Togog & Mbilung
Nama lain Togog :
- Antaga
- Tejamaya
- Lurah Wijayamantri
- Bambang Tejokusumo.
- Begawan Sabarsabdono
Mbilung :
- Sarawati
- Bathara Sarawita,
- Bambang Sarawita
- Tokun
Togog Mbilung (Persaudaraan Tiada Akhir).
Tokoh Togog dan Mbilung dalam dunia wayang digambarkan selalu mengikuti raja yang berwatak jahat atau satria yang hanya mengutamakan harta. Togog dan Mbilung adalah dua orang bersaudara. Togog sebagai kakak dan Mbilung adalah adiknya. Salah satu versi menyebutkan, bahwa Mbilung berasal dari bayangan Togog yang disabda menjadi manusia, dan diangkat menjadi adiknya. Versi ini sama dengan hubungan punakawan Semar dengan Bagong.
Sebenarnya masih ada para tokoh punakawan lainnya yaitu Togog dan Mbilung. Dalam satu di antara sekian banyak versi Wayang Purawa, terkisah Sanghyang Wenang menyelenggarakan sayembara untuk memilih penguasa kahyangan dari keempat anaknya yang lahir dari sebutir telur.
Lapisan telur yakni kulit paling luar diberi nama Batara Antaga; selaput telur diberi nama Batara Sarawita; putih telur Batara Ismaya; dan kuning telur Batara Manikmaya.
Sayembara diselenggarakan dengan syarat barang siapa dari keempat dewa tersebut dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Mahameru maka dialah yang akan terpilih menjadi penguasa kahyangan.
Pada giliran pertama Batara Antaga mencoba untuk melakukannya, namun yang terjadi malah mulutnya robek dan ngedower menjadi Togog akibat memaksakan diri untuk menelan sesuatu padahal mulut tidak muat.
Giliran Batara Sarawita salah menelan gunung yang sedang aktif dan mendadak meletus sebelum dia menelannya membuat seluruh tubuhnya rusak dan bopeng-bopeng menjadi Mbilung.
Giliran berikutnya adalah Batara Ismaya yang melakukannya, Gunung Mahameru dapat ditelan bulat-bulat tetapi tidak bisa dikeluarkan kembali karena jadilah Semar berperut buncit karena ada gunung nyumpal di dalamnya.
Akibat bahan sayembara sudah musnah ditelan Semar maka yang berhak memenangkan sayembara dan diangkat menjadi penguasa kadewatan adalah Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru, anak bungsu dari Sang Hyang Wenang.
Sementara Togog, Mbilung dan Semar akhirnya diutus turun ke marcapada untuk menjadi penasihat, dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia.
Semar bersama tiga putranya ditugaskan sebagai pamong untuk para satria berwatak baik yaitu Pandawa. Togog dan Mbilung diutus sebagai pamong untuk para satria dengan watak buruk yaitu Kurawa.
Sebenarnya tugas Togog dan Mbilung jauh lebih berat ketimbang Semar dan anak-anaknya. Togog dan Mbilung bertugas mendampingi para satria berwatak buruk yang tentu lebih sulit dibina untuk menjadi baik ketimbang satria berwatak baik.
Dalam pergelaran wayang, Semar beserta anak-anaknya dianggap sebagai tokoh baik. Namun akibat dianggap berpihak ke para tokoh buruk maka Togog dan Mbilung selalu dicemooh para penonton yang tidak paham bahwa sebenarnya Togog dan Mbilung mengemban tugas mulia yang lebih berat ketimbang Semar dan anak-anaknya.
Penampilan Togog dan Mbilung dalam panggung wayang sepintas hanya seperti untuk lelucon.
Namun kedua tokoh tersebut sebenarnya memanggul tugas yang sangat berat. Sebagai pengawal aturan manusia dan juga sebagai penegak kebenaran, tak beda jauh dengan tugas polisi atau prajurit Bayangkara. Togog dan Mbilung memang hanya satu, namun di situ berwujud dua, karena semua itu hanya untuk menggambarkan lahir dan batin manusia, seperti halnya saat seseorang sedang ngudarasa atau berbicara dengan dirinya sendiri. Dalam ajaran rohani, hal itu merupakan bisikan baik dan buruk dalam diri manusia.
