Wahyu Cakraningrat
Kisah ini menceritakan tentang usaha
Raden Lesmana Mandrakumara, Raden Samba, dan Raden Abimanyu dalam usaha
menjemput turunnya Wahyu Cakraningrat. Perlombaan ini dimenangkan oleh Raden
Abimanyu, sehingga dialah kelak yang bisa menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
Menceriterakan
tentang perjalanan tiga orang satriya menempuh marabahaya dalam usahanya untuk
dapat memperoleh kekuasaan. Ketiga satriya tersebut adalah raden Lesmana
Mandrakumara, raden Samba Wisnubrata dan raden Abimanyu.
Wahyu Cakraningrat sendiri adalah wahyu
yang dianggap sebagai syarat untuk mendapatkan kekuasaan tersebut. Konon,
siapapun yang mendapatkannya maka keturunannya akan dapat memegang tampuk
kekuasaan.
Untuk mendapatkan wahyu cakraningrat ini
sendiri tidak mudah karena harus melalui laku tapa brata yang berat.
Semula wahyu Cakraningrat tersebut masuk
kedalam tubuh raden Lesmana Mandrakumara yang melakukan tapanya di hutan
Gangguwirayang. Namun Lesmana Mandrakumara tidak bisa mengontrol diri ketika
muncul godaan dari putri Pamilutsih yang merupakan jelmaan dari dewi Maninten.
Akhirnya wahyu cakraningrat keluar dari tubuhnya.
Orang kedua yang mendapatkan kesempatan
berkah wahyu cakraningrat adalah raden Samba Wisnubrata. Putra dari prabu
Kresna itupun dianggap tidak lulus ketika ujian menghampirinya. Ketika dua
orang, lelaki dan perempuan yang mengaku anak dan bapak menghampirinya dan
ingin mengikutinya, dengan sikap sombong dan arogan dia mengusir sang bapak
karena dianggap sudah terlalu tua untuk mengikutinya. Namun dia merayu anak
perempuannya agar bersedia ikut dengannya. Lelaki tua dan anak perempuan itu
akhirnya mengaku sebagai jelmaan dari wahyu cakraningrat dan dewi Waminten dan
memutuskan bahwa wahyu cakraningrat tidak pantas berada dalam tubuh yang
arogan. Dan keluarlah wahyu itu dari tubuh raden Samba.
Wahyu Cakraningrat kemudian masuk ke
tubuh Abimanyu sebagai pertapa ketiga. Wahyu itu masuk ketika hari telah
menjelang malam. Segera setelah mendapatkan wahyu, raden Abimanyu keluar dari
pertapaannya. Tubuhnya segar, wajahnya terlihat berseri-seri bercahaya sebagai
tanda wahyu Cakraningrat telah manjing bersatu dengannya. Ketika raden Abimanyu
akan kembali pulang ke negerinya Amarta, ditengah jalan dicegat oleh para
kurawa yang hendak merebut wahyu cakraningrat. Namun niat itu tidak berhasil
dengan baik karena Abimanyu tetap bisa mempertahankan keberadaan wahyu itu
dalam dirinya.
Prabu Kresna ketika mengetahui raden
Samba anaknya gagal mendapatkan wahyu cakraningrat, berkehendak menikahkan
salah seorang putrinya, Dewi Siti Sundari, dengan Abimanyu. Harapannya agar
kelak keturunannya dapat menjadi penguasa. Namun dewa berkehendak lain karena
Siti Sundari ternyata mandul. Abimanyu hanya mempunyai satu putra yaitu
Parikesit dari rahim dewi Utari. Kelak, Parikesit yang akan menjadi penerus tahta
kerajaan Astina setelah perang Bharatayudha berakhir. Konon, Parikesit juga
dianggap sebagai orang yang telah menurunkan raja-raja yang berkuasa di pulau
Jawa.
Wahyu Cakraningrat, ILUSTRASI DAN Filosofis untuk
Merebut Kekuasaan
1. Raja-raja jagad
pewayangan riuh memperebutkan Wahyu Cakraningrat, yang diyakini memberi kuasa
atas wilayah timur hingga barat dan utara sampai selatan. Namun, tak mudah
memperoleh wahyu sang batara, yang hanya akan turun ke manusia terpilih.
2. Kompetisi,
strategi dan penaklukan ternyata bukan satu-satunya cara memperoleh Wahyu
Cakraningrat. Ki dalang Danang Suseno menceritakan Raden Samba yang mewarisi
pengetahuan ramandanya Prabu Kresna, harus memperoleh Wahyu Cakraningrat itu
dengan siasat apapun, namun bijaksana. Lain Raden Samba, lain pula cara Raden
Lesmana Mandrakumara. Baginya, dengan cara bagaimanapun yang penting wahyu ini
harus didapatkan, dengan catatan harus terkesan sportif.
