SYEHHA
EDISI MBAH GANDRUNG
Wayang Gandrung
Wayang Gandrung menurut kisahnya terlahir dari sebuah bongkahan kayu yang terdampar di sungai pada saat terjadi banjir di daerah Pagung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri sekitar abad 17 lalu. Bahkan tentang keunikan wayang ini, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia di era SBY, Jero Wacik pernah memberikan penghargaan khusus kepada Mbah Kandar sang dalang, sebagai maestro seni tradisi.
Dan hari ini Minggu Pahing tanggal 9 Nopember Wayang Gandrung dijamas, selain wayang utama semua pembungkusnya dicuci setelah sebelumnya dilakukan ritual selamatan dan doa-doa.
Beberapa keunikan yang berhasil ditelusuri berdasarkan penuturan ahli warisnya antara lain, wayang ini terlahir dari bongkahan kayu jati yang hanyut saat terjadi banjir, seperti dituturkan secara turun temurun oleh Lamidi (60) sang pewaris ketujuh Wayang Gandrung dari kakek buyutnya Ki Demang Proyosono. Kayu jati yang terdampar itu dibelah oleh orang misterius setelah penduduk Pagung, gagal membelahnya.
Menurut Lamidi pewaris wayang Gandrung adalah peninggalan kakek buyut saya yakni Demang Proyosono, tokoh spiritual dari Surakarta yang sedang melakukan topo/nyepi di Gunung Wilis. Wayang ini hanya boleh dibuka saat pementasan saja selain itu tidak boleh.
Kedua, ke mana pun ketika masih bisa dijangkau, mulai wayang, kenong, gong, rebab, kendang, gambang, dipikul/diangkut dengan jalan kaki. Pilihan dengan jalan kaki ini lantaran pernah pada suatu ketika peralatan pentas pagelaran wayang diangkut dengan gerobak, gerobaknya tidak bisa jalan. Demikian pula ketika diangkut mobil, mobil itupun macet.
Ketiga, saat penentuan alur cerita dalam pagelaran wayang, sang dalang seperti Mbah Kandar tidak memiliki otoritas menentukan lakon. Semua hanya berdasarkan wangsit yang diterima Lamidi, keturunannya, setelah dirinya melakukan laku ritual. Peran kuat Lamidi dalam pengaturan proses 'mungel' (proses pementasan) merambah ke seluruh aspek aktualisasi Wayang Gandrung, baik fisik maupun psikis. Hal ini membangun kerangka mistik yang terstruktur bagi menguatnya mitos masyarakat terhadap Wayang Gandrung.
Selain sang dalang tidak memiliki otoritas, penunjukan sebagai dalang hanya berdasarkan wangsit. Salah satu contohnya adalah Mbah Kandar, sang maestro seni tradisi yang sejak tahun 1982 menjadi dalang Wayang Gandrung.
Sebelum menjadi penerus dalang Wayang Gandrung, dirinya adalah petani biasa yang tidak memiliki keahlian atau kepintaran khusus dalam seni pewayangan, seperti yang ia lakoni sekarang ini.
Menurut Mbah Kandar, Kulo ujug-ujug saged dalang sak wangsule angsal wangsit ken dados dalang Wayang Mbah Gandrung (Saya tiba-tiba bisa mendalang setelah mendapat wangsit supaya menjadi dalang Wayang Mbah Gandrung).
Gambaran proses mistis tidak hanya berhenti di situ, saat prosesi mungel diawali dengan dengan ritual selamatan di awal dan akhir pertunjukan serta tindakan-tindakan magis terhadap Wayang Mbah (sebutan lain Wayang Gandrung) dengan kelengkapan mistiknya. Setelah proses dilalui, dilanjutkan dengan persiapan artistik yakni meliputi penataan fisik peralatan mungel meliputi gawangan, gamelan, blencong dan wayang ,gawangan merupakan peralatan untuk menyimping wayang (menata). Sedangkan kelengkapannya adalah instrumen gamelan dalam bentuk sederhana yakni meliputi kendhang, gambang, rebab, kethuk, kenong dan kempul (gong suwukan) yang ditempatkan melingkar di antara dalang dan kotak wayang.
Jika diperhatikan dengan seksama instrumen yang mengiringi pagelaran Wayang Gandrung nampak tua, unik dan bentuknya menimbulkan kesan magis. Bahkan ketika proses penataan instrumen para pengrawit nampak berhati-hati tanpa suara berisik sehingga menimbulkan suasana khusuk dan wingit. Penonton terbius oleh situasi emosional tersebut, belum lagi ditambah aroma dupa yang menyebar ke seluruh penjuru ruangan.