Wayang Togog digambarkan bertubuh bulat, berkepala botak dan bermata lebar, serta berbibir ndower. Sedangkan Mbilung digambarkan bertubuh kecil, di kepala penuh borok, matanya kecil dan terlihat sayu. Nama lain Togog adalah Sanghyang Puguh, sedangkan nama lain Mbilung adalah Sanghyang Sarawita. Togog adalah sosok dewa yang digambarkan abadi dan tak bisa mati. Bahkan Togog dan Mbilung sering disebut dewa ngejawantah, karena tugas Togog dan Mbilung memang berbaur dengan rakyat kelas bawah. Dalam kelir wayang, Togog dan Mbilung memang digambarkan selalu mengikuti raja yang berwatak jahat, namun bukan berarti mengabdi kepada kejahatan. Sanggit watak tersebut dapat diartikan bahwa keduanya selalu berkaitan dengan upaya memberantas kejahatan. Artinya, di mana ada keangkaramurkaan, di situ harus ada sosok Togog dan Mbilung. Bukankah itu sama dengan fungsi polisi? Di mana ada kejahatan, di situ harus ada polisi. Sekecil apapun bentuk kejahatan itu. Mungkin nama Bayangkara hanya kebetulan, namun kenyataan menunjukkan bahwa tugas-tugas polisi selalu berdekatan dengan bebaya lan angkara atau bahaya, kejahatan dan keangkaramurkaan. Sama dengan tugas yang harus diemban oleh Togog dan Mbilung.
Kisah Togog dan Mbilung
Togog adalah anak pertama dari Sang Hyang Tunggal. Dia juga disebut sebagai Antaga atau Tedjo Mantri. Dibalik wajahnya yang buruk karena keserakahannya dahulu demi merebutkan kekuasaan kerajaan kayangan, Togog dihukum oleh Sang Hyang Tunggal untuk mengasuh para Raksasa ataupun para tokoh Angkara murka. Dalam pewayangan Togog muncul sebagai pengasuh Dasamuka/ Rahwana dalam kisah Ramayana.
Walaupun Togog mengasuh para orang orang yang mencerminkan angkara murka, tetapi sifat kekhasan Togog tetap pada penderian kepada kebaikan atau tumindak becik. Togog hanya menasehati anak asuhnya bahwa suatu hal yang buruk tetaplah buruk dan itu tidak boleh diikuti ataupun dikerjakan. Lalu dalam lakon lain Togog selalu hadir ketika bathara cakil muncul dalam cerita pewayangan, Buto cakil adalah anak asuhnya dan selalu diakhir cerita anak asuh Togog selalu dikalahkan oleh anak asuh dari Semar. Walau telah mati berkali kali sosok buto cakil selalu muncul dalam cerita pewayangan karena buto cakil adalah ilustrasi dari nafsu dalam diri manusia dan walau telah dinasehati oleh Togog buto cakil tetap tak menghiraukannya.
Dalam perjalanannya, Togog merasa sepi sehingga dibuatlah bayangan dirinya untuk menjadi temannya yang dikenal dengan Mbilung. Kemanapun Togog pergi pasti Mbilung menyertainya sebagai sahabat sejati dan memang Mbilung berasal dari jelmaan bayangan Togog sendiri yang bertugas membantu dan menemani Togog selama didunia.
Mbilung sendiri memiliki kekhususan suara yaitu cempreng, seperti suara burung betet. Punakawan kurus kerempeng itu sendiri bergelar Bathara Sarawita, ketika masih bermukim di kahyangan. Togog dan Mbilung menjalani tugas sebagai pendamping para raja negeri seberang. Resiko yang dijalani Bilung dan Togog selalu dianggap menjadi tokoh antagonis karena menjadi bagian dari rezim tiran.
Selalu disebut wayang golongan kiri karena ia mendampingi para Ratu Sabrang yang berwatak otoriter, arogan, serakah dan takabur. Dalam lingkar kekuasaan tirani itulah peran Togog dan Mbilung hadir sebagai penyeimbang (bargaining position). Peran yang sama juga dijalankan oleh Semar dan tiga anakknya. Namun sejujurnya tanggung jawab Mbilung lebih berat dan lebih berrisiko. Semar menjalani peran sebagai penasihat raja- raja berwatak baik dan mudah diatur. Tugas Mbilung lebih berat karena ia menghadapi penguasa lalim yang sulit dinasehati. Duet Mbilung – Togog adalah representasi suara rakyat jelata, menasehati akan hal-hal yang baik dan ucapannya cenderung diabaikan. Meskipun pada saat ada sebuah kepentingan, suara rakyat jelata dianggap reprensentasi suara Tuhan. Menasehati penguasa lalim adalah sebuah ibadah yang mulia. Mbilung menjalani itu bukan semata statusnya, namun dengan etika, loyalitas dan dedikasi yang tinggi. Menghadapi raja paling arogan sekalipun, Mbilung selalu menasehati dengan cara yang baik. Ia mengritik dalam dialog yang formal, bukan dengan cara demonstrasi membuka aib penguasa.