3. Bagaimana dengan
Raden Abimanyu? Dia yang juga sempat merasakan bagaimana dulu ramanda dan
paman-pamannya (Pandawa) dipecundangi, dikhianati dan dikucilkan oleh trah
Kurawa, mencoba menyikapi hal ini dengan lebih berhati-hati. Pada akhirnya, tak
satupun berhasil. Wahyu Cakraningrat hanya akan merasuk ke satria yang bersih lahir batin, cerdas dan tahan
godaan, berbudi luhur, dan kepekaan sosial tinggi.
4. Di tahun politik
ini, sangat pas mengambil filosofi Wahyu Cakraningrat. Di situ, perebutan
kekuasaan sepenuhnya dilakukan sesuai etika, manusiawi dan dengan kesadaran
mengedepankan kebersamaan perilaku. Bukan perilaku zalim dan tak bermolar.
5. Pesan di cerita
pewayangan sangat relevan dengan Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Hal itulah yang membawa
sosialisasi empat pilar kebangsaan menyasar salah satu budaya tradisional
masyarakat Jawa itu.
6. Meski ini tahun
politik, namun jangan melupakan pancasila, etika, persatuan Indonesia dan
keadilan sosial.
7. Dalam
menyosialisasikan empat pilar kebangsaan, pihaknya bekerjasama dengan berbagai
elemen seperti yayasan, LAM, Ormas, Orpol maupun generasi muda/penerus.
RINGKASAN
WAHYU CAKRANINGRAT VERSI WAYANG
A. PRABU DURYUDANA MEMBAHAS TENTANG WAHYU CAKRANINGRAT
Di Kerajaan
Hastina, Prabu Duryudana memimpin pertemuan dengan dihadap Danghyang Druna dari
Padepokan Sokalima, Adipati Karna dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar,
dan Raden Kartawarma dari Tirtatinalang. Hari itu Prabu
1. Duryudana
membicarakan tentang mimpi yang ia terima bahwa dewata akan menurunkan Wahyu
Cakraningrat. Namun, ia sendiri belum tahu apa yang dimaksud dengan wahyu
tersebut dan juga di mana akan diturunkan. Oleh sebab itu, ia pun meminta
petunjuk dari sang guru, yaitu Danghyang Druna.
2. Danghyang Druna
menjawab dirinya juga mendapat wangsit dari dewata saat bersamadi di sanggar
pemujaan Padepokan Sokalima kemarin. Wangsit tersebut mengatakan, dewata akan
menurunkan Wahyu Cakraningrat di Hutan Krendayana. Barangsiapa bisa mendapatkan
wahyu tersebut, maka kelak ia akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Namun
demikian, Wahyu Cakraningrat ini khusus diperuntukkan bagi para pangeran.
3. Prabu Duryudana
terkejut mendengarnya. Jika demikian, ini berarti yang harus menjemput turunnya
wahyu tersebut adalah Raden Lesmana Mandrakumara. Dalam hal ini ia merasa ragu
apakah putranya yang manja itu mampu mendapatkan Wahyu Cakraningrat di Hutan
Krendayana.
4. Danghyang Druna
berkata hal ini harus menjadi bahan pelajaran bagi Raden Lesmana Mandrakumara
agar tidak melulu hidup nyaman di dalam istana. Dulu sewaktu perebutan Wahyu
Makutarama, pihak Hastina mengalami kegagalan, di mana yang berhasil
mendapatkannya adalah Raden Arjuna dari pihak Amarta. Untuk kali ini, Kerajaan
Hastina tidak boleh gagal lagi. Danghyang Druna sendiri yang akan membimbing
Raden Lesmana Mandrakumara untuk mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Urusan
menjemput turunnya wahyu haruslah melibatkan dirinya, bukan orang lain yang
tidak memiliki keahlian.
5. Adipati Karna
tersinggung karena yang dulu ditugasi menjemput turunnya Wahyu Makutarama
adalah dirinya. Ia tidak terima dan mengajukan diri sebagai pembimbing Raden
Lesmana Mandrakumara ke Hutan Krendayana. Ia bertekad kali ini harus bisa mengusahakan
keberhasilan Raden Lesmana dalam meraih Wahyu Cakraningrat sebagai penebus
kegagalan di masa lalu. Ia pun balas menyindir Danghyang Druna yang gagal
merekayasa kematian Arya Wrekodara di Samudera Minangkalbu. Bukannya mati, Arya
Wrekodara justru mendapatkan ilmu kasampurnan dari Dewa Ruci.
6. Prabu Duryudana
berusaha menengahi Danghyang Druna dan Adipati Karna yang saling sindir. Ia
mengakui dirinya dulu telah salah memberikan tugas. Danghyang Druna yang
seorang guru ditugasi merancang kematian Arya Wrekodara, sedangkan Adipati
Karna yang seorang senapati justru ditugasi menjemput turunnya Wahyu
Makutarama. Maka itu, untuk meraih Wahyu Cakraningrat kali ini, ia tidak ingin
salah menugasi orang. Danghyang Druna sebagai guru besar ditugasi untuk membimbing
Raden Lesmana bersamadi, sedangkan Adipati Karna sebagai senapati ditugasi
mengamankan Hutan Krendayana agar tidak ada orang lain yang ikut masuk dan
menjadi pesaing putranya dalam meraih Wahyu Cakraningrat.
