Perkembangan Pondok Pesantren
By. R. Syehha A M
A. Sejarah Pondok Pesantren
Tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Pulau Jawa dan Madura yang dalam perjalanan sejarah telah menjadi objek penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di Indonesia.
Pondok pesantren adalah dua buah kata yang mempunyai satu kesatuan makna. Kata "pondok",barangkali, berasal dan pengertian asrama-asrama para santri, atau tempat tinggal yang dibuat dan bambu, atau barangkali berasal dan kata Arab Funduk yang berarti hotel atau asrama.
Sedangkan kata pesantren berasal dan kata santri yang dengan awalan pe- dan akhiran -an, yang berarti tempat tinggal para santri. Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dan bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C.C.Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dan kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.
Kata santri berasal dan kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Sementara Geertz menduga, bahwa pengertian santri mungkin berasal dan bahasa sangsekerta "shastri", yang berarti ilmuan Hindu yang pandai menulis, yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki arti yang sempit dan arti yang luas.
Dalam arti sempit, ialah seorang pelajar yang belajar disekolah agama atau yang biasa disebut pondok pesantren, sedang dalam arti yang lebih luas, santri mengacu pada bagian anggota penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh, yang bersembahyang ke masjid pada hari Jumat, dan sebagainya. Sedangkan Soegarda Poerbakawatja menyatakan bahwa tradisi pesantren itu bukan berasal dan sistem pendidikan Islam di Makkah, melainkan dari Hindu dengan melihat seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dari para murid yang keluar meminta-minta diluar lingkungan pondok. Juga letak pesantren yang didirikan di luar kota dapat dijadikan alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren dari Hindu dan pendapat serupa dikemukakan juga oleh Van Bruinessen.
Dalam kalimat sederhana M.C Cahil dalam tulisannya
"Islamic Education in Indonesia: Learning by Doing" memberi pengertian pesantren is an institution where the Moslem learn the value and practice of social involvent. Sementara itu, Nurcholish Madjid, dalam buku "Bilik-bilik Pesantren" meyebutkan, pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Idonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Ia menilai, pesantren mengandung makna ke-Islam-an sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata " Pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seseorang yang mengikuti gurunya kemana pun dia pergi.
Terlepas dari semua itu, karena yang dimaksud istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya di Pulau Jawa, dimulai dan dibawa oleh Walisongo. Maka model pesantren di Pulau Jawa juga mulai berdiri dan berkembang sezaman dengan Walisongo. Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan pondok pesantren yang pertama berdiri adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat pada 12 Rabiul Awal 882 H bertepatan dengan 8 April 1419M. Syekh Maulana Malik Ibrahim dikenal juga dengan nama Sunan Gresik dimana beliau adalah orang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga santri, yaitu Wiryo Suroso, Abu Hurairoh dan Kyai Kebang Kuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pondok pesantren di sana.
Akhirya beliau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Sedangkan Mastuhu berpendapat bahwa kapan pesantren pertama kali didirikan dan oleh siapa, tidak ada keterangan yang pasti. Dan hasil pendataan pendataan Departemen Agama pada tahun 1984-1985, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062, atas nama Pesantren Tan Jampes II di Pamekasan, Madura.
Tetapi hal ini diragukan karena tentunya Pesantren Tan Jampes I yang lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Mastuhu menambahkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi nusantara ini dalam periode abad ke-13 sampai 17 M, dan di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16 M. Melalui data sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, yang bersifat global atau makro tersebut, sangat sulit menentukan tahun berapa dan dimana pesantren pertama kali didirikan.
Dalam dunia pesantren, menurut Zamakhsari Dhofier, terdapat lima elemen dasar yang menjadi unsur pesantren, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, dan kyai. Sedangkan Soedjoko Piasodjo menggambarkan bahwa elemen dasar dan tradisi pesantren tergantung dan pola pesantrennya, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola I ialah pesantren yang terdiri dari hanya masjid dan rumah kyai, Pola II ialah pesantren yang terdiri dan masjid, rumah kyai, dan pondok. Pola III ialah pesantren yang terdiri dan masjid, rumah kyai, pondok dan madrasah. Pola IV terdiri dan masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan. Dan Pola V ialah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.
1.Pondok
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan gemblengan yang matang kepadanya, dan untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Pada kebanyakan pesantren dahulu, seluruh komplek bukan merupakan milik kyai saja, melainkan milik masyarakat, hal ini disebabkan karena para kyai sekarang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk membiayai pendanaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat. Ada tiga alasan mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi santri, yaitu:
Pertama, kemasyuran seorang kyai dan kedalaman ilmu pengetahuannya tentang Islam menarik santri dari jauh, untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama. Para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya, dan menetap di kediaman kyai
Kedua, hampir semua pesantren berada di desa desa-desa, di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung para santr, dengan demkian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri.
Ketiga, adalah sikap tinbaI balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap para kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.
2. Masjid
Masjid merupakan elemen yang paling penting, sebab masjid merupakan tempat pusat kegiatan yang ada bagi umat Islam. Charles Michael Stanton menulis bahwa pendidikan formal yang ada dalam Islam berawal dari Masjid, dengan kegiatan halaqah yang diadakan didalamnya. Begitu juga daIan pondok pesantren, masjid di jadikan sebagai pusat pendidikan, dan merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisionaI. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam tradisional terpusat pada masjid. Selain itu, seorang kyai yang ingin mengembangkan pasantren, bisanya yang pertama didirikan adalah masjid di dekat rumahnya, karena dengan demikian berarti Ia telah memulai sesuatu dengan simbol keagaman, yaitu Masjid yang merupakan rumah Allah, dimana di dalamnya dipenuhi dengan rahmat dan ridho Allah SWT .
3. Santri
Santri adalah siswa yang tinggal di pesantren, guna menyerahkan diri. ini merupakan prasyarat mutlak untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik kyai dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain, ia harus memperoleh kerelaan sang kyai, dengan mengikuti segenap kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang mrupakan ukuran penyerahan diri itu. Kerelaan kyai ini, yang dikenal dipesantren dengan nama "barokah", adalah alasan tempat berpijaknya santri di dalam menuntut ilmu. Menurut Zamaksani Dhofier, ada dua kelompok santri, yaitu:
a) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dan daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.
4.Kitab Kuning
Kitab Kuning, pada umumnya dipahami sebagai kitab- kitab keagamaan berbahasa Arab, mengunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa lampau, hususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab Kuning mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas "kekuning-kuningan". Harus diakui, sulit untuk melacak kapan waktu persis mulai terjadinya penyebaran dan pembentukan awal tradisi Kitab Kuning di Indonesia. Historiografi tradisional dan berbagai catatan baik lokal maupun asing tentang penyebaran agama Islam di Indonesia, tidak menyebutkan judul- judul kitab yang digunakan di dalam masa-masa awal perkembangan Islam di Indonesia. Meski ada beberapa historiografi tradisional, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan semacamnya juga menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan syari’ah atau fiqih dan masalah-masalah keimanan.
Mereka umumnya tidak memberikan rujukan kepada kitab-kitab tertentu. Begitu pula, kitab undang-undang di berbagai kesultanan, yang sering mengutip ketentuan-ketentuan fiqih Syafi’i misalnya, juga tidak menjelaskan kitab rujukannya dan tentu saja tidak menyinggung apakah kitab-kitab itu juga bisa ditemukan di Nusantara. Penelitian Van den Berg tentang buku- buku yang digunakan di lingkungan pesantrnt di pulau Jawa dan Madura pada abad 19 memang mendaftar adanya kitab-kitab yang ditulis para ulama Timur Tengah sejak abad 9 dan seterusnya; tetapi ini tidak berarti bahwa kitab-kitab itu telah beredar di Indonesia tak lama setelah kitab-kitab tersebut ditulis pengarang atau penyalinnya di Timur Tengah.
5. Kyai
Menurut Martin Van Bruinessen, kyai merupakan unsur kunci dalam pesantren, karena itu sikap hormat (takzim) dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada santri. Daudd Rasyid menambahkan, kyai dan santri akan berinteraksi secara kontiniu dan lama di pesantren, sehingga seluruh kegiatan santri dapat diawasi dan dibentuk oleh kyni. Kyai dengan karomahnya, adalah orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Allah dan rahasia alam. Dengan demikian, kyai dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, utamanya oleh orang biasa. Karena karomahnya, santri dan masyarakat menyerahkan kekuasaan yang luas pada kyai, dan biasanya mereka percaya hanya orang-orang tertentu yang bisa mewarisi karomahnya tersebut seperi keturunannya dan santri kepercayaannya.
B. Pesantren dalam Sistem Pendidikan Islam
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, sekaligus pusat penyebaran agama, sebagaimana yang diuraikan di atas, diperkirakan sejalan dengan gelombang pertama proses penyebaran agama Islam di daerah Jawa, dan sampai sekarang masih tetap bertahan, bahkan mengalami perkembangan dengan berdiri diberbagai daerah di Indonesia. Perkembangan pondok pesantren menunjukkan gejala naik, yaitu dengan berdirinya pondok-pondok pesantren baru, walaupun secara kualitatif masih dipertanyakan. Namun indikator kearah perbaikan kualitas telah tampak, yaitu dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan baru yang mengaral pada penggabungan Pondok Pesantren dan sistem Sekolah Modern.
Ini menunjukkan bahwa pondok pesantren responsive, dan relevan terhadap perubaha an perkembangan masyarakat. Uraian di atas juga telah mmberikan petunjuk bahwa pondok pesantren mempunyai akar sejarah yang panjang. Selain itu, pondok pesantren juga mempunyai akar sosial yang kuat hingg menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
Sehingga dapat dipahami bila pengaruh dan peranannya pada masyarakat sekitarnya begitu luas. Melalui kajian sejarah, dapat diketahui bahwa pondok pesantren sebagai pusat perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan penyebaran agama, seperti tercermin dalam berbagai pengaruh pondok pesantren terhadap kegiatan politik di antara para raja dan pangeran Jawa. Setelah Belanda datang, pondok pesantren menjadi pusat perlawanan dan benteng pertahanan rakyat, seperti dikemukakan oleh Sartono Kartodirjo bahwa pondok pesantren mempunyai pengaruh besar dalam mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksi-aksi protes terhadap masuknya birokrasi kolonial di pedesaan. Kehadiran dan peranan serta pengaruh pondok pesantren dalam panggung sejarah Indonesia, sampai Masa revolusi telah terbukti.
Ini merupakan bukti komitmen pesantren terhadap agama, bangsa, dan juga masyarakat Indonesia. Pada tahun 1640-1682, terjadi perjuangan yang sangat menentukan dalam sejarah Islam di Indonesia. Perjuangan itu adalah memperebutkan hegemoni antara kerajaan-kerajaan Islam di pulau Jawa dengan kolonial Belanda.