Pada sebuah lakon wayang “Antareja Mbalela”, Mbilung menunjukkan cara santun, elegan dan bermartabat untuk menolak perintah majikan yang tidak sesuai hati nuraninya. Mbilung mengajarkan loyalitas dan dedikasi seorang rakyat kepada penguasa. Mbilung memiliki kekuatan yang sangat mungkin bisa mengalahkan siapapun termasuk majikannya. Namun itu tak menjadi alasan bagi Mbilung untuk tidak taat atau tidak hormat. Meski sakti, sepanjang penguasa tak mengajak kepada maksiat, mbilung tak akan menolak. Namun ketika penguasa menyeleweng dari norma kebenaran, maka itu tugas Mbilung untuk menasihati secara terhormat. Dalam konteks masa kini, Mbilung dan Togog adalah sosok purba dan mungkin dianggap ortodok yang sudah tak populer di mata semua orang. Mungkin itu juga yang membuat masyarakat dijangkiti penyakit lupa berjamaah pada keluhuran etika kerakyatan yang diajarkan oleh Mbilung.
Ketika Mbilung mengajarkan loyalitas, masyarakat sekarang bisa dengan mudah mengkhianati koalisi yang dibangun dengan rasa saling percaya. Bahkan penghianatan sebuah poros yang dibangun dengan kesepakatan, yang seharusnya selalu tetap berada di tengah-tengah. Ketika Mbilung mengajarkan etika penguasa, masyarakat lebih suka dengan cara arogan, saling cela, membuka aib dan saling memfitnah. Terlebih dalam masalah kekuasaan, tontonan yang di tunjukkan oleh para pemimpin kepada kita setiap hari adalah kepentingan sesaat berpolitik yang membuat bangsa ini mengelus dada, hilangnya etika dan estetika di pentas berpolitik dari wakil-wakil rakyat jelata.
Hari ini para politisi saling mencaci. Rasa takabur yang berlebihan membuat golongan tertentu menjadi terlalu over percaya diri lalu tidak lagi menghormati janji yang diembannya sebagai wakil rakyat. Semua mendidik masyarakat untuk semakin meyakini bahwa dalam politik, ambisi dan hawa nafsu adalah kepentingan nomor satu. Mbilung hanyalah rakyat, tetapi ia juga mengajarkan etika menjadi elite yang bermartabat. Ia tak akan melakukan kudeta hanya karena merasa lebih kuat. Ia tak akan korupsi meskipun ada kesempatan, Mbilung tak akan berkhianat ketika beda pendapat. Ia tak akan oportunis hanya karena ambisi. Tak lantas menjadi kutu loncat hanya karena sebuah kepentingan Bilung adalah pelajaran berharga bagi kita untuk mengerti makna menghormati dari banyak hal. Belajar dari Mbilung. Mbilung adalah rakyat, dan rakyat adalah kita yang suaranya seharusnya terwakili, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Rakyat tak pernah punya kuasa untuk menagih janji, apalagi meminta bukti. Rakyat hanya selalu berharap wakil-wakilnya menjaga komitmen janji yang sering diucapkannya.
Jika Togog adalah salah satu sisi keping mata uang, maka Mbilung adalah sisi lainnya. Dua sejoli ini adalah pasangan yang boleh disebut sehidup semati walau tak pernah ada lakon wayang yang menjadikan kedua wayang senior itu binasa. Meski selalu kompak, tak sulit membedakan keduanya. Panakawan sabrang ini memiliki postur tubuh yang lucu namun lebih tepat dibilang absurd. Mbilung sendiri memiliki kekhususan suara yaitu cempreng, seperti suara burung betet telat makan.
Dalam lakon “Bagong Dadi Guru” Mbilung menjelaskan bahwa Togog dan dirinya semula berasal dari kahyangan. Togog adalah yang tertua dari kuartet bersaudara Togog, Semar, Mbilung dan Bathara Guru. Panakawan kerempeng itu sendiri bergelar Bathara Sarawita ketika masih bermukim di kahyangan. Takdir menggariskan Bathara Guru bertahta di kerajaan para dewa. Semar, dan kelak anak-anaknya, menjadi pengasuh para raja golongan kanan dan keturunannya. Togog dan Mbilung menjalani tugas sebagai pendamping para raja negeri seberang.