7. Danghyang Druna
dan Adipati Karna puas mendengar keputusan Prabu Duryudana yang tidak berat
sebelah. Prabu Duryudana lalu menugasi Patih Sangkuni untuk memanggil Raden
Lesmana Mandrakumara dari Kesatrian Sarojabinangun agar ikut hadir menerima
perintah.
B. RADEN LESMANA MANDRAKUMARA DIPERINTAHKAN UNTUK
MENJEMPUT WAHYU CAKRANINGRAT
1. Selang agak
lama, Patih Sangkuni kembali menghadap dengan disertai Raden Lesmana
Mandrakumara. Dengan lagak manja, Raden Lesmana bertanya mengapa dirinya
dipanggil, padahal biasanya dibiarkan bermalas-malasan di kesatrian. Prabu
Duryudana berkata bahwa dewata akan menurunkan Wahyu Cakraningrat untuk para
pangeran. Ia berharap putranya yang mendapatkan wahyu tersebut. Oleh sebab itu,
Raden Lesmana Mandrakumara diperintahkan untuk pergi bertapa di Hutan Krendayana.
2. Raden Lesmana
menolak. Ia berkata bahwa ayahnya seorang raja yang sangat berkuasa, mengapa
tidak bisa memerintahkan dewata agar menurunkan Wahyu Cakraningrat di Kesatrian
Sarojabinangun saja? Mengapa pula dirinya yang pangeran mahkota kerajaan besar
harus bersusah payah menjemput wahyu tersebut di tengah hutan seperti orang
rendahan?
3. Prabu Duryudana
menasihati Raden Lesmana agar jangan menjadi pangeran yang cengeng. Dirinya
semasa muda pun menghabiskan waktu di Padepokan Sokalima, hidup sebagai pelajar
yang menjalani segala kesusahan, bukannya bermalas-malasan di dalam istana.
Prabu Duryudana tidak mau tahu, ia ingin Raden Lesmana harus berangkat saat ini
juga bersama Danghyang Druna ke Hutan Krendayana dan harus pulang membawa Wahyu
Cakraningrat.
4. Raden Lesmana
Mandrakumara kecewa melihat perubahan sikap ayahnya yang biasanya memanjakan,
kini menjadi tegas dan keras. Danghyang Druna dan Patih Sangkuni pun menghibur
pemuda itu agar mematuhi perintah sang ayah. Jika sekarang Raden Lesmana
Mandrakumara hanya bermalas-malasan di istana, maka ia akan menyesal di
kemudian hari. Hendaknya ia jangan mau kalah dengan para putra Pandawa yang
gemar berkelana dan mencari pengalaman di luar.
5. Begitu mendengar
tentang para putra Pandawa disebut, seketika Raden Lesmana teringat pada
dendamnya kepada Raden Abimanyu dan Raden Gatutkaca yang menyebabkan dirinya
gagal menikah tempo hari. Maka, ia pun menyatakan sanggup pergi bertapa ke
Hutan Krendayana. Prabu Duryudana dan para hadirin lainnya senang mendengar
keputusan tersebut.
6. Setelah dirasa
cukup, Prabu Duryudana membubarkan pertemuan. Danghyang Druna mohon pamit
berangkat mendampingi Raden Lesmana Mandrakumara, dengan dikawal Adipati Karna,
Patih Sangkuni, Arya Dursasana, Raden Kartawarma, dan para Kurawa lainnya.
C. RADEN SAMBA
BERANGKAT KE HUTAN KRENDAYANA BERSAMA ARYA SETYAKI
1. Sementara itu,
Raden Samba Wisnubrata, putra Prabu Kresna sedang berjalan seorang diri
meninggalkan Kerajaan Dwarawati. Ia dikejar oleh sang paman, yaitu Arya Setyaki
yang menanyakan ke mana arah tujuannya. Raden Samba berkata bahwa ia sangat
kecewa kepada sang ayah yang pilih kasih. Tadi pagi Prabu Kresna bercerita baru
saja mendapat petunjuk dewata bahwa di Hutan Krendayana akan diturunkan Wahyu
Cakraningrat untuk para pangeran muda. Barangsiapa mampu mendapatkan wahyu
tersebut, maka kelak ia akan menurunkan raja-raja Tanah Jawa. Prabu Kresna
berkata bahwa ia akan pergi ke Kesatrian Plangkawati untuk menyampaikan berita
ini kepada Raden Abimanyu agar berangkat menjemput wahyu tersebut. Hal inilah
yang membuat Raden Samba kesal dan merasa disisihkan.