Akhirnya perjuangan kerajaan Islam dapat dipatahkan oleh pihak Belanda. Setelah Belanda berhasil mencengkeramkan kekuasaannya di Indonesia, baik secara ekonomi maupun politik di Pulau Jawa, Beland segera melaksanakan pembatasan pengawasan yang ketat kepada Islam. Selain alasan politik dan keamanan,
Belanda juga mendukung misi kristenisasi. Ditegaskan oleh Zamaksyari Dhofier, bahwa orang Belanda pada waktu itu adalah penganut Calvinis Puritan yang sangat fanatis. Pembatasan dan pengawasan yang ketat terhadap Islam di kota, telah mengakibatkan adanya perpindahan pusat studi Islam ke daerah pedesaan yang mengambil bentuk pondok pesantren. Hal ini dikarenakan Islam di kota tidak lagi mampu berperan dalam pembentukan kehidupan kota, baik agama, maupun sosio-kultur.
Kota merupakan pusat politik Kolonial dan Kristen. Sementara wilayah pedesan menjadi pusat pertumbuhan pondok pesantren. Secara politis-geografis, pedesaan Iebih aman dari jangkauan Belanda, sehingga kyai lebih leluasa dalam proses kehidupan masyarakat setempat. Sejarah mencatat, peran yang besar dimainkan oleh pondok pesantren dalam perjuangan melawan Belanda Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren, dan apa yang membuat pondok pesantren mampu bertahan seIama kurun waktu sejarah hingga sekarang ini, merupakan hal yang menarik, sehingga pondok pesantren masih eksis di tengah umat Islam, dan akan mampu bertahan di waktu yang akan datang. Terdapat dua faktor yang mendukung eksistensi pondok pesantren secara umum, yaitu meliputi faktor intern dan ekstern.
1. Faktor Internal
Pertama, Faktor Kemandirian: secara kelembagaan pondok pesantren mempunyai kemandirian. Kemandirian itu tercermin dalam figure kyai sebagai pemimpin dan pengasuh yang mempunyai otoritas penuh terhadap keseluruhan yang ada dilingkungan pesantren. Maju-mundurnya pesantren sangat tergantung dari ketokohan kyai yang memimpin dan mengasuhnya. Tradisi yang digunakan untuk menentukan kyai pengasuh pondok adalah tradisi turun-temurun diambil dari putra tertua laki-laki. Gambaran pondok pesantren seperti ini menunjukkan, bahwa dalam sistem tersebut menyerupai sebuah kerajaan kecil. Selain itu, kekuatan kemandirian juga tercermin dalam sisten pendidikannya. Pondok pesantren dalan menjalankan pendidikannya cukup mandiri dan merdeka, serta tidak terikat oleh suatu institusi atau lembaga lainnya. Ini ditentukan melalui kurikulum sistem pengajaran yang digunakan pengajar maupun lulusannya. Disamping itu, sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dikenal dengan "sistem pondok".Dengan sistem ini, proses pendidikan dan pengajaran berIangsung terus menerus. Pengajaran dan pendidikan berlangsung, baik dalam kelas maupun di luar kelas,siang maupun malam.
Dalam sistem ini pula, hubungan antara ustadz atau kyai dengan santri atau siswa berlangsung dalam setiap waktu sehingga terpadu suasana perguruan dan kekeluargaan. Sistem pondok, dapat dikatakan sebagai pendidikan dan kemandirian langsung yang dilakukan oleh santri atau siswa santri atau siswa juga dihadapkan pada kehidupannya sendiri, yaitu pengaturan diri sendiri dari sejak pengambilan keputusan sampai pelaksanaannya. Solidaritas tumbuh secara wajar. Santri belajar saling menghormati dan menghargai, serta tenggang rasa. Sikap dan sifat keterbukaan dapat berkembang secara baik, sifat isolatif kurang atau tidak mendapatkan tempat. Santri atau siswa berkompetisi secara sehat dalam proses meraih prestasi.
Maksudnya, santri atau siswa tidak hanya melihat Prestasi dari santri atau siswa lainnya, tetapi santri atau siswa dapat belajar langsung dari temannya, bagaimana cara meraih prestasi: cara belajar, membagi waktu dalam tugas, dan lain sebagainya. Disinilah akan didapatkan sifat jujur untuk dirinya dan pada yang lain.
Keberhasilan dalam sistem pondok tidak lepas dari peranan kyai atau guru dalam memberikan pengaturan, pengawasan dan bimbingan yang disertai dengan keteladanan yang murni sebagai landasannya. Kemandirian Ini yang dimiliki pondok pesantren adalah dalam pendanaan operasional, dimana pesantren lebih mengutamakan pada santri dan masyarakat pendukungnya yang nantinya tidak mengikat pada kebijaksanaan pondok pesantren. Pembiayaan pondok pesantren hampir seluruhnya datang dari santri dan sebagian lain dari Masyarakat pendukung pondok pesantren. Sifat kemandirian dalam pembiayaan adalah keberhasilan dari lembaga pondok pesantren yang telah mampu menjalin jaringan aksi, baik terhadap lembaga, pemerintah dan masyarakat.
Kedua, Faktor Sistem Nilai dan Kultur: sistem Nilai dan Kultur yang didukung dan hidup di lingkungan pesantren lebih kuat dibandingkan dengan sistem nilai dan kultur di luar. Sistem nilai kultur yang hidup dan didukung oleh lingkungan pesantren, dapat ditelusuri dari ajaran pembentuk kehidupannya. Nilai dan kultur pesantren begitu tertanam kuat di kalangan santri sehingga setiap santri bertanggung jawab atas kelangsungan nilai dan kultur yang hidup dan didukungnya. Nilai dan kultur itu tercermin dalam sikap hidup, tradisi yang berlaku, serta seni yang hidup, dimana semuanya bersumber dan ajaran agama Islam.
2. Faktor Eksternal
Pertama, ditinjau secara kelembagaan, yaitu terdapat banyak "langgar-langgar" yang tersebar hampir d seluruh desa. Langgar merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempunyai banyak kesamaan dengan pondok pesantren. Bedanya hanya terletak pada santri tidak menetap dalam pondok. Sedangkan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya, secara keseluruhan menyerupai pondok pesantren.
Langgar biasanya didirikan oleh seorang Kyai yang sebelumnya telah belajar ilmu agama Islam di pondok pesantren. Lembaga langgar merupakan faktor pen dukung utama bagi eksistensinya pondok pesantren karena dari lembaga inilah penyebaran informasi oleh seorang Kyai dapat berlangsung, untuk melanjutkan ilmu agama Islam ke dalam pondok pesantren.
Jadi kedudukan lembaga langgar adalah lembaga Islam tradisional tingkat dasar.Kedua, masyarakat Islam tradisional yang tersebar di wilayah pedesaan dilihat dari mata pencaharian masyarakat Islam tradisional adalah petani, buruh, pedagang, dan sebagian kecil pegawai. Pondok pesantren mempunyai pengaruh yang besar terhadap masyarakat Islam tradisional karena antara keduanya mempunyai hubungan tradisionaI, dimana pondok pesantren memberikan bimbingan agamaan, pelayanan pendidikan, serta kepemimpinan infomal. Sementara sebagai timbal baliknya, masyarakat Islam tradisional memberikan sumbangan dalam pendanaan, baik melalui infak dan sadaqah, maupun melalui santri-santri yang belajar dipesantren.
Dalam tradisi pesantren, metode dan sistem pengajaran, memiliki model-model non-klasikal, yaitu sistem pengajaran individual dengan menggunakan metode sorongan dan wetonan. Di daerah Jawa Barat metode wetonan disebut metode bandongan, sedangkan di daerah Sumatera dikenal dengan metode halaqah. Dua metode tersebut, sorongan dan wetonan merupakan ciri khas dalam pengajaran di pesantren, sekaligus sebagai metode yang tertua dan utama dalam pengajaran kitab-kitab kiasik (kitab kuning).
Kedua metode tersebut telah bertahan sejak awal sejarah Islam di Indonesia hingga sekarang dan terus dilestarikan, terutama di pondok pesantren salaf. Metode sorogan, yaitu cara mengajar dimana santri menghadap kyai atau ustadz seorang demi seorang, dengan menyodorkan kitab yang dipelajarinya. Cara pengajarannya yaitu kyai atau ustadz membacakan dan atau menyimak kitab yang berbahasa arab gundul (tanpa sandang apapun), kalimat demi kalimat kemudian diartikannya dalam bahasa Jawa, baru kemudian kyai atau ustadz menjelaskan secara keseluruhan. Kegiatan santri adalah menyimak sambil memberi catatan-catatän kecil dibawah atau disamping, atau ngesahi teks Arab sebagai bukti bahwa bagian tersebut telah dipelajari.
Metode sorogan merupakan sistem pengajaran individual yang sangat baik. Kyai atau ustadz dengan santri dapat langsung berinteraksi sehingga proses pengajaran dan pendidikan akan lebih bermakna. Pengajaran dengan metode sorogan merupakan bagian yang paling sulit dalam keseluruhan sistem pendidikan karena menuntut kesabaran, ketekunan, ketaatan dan kedisiplinan santri. Kehandalan dan penggunaan sistem ini telah terbukti sangat efektif dan selektif sebagai taraf dasar, atau awal bagi seorang santri dapat meraih gelar seorang yang alim. Selain metode diatas terdapat juga metode lain, yaitu metode musyawarah: "Sistem belajar dalam bentuk musyawarah untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan pelajaran santri, yaitu santri harus mempelajari dan mengkaji sendiri kitab-kitab yang telah ditunjukkan oleh kyainya.
Kyai hanya membimbing dan sebagai narasumber terakhir bila santri mengalami kesulitan. Metode ini sangat berguna untuk memecahkan masalah, mengembangkan kreatifitas, bakat dan keilmuan, serta menyalurkan pendapat didasarkan pada bukti dan acuan referensi. Selain itu sekarang ini telah dikembangkan sistem pengajaran klasikal yaitu sistem madrasah.Kedudukannya adalah sebagai pendamping dan ketiga metode di atas. Penggunaan sistem madrasah ini merupakan jawaban positif pesantren terhadap perkembangan dalam sistem pendidikan. Dengan adanya sistem madrasah, maka pesantren juga mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum, dan juga keterampilan-keterampilan tertentu bagi santrinya.
3. Konsep Pendidikan Islam dan Pesantren
Manzoor Ahmed mendefinisikan pendidikan sebagai "suatu usaha yang dilakukan individu-individu dari masyarakat untuk mentransformasikan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktivitas kehidupan secara efektif dan berhasil".
Sharif Khan mendefinisikan maksud dan tujuan pendikan Islam sebagai berikut:
a) Memberikan pengajaran Al-Qur’an sebagai langkah pertama pendidikan.
b) Menanamkan pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang terwujud dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajarar ini bersifat abadi.
c) Memberikan pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan Perubahan- Perubahan dalam masyarakat.
d) Menanamkam pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan yang tidak utuh dan pincang.
e) Menciptakan generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu pengetahuan.
f) Mengembangkan manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.