Terpredikati sebagai antagonis karena menjadi bagian dari rezim tiran adalah risiko yang dijalani oleh Mbilung. Ia selalu disebut wayang golongan kiri karena ia mendampingi para ratu sabrang yang berwatak arogan, serakah dan takabur. Dalam lingkar kekuasaan tirani itulah peran Togog dan Mbilung hadir sebagai penyeimbang. Peran yang sama juga dijalankan oleh Semar dan tiga sekondannya. Namun sejujurnya tanggung jawab Bilung lebih berat dan lebih berrisiko. Semar menjalani peran sebagai penasihat raja-raja berwatak baik dan mudah diatur. Tugas Mbilung lebih berat karena ia menghadapi penguasa lalim yang sulit dinasihati.
Duet Mbilung – Togog adalah representasi suara rakyat jelata, menasihati akan hal-hal yang baik dan ucapannya cenderung diabaikan. Menasihati penguasa lalim adalah sebuah ibadah yang mulia. Bilung menjalani itu bukan semata statusnya, namun dengan etika dan dedikasi yang tinggi. Menghadapi raja paling arogan sekalipun Bilung selalu menasihati dengan cara yang ma’ruf. Ia mengritik dalam dialog yang formal, bukan dengan cara demonstrasi sembari membuka aib penguasa. Pada lakon “Antareja Mbalela”, Mbilung menunjukkan cara elegan dan bermartabat untuk menolak perintah majikan yang tak sesuai hati nuraninya.
Mbilung mengajarkan loyalitas dan dedikasi seorang rakyat kepada penguasa. Mbilung memiliki kekuatan yang sangat mungkin bisa mengalahkan siapapun termasuk majikannya. Namun itu tak menjadi alasan bagi Mbilung untuk tidak taat atau tidak hormat. Meski sakti, sepanjang penguasa tak mengajak kepada maksiyat, Bilung tak akan menolak. Namun ketika penguasa menyeleweng dari norma kebenaran, maka itu tugas Mbilung untuk menasihati secara terhormat.
Dalam konteks kekinian, Mbilung dan Togog adalah sosok purba yang sudah tak populer di mata semua orang. Mungkin itu juga yang membuat masyarakat dijangkiti amnesia kolektif pada keluhuran etika kerakyatan yang diajarkan oleh Mbilung. Ketika Mbilung mengajarkan loyalitas, masyarakat sekarang bisa dengan mudah mengkhianati koalisi yang dibangun dengan rasa saling percaya. Ketika Mbilung mengajarkan etika menasihati penguasa, masyarakat lebih suka dengan cara arogan, saling cela, membuka aib dan saling memfitnah.
Terlebih dalam masalah kekuasaan. Pragmatisme berpolitik telah membuat bangsa ini mengelus dada melihat hilangnya etika dan estetika di pentas politik kita. Hari ini para sekutu saling mencaci. Rasa takabur yang berlebihan membuat golongan tertentu menjadi terlalu percaya diri lalu tidak lagi menghormati pemimpinnya. Itu semua mendidik masyarakat untuk semakin meyakini bahwa dalam politik, ambisi dan hawa nafsu adalah nomor satu.
Mbilung hanyalah rakyat. Tetapi ia juga mengajarkan etika menjadi elite yang bermartabat. Ia tak akan melakukan kudeta hanya karena merasa lebih kuat. Ia tak akan berkhianat ketika beda pendapat. Ia tak akan oportunis hanya karena ambisi. Pelajaran berharga bagi kita untuk mengerti makna menghormati.
Tentang Togog dan Mbilung
Togog adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan menghambakan dirinya, dan sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan. Karena itu kelakuan Togog sering diumpamakan pada seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan.
Ia bersahabat dengan Semar dan terhitung lebih tua Togog daripada Semar, maka Semar memanggil Togog dengan sebutan Kang Togog.
Di mana Togog menghamba tentu dipercaya oleh sang majikan untuk memerintah bala tentara yang akan berangkat ke negeri lain. Waktu ia mendapat perintah untuk memberangkatkan bala tentara tersebut, dalang akan mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
Tersebutlah lurah Wijayamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul, memerintahkan kepada Klek-engklek Balung atandak untuk bersiap akan berjalan ke negeri Anu, tetapi perintah itu tak didengar, maka naiklah ia ke panggung, memukul barang sebagai pertanda.
Adapun benda yang digunakan ialah genta, keleleng, gubar, beri dan lonceng agung sebesar lumbung. Setelah dipalu dan para raksasa segera bersiap senjata dan kendaraan yang berbentuk senuk, memreng, blegdaba, bihal, badak dan singa yang mengaum dan meraung mendatangkan ketakutan pada banyak orang.