2. Arya Setyaki
berusaha menghibur Raden Samba dengan mengatakan bahwa Prabu Kresna seorang
waskita yang mampu meramalkan masa depan. Soal mengapa ia ingin agar Raden
Abimanyu yang berangkat tentu ada alasan kuat di balik semua ini. Namun, Raden
Samba tetap tidak terima. Ia merasa ayahnya lebih sayang kepada keponakan
sekaligus menantu, daripada putra kandung sendiri. Oleh sebab itu, ia pun kabur
dari istana Dwarawati untuk mendahului pergi ke Hutan Krendayana. Ia bertekad
harus bisa mendapatkan Wahyu Cakraningrat sebelum Raden Abimanyu pergi ke sana.
3. Arya Setyaki
berkata tidak sebaiknya Raden Samba pergi tanpa restu orang tua. Akan lebih
baik jika Raden Samba pulang ke Dwarawati, mungkin kelak ada wahyu lain yang
cocok untuknya. Raden Samba tidak peduli dan memilih tetap berangkat, meskipun
tanpa restu orang tua. Ia bertekad ingin mendapatkan Wahyu Cakraningrat, bukan
wahyu yang lain. Arya Setyaki tidak dapat menghalangi lagi. Ia pun berterus
terang bahwa Prabu Kresna sebelum berangkat ke Kesatrian Plangkawati telah memerintahkan
dirinya untuk menjemput pulang Raden Samba yang kabur dari istana. Apabila
Raden Samba menolak pulang, maka Arya Setyaki diperintahkan untuk mengawal dan
membimbingnya.
4. Raden Samba
terharu mendengar sang ayah ternyata memerhatikan dirinya. Karena Arya Setyaki
mendapat perintah demikian, Raden Samba pun mengajak pamannya itu untuk segera
berangkat ke Hutan Krendayana, jangan menunda-nunda lagi.
D. ARYA SETYAKI BENTROK DENGAN PARA KURAWA
1. Raden Samba dan
Arya Setyaki telah sampai di tepi Hutan Krendayana. Mereka melihat para Kurawa
membuat pagar betis menjaga sekeliling hutan. Raden Kartawarma yang melihat
Arya Setyaki dan Raden Samba datang segera menghentikan mereka. Ia berkata
bahwa Hutan Krendayana sudah dijaga para Kurawa dan tidak seorang pun yang
boleh masuk, kecuali Raden Lesmana Mandrakumara beserta Danghyang Druna dan
Patih Sangkuni. Arya Setyaki marah karena Hutan Krendayana bukan milik Kerajaan
Hastina, juga tidak termasuk wilayah negara mana pun. Siapa saja boleh masuk ke
dalamnya. Namun, Raden Kartawarma tetap bersikeras meminta Raden Samba dan Arya
Setyaki agar pulang saja ke Dwarawati.
2. Arya Setyaki
yang sudah bertekad melindungi keponakannya segera bertindak. Ia pun melabrak
Raden Kartawarma agar membuka jalan. Para Kurawa yang lain segera maju untuk
melawannya. Pertempuran pun terjadi. Seorang diri Arya Setyaki menghadapi para
pangeran dari Hastina tersebut, yang juga ditambah Adipati Jayadrata dan
Bambang Aswatama. Dengan lincah dan cekatan ia berhasil mengatasi mereka semua.
3. Adipati Karna
yang memimpin pengamanan Hutan Krendayana akhirnya turun tangan. Kali ini Arya
Setyaki mulai terdesak kalah. Namun, tekadnya demi melindungi Raden Samba
membuat kekuatannya bertambah. Dengan bersenjatakan Gada Wesikuning di tangan,
ia menangkis semua panah yang dilepaskan Adipati Karna. Begitu ada kesempatan,
Arya Setyaki pun menerobos masuk ke dalam Hutan Krendayana sambil menarik
tangan Raden Samba. Adipati Karna hendak mengejar, namun sudah kehilangan
jejak. Arya Setyaki dan Raden Samba sudah lenyap ditelan gelapnya hutan.
Adipati Karna akhirnya menghentikan pengejaran karena ia tidak ingin mengganggu
Raden Lesmana Mandrakumara yang sedang bertapa. Selain itu, ia juga tidak
berani melepaskan panah sembarangan karena takut melukai Raden Samba yang
merupakan putra Prabu Kresna, yaitu orang yang paling ia segani.
E. PRABU KRESNA MEMERINTAHKAN RADEN ABIMANYU BERTAPA
1. Sementara itu,
Prabu Kresna Wasudewa telah sampai di Kesatrian Plangkawati, tempat tinggal
suami-istri Raden Abimanyu dan Dewi Sitisundari. Hadir pula di tempat itu para
panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong. Setelah mendapat
penghormatan dan balas memberikan restu, Prabu Kresna pun memerintahkan Raden
Abimanyu agar pergi bertapa ke Hutan Krendayana, menjemput turunnya Wahyu
Cakraningrat. Barangsiapa mendapatkan wahyu tersebut, maka ia akan menurunkan
raja-raja Tanah Jawa.