Menurut sumber referensi, sendiri sudah beberapa kali menyaksikan pagelaran Wayang Gandrung dan dua kali menyaksikan keanehan ketika menjalankan tugas sebagai jurnalis. Setiap kali mengambil gambar di atas tungku dupa yang sedang dipenuhi asap dan api, nampak beberapa kali penampakan. Antara lain, kepala naga, serigala yang menginjak kepala manusia.
Sulit jika dipikir dengan nalar, keanehan terjadi dan mengharuskan saya diam untuk mengikuti kekhusyukan Lamidi ketika mengeluarkan wayang dari kotak penyimpanan, wayang dikeluarkan satu persatu, dihunus dari kantung/sarung kain secara khidmat dan keempat wayang yang merupakan cikal bakal diasapi dengan dupa dan kemudian diserahkan kepada sang dalang.
Sekadar diketahui Wayang Gandrung kali pertama ditemukan di dalam kayu ada empat yakni Wayang Mbah Gandrung Kakung (Panji Asmorobangun), Wayang Mbah Gandrung Putri (Galuh Candrakirono), Wayang Joko Luwar dan Wayang Raden Sedono Popo, namun setelah disimpan dalam kotak keempat wayang tersebut membawa teman-temanya kurang lebih 40 buah.
Gamelan mulai ditabuh, pertanda pagelaran dimulai, dengan gendhing jejer (adegan yang mengawali pertunjukan wayang), Sang dalang menundukkan kepala membaca mantra kemudian mulai melantunkan sulukan. Sulukan yang dilantunkan bernada sangat miring bahkan sliring (sliring dalam pemahaman nada tembang di Jawa berarti tidak sesuai dengan nada gamelan) seperti pada lantunan kidung Bali. Dalang memainkan gunungan dengan menggerakkan ke kiri dan ke kanan kemudian ke tengah, gunungan ditancapkan persis di tengah gawangan.
Kemudian dikeluarkan sosok wayang bercat hitam, profil tubuh dan wajahnya mirip tokoh Semar, gerakan yang dilakukan dalam memainkan tokoh ini berakar pada pola gerakan ulat-ulat dan tancepan dalam sabet wayang kulit. Tokoh ini hanya dimainkan sebentar kemudian dimasukkan kembali ke dalam sarung.
Adegan berikutnya adalah berdasarkan wangsit sang pewaris dalam setiap pertunjukan yang akan dilakoni oleh Mbah Kandar. Dalam setiap pementasan lakon selalu berubah-ubah sesuai wangsit. Beberapa lakon tersebut antara lain Barong Skeder, Bagawan Mintuno, Kuda Sembrani, Naga dan lain sebagainya.
Pagelaran seni Wayang Gandrung, sebenarnya mengajarkan manusia untuk memiliki rasa seni estetika dan etika serta mengandung ajaran moral. Dalam Wayang Gandrung tentunya banyak mengandung ajaran moral yang bisa kita terapkan dalam kehidupan normal biasa.
Ajaran moral Wayang Gandrung bisa dikupas secara sederhana dari kata gandrung itu sendiri. Gandrung dalam bahasa Jawa berarti senang, cinta atau suka. Orang yang mengalami gandrung bisa saja seperti orang yang lupa akan hal lain kecuali satu hal yakni yang dicintainya. Hal yang dicintai itu bisa seseorang, sesuatu ataupun perilaku kehidupan yang baik di dunia ini.
Menurut Lamidi, dalam perkembangannya untuk memberikan ajaran kepada anak cucunya,maka Ki Demang Raden Proyosono pertama memberikan sebutan 'Gandrung' berarti suka atau cinta untuk berbuat kebaikan dan suka menolong sesama umat manusia atau sesama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Ungkapan senada juga disampaikan Mbah Kandar, menurutnya sesuai pemberian nama oleh Ki Demang Raden Proyosono, kata gandrung di sini berarti suka akan menolong orang lain yang mengalami musibah atau segala permasalahan yang mereka hadapi. Sehingga Wayang Mbah Gandrung ini ada sebagai sarana untuk mengatasi segala kesulitan hidup.