Ucapan Engklek-engklek Balung atandak : Marilah teman berdandanlah, akan pergi ke negeri Anu. Dan kemudian disahuti oleh temannya : Ikut-ikutlah, yangan ketinggalan perabot kita, tekor tempat darah, pisau pemotong hati.
Sangat riuh suara raksasa itu, setelah berkumpul, suara binatang, kendaraan meraung-sung berbareng dengan suara yang mengendarai meraung juga, terdengar seperti guruh musim ke empat.
Lurah Wijayamantri turun dari panggung, lalu menghadap kepada majikannya. Bragalba bertanya: Sudahkah lurah Wijayamantri mengundang bersiap sejawat raksasa semuanya ?
Wijamantri: Sudah Kyai, sewaktu-waktu berangkat telah bersiap.
Bragalba : Marilah sekalian berangkat pada waktu pagi.
Dijawab : Marilah, marilah. Diiring dengan gamelan, ketika gamelan berhenti, Togog, berkata kepada
Mbilung : Mbilung, bagaimanakah ini ?
Tadi kata pemimpin saya diangkat sebagai pemimpin, tetapi yangan pula saya dapat memimpin hingga sampai ke negeri yang dituju, sekarang saja selalu terbelakang. Tetapi keduanya lalu menyusul juga.
Rombongan raksasa ini berjumpa dengan duta seorang raja, terjadilah tanya jawab maksud masing-masing dan karena bertentangan maka terjadi peperangan. Hal ini yang disebut perang gagal, yaitu perang yang tak ada hasilnya apa-apa, tidak ada yang mati, keduanya hanya bersimpang jalan.
Mbilung bernama asli Bambang Sarawita. Dia sering diceritakan sebagai tokoh Panakawan dari negeri Melayu. Dalam pergelaran wayang purwa, Mbilung sering memakai dialog berbahasa campuran Jawa dan Melayu. Bentuk fisik Bilung adalah rasaksa tapi kerdil seperti anak-anak.
Berbeda dengan Gareng, Petruk dan Bagong yang mengikuti Semar, Mbilung mengikuti Togog kakak Semar. Mbilung hidup bersama Togog, mengabdi kepada para rasaksa sebagai penasehat. Togog biasanya memberi petuah-petuah yang baik kepada para raja rasaksa. Tapi bila petuah Togog itu tidak digubris oleh raja rasaksa, maka Mbilung akan menimpali dengan memberi petuah yang jelek. Hasilnya, para rasaksa akan mengikuti jalan salah yang ditunjukkan Bilung dan mereka menemui kematian ditumpas oleh para ksatria didikan Semar.
Mbilung punya watak yang sok jagoan, sombong, tapi cengeng. Pada suatu ketika dikisahkan Mbilung ingin memperistri Rara Temon puteri Prabu Kresna. Mbilung merengek kepada Togog supaya membantu niatnya. Togog pada dasarnya punya watak penyayang dan mudah luluh hatinya. Maka Togog berjanji akan menolong Mbilung, saudara angkatnya itu.
Dengan kesaktian Togog, Mbilung diubah menjadi ksatria tampan bernama Bambang Tejokusumo. Togog sendiri berubah menjadi Begawan Sabarsabdono. Keduanya lalu berangkat ke Istana Dwarawati kediaman Prabu Kresna. Dikisahkan, para penjaga Kaputren diserang Aji Sirep oleh Togog, walhasil semua penghuni Kaputren klenger. Togog pun berhasil mencuri Roro Temon dari keraton. Akhirnya keraton Dwarawati gempar. Prabu Kresna meminta bantuan Semar untuk mengejar pencuri puterinya.
Ketika Bambang Tejokusumo sedang berlari bersama Begawan Sabarsabdono dengan membawa Roro Temon, Semar datang menghadang. Semar yang sakti langsung tahu bahwa dua orang yang dihadapinya itu tak lain adalah Togog dan Mbilung. Maka Semar memberitahu bahwa sesungguhnya Rara Temon itu adalah Dewi Siti Sundari yang sedang menyamar, dan dia sudah memiliki suami yaitu Raden Abimanyu putera Raden Arjuna.