Pendekatan pendidikan Islam yang diajukan oleh kedua pakar pendidikan di atas tersimpul dalam First World Conference on Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1997: "Tujuan daripada pendidikan (Islam) adalah menciptakan manusia "yang menyembah Allah" dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktivitas keseharian-nya sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan. "Oleh karena itu, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini bukanlah dalam arti pendidikan ilmu-ilmu agama Islam semata. Akan tetapi yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini adalah menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap Muslim, terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji. Sehingga diharapkan akan bermunculan "anak-anak muda enerjik yang cerdik pandai. Berdasarkan kerangka nilai-nilai pendidikan Islam itu, kita mencoba berdialog dengan realitas sistem pendidikan, beserta seluruh unsur yang melekat pada pesantren, sebagaimana yang dengan detil dijabarkan diatas. Sampai batas-batas tertentu, pesantren telah berperan besar mengenalkan, menyebarkan dan mempertahankan Islam (dan nilai-nilai kemanusiaan) di Indonesia. Pola pendidikannya yang amat menekankan fleksibilitas memberi nilai-nilai positif pada pesantren untuk tetap eksis menghadapi perubahan zaman.Pendidikan pesantren muncul dan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat sekitar.
4. Fenomena Pesantren Modern
Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan Kebanyakan lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sisten pendidikan umum untuk tidak menyebut sistem pendidikan "sekuler" atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum atau setidak-tidakny mnenyesuaikan diri dan mengadopsi sedikit banyak isi dan metodologi pendidikan umum Untuk memperjelas argumen di atas, dapat dikemukakan nasib atau pengalaman beberapa daerah pada kawasan dunia muslim lainnya dalam proses perubahan dan modernisasinya.
Lembaga pendidikan tradisional Islam di kawasai Timur Tengah pada umumnya secara sederhana biasanya terdiri dan tiga jenis; madrasah, kuttab, dan masjid. Sampai separuh abad 19, ketiga lembaga pendidikan tradisional Islam ini relative mampu bertahan. Tetapi sejak perempatan terakhir abad ke-19, gelombang pembaharuan dan modernisasi yang semakin kencang telah menimbulkan perubahan-perubahan yang tidak bisa dimundurkan lagi dalam eksistensi lembaga lembaga pendidikan Islam tradisional. Pembangunan dan modernisasi pendidikan Islam, tidak diragukan lagi, bermula di Turki menjelang pertengahan abad 19 sebelum akhirnya menyebar hampir ke seluruh wilayah kekuasaan Turki Usmani di Timur Tengah.
Tetapi penting dicatat, program pembaharuan pendidikan di Turki semula tidak menjadikan medresse (madrasah), lembaga pendidikan tradisional Islam, sebagai sasaran pembaharuan. Yang terjadi adalah pembentukan sekolah-sekolah baru sesuai dengan sistem pendidikan Eropa, yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan reformasi militer dan birokrasi Turki Usmani. Dalam konteks ini kita bisa melihat misalnya kemunculan "Mekteb-I ilm-I Harbiye" (sekolah militer) pada tahun 1834 sesuai dengan model Prancis. Tetapi dalam selang waktu yang tidak terlalu lama (1938) Sultan Mahmud II (1808-1839) segera pula melancarkan pembaharuan pendidikan Islam dengan memperkenalkan Sekolah Rusydiyyah, yang sepenuhnya mengadopsi sistem pendidikan Eropa. Sistem sekolah Rusydiyyah ini independent, atau bahkan berlawanan dengan medresse. Selanjutnya, Sultan ‘Abd al-Majid pada tahun 1846 mengeluarkan peraturan yang memisahkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum, medresse berada di bawah yurisdiksi Syaikh al-Islam, sedangkan sekolah umum dengan berbagai tingkatannya ditempatkan di bawah tanggung jawab langsung pemerintah.
Tetapi, penting dicatat bahwa sekolah umum yang diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi itu ternyata berkembang relative lambat. Ini mendorong pemrinntah Turki Usmani untuk mengeluarkan ketetapan "Ma’arif Umumiye Nizamnamesi" (1869), guna memperluas dan mempercepat perkembangan sistem pendidikan umum model Eropa, dengan mengorbankan medresse. Pukulan terakhir terhadap medresse terjadi pada tahun 1924, ketika Mustafa Kemal Ataturk menghapuskan sistem medresse dengan mengubahnya menjadi sekolah-sekolah umum. Pengalaman yang sama juga ditempuh oleh Mesir.
Modernisasi sistem dan kelembagaan pendidikan di Mesir dimulai oleh Muhammad Ali Pasya. Pada tahun 1833 ia mengeluarkan dekrit pembentukan sekolah umum, yang dalam perkembangan awalnya hidup berdampingan dengan madrasah kuttab. Sekolah dasar umum yang segera berkembang diseluruh wilayah Mesir, semula dimaksudkan untuk menyiapkan calon-calon bagi sekolah militer, yang juga didirikan Muhammad Ali Pasya. Semula isi pendidikannya sebagaian besar adalah subyek-subyek Islam, ditambah beberapa matapelajaran umum. Tetapi, dalam perkembangan lebih lanjut, penekanan lebih diberikan kepada subyek-subyek umum. Dalam waktu yang bersamaan, Muhammad Ali Pasya juga mendirikan sekolah-sekolah unum tingkat lanjutan, yang dikenal dengan nama skolah Al-Tajhiziyyah.
Sekolah ini terutama mengajarkan ilmu- ilmu umum seperti berhitung, ilmu ukur, aljabar, mengambar dan lain-lain, selain juga memberikan beberapa mata pelajaran agama. Sementara itu, madrasah dan kuttab secara umum tidak mengalami perkembangan yang berarti, bahkan kuttab pada gilirannya hanya menjadi semacam pelengkap bagi sekolah umum, khususnya untuk mendapatkan tambahan pelajaran agama. Bahkan Khedive Ismail, pada tahun i868, mengeluarkan ketetapan untuk mengintegrasikan madrasah dan kuttab dalam sistem pendidikan umum. Meski demikian, upaya ini tidak begitu sukses hasilnya, sistem pendidik madrasah dan kuttab tetap bertahan dalam masa penjahan Inggris.
Tetapi setelah kemerdekaan, dengan alasan integrasi atau nasionalisasi sistem pendidikan nasional Mesir, pemerintah Gamal Abdel Nasser pada tahun 1961 menghapuskan sistem madrasah dan kuttab. Pengalaman Turki dan Mesir agaknya cukup memadai untuk menggambarkan proses-proses memudar dan lenyapnya sistem pendidikan tradisional Islam dalam gelombang modernisasi yang diterapkan para penguasa di masing-masing negara tersebut. Situasi-situasi sosiologis dan politis yang mengitari medresse di Turki atau madrasah dan kuttab di Mesir dalam segi-segi tertentu, agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut, pada gilirannya membuat pesantren tetap mampu bertahan. Dunia pesantren, dengan meminjam kerangka Hussein Naser, adalah dunia tradisional Islam, yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dan masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Karena itu, tetap bertahannya pesantren agaknya secara implisit mengisyaratkan, bahwa tradisi dunia Islami dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan ditengah deru modernisasi. Pada awalnya, dunia pesantren terlihat "enggan" dan "rikuh" dalam menerima modernisasi; sehingga tercipta apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai "kesenjangan antara pesantren dengan dunia luar". Tetapi secara gradul pesantren kemudian melakukan akomodasi dan konsesi tertentu untuk kemudian menemukan pola yang dipandangnya cukup tepat, guna menghadapi modernisasi dan perubahan yang kian cepat dan berdampak luas. Tetap semua akomodasi dan penyesuaian itu dilakukan pesantren tanpa mengorbankan esensi dan hal-hal dasar lainnya dalam eksistensi pesantren. Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan adjustment dan readjustment. Tetapi jug arena karakter eksistensinya yang dalam bahas Nurcholish Madjid disebut sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna ke-Islaman, tetapi jug engandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
Sebagai lembaga indigenous, pesantren muncul berkembang dan pengalaman sosiologis masyarak lingkungannya. Dengan kata lain, pesantren mempunyai keterkaitan erat yang tak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya. Kenyataan ini bisa dilihat, tidak hany latar belakang pendirian pesantren pada suat lingkungan tertentu, tetapi juga dalam pemeliharaa eksistensi pesantren itu sendiri melalui pemberian wakaf, sadaqah, hibah dan sebagainya. Sebaliknya pantren umumnya "membalas jasa" komunitas lingkungannya dengan bermacam cara tidak hanya dalam bentuk memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan tetapi juga bimbingan sosial, kultural an ekonomi bagi masyarakat lingkungannya. Dalam kontek inilah, pesantren dengan kyainya yang disebut Clifford Geertz, sebagai (pialang budaya) dalam pengertian luas.
Tidak hanya itu, pesantren bukan sekadar mampu bertahan dari goncangan modernisasi sistem pendidikan yang melanda seluruh penjuru dunia. Tetapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan konsesi yang diberikannya, pesantren pada gilirannya juga mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi yang penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.
Tantangan pertama berasal dan sistem pendidikan modern yang pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Ini bermula dengan perluasan kesempatan bagi pribumi dalam pertengahan kedua abad 19 untuk mendapatkan pendidikan.
Program ini dilakukan pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan "volksdchoolen’, sekolah rakyat atau sekolah desa (nagari), dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871, terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang dan menjelang tahun 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Tetapi sekolah desa ini, setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya cukup mengecewakan. Bagi pemerintah Belanda, sekolah desa ini tidak berhasil mencapai hasil yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan mutu pengajaran yang amat rendah. Pada pihak lain, dikalangan pribum khususnya di Jawa, terdapat resistensi yang kuat terhadap sekolah-sekolah ini, yang mereka pandang merupakan bagian integral dari rencana pemerintah kolonial untuk "membelandakan" anak-anak mereka. Selain mendapatkan tantangan dari sistem pendidikan Belanda, pendidikan tradisional Islam, khususnya pesantren, juga berhadapan dengan sistem pendidikan modern Islan yang diperkenalkan oleh kaum reformis atau modernis Muslim.
Gerakan reformis Muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20 berpendapat, diperlukan reformasi sistem pendidikan Islam untuk mampu menjawab tantangan kolonialisme dan ekspansi Kristen dalam konteks inilah, kita menyaksikan munculnya dua hentuk kelembagaan pendidikan modern Islam; pertama, sekolah-sekolah umum model Belanda, tetapi diberikan muatan pengajanan Islam; kedua, madrasah-madrasah modern, yang secara terbatas mengadopsi substansi dan metodologi pendidikan modern Belanda. Dalam bentuk perlama, kita bisa meyebut misalnya Sekolah Adabiyah yang didirikan Abdullah Ahmad di Padang pada tahur 1909. Sedangkan pada bentuk kedua, kita menemukan "Sekolah Diniyyah" Zainuddin Labay el-Yunus atau Sumatera Thawalib atau madrasah yang didirikan alJami’atul al-Khairiyyah, dan kemudian juga madrasah yang didirikan organisasi al-Irsyad.
