuno di Nusantara yang selanjutnya adalah Kitab Sutasoma. Kitab atau Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa Kuno. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi motto nasional Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” (Bab 139.5).
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini bercerita mengenai sebuah epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha.
Kakawin Sutasoma digubah oleh Mpu Tantular pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan prabu Rajasanagara atau raja Hayam Wuruk. Tidak diketahui secara pasti kapan karya sastra ini digubah. Oleh para pakar diperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365 dan 1389. Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra Jawa karena bisa dikatakan merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang bernapaskan agama Buddha.
Kitab Arjunawiwaha.
Kitab atau Kakawin Arjunawiwaha adalah kakawin pertama yang berasal dari Jawa Timur. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga dari Kerajaan Kahuripan, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1030.
Kakawin ini menceritakan sang Arjuna ketika ia bertapa di gunung Mahameru. Lalu ia diuji oleh para Dewa, dengan dikirim tujuh bidadari. Bidadari ini diperintahkan untuk menggodanya. Nama bidadari yang terkenal adalah Dewi Supraba dan Tilottama. Para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Batara Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi. Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah batara Siwa. Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca, seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah boleh mengawini tujuh bidadari ini.
Kitab Baratayuda.
Istilah Baratayuda berasal dari kata Bharatayuddha atau Perang Bharata, yaitu judul sebuah naskah kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada tahun 1157 oleh Mpu Sedah atas perintah Maharaja Jayabhaya, raja Kerajaan Kadiri. Sebenarnya Kitab Baratayuda yang ditulis pada masa Kediri itu untuk simbolisme keadaan perang saudara antara Kerajaan Kediri dan Jenggala yang sama-sama merupakan keturunan Raja Airlangga . Keadaan perang saudara itu digambarkan seolah-olah seperti yang tertulis dalam Kitab Mahabarata karya Vyasa yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa yang sebenarnya juga keturunan Vyasa sang penulis.
Kisah Kakawin Bharatayuddha kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Jawa Barudengan judul Serat Bratayuda oleh pujangga Yasadipura I pada zaman Kasunanan Surakarta.
Kitab Serat Centini.
Kitab atau Serat Centhini, juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, juru tulis resmi Istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara VII dan Mangkunegara VIII, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV, yang kelak bertakhta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Kitab Serat Calon Arang.
Naskah lontar yang berisi ceritera Calon Arang ditulis dengan aksara Bali Kuna. Meskipun aksaranya Bali Kuna, tetapi bahasanya Kawi atau Jawa Kuna. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. kisah ini tertulis dalam naskah lontar bertarikh 1540 Masehi. Kitab ini berisi kisah raja Airlangga mengalahkan janda sakti yang bernama Calon Arang.
Kitab I La Galigo.
Kitab kuno di Nusantara yang terakhir adalah Kitab I La Galigo. Kitab atau Sureq Galigo adalah sebuah epik mitos penciptaan dari peradaban Bugis di Sulawesi Selatan yang ditulis di antara abad ke-13 dan ke-15 Masehi dalam bentuk puisi Bahasa Bugis kuno, ditulis dalam huruf Lontara Bugis kuo. Puisi ini terdiri dalam sajak bersuku lima dan selain menceritakan kisah asal usul manusia, juga berfungsi sebagai almanak praktis sehari-hari.
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang sebagian besar melalui tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada upacara-upacara tradisional penting masyarakat Bugis. Versi tertulis hikayat ini yang paling awal diawetkan adalah pada abad ke-18, di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat serangga, iklim atau perusakan. Akibatnya, tidak ada versi Galigo yang pasti atau lengkap, namun bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, membuatnya menjadi salah satu karya sastra terbesar. Lebih panjang dari Kitab Mahabarata dan Ramayana.