Begawan Sabarsabdono segera sadar akan kesalahannya karena mencuri istri orang, lalu berubah kembali menjadi Togog. Bambang Tejokusumo pun berubah kembali menjadi Mbilung. Togog menitipkan Dewi Siti Sundari kepada Semar dan segera berpamitan. Bilung pun digelandang Togog kembali ke Padukuhan Pringsewu tempat tinggal mereka. Kali itu Togog tak peduli dengan tangisan Bilung yang masih menginginkan Rara Temon.
Sarawita seorang teman Togog. Dalam pewayangan, di waktu berkata-kata ia akan menggunakan bahasa Melayu campur dengan bahasa Jawa, dan mengaku bahwa ia berasal dari Tanah Seberang yang tulen. Waktu ia bertemu dengan para punakawan seperti Gareng dan Petruk, ia selalu sombong, tetapi cengeng (manja), maka selalu dipermainkan oleh lawannya.
Waktu dipermainkan oleh pengiring Kesatria, biasa yang menggodanya itu Petruk, dengan dipukul hingga menangis dan mengundurkan diri tetapi dengan berkeruyuk seperti ayam jantan. Hingga dalam cerita oleh Togog selalu diolok-olok. Adegan ini sering digunakan dalam banyak lakon.
Bentuk Wayang
Sarawita bermata keran (juling), hidung pesek, bibir terbuka rambut dicukur, hanya tersisa sedikit kena kudis. Kain batik slobog dan pada ikat pinggangnya menyelip senderik (Jawa: cundrik). Kedua tangan belakang.
Selain nama Sarawita juga bernama Tokun atau Mbilung.
Sumber Referensi :
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.
Tejamantri, Sang Konsultan.
Dalam dunia pewayangan, kita mengenal adanya sejumlah ‘panakawan’, yang secara umum artinya ‘sahabat dekat’. Ini merupakan sejumlah tokoh wayang, yang umumnya berperan sebagai penasehat, dan sekaligus juga sahabat bagi tokoh yang diikutinya. Sejumlah tokoh panakwan ini, bolehlah kita katakan sebagai ‘tokoh abadi’, karena di setiap cerita wayang yang manapun, mereka selalu ada. Misalnya, tokoh Limbuk, Cangik, Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dan Sarawita. Tokoh lain yang juga abadi, adalah denawa Cakil, raksasa Rambut Geni, dan beberapa tokoh lainnya. Mereka ini, selalu muncul di dalam pagelaran wayang yang manapun. Dalam kehidupan kita sehari-hari, nyatanya kita lebih sering memperhatikan tokoh-tokoh panakawan yang empat, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Lalu, juga dengan dua tokoh wanita, yaitu Limbuk dan Cangik. Tetapi bagaimana dengan tokoh Togog dan Sarawita? Karena itulah, maka kali ini kita akan sedikit berkenalan dengan dengan tokoh Togog dan Sarawita, yang sebenarnya sama terkenalnya dengan tokoh-tokoh panakawan lainnya.
Tokoh Togog (sering juga disebut ‘Tejamantri’ atau ‘Wijamantri’) dan Sarawita (sering disebut ‘Mbilung’), seringkali dipandang sebagai tokoh ‘panakawan jahat’, hanya karena mereka berdua itu selalu berada di pihak musuh, raja jahat, atau tokoh-tokoh yang berperangai buruk. Ini merupakan sebuah pandangan umum, yang sangat lazim dinyatakan orang tentang kedua tokoh ini. Tetapi apakah benar demikian?
Togog khususnya, sebenarnya sama dengan Semar, mereka berdua adalah ‘dewa yang turun ke bumi’. Masing-masing mempunyai tugas dan peran khusus. Semar, menjadi penasehat para ksatria pembela kebenaran. Sedangkan Togog ?
Apakah ia dapat dikatakan sebagai penasehat pada ksatria pembela kejahatan ?
Menurut saya, di sinilah letak kesalahan-pahaman kita dalam memandang peran dan fungsi mereka. Menurut saya, Baik Semar maupun Togog, keduanya merupakan penasehat para ksatria. Jika kita mencermati dialog-dialog keduanya dengan para ksatria yang diikutinya, maka semuanya akan segera menjadi jelas. Keduanya selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik dan berguna. Bedanya, keduanya berdiri pada pihak yang berseberangan.