2. Raden Abimanyu
bertanya apakah Prabu Kresna juga memerintahkan putra-putranya, yaitu Raden
Samba, Raden Partajumena, dan Raden Setyaka untuk menjemput Wahyu Cakraningrat.
Jika memang demikian, Raden Abimanyu tidak perlu berangkat, biarlah raja-raja
Tanah Jawa diturunkan dari galur Kerajaan Dwarawati saja, bukan dari dirinya.
3. Prabu Kresna
berkata bahwa ia tidak memerintahkan putra-putranya untuk menjemput wahyu
tersebut, karena ia melihat mereka tidak mampu menjadi wadah bagi Wahyu
Cakraningrat. Raden Partajumena dan Raden Setyaka menurut, namun Raden Samba
membantah serta kabur dari istana. Prabu Kresna sudah memerintahkan Arya Setyaki
untuk mengejar dan mendampinginya.
4. Menurut ramalan
Prabu Kresna, orang yang kuat menjadi wadah bersemayamnya Wahyu Cakraningrat
adalah Raden Abimanyu, dan itulah sebabnya ia datang ke Kesatrian Plangkawati.
Dewi Sitisundari ikut membesarkan semangat Raden Abimanyu agar mematuhi
perintah sang ayah. Raden Abimanyu akhirnya menjawab bersedia. Ia pun
berpamitan kepada Prabu Kresna dan Dewi Sitisundari, lalu berangkat bersama
para panakawan menuju Hutan Krendayana.
F. RADEN ABIMANYU DIBANTU RADEN GATUTKACA MENYUSUP KE
DALAM HUTAN KRENDAYANA
1. Setelah menempuh
perjalanan yang lumayan jauh, Raden Abimanyu dan para panakawan akhirnya sampai
di dekat Hutan Krendayana. Mereka melihat para Kurawa dipimpin Adipati Karna
berjaga di sekeliling hutan seolah tidak mengizinkan siapa pun masuk ke
dalamnya. Raden Abimanyu tidak tahu bagaimana caranya masuk hutan tanpa
terlihat oleh mereka.
2. Pada saat itulah
Raden Gatutkaca datang. Ia mengaku telah diberi tahu Dewi Sitisundari tentang
keberangkatan Raden Abimanyu menuju Hutan Krendayana. Merasa tidak tega, Raden
Gatutkaca pun pergi menyusul. Ia tidak ingin bersaing memperebutkan Wahyu
Cakraningrat dengan adiknya itu, melainkan hanya ingin menjaga dan membantunya
menghadapi kesulitan.
3. Raden Abimanyu
berterima kasih dan ia berkata ingin masuk ke dalam Hutan Krendayana tanpa
terlihat oleh para Kurawa. Raden Gatutkaca segera mendapat akal. Ia pun
menggendong tubuh Raden Abimanyu dan membawanya terbang tinggi ke angkasa. Di
langit luas mereka bersembunyi di balik awan. Hingga begitu ada kesempatan,
mereka pun meluncur turun dan mendarat di dalam Hutan Krendayana tanpa ada
seorang pun Kurawa yang melihat.
G. BATARA GURU
MEMERINTAHKAN WAHYU CAKRANINGRAT DAN WAHYU WIDAYAT TURUN
1.
Di
Kahyangan Jonggringsalaka, Batara Guru menerima kedatangan Batara Narada
beserta Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Widayat. Wahyu Cakraningrat mengambil
wujud seorang laki-laki, sedangkan Wahyu Widayat mengambil wujud seorang
perempuan. Batara Guru memerintahkan mereka berdua untuk turun ke dunia, karena
sudah tiba saatnya bagi keduanya untuk bersemayam ke dalam tubuh pangeran dan
putri yang berjodoh, yang kelak menurunkan raja-raja Tanah Jawa.
2.
Batara
Guru menjelaskan bahwa saat ini di Hutan Krendayana sedang bertapa tiga orang
kesatria. Mereka adalah Raden Lesmana Mandrakumara dari Kerajaan Hastina, Raden
Samba Wisnubrata dari Kerajaan Dwarawati, dan Raden Abimanyu dari Kerajaan
Amarta. Ketiganya bertapa di tempat yang terpisah. Hendaknya Wahyu Cakraningrat
dan Wahyu Widayat lebih dulu menguji mereka untuk menentukan siapa yang paling
mampu menjadi tempat bersemayam. Kedua wahyu itu pun mematuhi, kemudian
berangkat menuju Hutan Krendayana.