Menghadapi ekspansi sistem pendidikan modern Islam tersebut, menurut Karel Steenbrink, pesantren lebih cenderung "menolak sambil mengikuti" Artinya, komunitas pesantren menolak paham dan asumsi-asumsi keagamaan kaum reformis. Tetapi pada saat yang sama, mereka tidak bisa lain kecuali dalam batas tertentu mengikuti jejak langkah kaum reformis, jika pesantren akan terus tetap bertahan. Karena itulah pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan "penyesuaian" yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem perjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dari sistem klasikal. Dalam kaitan ini, pesantren Mambaul Ulum di Surakarta mengambil tempat paling depan dalam merambah bentuk respons pesantren terhadap ekspansi sistem pendidikan Belanda dan pendidikan modern Islam. Pesantren Mambaul Ulum yang didirikan Susuhunan Pakubuwono pada tahun 1906 ini merupakan perintis dari penerimaan beberapa mata pelajaran umum dalam pendidikan pesantren. Menurut laporan inspeksi pendidikan Belanda, pada tahun tersebut, pesantren Mambaul Ulum telah memasukkan mata pelajaran membaca (tulisan Latin), aljabar, dan berhitung ke dalam kurikulumnya. Rintisan pesantre Mambaul Ulum ini diikuti beberapa pesantren lain. Pesantren Tebuireng misalnya, pada tahun 1916 mendirikan sebuah "Madrasah Salafiyah" yang tidak hanya mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi juga memasukkan beberapa pelajaran umum, seperti berhitung, bahasa Melayu, ilmu bumi, dan menulis dengan huruf Latin ke dalam kurikulumnya.
Model ini kemudian diikuti banyak pesantren lainnya. Salah satu yang terpenting adalah pesantren Rejoso di Jombang, yang mendirkan sebuah madrasah pada tahun 1927. Madrasah ini juga memperkenalkan mata pelajaran non-keagamaan dalam kurikulumnya. Respons yang sama tetapi dalam nuansa yang sedikit berbeda, terlihat dalam pengalaman Pondok Modern Gontor. Berpijak pada basis dan sistem kelembagaan pesantren, pada tahun 1926 berdirilah Pondok Pesantren Modern Gontor.
Pondok ini selain memasukkan sejumlah mata pelajaran umum ke dalam kurikulumnya, juga mendorong para santrinya untuk mempelajari bahasa Inggris-selain bahasa Arab dan melaksanakan sejumlah kegiatan ekstra kurikuler seperti olahraga, kesenian, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesantren bergerak lebih maju lagi. Berkaitan dengan gagasan tentang "kemandirian" santri setelah menyelesaikan pendidikan mereka di pesantren, beberapa pesantren memperkenalkan semacam kegiatan atau latihan keterampilan (vocational) dalam sistem pendidikan mereka. Salah satu organisasi Islam yang memberi penekanan khusus pada aspek vocational ini adalah Organisasi Persarekatan Ulama di Jawa Barat.
Mendirikan sebuah lembaga pada tahun 1932 atas basis kelembagaan pesantren yang kemudian disebutnya sebagai "Santri Asrama". Haji Abdul Halim yang merupakan pendiri Persarekatan Ulama memperkenalkan pemberian latihan keterampilan bagi para santri. Mirip dengan respons pesantren pada masa kolonial, pesantren di masa kemerdekaan memberikan respons terhadap ekspansi sistem pendidikan umum yang disebarkan pemerintah dengan memperluas cakupan pendidikai mereka.
Sedikitnya, terdapat dua cara yang dilakukan pesantren dalam hal ini Pertama, merevisi kurikulumnya dengan memasukkan semakin banyak mata pela,jaran umum atau bahkan keterampilan umum. Kedua membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Cara pertama, seperti dikemukakan di atas, telah dimulai dikalangan pesantren sejak masa Belanda, meski dengan skala yang sangat terbatas. Tetapi dalam masa kemerdekaan, pembaharuan kurikulum ini harus menemukan momentumnya.
Namum perlu ditegaskan, bahwa pembaharuan kurikulum ini tidak berjalan merata di seluruh pesantren, bahkan pesantren-pesantren yang menerima pembaharuan tersebut hanya menerapkannya secara terbatas. Tambahan lagi, terdapat banyak pesantren yang dipimpin kyai lebih konservatif yang umumnya lebih resistan terhadap pembaruan kurikulum atau substansi pendidikan pesantren. Dalam masa-masa kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada dekade 1950-an dan awal 1960-an, pembaruan pesantren banyak berkenaan dengan pemberian keterampilan, khususnya dalam bidang pertanian, yang tentu saja diharapkan menjadi bekal bagi para santri selain untuk menunjang ekonomi pesantren itu sendiri.
Penekanan pada bidang keterampilan ini dengan mudah bisa dipahami dalam masa-masa sulit seperti itu pesantren dituntut untuk self supporting dan self financing. Karena itu banyak pesantren di pedesaan seperti di Tebuireng dan Rejoso, mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vocational dalam bidang pertanian, seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, kopi dan lain-lain. Hasil penjualan dari pertanian seperti itu selanjutnya digunakan untuk membiayai pesantren. Pada waktu yang berbarengan, pesantren pesantren besar seperti Gontor, Tebuireng, Denayar, Tambakberas, Tegalrejo dan lain-lain mulai pula mengembangkan Koperasi. Melalui koperasi ini minat kewirausahaan para santri dibangkitkan, untuk kemudian diarahkan menuju pengembangan usaha-usah ekonomi bila sang santri kembali ke masyarakat. Begitu juga cara kedua, yang sebenarnya telah mulai dikemangkan beberapa pesantren sejak masa Belanda, tetapi cara kedua ini semakin menemukan momentumnya khususnya karena persaingan pesantren dengan sistem kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan diwah tanggung jawab dan pengawasan Departemen Agama yang sejak 1950-an, melancarkan pembaruan madrasah setelah sebelumnya menegerikan banyak madrasah swasta.
Untuk merespon perkembangan ini, semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah di dalam komplek pesantrennya masing-masing. Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri (umumnya mukim), yang ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam dan sekaligus merupakan sebagian murid-murid madrasah sekaligus menjadi santri mukim di pesantren yang bersangkutan. Tetapi setidaknya, dengan terdaftar sebagaimurid madrasah, mereka kemudian mendapat pengakuan dari Departemen Agarna dan dengan demikian memiliki akses lebih besar tidak hanya dalam melanjutkan pendidikan, tetapi juga dalam lapangan kerja.
Dalam perkembangan selanjutnya, tidak jarang ditemukan pesantren yang memiliki lebih banyak murid madrasah daripada santri yang betul-betul melakukan tafaqquh fi al-din. Lebih jauh lagi, beberapa pesantren tidak berhenti dengan eksperimen madrasahnya. Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum yang berada di bawah sistem Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bukan sistem pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama. Dengan kata lain pesantren bukan hanya mendirikan madrasah tetapi juga sekolah-sekolah umum, yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud).
Di antara pesantren yang dapat dipandang sebagal perintis dalam eksperimen ini adalah pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 1965 mendirikan Universitas Darul Ulum, yang terdaftar pada Departemen P&K. Universitas ini terdiri dari 5 fakultas dan hanya 1 fakultas yang merupakan fakultas agama Islam. Pesantren lain yang juga menempuh cara ini adalah pesantren Miftahul Mu’allimin di Babakan Ciwaringin, Jawa Barat, yang mendirikan sebuah Sekolah Teknik Menegah (STM). Dalam masa-masa lebih belakangan, eksperimen seperti ini dilakukan oleh makin banyak pesantren, sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan yang ingin mempertankan identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk tafaqquh fi al-din, atau mempersiapkan calon ulama, bukan untuk kepentingan-kepentingan lain, ususnya pengisian lapangan kerja. Pada saat yang sama juga terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen.
Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua orang kyai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang bersangkutan. Tetapi perkembangan kelembagaan pesantren terutama karena terjadinya diversifikasi pendidikan yang diselenggarakan yang juga mencakup sekolah dan lembaga umum, maka kepemimpinan tunggal kyai tidak memadai lagi.
Akhirnya banyak pesantren yang kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan pesantren tadi adalah Pesantren Maskumamanang di Gresik, yang didirikan pada tahun 1859 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdul Jabbar. tetapi pada tahun 1958 kepemimpinan pesantren ini diserahkan kepada Yayasan Kebangkitan Umat Islam. Dengan perubahan pola kepemimpinan dan manajemen ini maka kebanyakan pesantren tidak lagi merosot, atau lenyap dengan meninggalnya sang kyai pendiri pesantren. Kyai tidak lagi menjadi faktor utama satu-satunya yang menentukan kharisma serta maju mundurnya pesantren. Di era modern Pondok Pesantren kemudian tidak harus didirikan oleh para Kyai, tetapi sebuah Yayasan Islam yang berdiri dan juga dapat mendirikan Pesantren-Pesantren Modern. Hal tersebut sebagaimana juga dilakukan oleh H.M. Said Amin di Kalimantan Timur, yang mendirikan Pondok Pesantren Nabil Husein yaitu sebuah Pesantren Modern yang didirikan untuk menampung anaik-anak dan keluarga tidak mampu di Samarinda Kalimantan Timur.
Kenyataan ini merupakan faktor penting yang membuat pesantren semakin lebih mungkin bertahan untuk menghadapi perubahan dan tantangan zaman. Pesantren menghadapi pengalaman dan mencobakan eksperimen yang pada dasarnya sama dalam masa pemerintahan Orde Baru. Bertitik tekan pada pertumbuhan ekonomi, pemerintah Orde Baru juga menaruh harapan kepada pesantren untuk menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat.
Dengan demikian, pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisionalya, yakni:
Pertama, transmisi transfer ilmu-ilmu Islam;Kedua, pemeliharan tradisi Islam; dan ketiga, reproduksi ulama sesuai dengan ideologi developmentalism pemerintah Orde Baru, pembaruan pesantren dalam masa ini mengarah pada pengembangan pandangan dunia dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsive terhadap kebutuhan tantangan zaman.
Dalam konteks ini misalnya substansi ilmu kalam diajarkan dipesantren diharapkan bukan lagi teologi sy’ariyah atau Jabariyah, tetapi teologi yang kondusif bagi pembangunan, yakni teologi yang lebih mendorong tumbuhnya prakarsa, usaha, atau etos kerja. Selain pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi (tepatnya refungsionalisasi) pesantren sebagai satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat sendiri (people-centered development), dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai (value-oriented development).
Dalam kaitan gagasan itulah, pesantren diharap tidak lagi memainkan ketiga fungsi tradisional tadi, tetapi juga menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup dan yang lebih penting lagi, menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitarnya.