Jika kita memakai kondisi jaman sekarang sebagai analoginya, maka tokoh Togog, adalah ‘penasehat agung’ atau mungkin juga bisa kita sebut sebagai seorang ‘konsultan yang bekerja di luar negeri’. Sebaliknya, Semar adalah ‘penasehat agung’ yang bekerja sebagai ‘konsultan yang bekerja di dalam negeri’. Secara logika, di seluruh dunia manapun, dengan tidak memandang apakah dia konsultan asing atau dalam negeri, semestinya tidak ada konsultan yang memberikan ‘nasehat buruk’. Semua konsultan pastilah akan memberikan nasehat yang baik dan berguna bagi orang yang mempekerjakannya. Paling tidak, ia memperkirakan bahwa nasehatnya itu akan berguna bagi orang yang diikutinya. Kalaupun nasehat-nasehat mereka yang jelas baik itu tidak diperhatikan, dianggap seperti angin lalu, atau diabaikan oleh atasan masing-masing, maka hal itu berada di luar tanggung-jawab mereka.
Dalam kasus tokoh Togog atau Tejamantri, sebagai seorang konsultan yang ‘bonafide’, apalagi sebagai konsultan bagi pihak asing, maka pantaslah jika ia bertubuh tambun, berkepala botak, pandai berbicara, dan pandai pula berdebat. Memang begitulah seharusnya. Paling tidak, dipandang dari segi ‘citra’ yang diperlukan supaya pendapat dan nasehatnya diperhatikan. Ia, bahkan selalu memakai tata-krama yang baik, berbahasa baik, santun, serta didukung oleh segudang ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Penampilan Togog yang ‘modist’, juga penting untuk diperhatikan. Bukankah dia bekerja di negeri seberang ?
Nah, untuk memperkuat citranya sebagai penasehat yang sangat ahli, ia memerlukan seorang ‘asisten’ atau katakanlah seorang ‘staf ahli’. Di sinilah letak peran dan fungsi Sarawita. Supaya nasehatnya menjadi semakin afdol, maka staf ahli atau asistennya, haruslah memakai bahasa asing. Dalam hal ini, Sarawita selalu diperankan berbahasa Melayu dan sama sekali tidak berbahasa Jawa. Fungsi utama Sarawita, adalah membenarkan dan mendukung berbagai argumentasi yang ditampilkan Togog.
Cobalah perhatikan baik-baik, bagaimana intonasi suara dan argumentasi yang disampaikan Togog dalam berbagai dialog ‘internasional’. Ia tidak pernah marah, tidak pernah tersinggung, dan bahkan tidak pernah langsung menyanggah pendapat orang lain (terutama orang yang diikutinya). Ia, selalu memikirkan lebih dahulu, dan dengan kalimat yang jelas, iramanya lambat, serta berkata-kata dengan nada rendah dan berat; saat menyatakan pendapatnya. Ia bahkan tidak pernah berkata-kata dengan kalimat yang dinyatakan secara cepat dan bernada tinggi. Baginya, semua masalah pasti bisa diatasi secara baik. Togog, adalah tipikal orang yang selalu berpikir positif. Bahkan saat atasannya menyatakan kepadanya tentang niat dan gagasan jahatnya, ia selalu memberikan wawasan yang tetap berkutub positif, dan sama sekali tidak pernah terbawa arus menjadi berpendapat negatif. Meskipun lawan bicaranya berbicara dengan berteriak-teriak, memaki, serta memakai rangkaian kalimat bernada tinggi yang disampaikan secara sangat cepat (karena sangat emosional), Togog tetap berperi-laku santun, tetap memegang tata-krama, dan berbahasa halus. Bahkan nada bicaranya tidak ikut-ikut menjadi bernada tinggi. Ia tetap menggunakan nada yang rendah, dengan kecepatan bicara yang relatif lambat, dan suara yang berat.
Jika dalam suatu dialog, ternyata Sarawita sang asisten membuat kesalahan. Misalnya, salah ucap atau salah berargumentasi, maka biasanya Togog dengan sabar dan bijak, akan mengingatkan Sarawita. Jangan lupa, Sarawita adalah tokoh yang seringkali memberikan reaksi terlalu cepat dan dengan nada bicara yang juga cepat dan agak terburu-buru. Karenanya, bisa saja ia salah ucap, karena belum sempat memikirkan dalam-dalam sudah mengucapkan apa yang dirasakannya. Ia juga terkenal sebagai tokoh yang seringkali terlampau cepat memberikan tanggapan dan persetujuan kepada boss-nya (Togog), sebelum Togog menyelesaikan seluruh pembicaraannya. Nah, di sinilah letak kesulitan seorang Togog.