H. WAHYU CAKRANINGRAT MENGUJI RADEN LESMANA
MANDRAKUMARA
1. Sesampainya di
Hutan Krendayana, Wahyu Cakraningrat dan Wahyu Widayat lebih dulu mendatangi
tempat Raden Lesmana Mandrakumara bertapa. Wahyu Cakraningrat lalu mengubah
wujudnya menjadi seekor harimau besar yang menyeramkan. Ia mengendap-endap
mendatangi Raden Lesmana yang sedang duduk bersamadi di bawah pohon.
2. Begitu sampai di
dekat pangeran tersebut, harimau penjelmaan Wahyu Cakraningrat segera mengaum
keras. Raden Lesmana Mandrakumara kaget dan membuka mata. Ia langsung ketakutan
begitu melihat ada seekor harimau besar siap menerkam tubuhnya. Pada dasarnya
Raden Lesmana Mandrakumara terbiasa hidup nyaman di istana, sehingga ia pun
segera meloncat dan lari sekencang-kencangnya meninggalkan harimau tersebut.
3. Raden Lesmana
berlari ke arah Danghyang Druna dan Patih Sangkuni yang menunggu di kejauhan.
Ia minta tolong agar dibebaskan dari harimau yang mengejar dirinya. Kedua orang
tua itu berkata tidak ada harimau. Raden Lesmana pasti sedang diuji oleh
harimau jadi-jadian. Itu artinya, Wahyu Cakraningrat akan segera turun
kepadanya. Patih Sangkuni menyarankan agar cucunya itu kembali melanjutkan
bertapa. Namun, Raden Lesmana sudah sangat ketakutan. Ia meminta lebih baik
pulang saja, persetan dengan urusan Wahyu Cakraningrat segala.
4. Danghyang Druna
juga merasa percuma jika Raden Lesmana melanjutkan bertapa. Kesempatan
mendapatkan Wahyu Cakraningrat tidak datang dua kali. Maka, ia pun memutuskan
untuk mengabulkan keinginan pangeran manja tersebut, yaitu kembali ke Kerajaan
Hastina.
I. WAHYU CAKRANINGRAT MENGUJI RADEN SAMBA
1. Wahyu
Cakraningrat kemudian bergerak menguji peserta kedua, yaitu Raden Samba dari
Kerajaan Dwarawati. Ia melihat pangeran itu bertapa duduk di atas sebongkah
batu datar. Wahyu Cakraningrat pun mengubah wujudnya menjadi seekor ular besar.
Ia mengibas-ngibaskan ekornya ke tubuh Raden Samba, namun Raden Samba tidak
membuka mata sama sekali dan tetap tekun bertapa.
2. Ular naga itu
semakin ganas membelit tubuh Raden Samba dan membantingnya ke sana kemari.
Mulutnya menganga lebar hendak mencaplok kepala Raden Samba, namun Raden Samba
tetap teguh tidak takut sama sekali. Ular naga itu merasa puas. Tubuhnya yang
panjang musnah dan berubah menjadi cahaya, lalu masuk merasuk ke dalam tubuh
pangeran tersebut.
3. Arya Setyaki
yang menyaksikan dari jauh segera datang membangunkan Raden Samba. Raden Samba
membuka mata dan melihat tubuhnya acak-acakan. Arya Setyaki memberikan selamat
karena keponakannya itu telah mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Raden Samba
merasa senang bercampur bangga. Ia pun berkata bahwa ramalan ayahnya ternyata
meleset. Ternyata dirinya yang mampu menjadi wadah bersemayamnya Wahyu
Cakraningrat. Arya Setyaki menasihati keponakannya agar jangan gegabah, apalagi
memandang rendah ayah sendiri.
J. WAHYU WIDAYAT MENGUJI RADEN SAMBA
1. Wahyu Widayat
melihat Wahyu Cakraningrat telah bersemayam di dalam tubuh Raden Samba. Ia pun
berniat menguji apakah Raden Samba adalah wadah yang tepat atau tidak. Maka,
Wahyu Widayat pun mengubah wujudnya menjadi seorang gadis desa yang sangat
cantik, lalu berjalan mendekati Raden Samba dan Arya Setyaki.
2. Gadis cantik itu
mengucap salam, lalu berkata bahwa dirinya tersesat di dalam hutan dan mohon
dibantu untuk diantar pulang. Raden Samba tampak tertarik, sedangkan Arya
Setyaki merasa curiga. Arya Setyaki lalu menawarkan dirinya saja yang mengantar
gadis itu pulang, namun Raden Samba justru melarang sang paman ikut campur.
3. Arya Setyaki
menasihati Raden Samba agar berhati-hati karena setelah mendapatkan Wahyu Cakraningrat
bukan berarti ujian telah berhenti. Raden Samba justru marah-marah dan memaki
Arya Setyaki cerewet hendak mengganggu kesenangannya. Dirinya telah mendapat
Wahyu Cakraningrat maka wajar jika sekarang menjadi orang terpandang. Selain
itu wajahnya juga tampan, maka tidak heran jika banyak perempuan ingin
mendekatinya.