Dalam konteks terakhir, terlihat semakin banyak pesantren yang terlibat aktivitas-aktivitas vocational dan ekonomi, seperti dalam usaha-usaha agrobisnis yang mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, perikanan dan kehutanan; pengembangan industri rumah tangga atau industri kecil seperti konveksi, kerajinan tangan, pertokoan, koperasi dan sebagainya.
Untuk menyimpulkan, respon pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal ini mencakup; pertama, pembaruan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subyek-subyek umum dan vocational; kedua, pembaruan metodologi, seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan; dan keempat, pembaruan fungsi, dan fungsi kependidikan untuk juga mencakup fungsi sosial ekonomi.
5.Pesantren kini dalam Pembentukan moral generasi bangsa.
Jika kita amati, lembaga pendidikan pesantren saat ini kelihatan mengalami semacam "kebangkitan", atau setidaknya menemukan "popularitas" baru. Secara kuantitatif jumlah pesantren meningkat; berbagai santren baru muncul di mana-mana, tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera. Yang menarik dari perkembangan kuantitatif ini adalah gejala pertumbuhan santren-pesantren baru di wilayah urban, seperti Jakarta dan wilayah-wilayah sekitarnya (Jabotabek).
Di antara pesantren baru di wilayah urban, yang ngalami perkembangan cukup fenomenal, misalnya antren Darul Muttaqin di Parung, Bogor. Lalu di Pasar Usang, di dekat kota Padang, telah berdiri "Pesantren Modern Prof. Dr. Hamka" juga di Samarinda imantan Timur berdiri Pondok Pesantren Nabil Husein. Sementara itu, perkembangan fisik bangunan pesantren juga mengalami kemajuan-kemajuan yang sangat observable. Banyak pesantren di berbagai tempat apakah itu diwilayah urban, maupun di pedesaan, mempunyai gedung-gedung atau bangunan yang megah dan lebih penting lagi, sehat dan kondusif sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan yang baik.
Dengan demikian, citra yang pernah disandang pesantren sebagai komplek bangunan yang reot dan tidak higienis semakin memudar. Pada satu segi perkembangan fisik pesantren mengindikasikan terjadinya peningkatan swadaya dan swadana masyarakat muslim sebagai hasil dari kemajuan ekonomi yang dicapai kaum muslim dalam pembangunan.
Pada segi lain, kemunculan pesantren-pesantren baru yang ternyata dengan cepat menjadi popular itu dalam skala sedikit luas agaknya merupakan salah satu indikasi tambahan tentang tengah berlangsungnya secara intens apa yang disebut sebagian pengamat sebagai proses "santrinisasi" kaum muslim Indonesia.
Lebih jauh lagi, kemunculan pesantren-pesantren urban bisa jadi merupakan indikasi lebih lanjut tentang kerinduan orang tua - orang tua muslim untuk mendapatkan pendidikan Islami yang baik, tetapi sekaligus kompetitif bagi anak-anak mereka. Atau, sebaliknya, boleh jadi mengindikasikan "kepasrahan" orang tua muslim terutama di wilayah urban yang merasa "tidak mamptu" lagi mendidik sendiri anak-anak mereka secara Islami, atau "tidak yakin" bahwa anak-anak mereka akan mendapatkan pendidikan agama yang memadai dari sekolah-sekolah umum dan karena itu, menyerahkan anak-anak mereka ke pesantren. atau lebih jauh lagi, karena pesantren dengan proses pendidikannya selama dua puluh empat jam penuh itu, dipandang orang tua sebagai mampu "menjinakkan" anak-anak mereka dari dislokasi sosial yang muncul dewasa ini sebagai ekses globalis, nilai-nilai.
Dalam kerangka analisis semacam itu, sebenarnya orang tua atau bahkan masyarakat muslim umumm masih memegangi citra tentang dan harapan (expectation) lama terhadap pesantren. Jelasnya, bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang mampu membentuk dan menyiapkan anak didiknya menjadi muslim yang baik. Paling tidak secara implisit bisa dipahami hahwa inilah harapan pokok orang tua atau masyarakat muslim umumnya terhadap pesantren dewasa ini. Oleh karena itu, tugas pokok yang dipikul pesantren pada esensinya adalah mewujudkan manusia dan masyarakat muslim Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam kaitan ini secara lebih khusus lagi pesantren bahkan diharapkan berfungsi lebih daripada itu ia diharapkan dapat memikul tugas yang tak kalah pentingnya yakni melakukan reproduksi ulama. Dengan kualitas keislaman, keimanan, keilmuan dan akhlaknya, para santri diharapkan mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya.
Di sini para santri diharapkan dapat memainkan fungsi ulama dan pengakuan terhadap keulamaan mereka biasanya pelan-pelan tapi pasti datang dari masyarakat. Selain itu pesantren juga bertujuan untuk menciptakan manusia muslim mandiri dan ini kultur pesantren yang cukup menonjol yang mempunyai swakarya dan swadaya. Dengan demikian keunggulaii Sumber Daya Manusia yang ingin dicapal pesantren adalah terwujudnya generasi muda yang berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek afektif dan psikomotorik.
Tetapi sesuai dengan sifat distingtifnya sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang mempunyai "sub-kultur" yang distingtif pula, pesantren harus lebih mengorientasikan peningkatan kualitas santrinya kearah penguasaan ilmu-ilmu agama Islam. Karena bagaimanapun sampai sekarang ini pesantren tetap masih merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling efektif dalam melakukan transmisi dan transfer ilmu-ilmu agama Islam.
6.Prospek Pesantren di Masa Depan
Era globalisasi dewasa ini dan di masa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya atau pendidikan Islam, termasuk pesantren, khususnya argumen panjang lebar tidak perlu dikemukakan lagi bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindarkan diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi kalau ingin survive dan berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif dimasa kini, diabad XXI. Globalisasi sebenarnya bukanlah fenomena baru sama sekali bagi masyarakat-masyarakat muslim Indonesia. Bahkah berbarengan dengan datangnya berbagai gelombang global secara konstan dari waktu ke waktu.
Sumber globalisasi tersebut adalah Timur Tengah khususnya mula-mula Makkah dan Madinah, dari sejak abad 20, juga Kairo. Karena itu seperti bisa diduga, globsasi ini lebih bersifat religio-intelektual, meski dalam kurun-kurun tertentu juga diwarnai oleh semangat religio-politik. Tetapi globalisasi yang berlangsnng dan melanda masyarakat muslim Indonesia sekarag menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini tidak lagi bersumber dari Timur Tengah, melainkan dari Barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Globalisasi yang bersumber dari Barat tampil dengan watak ekonomipolitik dan sains teknologi.
Dominasi dan hegemoni politik Barat dalam segi-segi tertentu mungkin saja telah "merosot", khususnya setelah berakhir perang dunia kedua dan "Perang Dingin". Tetapi hegemoni ekonomi dan sains-teknologi Barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul beberapa kekuatan ekonomi baru, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi kultur hegemoni ekonomi dan sainsteknologi, tetap sarat dengan nilai-nilai Barat. Dengan demikian, hegemoni tadi menemukan momentum baru, yang pada gilirannya mempercepat proses globalisasi.
Hegemoni ekonomi dan sains-teknologi jelas bukan persoalan sederhana. Hegemoni dalam bidang-bidang ini bukan hanya menghasilkan globalisási ekonomi dan sains-teknologi, tetapi juga bidang-bidang intelektual, sosial, nilai-nilai dan gaya hidup dan seterusnya. Globalisasi Coca Cola atau Mc Donald, bukan sekedar ekspansi ekonomi, tetapi juga gaya hidup dengan segala implikasinya. Globalisasi "Mc Donald" misalnya menimbulkan perubahan dalam pola dan jenis makanan yang dikonsumsi masyarakat.
Perubahan ini pada gilirannya menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kesehatan masyarakat, penyakit-penyakit, semacam tingginya kolesterol, , obesitas (kegemukan) sekarang dikhawatirkan ahli-ahli kesehatan Indonesia semakin menyebar dalam sebagian marakat Indonesia terutama di wilayah-wilayah dimana ekspansi dan penetrasi "Mc Donaldnisasi" dann Coca-colanisasi" ini terlihat paling kuat. Hal yang sama juga bisa dilihat pada hegemoni model-model Pendidikan Barat terhadap sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.
Itulah sebabnya ke depan, Pondok Pesantren harus melakukan pembenahan diri dengan maksimal dan terencana. Model pendidikan Islam yang di emban oleh Pondok Pesantren harus terus mengalami pembaharuan-pembaharuan dimana karakteristik Pondok Pesantren harus tetap melekat kuat dan menjadi jiwa dan pergerakan Pondok Pesantren dan berbareng dengan itu pengadopsian model-model pendidikan modern harus dilakukan dengan tanpa mengurangi sedikitpun pengaktualisasian nilai-nilai ke-Islam-an yang hidup dalan pesantren. Lebih dari itu transformasi penguasaan teknologi modern serta profesionalisasi para santri harus juga dikedepankan sebagai salah satu misi Pondok Pesantren Modern. Hal yang amat penting adalah Pondok Pesantren juga harus menerapkan prinsip-prinsip bahwa Pondok Pesantren adalah sebuah komunitas sosial masyarakat Islam modern juga harus terus diikuti dengan berkembangnya kegiatan ekonomi modern dalam pesantren yang mendukung kuatnya posisi ekonomi pesantren di mata masyarakat modern. Sudah saatnya bahwa Pondok Pesantren juga harus menjadi sebuah sistim Pendidikan yang menyeluruh, menyatu dan terintergrasi dimana di dalam kawasan Pondok Pesantren berdiri Taman Bermain Anak-anak (Play Group), Taman kanak-kanak, Pondok Pesantren Modern SD, SMP,SMU dan Perguruan Tinggi.
Kedepan dengan kelenturannya untuk memodermsasikan model pendidikan Islam di dalan pesantren, maka Pesantren akan terus ikut berkembang menjadi "Centre of Moslem Revitalisations" (Pusat Revitalisasi Islam). Disini lulusan-lulusan Pesantren akn mengabdikan diri sebagai pembaharu dan modernis IsIam dan membentuk serta mewarnai dunia modern khususnya bangsa Indonesia dengan nafas Islam yang dibawabanya dari Pesantren. Dan dengan itu akan lahir peradaban Islam Modern yang mampu berkembang dan membentuk tata dunia baru Islam sebagai Rahmatan lil alamin (Islam sebagai Rahmat bagi dunia) dan bukan sebagaimana menjadi sebuah kekuatan yang seringkali diisukan sebagai ancaman bagi dunia modern.
PRINSIP AJARAN ISLAM
Dalam prinsip ajaran Islam segala sesuatu tak boleh
dilakukan secara asal-asalan melainkan harus dilakukan secara rapi benar tertib
dan teratur dan proses-proses juga harus diikuti dgn tertib.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah saw bersabda : yg arti :
“Sesungguh Allah sangat mencintati orang yg jika melakukan sesuatu pekerjaan
dilakukan secara Itqan (tepat terarah jelas dan tuntas)”. (HR Thabrani)
Sebenar manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar
dilakukan dgn baik tepat dan tuntas merupakan hal yg disyariatkan dalam ajaran
Islam sebab dalam islam arah gayah (tujuan) yg jelas landasan yg kokoh dan
kaifiyah yg benar merupakan amal perbuatan yg dicintai Allah swt.