Keberadaan Wayang Mbah Gandrung menjadi simbol atau ikon Wayang Pangayoman, karena wayang tersebut memiliki kekuatan magis yang dapat memberikan pemecahan dalam kehidupan warga Desa Pagung dan sekitarnya. Sehingga Wayang Gandrung bisa bertahan secara turun temurun hingga lebih dari 300 tahun sampai saat ini.
Ajaran moral Mbah Gandrung ini sebagai bentuk penjabaran dalam kehidupan masyarakat dari ajaran agama yang dianut oleh penduduk Pagung dan sekitarnya, yakni Agama Islam.
Mbah Giyar Resmi Gantikan Mbah Kandar
Setelah menanti lebih dari dua minggu, pengganti Mbah Kandar, dalang Wayang Mbah Gandrung asal Desa Pagung, Kecamatan Semen, akhirnya ditentukan. Dia adalah Mbah Giyar yang tak lain adik almarhum Mbah Kandar.
Untuk menandai pergantian itu, kemarin pagi (9/10), digelar pertunjukan Wayang Mbah Gandrung di Pendapa Kantor Desa Pagung. Ini sekaligus menjadi penampilan perdana Mbah Giyar.
Dimulai sekitar pukul 09.30, pertunjukan berdurasi empat jam itu mengangkat lakon tentang Ajisaka.
Cerita negara yang tak penah mati, kata kakek yang kini usianya 94 tahun itu.
Selisih dua tahun dari sang kakak, Mbah Kandar, yang meninggal pada usia 96 tahun.
Seperti sudah menjadi keunikan Wayang Mbah Gandrung, lakon tersebut baru muncul ketika sang dalang mulai memegang anak wayang. Sama sekali tidak ada persiapan. Penonton pun baru mengetahui saat itu pula.
Meski baru pertama kali mendalang, Mbah Giyar sama sekali tidak terlihat canggung. Tangannya cukup terampil memainkan lima anak wayang krucil kuno yang terbuat dari kayu tersebut. Begitu pula lisannya yang membawakan cerita. Walau, terdengar agak terbata-bata karena usia.
Lantas, bagaimana proses penunjukan dalang generasi ketujuh wayang kuno yang berusia sekitar 300 tahun lebih tersebut ?
Berbeda dengan Mbah Kandar yang diyakini lewat mimpi dan isyarat menancapnya bendera merah putih di depan pintu rumah, penunjukan Mbah Giyar lebih rasional. Saya tidak pernah mimpi apa pun.
Penunjukan itu bermula dari kepercayaan Akad, juru kunci Wayang Mbah Gandrung. Sepeninggal Mbah Kandar, Akadlah yang mencari penerusnya. Semula, ia meminta kesediaan dua anak Mbah Kandar, yaitu Kurdi dan Juli.
Namun, keduanya mengaku tidak siap untuk meneruskan amanat itu. Hal itu juga pernah disampaikan Kurdi kepada wartawan koran ini sepeninggal Mbah Kandar, akhir bulan lalu. Ia mengaku belum siap untuk menjadi dalang.
Karena itu, Akad ganti mendatangi Mbah Giyar yang merupakan anak bungsu Kartono Sarwi, dalang Wayang Mbah Gandrung sebelum Mbah Kandar.
Pertama kali saya datang, Mbah Giyar langsung setuju dan siap untuk tampil.
Saat itu, juru kunci berusia 59 tahun ini mengaku bisa melihat kepastian dan keyakinan kuat Mbah Giyar untuk menjadi dalang.
Makanya, sekotak wayang kuno yang dijaganya selama ini langsung dipercayakan kepada Mbah Giyar.
Padahal, sebelumnya, Mbah Giyar sama sekali belum pernah memainkan wayang tersebut namun mengikuti dalang terdahulu sebagai penabuh gamelan atau ikut menyiapkan pentas wayang. Tapi saya yakin. Kita lihat tadi kan, semua berjalan lancar. Padahal, beliau tidak pernah mendalang sebelumnya.
Bahwa dalang Wayang Mbah Gandrung memang harus berasal dari keturunan dalang-dalang sebelumnya.
Adapun pertunjukan kemarin merupakan bagian dari pertunjukan tahunan Wayang Mbah Gandrung yang rutin digelar di Desa Pagung setiap bulan Sura.
Semua ritualnya masih tetap sama.
Termasuk, tidak boleh membawa perangkat wayang dan gamelannya dengan kendaraan.
Semua harus dipikul dengan berjalan kaki.
Semoga wayang ini bisa bertahan hingga anak-cucu kelak.
Bahwa wayang tersebut menjadi yang tertua di Jawa.