4. Arya Setyaki
teringgung atas ucapan keponakannya itu. Ia pun membenarkan Prabu Kresna
mengapa memilih Raden Abimanyu saja yang pergi menjemput Wahyu Cakraningrat.
Karena tidak dihargai, ia pun pergi meninggalkan Raden Samba dan gadis cantik
itu.
5. Setelah sang
paman pergi, Raden Samba merasa leluasa merayu si gadis. Ia berkata gadis itu
tidak perlu pulang, tetapi sebaiknya ikut dirinya ke Kerajaan Dwarawati. Ia
menyombongkan diri sebagai putra mahkota Kerajaan besar yang kelak menggantikan
ayahnya sebagai raja. Jika si gadis bersedia menjadi istrinya, maka kelak tentu
akan menjadi permaisuri kerajaan pula.
6. Gadis itu merasa
risih melihat sikap genit Raden Samba. Ia pun melangkah pergi, namun Raden
Samba mengejar. Raden Samba lalu menghalangi gadis itu dan berniat memaksanya.
Si gadis tiba-tiba berubah wujud menjadi makhluk mengerikan. Raden Samba
terkejut dan jatuh terduduk. Pada saat itulah Wahyu Cakraningrat keluar dari
tubuhnya, dan ia pun jatuh pingsan.
7. Arya Setyaki
yang teringat pada tanggung jawabnya segera kembali ke tempat Raden Samba.
Betapa terkejut ia menjumpai sang keponakan sudah tergeletak pingsan. Namun, ia
juga bersyukur semoga ini menjadi pelajaran tersendiri bagi Raden Samba agar
kelak lebih berhati-hati. Arya Setyaki lalu menggendong tubuh keponakannya itu
dan membawanya pulang meninggalkan Hutan Krendayana.
K. WAHYU CAKRANINGRAT MENDATANGI RADEN ABIMANYU
1. Wahyu
Cakraningrat yang sudah keluar dari tubuh Raden Samba kini mendatangi peserta
ketiga, yaitu Raden Abimanyu. Ia menyamar sebagai seekor gajah liar yang
merusak lingkungan di sekitar pemuda itu bertapa. Pohon-pohon tumbang dan
batu-batuan hancur, namun sedikit pun Raden Abimanyu tidak goyah dan tetap bersamadi.
2. Gajah liar itu
lalu mengulurkan belalainya dan membelit tubuh Raden Abimanyu, lalu tubuh
pemuda itu pun diangkat tinggi-tinggi. Namun, Raden Abimanyu tetap tenang dalam
samadi. Gajah liar itu lalu berhenti dan mengembalikan Raden Abimanyu ke tempat
semula. Tubuhnya kemudian musnah dan berubah menjadi cahaya, lalu masuk ke
dalam tubuh pemuda tersebut.
3. Raden Gatutkaca
dan Kyai Semar keluar dari persembunyian untuk membangunkan Raden Abimanyu.
Raden Abimanyu membuka mata dan melihat kedua kawannya itu mengucapkan selamat
atas keberhasilannya mendapatkan Wahyu Cakraningrat. Hampir saja tadi Raden
Gatutkaca maju menolong Raden Abimanyu saat diserang gajah liar, namun
untungnya dicegah Kyai Semar yang baru datang.
4. Kyai Semar
bercerita bahwa ia baru bisa memasuki Hutan Krendayana setelah rombongan para
Kurawa kembali ke Kerajaan Hastina. Saat itu ia melihat Raden Abimanyu sedang
bersamadi dan diserang seekor gajah liar. Raden Gatutkaca hendak membantu,
namun dicegah Kyai Semar. Rupanya Kyai Semar paham bahwa gajah tersebut adalah
makhluk jadi-jadian yang hendak menguji kesungguhan Raden Abimanyu.
5. Kyai Semar lalu
menasihati bahwa ujian belum selesai. Meskipun Wahyu Cakraningrat telah
bersemayam dalam diri Raden Abimanyu, namun ia tidak boleh lengah. Selama empat
puluh hari ini akan tetap ada ujian-ujian yang bisa datang sewaktu-waktu.
L. WAHYU WIDAYAT MENGUJI RADEN ABIMANYU
1. Sama seperti
yang dilakukan terhadap Raden Samba, Wahyu Widayat pun datang menguji Raden
Abimanyu dalam wujud seorang gadis cantik yang mengaku tersesat. Ia memohon
bantuan kepada Raden Abimanyu agar diantar pulang ke rumah. Raden Abimanyu
meminta maaf, dirinya tidak dapat mengabulkan permohonan gadis tersebut. Ia
merasa sungguh aneh ada gadis cantik yang tiba-tiba muncul di dalam hutan
lebat. Bisa datang, mengapa tidak bisa pulang.