Setiap organisasi termasuk pendidikan pondok pesantren
memiliki aktivitas-aktivitas pekerjaan tertentu dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Salah satu aktivitas tersebut adl manajemen. Dengan pengetahuan
manajemen pengelola pondok pesantren bisa mengangkat dan menerapkan
prinsip-prinsip dasar serta ilmu yg ada di dalam Al-Qur’an dan Hadis ke dalam
kembaga tersebut.
Manajemen sebagai ilmu yg baru dikenal pada pertengahan
abad ke-19 dewasa ini sangat populer bahkan dianggap sebagai kunci keberhasilan
pengelola perusahaan atau lembaga pendidikan tak terkecuali lembaga pendidikan
Islam seperti pondok pesantren maka hanya dgn manajemen lembaga pendidikan
pesantren diharapkan dapat berkembang sesuai harapan krn itu manajemen
merupakan sebuah niscaya bagi lembaga pendidikan Islam atau pesantren utk
mengembangkan lembaga ke arah yg lbh baik.
MENGUTIB SUMBER : ABUDIN NATA (2003 : 43).
Menyebutkan dewasa ini pendidikan islam terus dihadapkan
pada berbagai problema yg kian kompleks krn itu upaya berbenah diri melalui
penataan SDM peningkatan kompetensi dan penguatan institusi mutlak harus
dilakukan dan semua itu mustahil tanpa manajemen yg profesional.
Seperti diketahui bahwa sebagai sebuah sistem pendidikan
Islam mengandung berbagai komponen yg saling berkaitan satu sama lain komponen
tersebut meliputi landasan tujuan kurikulum kompetensi dan profesionalisme guru
pola hubungan guru dan murid metodologi pembelajaran sarana prasarana evaluasi
pembiayaan dan lain sebagainya. Berbagai komponen ini - krn dilakukan tanpa
perencanaan konsep yg matang - seringkali berjalan apa ada alami dan
tradisional akibat mutu pendidikan Islam acapkali menunjukkan keadaan yg kurang
membanggakan.
Al-Qur’an dan Hadits yg notabene merupakan landasan dan
dasar pendidikan Islam saat ini belum benar-benar digunakan sebagaimana
mestinya. Hal ini diakibatkan oleh minim pakar -di Indonesia- yg secara khusus
mendalami pemahaman kedua sumber tersebut dalam perspektif pendidikan Islam.
Ummat Islam belum banyak mengetahui tentang isi kandungan Al-Quran dan
Al-Sunnah yg berhubungan dgn pendidikan secara baik. Akibat proses pendidikan Islam
belum berjalan diatas landasan dan dasar ajaran Islam itu sendiri.
Sebagai konsekwensi visi dan misi pendidikan Islam juga
masih belum berhasil dirumuskan secara baik dan universal. Tujuan pendidikan
Islam juga seringkali diorientasikan utk menghasilkan manusia – manusia siap
pakai bukan siap hidup menguasai ilmu Islam saja bukan berkarekter islami dan
visi diarahkan utk mewujudkan manusia yg shalih dalam arti ritual ukhrowi belum
sosial dunia Akibat lulusan pendidikan Islam hanya memiliki kesempatan dan
peluang yg terbatas mereka kurang mampu bersaing dan tak mampu berebut peluang
dan kesempatan dalam ruang yg lbh kompleks.
Konsekwensi lbh lanjut lulusan pendidikan Islam semakin
terpinggirkan dan tak berdaya ini merupakan masalah besar yg perlu segera diatasi
lbh lebih dalam dunia persaingan yg kian kompetieif dan mengglobal. Problema
ini kian diperparah oleh tak tersedia tenaga pendidik Islam yg profesional
yaitu tenaga pendidik yg selain menguasai materi ilmu yg diajarkan secara baik
dan benar juga harus mampu mengajarkan secara efektif dan efisien kepada para
siswa serta harus pula memiliki idealisme.
Manajemen yg dimaksud disini adl kegiatan seseorang dalam
mengatur organisasi lembaga atau perusahaan yg bersifat manusia maupun non
manusia sehingga tujuan organisasi lembaga atau perusahaan dapat tercapai
secara efektif dan efisien. Bertolak dari rumusan ini terdapat beberapa unsur
yg inheren dalam manajemen antara lain :
Unsur proses arti seorang manejer dalam menjalankan tugas
manajerial harus mengikuti prinsip graduasi yg berkelanjutan.
Unsur penataan arti dalam proses manajemen prinsip utama
adl semangat mengelola mengatur dan menata.
Unsur implementasi arti setelah diatur dan ditata dgn
baik perlu dilaksanakan secara profesional.
Unsur kompetensi. Arti sumber-sumber potensial yg
dilibatkan baik yg bersifat manusia maupun non manusia mesti berdasarkan
kompetensi profesionalitas dan kualitasnya.
Unsur tujuan yg harus dicapai tujuan yg ada harus
disepakati oleh keseluruhan anggota organisasi. Hal ini agar semua sumber daya
manusia mempunyai tujuan yg sama dan selalu berusaha utk mensukseskannya.
Dengan demikian tujuan yg ada dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
melaksanakan aktivitas dalam organisasi.
Unsur efektifitas dan efisiensi. Arti tujuan yg
ditetapkan diusahakan tercapai secara efektif dan efisien.
Relevan dgn hal diatas Hamzah (1994 : 32) menyebutkan
bahwa yg dimaksud dgn Manajemen Pendidikan Pesantren adl aktivitas memadukan
sumber-sumber Pendidikan Pesantren agar terpusat dalam usaha utk mencapai
tujuan Pendidikan Pesantren yg telah ditentukan sebelum dgn kata lain manajemen
Pendidikan merupakan mobilisasi segala sumberdaya Pendidikan Pesantren utk
mencapai tujuan pendidikan yg telah ditetapkan.
Maka manajemen Pendidikan Pesantren hakekat adl suatu
proses penataan dan pengelolaan lembaga Pendidikan Pesantren yg melibatkan
sumber daya manusia dan non manusia dalam menggerakkan mencapai tujuan
Pendidikan Pesantren secara efektif dan efisien.”. Yang disebut “efektif dan
efisien” adl pengelolaan yg berhasil mencapai sasaran dgn sempurna cepat tepat
dan selamat. Sedangkan yg “tak efektif” adl pengelolaan yg tak berhasil
memenuhi tujuan krn ada mis-manajemen maka manajemen yg tak efisien adl
manajemen yg berhasil mencapai tujuan tetapi melalui penghamburan atau
pemborosan baik tenaga waktu maupun biaya.
Reddin (1970 : 135) memberikan beberapa gambaran tentang
perilaku manajer yg efektif antara lain : pertama mengembangkan potensi para
bawahan kedua memahami dan tahu tentang apa yg diinginkan dan giat mengejar
memiliki motivasi yg tinggi ketiga memperlakukan bawahan secara berbeda-beda
sesuai dgn individu dan keempat bertindak secara team manajer.
Seorang manajer tak hanya memanfaatkan tenaga bawahan yg
sudah ahli atau trampil demi kelancaran organisasi yg dia pimpin saja tetapi
juga memberikan kesempatan pada bawahan agar mereka dapat meningkatkan keahlian
atau ketrampilannya.
Manajer Pendidikan Pesantren pada umum hanya tahu apa
tugas mereka agar proses pendidikan dapat berlangsung konstan tetapi acapkali
mereka kurang mampu mengantisipasi secara akurat perubahan yg bakal terjadi di
masyarakat pada umum dan dalam dunia pendidikan Islam khususnya. Akibat mereka
hanya tenggelam dalam tugas-tugas rutin organisasi keseharian tetapi sangat
sulit melakukan inovasi progresif nan memungkinkan dicapai tujuan organisasi
secara lbh improve dan membanggakan.
Dalam tiap perjalanan sebuah lembaga itu tak terlepas yg
nama aktivitas managemen krn tiap lembaga organisasi dan termasuk pondok
pesantren selalu berkaitan dgn usaha-usaha mengembangkan dan memimpin suatu tim
kerja sama atau kelompok orang dalam satu kesatuan dgn memanfaatkan sumber daya
yg ada. Semua ini utk mencapai suatu tujuan tertentu dalam organisasi yg
ditetapkan sebelumnya. Maka dari pada itu keterkaitan managemen dan memimpin
tidaklah salah jika kemudian orang menyatakan bahwa managemen sangat berkait
erat dgn persoalan kepemimpinan. Karena managemen dari segi etimologi yg
berasal dari sebuah kata manage atau manus (latin) yg berarti memimpin
menangani mengatur dan membimbing. Dengan demikian pengertian managemen dapat
diartikan sebagai sebuah proses khas yg terdiri dari tindakan-tindakan;
perencanaan pengorganisasian penggiatan dan juga pengawasan. Ini semua juga
dilakukan utk menentukan atau juga utk mencapai sasaran yg telah ditetapkan
melalui pemanfaatan sumber daya manusia serta sumber-sumber lainnya.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa managemen
adl ilmu aplikatif dimana jika dijabarkan menjadi sebuah proses tindakan meliputi
beberapa hal : Pleaning organizing aktuating controling. Berdasarkan empat
hirarki tersebut managemen dapat bergerak tentu hal itu juga bergantung tingkat
kepemimpinan seorang manager. Arti adl proses managerial sebuah organisasi akan
bergerak apabila para manager mengerti dan paham secara benar akan apa yg
dilakukannya. (Suhartini dkk2005:70-72)
Maka berdasarkan dari definisi di atas baik secara
etimologi dan termenologi berbicara managemen pendidikan pondok pesantren atau
bisa disebut mengolah konsep apapun tentang pesantren sebenar bukanlah
pekerjaan mudah. Terlebih dahulu ada kenyataan bahwa tak ada konsep yg mutlak
rasional dan paling afdhol diterapkan di pesantren. Baik sejarah pertumbuhan yg
unik maupun krn tertinggal pesantren dari lembaga-lembaga kemasyarakatan lain
dalam melakukan kegiatan-kegiatan teknis pesantren belum mampu mengolah apalagi
dalam soal melaksanakan konsep yg disusun berdasarkan pertimbangan rasional.
Kendati bersifat gradual dalam beberapa tahun terakhir di
lembaga pendidikan pesantren telah dilakukan berbagai pembaharuan di bidang
manajemen sebagai jawaban atas tuntutan demokratisasi global salah satu bentuk
adl model manajemen demokratis yg berbasis kultural dari oleh dan utk peserta
didik (DOUP) dalam konteks ini terjadi rekonstruksi dari yg top down menjadi
button up dari yg doktrimal menjadi demokratik dari yg menyeramkan menjadi
menyenangkan.