Ia memerlukan seorang staf ahli, tetapi Sarawita seringkali malah mempersulit keadaan, dengan berkata-kata sebelum Togog menyelesaikan kalimatnya. Maksudnya sih baik, tetapi maksud yang baik, jika diungkapkan terlalu terburu-buru, seringkali dampaknya menjadi buruk. Dari pasangan Togog dan Sarawita inipun, kita bisa belajar banyak. Misalnya, belajar tentang perlunya kompak dalam menyampaikan pendapat, perlunya belajar menyatukan pandangan, perlunya belajar saling mendukung untuk mencapai suatu tujuan, perlunya saling berterus terang di antara anggauta tim, dan perlunya belajar untuk selalu berdamai dan saling bertenggang-rasa dengan kawan seiring (teman sejawat).
Seperti saya sudah sampaikan, Togog adalah tokoh baik dan bijak, ia penasehat yang baik. Kebetulan saja ia berdiri di pihak asing atau musuh. Setiap kali terjadi dialog dengan atasanya yang mempunyai niat atau gagasan jahat, ia selalu berusaha untuk menasehati dan memberikan wawasan tentang berbagai risiko yang harus ditanggung, jika niat dan gagasan jahat itu dilaksanakan. Jika perlu, ia akan berusaha membujuk, supaya niat dan gagasan jahat itu dibatalkan saja. Ringkasnya, ia selalu berusaha, supaya junjungannya itu berubah menjadi orang baik. Namun, namanya juga orang jahat. Mana ada yang mau dinasehati supaya berubah menjadi orang baik?
Dalam kasus seperti ini, jelaslah Togog tidak pernah goyah dan tidak pernah berputus asa untuk selalu menasehati atasannya itu, supaya berubah dan menjadi berperi-laku baik. Bahkan, jika ia dimaki-maki oleh atasannya, karena sikap dan pendapatnya itu seolah-olah seperti ingin menggagalkan gagasan dan niat jahat atasannya, maka Togog dengan kepala dingin tetap tidak bergeming. Bahkan ia tidak lantas membalas memaki, membuat isu, atau melawan kata-kata yang diucapkan atasannya. Ia lebih suka mendengarkan lebih dahulu selama beberapa saat, lalu menyatakan pendapatnya dengan bahasa yang santun, bernada rendah, dan berimana lambat. Suatu upaya yang sangat bijak, untuk meredam kemarahan atasannya.
Belajar dari semua hal ini, maka jelaslah bahwa kita saat ini sebenarnya sangat memerlukan tokoh-tokoh seperti Togog, yang bekerja di kalangan para ksatria yang berwatak jahat. Kita memerlukan banyak tokoh Togog, karena justru negara kita sekarang ini penuh dengan para ksatria berwatak jahat, candhala, culika, dan tidak tahu malu; yang tidak saja mempermalukan diri sendiri, tetapi juga mempermalukan negara dengan segala kelakuan, sifat, dan tindak-tanduknya. Kita sangat kekurangan tokoh-tokoh seperti Togog, yang tidak pernah berhenti menasehati para ksatria jahat itu. Kita bahkan cenderung melupakan, bahwa tokoh seperti Togog justru sangat diperlukan di dalam kehidupan nyata kita.
Sebaliknya, kita sudah amat sangat mengenal tokoh seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; yang bekerja pada kelompok ksatria yang berperi-laku dan berwatak baik. Tetapi harap dicatat, bahwa dalam kehidupan nyata, gagasan dan niat buruk; bisa saja timbul bahkan tidak saja dari para ksatria yang berperi-laku dan berwatak jahat, tetapi juga dari kalangan para ksatria yang sehari-harinya dikenal berperi-laku dan berwatak baik. Misalnya, saat mereka lupa diri, khilaf, atau berubah menjadi membutakan diri; karena sedang berkuasa atau sedang berharta.
Maka sejenak kita perlu merenungkan, dengan berdiam sesaat dan mengheningkan cipta, karsa, dan rasa kita. Berusaha merasakan kembali, apakah kita sudah menjadi orang baik, atau masih juga menjadi orang buruk. Masihkah kita ingat kepada Sang Penguasa Jagat Raya, yang menguasai hidup dan mati kita, atau kita mengacuhkan dan sudah melupakan-Nya. Jika kita memang sedang sial atau memang meniatkan diri, dan kebetulan menjadi ksatria jahat, maka ingatlah bahwa kita memerlukan pendamping dan penasehat seperti ‘Togog’, sang konsultan, yang akan selalu mengingatkan dan memberikan nasehat kepada kita, untuk selalu kembali ke jalan yang benar. Mudah-mudahan, kita selalu bertemu dengan tokoh, orang, atau sahabat; yang bersedia berperan sebagai ‘Togog’ bagi kita.
Semoga kita menemukannya.
Imajiner Nuswantoro