2. Si gadis terus
merengek. Jika ia tidak diantar pulang, lebih baik ia ikut mengabdi sebagai
pelayan Raden Abimanyu saja. Ia mengaku bersedia melakukan apa saja untuk
pangeran dari Plangkawati tersebut. Raden Abimanyu menjawab dirinya sudah
memiliki empat orang panakawan dan tidak membutuhkan pelayan lagi. Jika memang
gadis itu ingin pulang, biarlah salah satu panakawannya saja yang mengantarkan.
Usai berkata demikian, Raden Abimanyu pun melangkah pergi ditemani Raden
Gatutkaca dan Kyai Semar.
3. Nala Gareng,
Petruk, dan Bagong lalu mengundi siapa yang harus mengantar pulang si gadis.
Nala Gareng memberikan semua uangnya kepada Petruk dan Bagong karena dia yang
paling bersemangat ingin mengantar pulang gadis itu. Kedua adiknya pun sepakat.
Dengan senang hati, Nala Gareng lalu mengantar pulang gadis tersebut.
4. Setelah berjalan
agak jauh, Nala Gareng mulai merayu si gadis dengan bermacam-macam kata-kata
manis. Tiba-tiba gadis itu menoleh dan wajahnya tampak mengerikan. Nala Gareng
lari ketakutan karena merasa bertemu hantu perempuan. Ia pun kembali ke tempat
Petruk dan Bagong.
5. Si gadis lalu
kembali ke wujud Wahyu Widayat. Ia berkata bahwa Wahyu Cakraningrat sudah tepat
memilih Raden Abimanyu sebagai tempat bersemayam. Maka, dirinya berniat hendak
bersemayam pula ke dalam tubuh istri pangeran tersebut, yaitu Dewi Sitisundari.
Namun, Batara Narada tiba-tiba datang mencegahnya.
6. Batara Narada
menjelaskan bahwa Dewi Sitisundari ditakdirkan mandul. Menurut ramalan dewata,
Raden Abimanyu kelak akan menikah lagi dengan Dewi Utari putri Prabu Matsyapati
di Kerajaan Wirata. Gadis itulah yang sebaiknya menjadi tempat Wahyu Widayat
bersemayam. Wahyu Widayat berterima kasih atas petunjuk Batara Narada. Maka, ia
pun berangkat menuju Kerajaan Wirata.
M. PRABU KRESNA DAN ARYA WREKODARA MENJEMPUT ROMBONGAN
RADEN ABIMANYU
1. Prabu Kresna
raja Dwarawati dan Arya Wrekodara dari Jodipati telah berangkat bersama menuju
Hutan Krendayana untuk menjemput pulang Raden Abimanyu. Di tengah jalan mereka
berjumpa Arya Setyaki yang memapah Raden Samba. Arya Setyaki pun menceritakan
semua peristiwa yang dialami mereka berdua. Raden Samba yang sudah siuman dari
pingsan pun mohon maaf kepada Prabu Kresna karena ia sempat berprasangka buruk
kepada ayahnya itu.
2. Prabu Kresna
menjelaskan bahwa ia bukan tidak sayang kepada anak sendiri, tetapi ia telah
meramalkan bahwa hanya Raden Abimanyu yang mampu menjadi wadah bersemayamnya
Wahyu Cakraningrat. Namun demikian, ia merasa bangga karena Raden Samba sudah
mau berjuang untuk meraih wahyu tersebut, dan tidak lagi melulu hidup santai di
Kesatrian Paranggaruda. Prabu Kresna pun meramalkan kelak jika keturunan Raden
Abimanyu menjadi raja, maka keturunan Raden Samba akan menjadi patih yang
mendampinginya.
3. Prabu Kresna
lalu mengajak rombongan melanjutkan perjalanan. Mereka kemudian melihat ada
pertempuran di mana Raden Gatutkaca dikeroyok para Kurawa. Arya Wrekodara dan
Arya Setyaki segera maju membantu mengusir Arya Dursasana dan adik-adiknya itu.
Begitu keduanya turun tangan, para Kurawa pun berhamburan pulang ke Hastina
dengan babak belur.
4. Raden Abimanyu
dan Raden Gatutkaca berterima kasih. Mereka bercerita bahwa Wahyu Cakraningrat
sudah berhasil didapatkan, namun di tengah jalan Arya Dursasana dan
adik-adiknya berusaha merebut. Rupanya mereka tidak ikut Danghyang Druna dan
Raden Lesmana Mandrakumara pulang ke Hastina, melainkan menunggu di dekat Hutan
Krendayana untuk melampiaskan sakit hati kepada Raden Abimanyu.
5. Prabu Kresna bersyukur atas keberhasilan Raden Abimanyu, dan ini juga berkat bimbingan Kyai Semar dan pengawalan Raden Gatutkaca. Mereka berdua ikut berjasa besar. Prabu Kresna lalu mengajak rombongan tersebut untuk kembali ke Kerajaan Amarta, melapor kepada Prabu Puntadewa.