Konsederasi yg dapat digunakan bagi model manajemen
demokratis adl bahwa tiap manusia dan masyarakat diciptakan dalam keadaan merdeka
krn itu kemerdekaan adl hak tiap manusia dan kemerdekaan sejati itu adl
terbebas rakyat dari berbagai bentuk ketak berdayaan disegala bidang termasuk
pendidikan.
Karena itu agenda utama manajemen demokratis dalam
pendidikan islam adl semangat pembebasan kaum muslimin dari belenggu ideologi
dan relasi kekuasaan yg menghambat mencapai perkembangan harkat dan martabat
kemanusiaan maka manajemen demokratis dalam pendidikan islam sejati diarahkan
pada proses aksi dimana kelompok sosial kelas bawah mengontrol ilmu pengetahuan
dan membangun daya melalui pendidikan penelitian dan tindakan sosial kritis.
Dari sisi managemen kelembagaan di pesantren saat ini
telah terjadi perubahan mendasar yakni dari kepeminpinan yg sentralistik
hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif
seperti model yayasan.
Sejati manajemen berhubungan erat dgn usaha utk tujuan
tertentu dgn jalan menggunakan berbagai sumber daya yg tersedia dalam
organisasi atau lembaga pendidikan Islam dgn cara yg sebaik mungkin. Manajemen
bukan hanya mengatur tempat melainkan juga mengatur orang per orang dalam
mengatur orang tentu diperlukan seni atau kiat agar tiap orang yg bekerja dapat
menikmati pekerjaan mereka.
FUNGSI MANAJEMEN DALAM PONDOK PESANTREN
Secara umum dalam tampilan perangkat organisasi yg
dikenal dgn sebutan teori manajemen klasik. Para pakar manajemen mempunyai
perbedaan pendapat dalam merumuskan proses manajemen Bagi Poul Mali (1981 : 54)
fungsi manajemen meliputi : planning organizing staffing directing and
controlling. Sedangkan dalam pandangan Wayne (1988 : 32) fungsi manajemen
meliputi : planning organizing leading and controlling. Sementara menurut Peter
Drukcer (1954 : 87) proses manajemen dimulai dari planning organizing staffing
directing coordinating reporting dan budgeting. Dan menurut Made Pidarta (1988
: 85) manajemen meliputi : planning organizing comanding coordinating
controlling
Berdasarkan uraian diatas yg wajib ada dalam proses
manajemen minimal empat hal yakni : planning organizing actuating controlling
(POAC). Empat hal ini proses digambarkan dalam bentuk siklus krn ada saling
keterikatan antara proses yg pertama dgn proses beriku begitu juga setelah
pelaksanaan controlling lazim dilanjutkan dgn membuat planning baru.
Dalam hal ini para pakar manajemen pendidikan Islam
merumuskan siklus proses manajemen pendidikan Islam diawali oleh ada sasaran yg
telah ditetapkan terlebih dahulu lalu disusunlah rencana utk mencapai sasaran
tersebut dgn mengorganisir berbagai sumber daya yg ada baik materiil maupun non
materiil lalu berbagai sumberdaya tersebut digerakkan sesuai job masing masing
dan dalam aktuating tersebut dilakukan pengawasan agar proses tersebut tetap
sesuai dgn rencana yg telah ditetapkan sebelumnya.
PERENCANAAN PENDIDIKAN ISLAM
Proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan kegiatan
yg akan dikerjakan pada waktu yg akan datang utk mencapai sasaran atau tujuan
pendidikan islam yg telah dirumuskan dan ditetapkan sebelumnya.
Dalam islam keharusan membuat perencanaan yg teliti sebelum
melakukan tindakan banyak disinyalir dalam teks suci baik secara langsung
maupun secara sindiran (kinayah) misal dalam islam diajarkan bahwa upaya
penegakan yg ma’ruf dan pencegahan yg munkar membutuhkan sebuah perencanaan dan
strategi yg baik sebab bisa jadi kebenaran yg tak terorganisir dan terencana
akan dikalahkan oleh kebatilan yg terorganisir dan terencana.
Meskipun Alqur’an menyatakan yg benar pasti mengalahkan
yg bathil (al Isra’ : 81) namun Allah lbh mencintai dan meridhoi kebenaran yg
diperjuangkan dalam sebuah barisan yg rapi terencana dan teratur ( as shaff :
4)
Setelah perencanaan dilanjutkan dgn pengorganisasian
yakni proses penataan pengelompokan dan pendistribusian tugas tanggung jawab
dan wewenang kepada semua perangkat yg dimiliki menjadi kolektifitas yg dapat
digerakkan sebagai satu kesatuan team work dalam mencapai tujuan yg telah
ditentukan secara efektif dan efesien.
Dalam Qs. 6 : 132 ditegaskan bahwa “Setiap orang
mempunyai tingkatan menurut pekerjaan masing-masing.
Sewaktu Rasulullah membentuk atribut-aribut negara dalam
kedudukan beliau sebagai pemegang kekuasaan tetinggi beliau membentuk
organisasi yg didalam terlibat para sahabat beliau yg beliau tempatkan pada
kedudukan menurut kecakapan dan ilmu masing-masing. Tidak dapat dipungkiri
bahwa Rasulullah adl seorang organisatoris ulung administrator yg jenius dan
pendidik yg baik yg menjadi panutan krn itu beliau disebut sebagai panutan yg
baik (uswatun hasanah).
Setelah planning dan organizing dalam siklus manajemen pendidikan
islam dilanjutkan dgn actuating yakni proses menggerakkan atau merangsang
anggota anggota kelompok utk melaksanakan tugas mereka masing masing dgn
kemauan baik dan antusias.
Fungsi Actuating berhubungan erat dgn sumber daya manusia
oleh krn itu seorang pemimpin pendidikan Islam dalam membina kerjasama
mengarahkan dan mendorong kegairahan kerja para bawahan perlu memahami
seperangkat faktor-faktor manusia tersebut krn itu actuating bukan hanya
kata-kata manis dan basa-basi tetapi merupakan pemahaman radik akan berbagai
kemampuan kesanggupan keadaan motivasi dan kebutuhan orang lain yg dgn itu
dijadikan sebagai sarana penggerak mereka dalam bekerja secara bersama-sama
sebagai taem work.
Siklus terakhir adl controlling yakni proses pengawasan
dan pemantauan terhadap tugas yg dilaksanakan sekaligus memberikan penilaian
evaluasi dan perbaikan sehingga pelaksanaan tugas kembali sesuai dgn rencana yg
telah ditetapkan.
Menurut Siagian (1983 : 21)
Fungsi pengawasan merupakan upaya penyesuaian antara
rencana yg telah disusun dgn pelaksanaan dilapangan utk mengetahui hasil yg
dicapai benar-benar sesuai dgn rencana yg telah disusun diperlukan informasi
tentang tingkat pencapaian hasil. Informasi ini dapat diperoleh melalui
komunikasi dgn bawahan khusus laporan dari bawahan atau observasi langsung.
Apabila hasil tak sesuai dgn standar yg ditentukan pimpinan dapat meminta
informasi tentang masalah yg dihadapi.
Dengan demikian tindakan perbaikan dapat disesuaikan dgn
sumber masalah. Di samping itu utk menghindari kesalahpahaman tentang arti
maksud dan tujuan pengawasan antara pengawas dgn yg diawasi perlu dipelihara
jalur komunikasi yg efektif dan bermakna dalam arti bebas dari prasangka
nigatif dan dilakukan secara berdayaguna dan berhasilguna al hasil tujuan pengawasan
pendidikan Islam haruslah konstruktif yakni benar benar utk memperbaiki
meningkatkan efektifitas dan efisiensi.
MASA DEPAN PONDOK PESANTREN
Jika membandingkan pesantren dengan sekolah umum pada
saat sekarang ini, maka, lembaga pendidikan yang dikelola para kyai ini justru
memiliki berbagai kelebihan yang justru terkait dengan esensi pendidikan itu
sendiri. Kelebihan pendidikan pesantren, beberapa di antaranya adalah sebagai
berikut :
(1) Pesantren memiliki kemandirian dan otonomi secara penuh,
(2) Memiliki semangat juang dan berkorban yang tinggi
dari semua yang terlibat di dalamnya. Komersialisasi pendidikan yang berujung
terjadi runtuhnya nilai-nilai pendidikan tidak terjadi di lingkungan pesantren.
Pesantren dibangun dan dikelola atas dasar keikhlasan dan diniatkan sebagai
ibadah,
(3) Pendidikan pesantren dijalankan secara lebih
komprehensif atau utuh, meliputi pendidikan akhlak, spiritual, ilmu
pengetahuan, dan juga ketrampilan;
(4) Pendidikan di pesantren dijalankan tidak saja sebatas
mentrasfer ilmu pengetahuan, apalagi hanya sebatas informasi, lebih dari itu
adalah menstranfer kepribadian. Para Kyai secara langsung memberikan tauladan
dan juga membiasakan hal-hal yang baik, sehingga ditiru oleh para santrinya;
(5) Pendidikan pesantren tidak mengejar simbul-simbul,
seperti sertifikat atau ijazah, melainkan untuk membangun watak atau akhlak
yang mulia,
Di balik kelebihan-kelebihannya itu, pesantren di sana
sini masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan untuk diselesaikan. Beberapa
pekerjaan rumah itu misalnya, bahwa masyarakat semakin menghendaki agar bisa
bekerja secara efektif dan efisien. Keinginan itu memerlukan cara baru untuk
memenuhinya. Dulu misalnya orang sabar belajar Bahasa Arab berlama-lama di
pesantren. Berbeda dengan itu, pada saat ini ditemukan metode belajar lebih
singkat tetapi hasilnya lebih baik. Juga menghafal al Qurán, dulu memerlukan
waktu lama. Akhir-akhir ini mulai ditemukan metode menghafal al Qurán dengan
waktu yang lebih pendek.
Tantangan lainnya di zaman yang semakin mengglobal ini,
komunikasi semakin tidak terbatas. Informasi bisa tersebar dan dapat diperoleh
secara cepat. Pengaruhnya hal itu luar biasa terhadap semua kehidupan, termasuk
terhadap kehidupan pesantren. Atas dasar komunikasi dan informasi orang akan
memilih apa saja yang memberikan layanan lebih cepat, lebih berkualitas, dan
lebih menguntungkan. Selain itu, ternyata sementara alumni pesantren, di dalam
menenuhi kebutuhan hidup, tidak terlalu memiliki pilihan lapangan kerja.
TANTANGAN PONDOK PESANTREN
Contoh kasus : pernah mendapatkan beberapa keluhan,
adanya alumni pesantren mendapatkan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga di
keluarga non muslim (Cina). Mau tidak mau sehari-hari, mereka harus
menyesuaikan diri dengan kehidupan majikannya. Ustadz tadi mengeluh, karena
merasa bahwa apa yang diberikan di pesantren ternyata tidak terlalu berbekas,
hanya tersandung oleh pekerjaan yang didapatkan oleh santrinya itu. Hal seperti
ini, kiranya memerlukan antisipasi yang tepat.
Selain itu, problem pendidikan pesantren, tatkala harus
menyesuaikan dengan tuntutan modern adalah terkait dengan pendanaan. Pesantren
selalu dikelola secara mandiri, dan bahkan pendanaannya bersumber dari
sumbangan masyarakat, yang besarnya tidak menentu dan bahkan kadang juga
berasal dari pribadi Kyainya. Beban itu, kadangkala dirasakan semakin berat,
tatkala Kyai harus menampung para santri ekonomi lemah dan bahkan juga anak
yatim. Kepada santri seperti itu, Kyai bukan saja tidak mendapatkan bantuan
biaya pendidikan dari santri, bahkan sebaliknya. Pesantren harus memenuhi
kebutuhan hidup santri yang demikian banyak sehari-hari. Peran pondok pesantren
sangat luas dan memasyarakat ini bias dilihat salah satu Pesantren An Nur
Bululawang, Malang.
Pesantren ini menampung anak-anak orang miskin dan anak
yatim. Semua santri itu, oleh Kyai digratiskan dan bahkan juga dipenuhi
kebutuhan hidup mereka, bisa dibayangkan bagimana mengelola makan sehari-hari
dan juga pakaiannya.
Akhir-akhir ini pendidikan pesantren semakin diminati.
Banyak orang menyebut pendidikan pesantren memiliki kelebihan tertentu.
Pendekatan pendidikan yang tidak mengedepankan peraturan, dan sebaliknya lebih
memberi warna culturalnya, justru menunjukkan hasilnya yang lebih baik.
Kelebihan pendidikan pesantren terutama dalam pengembangan kharakter, perilaku,
atau akhlaknya. Sedangkan aspek yang selama ini masih dianggap kurang, hanyalah
terkait dengan pendidikan sains dan teknologi. Jika kelemahan itu bisa
dilengkapi, insya Allah pesantren berhasil menampakkan diri sebagai lembaga pendidikan
yang lebih sempurna.
Atas dasar kelebihan pendidikan pesantren seperti itu,
semestinya pemerintah segera memberikan apresiasi yang cukup. Perhatian pada
pesantren tidak hanya pada momen tertentu, semisal tatkala menghadapi pemilu,
tetapi juga setiap saat pesantren membutuhkannya. Kyai sesungguhnya tidak
berharap banyak bantuan dari manapun, karena bagi Kyai, menyelenggarakan
pendidikan dipandang sebagai ibadah, dalam rangka memenuhi tuntutan agamanya.
Sekalipun tidak disiapkan dana oleh pemerintah, Kyai tetap menyelenggarakan
pendidikan dengan penuh kesabaran, ikhlas, amanah, dan istiqomah. Hal penting
yang diharapkan oleh sementara pesantren, adalah pengakuan dan tidak
dipertsulit tatkala mau mengembangkan diri. Pesantren ingin mempertahankan kemandiriannya
dan tidak berharap bantuan dan balasan dari siapapun, kecuali hanya ingin
mendapatkan ridho dari Allah swt. Wallahu a‘lam.
10 PONDOK PESANTREN TERBAIK DI INDONESIA (VERSI KASKUSER)
1. Pondok Pesantren Langitan (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
Pondok Pesantren Langitan adalah salah satu lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia. Berdirinya lembaga ini jauh sebelum
Indonesia merdeka yaitu tepatnya pada tahun 1852, di Dusun Mandungan, Desa
Widang, Kecamatan Widang, Tuban, Jawa Timur. Komplek Pondok Pesantren Langitan
terletak di samping bengawan Solo dan berada di atas areal tanah seluas kurang
lebih 7 hektar.
2. Pondok Pesantren GONTOR (non madzab)
Pondok Gontor didirikan pada 10 April 1926 di Ponorogo,
Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kiai Santoso Anom Besari. Tiga bersaudara
ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Imam Zarkasy dan
yang kemudian dikenal dengan istilah Trimurti.Pada awalnya Pondok Gontor hanya
memiliki Tarbiyatul Atfhfal (setingkat taman kanak-kanak) lalu meningkat dengan
didirikannya Kulliyatul Mu’alimin Al-Islamiah (KMI) yang setara dengan lulusan
sekolah menengah. Pada tahun 1963 Pondok Gontor mendirikan Institut Studi Islam
Darussalam (ISID).
3. Pondok Pesantren Daar El-Qolam (non madzab)
Pondok Pesantren Daar el-Qolam (معهد دار
القلم للتربية الإسلامية) adalah sebuah pondok pesantren
berlokasi di Desa Pasir Gintung, Kecamatan Jayanti, Kabupaten Tangerang,
Propinsi Banten yang didirikan pada tanggal 20 Januari 1968. Pesantren ini
adalah gagasan Haji Qasad Mansyur yang direalisasikan oleh Drs. K.H. Ahmad
Rifai Arief (1942-1997). Setelah K.H. Ahmad Rifa’i Arief meninggal dunia pada
tanggal 15 Juni 1997, pondok ini dilanjutkan oleh K.H. Drs. Ahmad Syahiduddin,
K.H. Adrian Mafatihullah Karim dan Hj. Enah Huwaenah. Hingga Maret 2009, Pondok
Pesantren Daar el-Qolam merupakan pondok pesantren terbesar sedaerah Banten,
dengan jumlah santri 4298 jiwa.
4. Pondok Pesantren DARUNNAJAH (non madzab)
Pada tahun 1942 K.H. Abdul Manaf Mukhayyar mempunyai
sekolah Madrasah Al-Islamiyah di Petunduhan Palmerah. Tahun 1959 tanah dan
madrasah tersebut digusur untuk perluasan komplek Perkampungan Olah Raga Sea
Games, yang sekarang dikenal dengan komplek Olah Raga Senayan. Untuk
melanjutkan cita-citanya, maka diusahakanlah tanah di Ulujami.
Tahun 1960, didirikan Yayasan Kesejahteraan Masyarakat
Islam (YKMI), dengan tujuan agar di atas tanah tersebut didirikan pesantren.
Periode inilah yang disebut dengan periode cikal bakal, sebagai modal pertama
berdirinya Pondok Pesantren Darunnajah.
5. Pondok Pesantren Tebuireng (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
Pondok Pesantren Tebuireng adalah salah satu pesantren
terbesar di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pesantren ini didirikan oleh KH.
Hasyim Asy’arie pada tahun 1899. Selain materi pelajaran mengenai pengetahuan
agama Islam, ilmu syari’at, dan bahasa Arab, pelajaran umum juga dimasukkan ke
dalam struktur kurikulum pengajarannya. Pesantren Tebuireng telah banyak
memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat luas baik, terutama dalam
dunia pendidikan Islam di Indonesia.
6. Pondok Pesantren Al Ihya Ulumuddin (Syafi’iyah, Asy
‘ariyah)
pada 24 Nopember 1925 didirikan pondok pesantren di Desa
Kesugihan, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, yang kemudian dikenal dengan
nama pondok pesantren Kesugihan. Kepemimpinan ponpes ini kemudian dilanjutkan
oleh KH Ahmad Mustholih dan KH Chasbulloh Badawi, putra pendiri.
7.Ponpes Asy Syafi’iah Nahdatul Wathon (Syafi’iyah, Asy
‘ariyah)
Maulana al-Syaikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci
Mekah selama 13 tahun kemudian kembali ke Indonesia atas perintah dari guru
beliau yang paling di kagumi, yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada
tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok beliau mendirikan Sekembali dari Tanah Suci
Mekah ke Indonesia mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada
tahun 1934 M. kemudian pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M.
beliau mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah
ini khusus untuk mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362
H/21 April 1943 M. beliau mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah
(NBDI) khusus untuk kaum wanita. Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama
di Pulau Lombok yang terus berkembang dan merupakan cikal bakal dari semua
madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul Wathan. Dan secara khusus
nama madrasah tersebut diabadikan menjadi nama pondok pesantren ‘Dar
al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan’. Istilah ‘Nahdlatain’ diambil dari kedua
madrasah tersebut. Beliau aktif berdakwah keliling desa di Pulau Lombok dan
mengajar.
7. Pondok Pesantren Al Mu’min (wahabiyah)
pondok Pesantren Al Mu’min adalah sebuah pesantren di
Ngruki, Solo yang didirikan oleh “enam serangkai”: Abdullah Sungkar, Abu Bakar
Ba’asyir, Yoyok Rosywadi, Abdullah Baradja, Abdul Qohar H. Daeng Matase, dan
Hasan Basri.
Pondok ini berdiri sejak tahun 1974 di lokasinya hingga
sekarang, di selatan terminal angkutan dalam kota Surakarta, Terminal Tipes,
namun berada di wilayah administrasi Desa Cemani, Grogol, Sukoharjo. Setahun
sebelumnya ia merupakan sebuah kelompok pengajian kekeluargaan (usrah). Unit
dakwah awalnya adalah sebuah siaran radio non-komersial.
8. Pondok Pesantren Al Khairaat (Syafi’iyah, Asy ‘ariyah)
guru besar alalamah sayid idrus bin salim aljufri pendiri
sebuah yayasan lembaga pendidikan islam alkahirat, beliau di lahirkan di taris,
hadramaut pada14 sya’ban 1309 H bertepatan dengan 15 maret 1881 M, ulama
hadramaut yang berhijrah ke indonesia dan menetap di palu (sulawesi tengah).
yayasan alkahiraat, yang kini telah memiliki cabang lebih dari 1800 madrasah
dan sekolah, terdiri dari TK, SD, SMP, SMA, SMK, MI, MTS, MA, hingga
Universitas.
9.Pondok pesantren Putri Al Kenaniyah (Syafi’iyah, Asy
‘ariyah)
Pondok pesantren ini diresmikan pada tanggal 4 Sya’ban
1414 H/ 16 Januari 1944 M, oleh para Alim Ulama, diantaranya adalah mantan
presiden RI ke 4 Bapak KH. Abdurrahman Wahid, KH. Syamsuri Badawi dan KH.
Zayadi Muhajir serta beberapa tokoh masyarakat disekitar Kecamatan Pulo Gadung
Jakarta Timur.
10. Pondok Pesantren La Tansa (non madzab)
Pondok Pesantren La Tansa adalah sebuah pondok pesantren
modern yang terletak di daerah Parakansantri, Cipanas, Lebak, Banten. Pesantren
ini didirikan oleh Drs. K.H. Ahmad Rifa’i Arief (Almarhum) yang bertindak juga
sebagai pemimpin pesantren Daar el-Qolam (Pasir Gintung, Jayanti, Tangerang)
saat itu. Kini, setelah pendiri wafat, Pesantren La Tansa dipimpin oleh K.H.
Adrian Mafatihullah Karim, MA dan K.H. Sholeh, S.Ag, MM. Lembaga ini bernaung
di bawah Yayasan La Tansa Mashiro, yang juga didirikan oleh Drs K.H. Ahmad
Rifa’i Arief.